Senin, 19 Januari 2009

Kaidah-Kaidah Memahami Sunnah

Dr. Anis bin Ahmad bin Thahir
Friday, 28 December 2007
Seorang muslim diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti Rasulullah saw. dan meneladani beliau. Allah SWT berfirman (yang artinya), ".... Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah ...." (Al-Hasyr: 7). Juga, firman-Nya, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Al-Ahzaab: 21).

Sebelum mengamalkan hadits-hadits Rasulullah, seorang muslim harus memahami beberapa hal penting, yang merupakan kaidah, agar pemahamannya benar dan pengamalannya mendapatkan petunjuk (terarah).

Setiap hadits yang diutarakan oleh Rasulullah saw. itu ada maksudnya. Orang yang serampangan mengamalkan hadits tanpa memahami maksudnya akan terjebak pada kesalahan dalam pengamalan ibadahnya. Contoh berikut mungkin dapat menerangkan jelasnya pernyataan ini. Yaitu, kasus yang dialami oleh 'Adi bin Hatim r.a. ketika turun firman Allah SWT, "Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar ...." (Al-Baqarah: 187). Dia ('Adi bin Hatim r.a.) mengambil dua helai benang: yang satu berwarna putih, dan yang satu lagi berwarna hitam. Kemudian, diletakkannya di bawah bantalnya. Setelah itu, dia mulai melihat (mengamati) kedua benang itu dan tidak tampak sesuatu. Ketika dia memberitahukan hal itu kepada Rasulullah saw., maka Rasulullah saw. bersabda, "Yang dimaksud dengan dua benang tersebut adalah gelapnya malam dan cerahnya waktu siang." (HR Bukhari dan Muslim). Dari sini terlihat dengan jelas, betapa seseorang yang belum mendapatkan pemahaman dengan benar itu pasti melangkah dengan tidak benar pula. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui bagaimana cara memahami sunnah dengan benar.



1. Memahami Sunnah dengan Tuntunan Al-Qur'an
As-Sunnah adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an dalam syariat Islam. As-Sunnah menerangkan dan merinci apa yang ada dalam Al-Qur'an. Tidak ada pertentangan antara As-Sunnah dengan Al-Qur'an. Jika terdapat pertentangan, hal itu mungkin terjadi karena haditsnya tidak shahih atau kita sendiri yang tidak bisa memahaminya. Karena, Allah SWT telah menegaskan, "Kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (An-Nisaa': 82).

Contoh yang paling jelas bahwa sunnah yang shahih tidak bertentangan dengan Al-Qur'an, justru yang bertentangan dengan Al-Qur'an adalah hadits-hadits dha'if (lemah) dan maudhu (palsu), yaitu kisah gharaniq (sembahan atau tuhan-tuhan) kaum musyrikin). Diriwayatkan bahwa setelah membaca firman Allah SWT, "Maka apakah patut (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-'Uzza dan Manat yang ketiga." (An-Najm: 19-20). Maka, Rasulullah saw. bersabda, "Mereka itu adalah gharaniq yang tinggi dan sungguh syafaatnya (pertolongannya) sangat diharapkan." Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka sifatkan dengan ketinggian-Nya yang agung. Kisah yang bathil ini mustahil akan benar karena bertentangan dengan ayat itu sendiri (yang disebutkan). Apakah patut Rasulullah saw. memuji tuhan-tuhan orang-orang musyrik? Maka dari itu, hadits ini jelas bathil, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah rhm. melalui ucapannya, "Ini (termasuk hadits) yang dipalsukan oleh orang-orang zindiq." (Nashbul Majaaniiq, hlm. 25).


2. Mengumpulkan Hadits-Hadits yang Satu Tema dan Pembahasan pada Satu Tempat
Merupakan suatu keharusan untuk memahami sunnah dengan pemahaman yang benar, yaitu mengumpulkan hadits-hadits shahih yang satu pembahasan supaya hadits yang mutasyabih (yang memiliki banyak penafsiran) bisa dikembalikan ke yang muhkam (maknanya jelas), yang muthlaq (tidakterikat) di bawa ke yang muqayyad (terikat), dan yang 'amm (maknanya umum) ditafsirkan oleh yang khashsh (maknanya khusus). Dengan cara ini, akan jelas maksud hadits tersebut, maka jangan mempertentangkan antara hadits yang satu dengan yang lainnya.

Imam Ahmad berkata, "Suatu hadits, kalau tidak engkau kumpulkan jalan-jalannya (sanad-sanadnya), engkau tidak akan paham karena sebagian hadits menafsirkan sebagian yang lainnya." (Al-Jaami' (I/270).

Apabila sanad-sanad suatu hadits yang satu pembahasan tidak dikumpulkan pada suatu tempat, maka itu bisa menyebabkan terjadinya kesalahan dalam memahami hadits tersebut. Padahal, orang itu berdalil dengan hadits shahih, akan tetapi dia tidak mengumpulkan hadits yang semisal dengannya sehingga menyebabkan pemahamannya terhadap hadits tersebut tidak sempurna. Bahkan, pemahaman dan gambarannya menyimpang tentang masalah yang dia bahas itu. Contoh untuk kasus ini adalah sebagai berikut.

Hadits Abu Umamah ketika melihat alat pertanian, beliau berkata, "Aku mendengar Nabi saw. bersabda, 'Tidaklah (alat) ini masuk ke rumah suatu kaum, kecuali Allah akan memasukkan padanya kehinaan'." (HR Bukhari). Zhahir (lahiriah) hadits ini memberikan faedah tentang bencinya Rasulullah saw. terhadap pertanian. Namun, kalau seseorang mengumpulkan hadits-hadits yang lain tentang pertanian, maka dia akan mendapatkan bahwa Rasulullah saw. justru menganjurkan untuk bertani dan menerangkan tentang bolehnya bertani, sebagaimana sabda beliau sebagai berikut.

"Tidaklah seorang muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu burung memakan dari tanaman itu, atau binatang ternak, melainkan yang demikian itu sebagai sedekah (bagi yang menanam)." (HR Bukhari dan Muslim).

"Jika kiamat telah mendatangi salah seorang di antara kalian dan di tangannya (masih) ada bibit kurma, maka hendaklah dia menanamnya." (HR Ahmad).

Dari tiga hadits yang telah disebutkan ini ada satu hadits yang seolah-olah bertentangan, yaitu hadits yang disebutkan pertama. Lalu, bagaimanakah cara para ulama menyatukan antara hadits-hadits yang tampaknya bertentangan ini? Bagaimana pula pemahaman yang benar setelah menyatukan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini (bertani)?

Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya, Fathul Baari (V/5), menjelaskan bahwa cara menyatukan hadits-hadits ini adalah dengan salah satu dari dua cara sebagai berikut: (1) dibawa ke makna akibat buruk dari pertanian karena melalaikan kewajiban, atau (2) bertani dengan tidak melalaikan kewajiban tetapi melampaui batas dalam melakukannya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Bukhari di dalam memahami hadits-hadits tersebut dengan menulis judul bab sebagai berikut: "Hal-Hal yang Diperingatkan dari Akibat-Akibat Jelek karena Sibuk dengan Alat Pertanian atau Melampaui Batas dari yang Diperintahkan".

Ada hadits yang mendukung pemahaman bahwa maksud larangan tersebut ditujukan apabila seseorang disibukkan dengan bertani dari kewajiban-kewajiban, seperti jihad di jalan Allah, apalagi bagi yang dekat tempatnya dengan musuh-musuh Allah. Hadits tersebut adalah hadits marfu' dari Ibnu 'Umar r.a., "Jika kalian berjual-beli dengan (cara) 'inah (salah satu bentuk riba), kalian dilalaikan oleh ternak kalian, dan kalian suka (disibukkan) dengan bertani sehingga kalian meninggalkan (kewajiban) jihad, niscaya Allah akan menimpakan atas kalian kehinaan yang Dia tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian." (Hadits Shahih Riwayat Ahmad dan Abu Dawud).


3. Menyatukan Hadits-Hadits yang Tampak Bertentangan
Pada dasarnya tidak ada pertentangan antara nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih. Seandainya terjadi suatu pertentangan, maka itu anggapan kita semata, bukan hakikat dari nash-nash tersebut. Inilah keyakinan seorang mukmin pada hadits-hadits yang dapat dipercaya (hadits-hadits yang shahih atau hasan). Firman Allah berikut harus selalu menjadi pedoman. "Kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (An-Nisaa': 82).

Contoh hadits-hadits yang tampaknya bertentangan adalah hadits-hadits yang melarang seseorang menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau kecil, sementara ada hadits-hadits lain yang membolehkan hal tersebut. Cara jama' yang dipakai para ulama untuk menyatukan hadits-hadits yang tampak bertentangan tersebut adalah dengan menyatakan bahwa hadits-hadits larangan dimaksudkan bila dilakukan di tempat terbuka, sedangkan hadits-hadits yang membolehkan dimaksudkan bila dilakukan di dalam suatu tempat yang ada pembatasnya (seperti seseorang melakukannya di WC). (Ta-wiil Mukhtalafil Hadiits [hlm. 90] dan Nailul Authaar [I/98]).

Adapun kitab yang paling bermanfaat (dan bagus) yang bisa dijadikan rujukan untuk mendapatkan mukhtalaful hadits (hadits yang tampaknya bertentangan dengan hadits yang lain tetapi memungkinkan untuk dijamak/disatukan) adalah Musykilul Aatsaar karya Ath-Thahawi dan Ta'wiil Mukhtalaf al-Hadiits karya Ibnu Qutaibah.


4. Mengetahui Nasikh dan Mansukh Suatu Hadits
(Nasikh=Hadits yang Menghapus Hadits yang Lain; Mansukh=Hadits yang Dihapus)
Nasakh (hukum yang lama diganti hukum yang baru) dalam hadits memang terjadi. Seorang muslim yang mengamalkan suatu hadits tanpa mengetahui kalau hadits itu mansukh, berarti dia telah terjatuh ke dalam ilmu yang tidak diperintahkan syara' untuk mengamalkannya. Sebab, kita tidak diperintahkan untuk mengamalkan hadits-hadits yang mansukh. Sementara nasakh adalah suatu 'illat (penyebab) dilarangnya beramal dengan satu hadits (yang mansukh, ed.).

Al-Hafizh as-Suyuthi rhm. berkata (yang artinya), "Nasakh telah dimasukkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam kategori al-'ilal (cacat hadits). Namun, beliau hanya mengkhususkannya dalam masalah pengalamannya saja (bukan status haditsnya)." (Al-Alfiyah, hlm. 22).

Seseorang tidak boleh tergesa-gesa dalam masalah ini sehingga mengatakan hadits ini mansukh, kecuali setelah mengetahui dalil-dalil dan qara-in (tanda-tanda) yang menunjukkan adanya nasakh.

Adapun kitab-kitab yang bisa membantu untuk mengetahui yang mansukh dari hadits-hadits adalah sebagai berikut.
* Ittihaaf Dzawiir Rusuukh karya Al-Ju'buri.
* An-Naasikh wal-Mansuukh karya Ibnul Jauzi.
* Al-I'tibaar fin Naasikh wal-Mansuukh minal Akbaar karya Al-Hazimi.


5. Mengetahui Asbabul Wuruud Hadits
(Asbabul Wuruud=Sebab-Sebab Disabdakannya Suatu Hadits)
Mengetahui sebab-sebab disabdakannya suatu hadits sangat membantu dalam memahami maksud hadits Rasulullah. Termasuk cara yang baik dalam memahami sunnah Nabi adalah meneliti (melihat) sebab-sebab tertentu disabdakannya suatu hadits, atau kaitannya dengan 'illat (alasan atau sebab) tertentu yang ditegaskan langsung dari nash (teks) hadits itu, atau dari istinbath/kesimpulan (maknanya), atau yang dipahami (langsung) dari kondisi ketika hadits tersebut diucapkan (oleh Rasulullah saw.).

Untuk memahami suatu hadits dengan pemahaman yang benar dan mendalam, tidak boleh tidak, kita harus mengetahui situasi dan kondisi yang menyebabkan hadits itu diucapkan oleh Nabi. Biasanya, hadits datang sebagai penjelas terhadap kejadian-kejadian tertentu dan sebagai terapi terhadap situasi dan kondisi kejadian tersebut. Dengan begitu, maksud dari hadits itu dapat ditentukan dengan jelas dan rinci. Tujuannya tidak lain agar hadits itu tidak menjadi sasaran bagi dangkalnya perkiraan, atau kita mengikuti zhahir (lahiriah dari hadits tersebut) yang tidak dimaksudkan (oleh maknanya). (Kaifa Nata'aamal ma'as-Sunnah [hlm. 125]).

Contoh kasusnya adalah sebagai berikut. Ada sebuah hadits yang berbunyi (artinya), "Kalian lebih tahu urusan dunia kalian." (HR Muslim, Kitab Al-Manaaqib, no. 2363).

Sebagian orang menjadikan hadits ini sebagai alasan untuk lari dari hukum-hukum syara' (agama) yang berkaitan dengan masalah ekonomi, perdata, politik, dan yang semisalnya dengan alasan--seperti anggapan mereka yang salah--bahwa itu adalah urusan duniawi.

Apakah betul ini yang dimaksud oleh hadits tersebut? Sama sekali tidak! Karena, di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah terdapat hal-hal yang mengatur urusan muamalah: jual-beli, serikat dagang, pegadaian, sewa-menyewa, utang-piutang, dan sebagainya. Bahkan, ayat terpanjang di dalam Al-Qur'an turun untuk membahas aturan penulisan utang-piutang. "Hai, orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dengan benar ...." (Al-Baqarah: 282).

Dengan demikian, hadits tersebut di atas ditafsirkan oleh sebab diucapkannya hadits tersebut, yaitu kisah penyerbukan pohon kurma atas anjuran Rasulullah berdasarkan pendapat beliau yang merupakan dugaan belaka dalam masalah penyerbukan pohon kurma. Setelah itu para sahabat menjalankan saran Nabi tersebut dengan penuh ketaatan, padahal ketika itu mereka tidak melakukan penyerbukan, kemudian Rasulullah saw. bersabda dengan hadits tersebut.

Contoh yang lain adalah hadits yang artinya, "Barang siapa melakukan sunnah yang baik dalam agama Islam ...." (HR Muslim, Kitab Az-Zakaah, Bab "Al-Hatstsu 'alash Shadaqah" [IV/2801, 2802]).

Sebagian orang memahami hadits ini dengan pemahaman yang salah. Sehingga, mereka membuat bid'ah-bid'ah (amal yang diada-adakan dan tidak ada dasarnya) dalam agama dengan beranggapan bahwa mereka sedang mendekatkan diri kepada Allah dan beramal dengan sunnah yang baik, yang masuk dalam kandungan makna hadits Rasulullah saw. di atas.

Akan tetapi, kalau kita merujuk kepada sebab disabdakannya hadits ini, akan kita dapatkan sebabnya, yaitu bahwa Nabi pada suatu hari menyuruh para sahabat untuk bersedekah. Kemudian, datanglah seorang pria dengan membawa bungkusan besar yang kedua tangannya hampir tidak mampu untuk membawanya, lalu ia meletakkannya di tengah masjid. Setelah itu, orang-orang pun ikut berinfaq sampai muka Rasulullah saw. berseri-seri (karena senang), seakan-akan wajah beliau seperti sesuatu yang disepuh dengan emas, lalu beliau mengucapkan hadits tersebut.

Maka dari itu, mengartikan hadits tersebut kepada perbuatan bid'ah jelas-jelas secara meyakinkan bukan yang dimaksud. Bahkan, itu merupakan kesesatan yang nyata. Dan, sebab-sebab disabdakannya hadits tersebut menjadi bukti terkuat akan kesalahan cara pengambilan dalil yang ditempuh oleh mereka.

Ibnu Hamzah ad-Dimasyqi mempunyai kitab berjudul Al-Bayaan wa at-Ta'riif fii Ashaab Wuruud al-Hadiits asy-Syariif yang dicetak dalam tiga jilid. Kitab itu termasuk yang paling lengkap dalam bidang ilmu ini (asbaabul wuruud hadits).


6. Mengetahui Ghariibul Hadiits
(Ghariibul Hadiits=Kata-Kata yang Sulit Dipahami pada Teks Hadits)
Rasulullah saw. adalah orang yang paling fasih dalam mengucapkan bahasa Arab dan beliau berbicara kepada para sahabat dengan bahasa Arab yang jelas dan dikenal oleh mereka. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam memahami apa yang diinginkan dari lafazh yang diucapkan oleh Rasulullah saw. karena mereka adalah orang Arab asli, yang tidak pernah dimasuki (dipengaruhi) oleh bahasa orang 'Ajam (orang non-Arab).

Tetapi, dengan berlalunya waktu dan berbaurnya sebagian orang dengan yang lain, baik yang Arab maupun yang 'Ajam, bahasa yang dipakai sebagian besar orang Arab menjadi lemah. Selain itu, bahasa mereka bercampur dengan bahasa orang 'Ajam, serta mereka menjadi semakin jauh dari bahasa Arab yang fasih. Sehingga, banyak orang yang menemukan kesulitan dalam memahami hadits-hadits Nabi karena mereka tidak mengetahui arti kata-kata dalam hadits-hadits tersebut.

Oleh sebab itulah, para ulama bangkit menyusun karangan semacam ini, yaitu kitab-kitab ghaariibul hadiits. Mereka menyusun sebuah kitab untuk menerangkan kata-kata yang sulit dipahami dalam suatu hadits beserta penjelasannya. Jika seorang ulama, penuntut ilmu, dan seorang muslim secara umum ingin memahami hadits yang baik, hendaklah dia merujuk kepada kitab-kitab ghariibul hadiits, yang paling penting di antaranya adalah sebagai beirkut.
* Ghariibul Hadiits karya Al-Harawi.
* Ghariibul Hadiits karya Abu Ishaq al-Harbi.
* Ghariib ash-Shahiihain karya Al-Humaidi.
* An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits karya Ibnul Atsir.
Kitab yang terakhir (An-Nihaayah) adalah kitab terlengkap dan paling bermanfaat daripada kitab-kitab ghariib lainnya.


7. Memahami Sunnah seperti yang Dipahami Sahabat Rasulullah
Kaidah ini termasuk yang paling penting supaya seorang muslim berpegang dengan sunnah, seperti berpegangnya salafush shaleh, serta agar selamat dari penambahan dan pengurangan.

Dengan demikian, yang paling utama dalam menerangkan As-Sunnah adalah hadits-hadits Nabi sendiri, kemudian perkataan dan perbuatan para sahabat (al-aatsaar as-salafiyah), karena para sahabat telah menyaksikan turunnya Al-Qur'an dan wahyu turun di hadapan mereka. Maka, jika terjadi pemahaman yang salah dari salah seorang mereka terhadap Sunnah Nabi, niscaya Jibril akan turun kepada Rasulullah saw. untuk meluruskan dan mengoreksi pemahaman yang salah itu.

Oleh karena itu, para ulama hadits menggolongkan perkataan seorang sahabat: "Kami berpendapat begini pada zaman Rasulullah," sebagai perkataan yang memiliki hukum marfu' (yang bisa disandarkan kepada Rasulullah saw.). Apabila orang-orang berselisih tentang pemahaman suatu hadits, maka pemahaman yang paling utama didahulukan adalah pemahaman sahabat Rasulullah saw.

Contoh untuk kasus ini adalah hadits tentang menghadap ke kiblat atau membelakanginya ketika buang air besar atau kecil. Ada atsar (perkataan sahabat) dari Ibnu Umar r.a., beliau berkata, "Sesungguhnya yang demikian itu (buang hajat) terlarang jika di tempat yang terbuka, namun jika di antara kamu dan kiblat ada sesuatu yang menutupi (menghalangi), maka tidak mengapa (hukumnya boleh)." (HR Abu Dawud, Kitab Ath-Thaharah Bab "Karaahiyah Istiqbaali Qiblati 'inda Qadhaa-il Haajah" [I/3]).

Kitab-kitab yang penyusunnya banyak menukil atsar-atsar salafiyyah (orang-orang shalih terdahulu) dari sahabat dan tabi'in adalah sebagai berikut.
* Mushannaf 'Abdirrazzaq.
* Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
* Sunan Sa'id bin Manshur.
* Sunan ad-Darimi.
* As-Sunan al-Kubraa dan As-Sughaa karya Imam Al-Baihaqi.


8. Merujuk Kitab-Kitab Syarah Hadits
(Kitab-Kitab yang Berisi Penjelasan dan Keterangan dari Matan [Teks] Hadits) Termasuk hal-hal yang penting dalam memahami hadits-hadits Nabi adalah merujuk kitab-kitab syarah. Sebab, di dalamnya terdapat penjelasan tentang gharib, nasikh-mansukh, fiqhul hadits, dan riwayat-riwayat yang tampaknya bertentangan sehingga seseorang tidak mungkin meninggalkan kitab-kitab seperti ini.

Para ulama hadits telah meninggalkan kitab-kitab syarah untuk kita yang menjelaskan hadits-hadits Nabi saw. Para ulama adalah penerjemah hadits-hadits Nabi untuk seluruh umat. Setiap seorang ulama yang lebih dahulu (lebih dekat masa hidupnya dari Rasulullah saw.) maka penjelasannya akan lebih dekat kepada kebenaran dan lebih layak untuk diterima, biasanya.

Kitab syarah yang paling utama didahulukan setelah memperhatikan yang lebih dahulu zaman penyusunnya adalah kitab yang penyusunnya memiliki perhatian terhadap dalil-dalil dengan menerangkan makhaarijul ahaadiits (jalan periwayatan hadits) yang bermacam-macam, serta menerangkan shahih dan dha'ifnya dalil tersebut.

Demikian pula harus didahulukan kitab yang penyusunnya paling jauh dari fanatik madzhab, yangmana suatu hadits bisa saja dipalingkan olehnya dari makna yang sesungguhnya yang diinginkan Rasulullah saw. tanpa disertai dalil yang rajih (kuat).

Di antara contoh kitab syarah hadits yang sesuai dengan pemahaman para sahabat dan mu'tamad (yang bisa dipertanggungjawabkan) yaitu sebagai berikut.
* Syarhus Sunnah karya Imam Al-Baghawi.
* Fathul Baari karya Ibnu Rajab al-Hanbali.
* Fathul Baari Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-Asqalani.

Sumber: Diringkas dari Delapan Kaidah Memahami Sunnah, terj. Abu 'Abdirrahman Mukti 'Ali 'Abdulkarim (Pustaka Imam Asy-Syafi'i, 2007); judul asli: Dhawaabith Muhimmah li Husni Fahmis Sunnah, Dr. Anis bin Ahmad bin Thahir (Jeddah: Husnu Salim, 1999).

Oleh: Abu Annisa

Menegakkan Islam dengan Cara Islam

Farid Achmad Okbah, M.Ag.
Saturday, 27 October 2001

Judul di atas menggambarkan upaya sungguh-sungguh untuk memahami dan mempraktikkan dengan benar penegakan syariat Islam dengan cara yang sesuai dengan Islam. Meskipun kenyataan faktual banyak upaya yang dilakukan umat Islam dalam menegakkan kalimat Allah itu dengan berbagai cara. Adakalanya Islami tapi parsial, ada pula yang tidak Islami tetapi berusaha melegitimasi dengan dalil-dalil syar'i dengan lebih banyak bersifat ijthadi pada saat ada dalil. Sebab, ijtihad dilakukan pada saat tidak ada dalil atau dalil bisa dipahami lebih dari satu pengertian.

Karenanya, kita dapati berbagai corak perjuangan yang dilakukan umat Islam satu sama lain menekankan pentingnya bidang garapan yang digelutinya. Para politisi Muslim, umpamanya, menekankan perjuangan Islam yang paling efektif adalah melalui jalur politik. Sementara, para ekonom Muslim menganalisis, mana mungkin perjuangan Islam bisa berhasil kalau umat Islam lemah ekonominya. Demikian pula para juru dakwah, mereka mengemukakan bahwa perjuangan Islam yang paling dominan adalah umat Islam ini kembali berpegang kepada Islam agar mereka jaya, tanpa memperinci lebih jauh apa dan bagaimana merealisasikannya, dst. ... dst.

Maka dari itu, tema ini menjadi penting untuk dibahas dalam rangka merekonstruksi perjuangan umat Islam dalam menegakkan dinullah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya serta perjalanan salafus shaleh sepanjang sejarah perjuangan umat Islam.

Tujuan

Kita menyadari bahwa tanggung jawab yang akan dipertanyakan kelak pada hari akhirat adalah tanggung jawab personal. Artinya, Allah tidak membebankan tanggung jawab pihak lain kepada kita, kecuali kalau kita punya andil dalam persoalan tersebut. Karenanya, banyak ayat yang menekankan tanggung jawab ini.

Allah SWT telah berfirman (yang artinya): "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Al-Baqarah: 286). "Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri." (An-Nisa: 84). "Hai orang-orang yang beriman, selamatkanlah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka." (At-Tahrim: 6).

Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): "Mulailah dengan diri kalian sendiri atau mulailah dengan keluargamu." Dengan demikian, prioritas kita adalah menyelamatkan diri sendiri dari segala kemungkinan penyimpangan terhadap misi utama kehidupan kita, yaitu: "Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (Adz-Dzariyat: 56).

Apabila kita sadari hal itu, kita akan memahami arti ibadah seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan kita sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhoi Allah SWT. "Segala apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan, perbuatan yang nampak, maupun yang tersembunyi." (Ibnu Taimiyah, Al-'Ubudiyah, hlm. 1).

Ini mengandung pengertian bahwa seluruh aktivitas kita harus sesuai dengan syariat Islam. Jadi, fokusnya adalah kita sementara acuannya adalah syariat Islam. Karenanya tidak benar seseorang yang belum mengerti ajaran Islam dalam membangun kepribadiannya, tetapi sudah sibuk bagaimana menegakkan Islam. Tidak berarti menegakkan Islam tidak penting, tetapi prosesnya salah. Sesudah seseorang dalam sekup individu melaksanakan tanggung jawab dirinya sebagai hamba Allah, dia akan melangkah menempati posisi di masyarakatnya sesuai dengan kapasitas masing-masing. Di sinilah terjadi interaksi dan kooperasi antara anggota masyarakat Muslim sesuai dengan firman Allah SWT: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al-Maidah: 2).

Dan, tanggung jawabnya semakin luas sesuai dengan kapasitas kemampuannya, sehingga dengan posisi masing-masing itu akan dimintai pertanggungjawabannya seperti sabda Nabi saw., "Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah penanggung jawab dan setiap kalian akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Imam yang ada di tengah manusia adalah penanggung jawab dan dia akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang suami bertanggung jawab terhadap keluarganya dan dia akan ditanyai tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya. Dan seorang istri bertanggung jawab terhadap rumah suaminya dan anaknya dan dia akan ditanya tentang mereka." (HR Bukhari, Muslim, dan selain keduanya).

Apabila setiap individu tidak melaksanakan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah yang berkewajiban melaksanakan syariat Islam sesuai dengan kemampuannya, berarti dia telah berkhianat. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (Al-Anfal: 27).

Dalam istilah fiqh bahwa tanggung jawab personal itu fardhu 'ain, sedangkan tanggung jawab kolektif adalah fardhu kifayah. Adalah salah besar kalau ada orang yang mengutamakan fardhu kifayah (tanggung jawab kolektif) daripada tanggung jawab fardhu 'ain (individu). Tetapi, menjadi sangat baik kalau dia mengerjakan fardhu 'ainnya sekaligus melaksanakan fardhu kifayahnya. Kalau tidak, maka seluruh umat berdosa.

Teladan Rasulullah

Gambaran di atas akan lebih jelas pada personifikasi Rasulullah saw. sebagai teladan bagi perjuangan umat Islam. Dan, mempelajari perjalanan perjuangan Nabi saw. tidak boleh sepotong-sepotong, seperti mereka yang terperangkap dengan mengkotak-kotakkan masa Mekah dan masa Madinah. Karena, Islam sudah lengkap dan Nabi saw. telah mempraktikkannya secara sempurna. Makanya, kewajiban kita adalah memahami sirah Nabi saw. itu secara komprehensif dan mempaktikkannya sesuai dengan kapasitas dan kondisi kita, seperti firman Allah SWT: "Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian ...." (Ath-Thaghabun: 16). Dan, Rasulullah saw. memberikan arahan atas kelengkapan syariat Islam yang harus kita pedomani:

"Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan hal-hal yang wajib, maka janganlah kalian meninggalkannya; dan telah memberikan batasan-batasan, maka janganlah kalian melanggarnya. Dia mengharamkan sesuatu, maka janganlah kalian melanggarnya; dan mendiamkan banyak hal sebagai rahmat bagi kalian, maka janganlah kalian mencari-cari (hukumnya)." (HR Daruqutni, hadits hasan). Dan, beliau menekankan pegangan yang harus dipedomani pada saat terjadi perbedaan atau perselisihan: "Maka, barang siapa yang hidup di antara kalian, niscaya akan melihat perbedaan yang banyak. Maka, hendaklah kalian (mengikuti) sunnahku dan juga sunnah Khulafa ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk dan gigitlah dengan gigi geraham dan hendaklah kalian menjauhui perkara-perkara yang diciptakan (bid'ah, red.), karena sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat."
(HR Abu Daud dan Tirmidzi, hadits hasan).

Secara ringkas kita melihat praktik Nabi saw. dalam membangun kekuatan Islam. Nabi saw. ketika berada di Mekah membuat kader yang difokuskan di rumah-rumah dan terutama di rumah Arqam bin Abi Arqam. Di antara kader yang matang ditugasi menyampaikan dakwah, seperti Mushab bin 'Umair yang dikirim ke madinah.

Nabi saw. mencari tempat yang kondusif untuk mengembangkan dakwah dan kekuatan Islam. Beliau pergi ke Thaif tetapi tidak cocok. Kemudian beliau lebih memilih ke Madinah karena mendapat sambutan di sana. Kemudian beliau membangunn masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam dan penempaan para kader. Langkah berikutnya beliau mempererat hubungan sesama Muslim dengan mempersaudarakan antara Muhajirin (dari Mekah) dan Anshar (dari Madinah). Beliau membuat Piagam Madinah untuk membentengi umat Islam dan memberikan hak-hak non-Muslim. Nabi saw. mempersiapkan kekuatan untuk menghadang segala upaya ofensif kaum kuffar sampai 27 kali belaiu berperang antara perang defensif dan ofensif (seperti Perang Tabuk).

Di sini menjadi jelas bahwa kesatuan visi yaitu membangun aqidah yang benar sampai kesatuan langkah, yaitu kepada tegaknya kekuatan jihad merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh. (Lihat, DR. Rabi' bin Hadi al-Madkhal, Minhajul Anbiya, hlm. 87).

Karena itu, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menggunakan istilah perjuangan menegakkan Islam dengan cara Islam, yaitu dengan ungkapan "jihad". Beliau membagi jihad ini menjadi 4 bagian:

1. Jihad menundukkan hawa nafsu meliputi 4 tahap.
* Berjihad dengan mempelajari ajaran agama Islam demi kebahagiaan dunia dan akhirat.
* Jihad melaksanakan ilmu yang diperolehnya itu, karena ilmu tanpa amal adalah tidak berarti dan bahkan membahayakan.
* Jihad dengan berdakwah berdasarkan ilmu yang benar dan praktik nyata.
* Jihad menekan diri agar sabar terhdap cobaan dakwah berupa gangguan manusia (empat hal inilah makna yang terkandung dalam surah Al-Ashr, yang kata Imam Syafi'i seandainya Allah tidak menurunkan ayat kecuali Al-'Ashr, niscaya cukup bagi manusia).
2. Jihad melawan syaitan meliputi dua hal.
* Jihad melawan pemikiran syaitan berupa syubhat dan keragu-raguan yang dapat merusak keimanan. Perlawanannya adalah dengan keyakinan.
* Jihad melawan syaitan yang membisikan agar terjerumus kepada syahwat, hawa nafsu. Caranya dengan sabar dan menahan diri dengan berpuasa. (Lihat QS As-Sajdah: 2).
3. Jihad melawan kaum kufar dan munafikin melalui 4 tahap.
* Dengan kalbu
* Dendan lisan
* Dengan harta
* Dengan tangan
Jihad melawan kaum kuffar lebih utama dengan tangan, sementara terhadap kaum munafikin dengan lisan.
4. Jihad melawan kezaliman, kemungkaran, dan bid'ah ditempuh melalui tiga tahap. (1) Dengan tangan kalau mampu, kalau tidak (2) dengan lisan, kalau tidak mampu (3) minimal dengan hati. (HR Muslim).

Demikian 13 tingkatan jihad yang telah dilaksanakan secara sempurna oleh Rasulullah saw. (Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Zaadul Ma'ad, Juz 3 hlm. 6-12).

Benar kata Umar bin Khattab dalam ungkapan spektakulernya, yang artinya, "Kami adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam, seandainya kami mencari selainnya, niscaya kami akan dihinakan oleh Allah."

Juga ucapan Imam Malik, "Tidaklah urusan umat ini akan menjadi baik, kecuali dengan mengikuti hal-hal yang telah menjadikan umat terdahulu menjadi baik." Wallahu a'lam.

Salaf dalam Mencari Maisyah (Penghidupan yang Halal)

Farid Achmad Okbah, M.Ag.
Monday, 01 January 2007

Ada lima hal yang membangun kepribadian seorang Muslim pada masa dahulu, sekarang, dan akan datang. Pertama, mengenal Allah; kedua, mengenal kebenaran yang Allah turunkan; ketiga, ikhlas kepada Allah; keempat, mengikuti jejak Rasulullah; dan kelima, mencari yang halal. Pembahasan kita pada kaitan yang kelima ini dalam rangka mengisi kehidupan yang diridhai oleh Allah SWT. Hal itu telah dicontohkan oleh para nabi. Menurut riwayat Ibnu Abbas, Nabi Daud bekerja sebagai pandai besi, Nabi Adam petani, Nabi Nuh tukang kayu, Nabi Idris penjahit, dan Nabi Musa penggembala. Demikian pula contoh yang dipraktikkan oleh para ulama salaf, terutama Rasulullah dan para sahabatnya. Mereka bekerja dalam bidang perdagangan, pertanian, dan jasa.

Dari Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), "Wahai manusia, sesungguhnya Allah SWT itu suci dan tidak menerima kecuali yang suci. Dan Allah SWT telah memerintah orang mukmin dengan apa yang diperintahkannya kepada para rasul, yaitu 'Wahai sekalin rasul, makanlah dari harta yang suci dan kerjakanlah perbuatan shaleh.' Kemudian beliau bercerita tentang seseorang yang dalam perjalanan panjang lalu memanjatkan tangannya ke langit sambil berdoa mengucap: Ya Tuhan, ya tuhan. Namun makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan mengonsumsi yang haram. Bagaimana doanya bisa dikabulkan?" (HR Muslim).

Dari Ibnu Syihab berkata, Urwah bin Zubeir memberitahukan kepadaku bahwa Aisyah r.a berkata, tatkala Abu Bakar ash-Shiddiq menjabat sebagai khalifah ia berkata, "Kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku (keahlianku) mampu menopang kesulitan keluargaku. Dan (sekarang) saya sibuk dengan urusan kaum Muslimin. Apakah kemudian keluarga Abu Bakar akan makan dari harta ini (baitul mal), sementara saya bekerja di dalamnya untuk kaum Muslimin?"

Dari Miqdad r.a., dari Nabi saw., "Tidaklah seseorang memakan makanan pun yang lebih baik daripada ia makan dari pekerjaan tangannya dan bahwa Nabiyallah Daud a.s. makan dari pekerjaan tangannya."

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw. bahwa Nabi Daud AS tidak makan kecuali dari pekerjaan tanganya.

Dari Abi Ubaid Budah Abdurarahman, budak Abdurrahman bin Auf, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Salah seorang dari kalian lebih baik mengantar sesuatu barang di atas punggungnya (menjadi kuli) itu lebih baik daripada ia meminta kepada seseorang, lalu ia memberinya atau tidak memberinya."

Contoh Para Ulama Salaf dalam Bermaisyah

Thalhah bin Ubaidillah

Dari Sa'di binti Auf berkata, "Thalhah datang kepadaku dan aku melihatnya dalam keadaan gelisah. Aku bertanya, 'Ada apa denganmu?' Ia menjawab, 'Hartaku telah menjadi banyak dan itu menggelisahkanku.' Aku bertanya, 'Lalu apa yang harus kamu lakukan?' Ia menjawab, "Saya akan membagikannya.' Maka, Thalhah pun kemudian membagikannya hingga tak tersisa sedirham pun untuknya."

Dari Hasan berkata, "Thalhah menjual tanahnya seharga 700 ribu. Pada malam harinya ia tidak bisa tidur karena uang itu masih ada padanya. Keesokan harinya ia membagikan semua uang itu." (HR Imam Ahmad).

Dari Hasan berkata, "Thalhah bin Ubaidillah menjual tanahnya dari Utsman seharga 700 ribu. Utsman kemudian membawakan uang itu kepadanya. Tatkala Utsman datang, ia berkata, 'Seseorang telah menyimpan uang satu malam di rumahnya, sementara ia tidak tahu apa yang akan dipukulkan Allah dari perkara-Nya karena kelalaian terhadap-Nya. Ia kemudian tidur sementara utusannya menyelisihinya di jalan-jalan Madinah hingga datang waktu sahur dan tak ada satu dirham pun padanya.

Abdurrahman bin Auf

Dari Tsabit al-Banani dari Anas berkata, "Ketika Aisyah r.a. berada di rumahnya, tiba-tiba ia mendengar suara yang mengagetkan kota Madinah. Ia lalu berkata, 'Ada apa ini?' Mereka menjawab, 'Kafilah Abdurrahman bin Auf datang dari Syam dengan 700 unta.' Aisyah berkata, 'Saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Saya melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak.' Ucapan ini sampai kepada Abdurrahman. Ia kemudian menemui Aisyah dan bertanya atas ucapan itu. Aisyah kemudian berkata kepadanya. Abdurrahkam lalu berkata, 'Saya bersaksi kepadamu bahwa kafilah dengan muatan, pelana, dan alas pelananya (saya infakkan) di jalan Allah 'Azza wa Jalla'."

Darinya berkata, ketika Aisyah berada di rumahnya ia mendengar suara dari kota Madinah. Ia lalu bertanya, 'Apa ini?' Mereka menjawab, 'Kafilah Abdurrahman bin Auf datang dari Syam membawa segala sesuatu.' (Perawi berkata), 'Yaitu 700 unta.' (Perawi berkata), 'Maka, terdengarlah suara gemuruh di kota Madinah karena kafilah itu.' Aisyah berkata, 'Saya mendengar Rasululah saw. bersabda, 'Saya melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak.' Ia berkata, 'Kalau mampu, saya akan masuk ke dalamnya dengan berdiri.' Maka ia menjadikan muatan dan pelana kafilahnya itu untuk di jalan Allah." (HR Imam Ahmad).

Dari zuhri berkata, "Abdurrahman bin Auf bershadaqah pada masa Rasulullah saw. dengan setengah hartanya: empat ribu dinar. Kemudian, bershadaqah lagi dengan 40 ribu, kemudian bershadaqah lagi dengan 40 ribu dinar. Kemudian, ia membawa 500 kuda di jalan Allah. Kemudian, ia membawa 1500 unta di jalan Allah. Dan, mayoritas hartanya dari perdagangan.

Dari Said bin Ibrahim dari ayahnya, "Bahwa Abdurrahman bin Auf diberi makanan, sementara ia tengah berpuasa. Ia berkata, 'Mushab bin Umair terbunuh, sementara ia adalah seorang yang dermawan (pemberi). Ia dikafani dengan kain yang bila kepalanya ditutup, kakinya terlihat; dan bila kakinya ditutup, kepalanya terlihat'." (Dan menurutku) ia berkata, "Hamzah terbunuh, sementara ia seorang dermawan, yaitu tidak terdapat untuk mengkafaninya, kecuali sehelai kain. Kemudian dunia dilapangkan untuk kita selapang-lapangnya." (Atau ia berkata), "Kami diberi dunia apa yang telah diberikan kepada kami, dan kami khawatir bahwa itu adalah kebaikan yang disegerakan untuk kita. Kemudian, ia menangis sehingga ia meninggalkan makanan. (HR Bukhari).

Dari Said bin Husain berkata, adalah Abdurrahman bin Auf tidak diketahui (bila) ia berada di antara para budaknya.

Salman al-Farisi

Dari Nukman bin Hamid berkata, "Saya datang bersama paman saya kepada Salman al-Farisi di Madain, sementara ia bekerja sebagai penjual daun kurma. Saya mendengar ia berkata, "Saya membeli daun kurma satu dirham, lalu aku kerjakan dan aku menjualnya dengan tiga dirham. Satu dirham saya jadikan modal. Satu dirham saya berikan kepada kelurga dan satu dirham saya infakkan. Meskipun Umar menghentikanku, tapi aku tidak menghentikannya.

Dari Abi Laila al-Kindi berkata, "Anak Salman berkata kepada Salman, 'Berilah saya wasiat.'
Ia bertanya, 'Apakah kamu mempunyai sesuatu?'
Ia menjawab, 'Tidak.'
Ia berkata, 'Dari mana?'
Ia menjawab, 'Saya meminta manusia.'
Ia berkata, 'Kamu ingin memberiku kotoran manusia'."

Abdullah bin Mubarak

Hibban bin Musa berakta, "Ibnu Mubarak dicela karena tidak memberikan jamuan dari hartanya, baik di negara lain maupun terhadap penduduk negerinya."
Ia berkata, "Saya mengetahui tempat dari orang-orang yang memiliki keutaaman dan kejujuran dalam mencari hadits dan telah melakuan pencarian dengan baik. Mereka adalah orang-orang yang membutuhkan. Bila kami meninggalkan mereka, ilmu mereka akan hilang. Sementara, bila kami menolong mereka, ilmu akan tersebar kepada umat Muhammad. Dan, saya tidak mengetahui setelah kenabian yang lebih utama daripada tersebarnya ilmu."

Maksudnya adalah bahwa Ibnu Mubarak menyalurkan hartanya untuk kepentingan para pejuang pencari ilmu. Yaitu, mereka yang akan menyebarkan agama ini kepada umat manusia. Sementara, penuduk negeri tidak mengetahuinya, sampai-sampai ia mendapatkan celaan dari orang-orang.

Al-Husain bin Hasan al-Maruzi berkata, "Saya mendengar Ibnu Mubarak berkata, 'Penduduk dunia keluar dari dunia sebelum mereka makan yang terbaik di dalamnya.'
Orang-orang bertanya, 'Apa yang terbaik di dalamnya?'
Ia menjawab, 'Makrifah kepada Allah Azza wa Jalla'."

Ali bin Hasan bin Syaqiq berkata, saya mendengar Ibnu Mubarak berkata, "Saya menolak satu dirham dari yang syubhat itu lebih saya cintai daripada bershadaqah dengan seratus ribu, dan seratus ribu, hingga enam ratus ribu."

Abdulah bin Khubaiq berkata, "Ibnu Mubarak ditanya apakah tawadhu itu?"
Ia menjawab, "Sombong di depan orang kaya."

Sulaiman bin Daud berkata, "Saya bertanya tentang Ibnu Mubarak kepada manusia?"
Ia berkata, "Ulama."
Saya bertanya, "Apakah ia dari raja?"
Ia berkata, "Dari orang yang zuhud."
Saya bertanya, "Apakah ia termasuk orang jelata?"
Ia berkata, "Huzaimah dan teman-temannya."
Saya bertanya, "Apakah ia termasuk orang rendahan?"
Ia menjawab, "Orang-orang yang hidup dengan agama mereka."

Nasihat Menyikapi Harta dengan Zuhud

Nasihat Sufyan ats-Tsauri kepada Ali bin al-Hasan.

Wahai saudaraku! Hendaknya kamu mencari harta yang halal dan apa yang engkau hasilkan dengan tanganmu. Hendaknya engkau jauhi kotoran manusia (shadaqah) untuk memakannya atau mencampurinya. Karena, orang yang memakan kotoran manusia seperti ketinggian bagi seseorang dan tidak memiliki bawahan. Ia senantiasa berada dalam ketakutan untuk terjerumus kepada bawahnya dan hancur ketinggiannya. Orang yang memakan kotoran manusia akan berbicara dengan hawa nafsu, dan merendah di hadapan manusia karena takut mereka akan menangkapnya.

Wahai saudaraku! Bila kamu menerima sesuatu dari manusia, lisanmu telah terputus. Dan, engkau telah memuliakan sebagian manusia dan merendahkan sebagaian lainnya. Padahal, ia tidak turun kepadamu pada hari kiamat. Sesungguhnya orang yang memberimu sesuatu dari hartanya, sebetulnya itu adalah kotorannya. Dan arti dari kotorannya adalah mensucikan amalnya dari dosa. Apabila engkau menerima sesuatu dari manusia, engkau akan memenuhi panggilannya bila ia mengajak kepada kemungkaran. Sesungguhnya orang yang memakan kotoran manusia seperti seseorang yang memiliki serikat terhadap sesuatu yang sudah semestinya ia membagikannya.

Wahai saudaraku! Laparlah dan sedikit beribadah itu lebih baik daripada engkau banyak beribadah tapi kenyang dengan kotoran manusia. Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Seandainya salah seorang dari kalian mengambil tali kemudian mengumpulkan sampai membelakangi punggungnya itu lebih baik daripada ia berdiri di atas kepala saudaranya, memintanya atau mengharapkannya." (HR Bukhari).

Telah sampai kepada kami bahwa Umar r.a. berkata, "Barang siapa di antara kalian yang bekerja, maka kami memujinya dan bila ia tidak bekerja, kami menuduhnya."

Ia berkata, "Wahai para pembaca! Tinggikan kepala kalian dan janganlah menambah kekhusyu'an atas apa yang ada di hati. Berlomba-lombalah dalam mencari kebaikan, dan jangan menjadi tanggungan manusia! Jalan sudah jelas."

Ali bin Abi Thalib berkata, "Sesungguhnya orang yang hidup dari tangan manusia, seperti orang yang menanam pohon di tanah orang lain."

Maka, takutlah kepada Allah wahai saudaraku, sesungguhnya tidaklah seseorang menerima dari manusia sesuatu kecuali ia menjadi hina dan rendah di sisi manusia, sementara orang Mukmin adalah saksi Allah di muka bumi.

Hendakanya kamu jangan mencari harta yang buruk, lalu menginfakkannya di dalam ketaatan kepada Allah. Sesungguhnya meninggalkannya adalah kewajiban dari Allah. Sesunggunya Allah adalah bersih dan tidak menerima, kecuali yang bersih.

Apa pendapatmu terhadap seseorang yang pakaiannya terkena air kencing kemudian mensucikannya dengan air kencing lainnya? Apakah menurutmu itu akan membersihkannya? Sekali-kali tidak! Sesungguhnya kotoran tidak bisa dibersihkan, kecuali dengan yang baik. Begitu pula kejelekan tidak akan terhapus kecuali dengan kebaikan. Sesungguhnya Allah itu bersih dan tidak menerima, kecuali yang bersih. Dan, sesungguhnya yang haram tidak akan diterima dari amal apa pun. Atau, apakah seseorang yang melakukan dosa, lalu ia menghapusnya dengan dosa? Wallahu a'lam bish-shawab.
Terakhir kali diperbaharui ( Wednesday, 12 December 2007 )

Tazkiyah yang Benar dan Penyimpangannya

Farid Achmad Okbah, M.Ag.
Monday, 15 January 2007

Banyak orang dalam mencari rizki (baca: dunia) tidak mengindahkan batasan halal dan haram. Mereka mengira bahwa kebahagian terletak pada banyaknya materi. Mereka beranggapan bahwa apabila seseorang mempunyai rumah mewah, mobil wah, perusahaan banyak, dan simpanan uang di bank yang melimpah, maka orang tersebut bisa disebut bahagia. Tapi, pada kenyataannya, orang seperti ini justru kehidupannya menderita. Sehingga, tak jarang orang itu terkena stress dari berbagai masalah yang menimpanya. Dalam kondisi seperti itu, ternyata harta tidak bisa selalu memecahkan masalah. Hanya harta yang di tangan orang yang shaleh saja yang bisa membahagiakan. Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), "Sebaik-baik harta yang baik adalah di tangan orang yang shaleh."





Ada kalanya orang menyangka bahwa jabatan atau kedudukan sosial dapat mengantarkan pada kehormatan yang dapat membahagiakan. Untuk tujuan itu, banyak orang menyuap dan berbuat apa saja agar menduduki jabatan tertentu. Mereka berasumsi bahwa tempat tersebut terhormat dan basah. Biasanya, cara perolehan jabatan seperti ini banyak menimbulkan masalah di belakang hari, terutama menjadi lahan subur bagi para penjilat dan kelompok oportunis. Bisa diduga bahwa karir itu akan berakhir dengan kekecewaan-kekecewaan sebab dibangun dengan landasan yang rapuh dan berkhianat terhadap amanat jabatan tersebut. Memang jabatan tidak selamanya membawa kebahagiaan. Bahkan, tanggung jawabnya berat sekali di hari kemudian. Rasulullah saw. bersabda kepada Abu Dzar al-Ghifari, "Apabila kamu lemah, jangan kamu memangku jabatan, karena itu adalah amanat dan akan menjadi penyesalan pada hari kiamat kelak."

Sementara itu, sebagian manusia "hidung belang" beranggapan bahwa kebahagiaan terletak pada pelampiasan nafsu kepada wanita sebanyak dan secantik mungkin. Banyak wanita yang lemah imannya jatuh ke pangkuannya. Dia bagaikan orang yang minum air laut, semakin diminum semakin haus. Tiada hentinya dia mengarungi lautan perzinaan. Banyak dari mereka yang berakhir dengan mengidap penyakit berbahaya. Demikian akibat menyalahi aturan Allah SWT. Model pemuda seperti ini pernah datang kepada Rasulullah saw. dan menyatakan bersedia memasuki pelataran Islam dengan satu syarat agar dia dibolehkan berzina karena dia merasa paling suka sama perempuan. Kemudian Rasulullah saw. membisiki telinga pemuda tadi seraya bertanya, "Apakah engkau rela ibumu dizinai orang?"
Dia menjawab, "Tidak."
"Apakah engkau rela saudaramu dizinai orang?"
Dia menjawab, "Tidak."
"Mengapa engkau rela menzinai (mungkin itu) ibunya orang, atau saudarinya orang, atau tantenya orang lain."
Karuan saja pemuda itu bergumam, "Sungguh, saya kelewatan."
Sejak itulah dia berkata, "Tidak ada perbuatan yang paling saya benci melebihi berzina."

Banyak orang menempuh berbagai cara untuk mendapatkan kebahagiaan, tapi tak mendapatkannya. Ibnu Hazm, seorang ulama hebat dari Andalusia, Spanyol, pernah mengatakan bahwa seluruh manusia berjalan ke satu arah, yaitu mengusir ketakutan untuk mencapai kebahagiaan. Karena takut miskin, manusia bekerja keras mendapatkan harta agar kaya. Karena takut bodoh, manusia mencari ilmu agar pintar. Karena takut hina, manusia mencari kedudukan agar terhormat, dan sebagainya. Tapi, cara apa pun yang ditempuh manusia untuk mendapatkan kebahagiaan tidaklah dapat terwujud kecuali dengan ad-din (agama Islam). Dengan Islam bukan saja kebahagiaan dunia yang diperoleh, tapi juga kebahagiaan di akhirat.

Pusat Kebahagiaan

Pusat kebahagiaan itu terletak di hati. Apabila hati seseorang itu dipenuhi dengan cahaya keimanan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, dia akan bahagia di dunia dan akhirat. Sebaliknya, bagi mereka yang berpaling dari jalan Allah dan mengikuti jalan lain dengan konsepsi syaitan dan konco-konconya, pasti cepat atau lambat akan mendapat kesengsaraan dunia, apalagi di akhirat. Allah SWT berfirman (yang artinya), "Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, ...." (At-Taubah: 124).

Allah hanya menerima hati yang bersih, tulus ikhlas kehidupannya, dengan berbagai variasinya dipersembahkan hanya untuk-Nya. Allah SWT berfirman, "(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (Asy-Syu'aaraa: 88-89). Karena, hati ini sebagai penggerak dan penentu kebahagiaan seseorang, maka harus diperhatikan. Seperti disinyalir Rasulullah saw., "Ketahuilah bahwa dalam jasad manusia terdapat segumpal darah, kalau dia baik seluruh jasadnya baik. Namun, apabila dia rusak, seluruh jasadnya rusak. Itulah hati." (HR Bukhari).

Sebagian ulama salaf menggambarkan bahwa hati ini seperti rumah yang mempunyai pintu dan jendela. Apabila penjagaan pintu dan jendela tidak ketat, bisa dipastikan seisi rumah akan dikuras oleh maling. Pintu dan jendela tersebut adalah mata, telinga, dan seluruh anggota tubuh. Sedangkan malingnya adalah syaitan dan kroni-kroninya. Kita berkewajiban untuk menjaga hati dan mengisinya dengan tazkiyah sesuai petunjuk Al-Qur'an dan susnah Rasulullah saw.

Perlu diketahui bahwa hati itu bekerja sesuai dengan fungsinya, sebagaimana anggota tubuh kita bekerja sesuai dengan fungsinya. Awalnya hati itu hidup. Tapi, proses berikutnya bila tidak dijaga dan diisi dengan tazkiyah, dia bisa sakit, bahkan mati. Rasulullah saw. menggambarkan hati itu dalam sabdanya, "Permisalan petunjuk dan ilmu yang ditugaskan Allah kepadaku bagaikan air hujan yang turun ke bumi. Di antaranya mengenai tanah yang subur dapat membawa air untuk manusia … bahkan pepohonan. Ada yang mengena tanah tandus dapat menahan air tapi tak dapat menghidupkan pepohonan. Ada pula tanah yang datar dapat menahan air dan tidak pula membutuhkan pepohonan. Tanah pertama seperti hatinya mukmin yang menyerap ilmu Islam serta mengaplikasikannya. Tanah kedua hatinya orang munafik yang bisa menyerap ilmu Islam tapi tidak menjalankannya. Tanah ketiga seperti hatinya orang kafir yang tidak mengindahkan ajaran orang Islam, apalagi mengamalkannya." (HR Bukhari).

Tazkiyah

Tazkiyah secara bahasa berasal dari akar kata zakaa, berarti "berkembang". Tazkiyah adalah pengembangan dan pembersihan. Sedangkan menurut epistemologi syara', tazkiyah berarti perawatan, pengembangan, dan pembersihan hati dari berbagai intrik syirik.

Rasulullah saw. selalu berdoa seperti berikut. "Ya Allah, berilah ketakwaan kepada jiwaku dan bersihkanlah. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik yang membersihkannya. Engkaulah penolong dan pemiliknya." (HR Muslim dan Ahmad).

Syariat Islam ini isinya adalah tazkiyah nufus (pembersihan jiwa). Sehingga, mereka pantas sebagai penduduk surga yang bersih. Tak ubahnya seperti pakaian yang bersih kita letakkan di almari, sementara yang kotor harus dicuci, dijemur, dan disetrika. Perhatian perintah shalat, tujuannya agar terhindar dari kekejian dan kemungkaran. "Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar." (Al-Ankabut: 45).

Rasulullah saw. bersabda, "Bagaimana pendapatmu bila di hadapan pintumu ada sungai (yang mengalir) yang dengan itu kamu sekalian mandi lima kali sehari?"
Lalu Rasulullah bersabda lagi, "Adakah tersisa daki di badannya?"
Lantas sahabat pun menjawab, "Tidak sedikit pun."
Kemudian Rasulullah pun bersabda, "Begitulah perumpamaan shalat lima waktu yang dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan (dosa-dosa)" (HR Bukhari).

Perintah zakat disebutkan Al-Qur'an: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, ...." (At-Taubah: 103).

Perintah haji disebutkan sebagai berikut. "… maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji ...." (Al-Baqarah: 197).

Demikian pula sederetan syariat Allah lainnya, semua itu bertujuan agar manusia bersih jiwanya. Itulah rahasia yang Allah tidak menjadikan di dalam diri manusia dua hati. Yaitu, apabila hati seseorang diisi dengan cinta kepada Allah, seluruh cinta yang lain akan keluar dan terikat dengan itu. Sebaliknya, hati yang diisi cinta selain Allah, seperti harta, perempuan, jabatan, dsb., maka cinta kepada Allah akan terbang. Tak heran ungkapan seorang ulama bernama Ibnu Taimiyah, "Di dunia ini ada surga, siapa yang tidak memasukinya, dia tidak akan memasuki surga akhirat."

Ia juga mengatakan, "Apa yang akan diperbuat kepadaku oleh musuh-musuhku? Surga itu milikku, ada di dadaku. Ke mana saja saya menuju, dia bersamaku, tidak berpisah. Bila aku dipenjara, itu adalah khalwat bagiku; bila dibunuh, aku mati syahid; dan bila aku diusir, kepergianku adalah darmawisata."

Cara Membersihkan Jiwa

Bagaimana cara membersihkan jiwa? Pertama, kita harus mengenal diri kita. Kedua, mengisi diri kita melewati pembersihan (tazkiyah) dengan tiga tahapan: (1) pembersihan akidah, (2) pembersihan dengan menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangannya, (3) menjalankan sunnah-sunnah Rasulullah saw.

Tiga Tahapan Pembersihan Jiwa

Adapun tiga tahapan yang harus dilalui oleh seorang Muslim yang ingin mendapatkan kebahagiaan dan ketenteraman hidupnya adalah sebagai berikut.

Tahap Pertama: Tazkiyah Melalui Pembersihan Akidah

Seluruh isi Al-Qur'an mengadung ajaran akidah yang lengkap, terdiri dari empat bagian. Pemberitahuan tentang Allah, nama dan sifatnya disebut tauhid ilmiyah teoritis. Ajakan agar penghambaan (baca: ibadah) hanya kepada Allah semata disebut dengan tauhid amaliyah praktis. Penjelasan tentang perintah dan larangan yang harus ditaati sebagai konsekuensi logis penerimaan tauhid disebut dengan hak-hak tauhid. Keterangan positif tentang hasil yang akan diperoleh pelaku tauhid di dunia maupun di akhirat dan akibat buruk bagi yang menolak atau ragu-ragu terhadap tauhid di dunia sebagai kesengsaraan dan di akhirat ke dalam api neraka.

Begitu bersih jiwa orang yang berakidah Islam yang benar sehingga dapat membuahkan kebahagiaan setiap saat. Digambarkan oleh Allah indah sekali berikut ini. "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (An-Nahl: 97).

Berbeda dengan orang yang rusak akidahnya seperti umumnya musyrikin, maka Allah menyebut mereka jiwanya kotor. "Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, ...." (At-Taubah: 28). Hal itu terjadi karena mereka banyak menzalimi dirinya karena tidak mengindahkan ajakan Sang Pencipta dirinya. "Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar." (Luqman: 13). Akibatnya, mereka berjalan di atas kesesatan. "Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya." (An-Nisaa': 116).

Di sini rahasia Rasulullah saw. mencurahkan perhatian selama tiga belas tahun saat berada di Mekah. Rasulullah saw. menggembleng para sahabat agar akidahnya murni dari intrik-intrik syirik apa pun bentuknya.

Ibnul Qayyim menggambarkan indah sekali keimanan mereka yang bersih itu. Ringkasnya, mereka adalah manusia yang hatinya diliputi dengan pengertian terhadap Allah sampai meluap rasa cintanya, rasa takut (baca: khasyah), pengagungan, dan selalu merasa dikontrol oleh Allah SWT (baca: muraqabah). Rasa cintanya telah merasuki seluruh bagian tubuhnya sampai tulang sumsumnya sampai pada tingkat melalaikan cinta selain dari pada-Nya. Tandanya, ia banyak ingat dan menyebut Allah. Seluruh harap dan cemasnya ditujukan kepada-Nya serta selalu bertawakal dan mengembalikan segala urusannya kepada Allah setelah melalui berbagai upaya dan sebab yang dibenarkan. Tak jarang ia bertaubat dan tunduk patuh keharibaannya.

Apabila dia meletakkan punggungnya di pembaringannya, jiwanya melayang ke hadirat Ilahi sambil menyebut-nyebut nama dan sifat-sifat-Nya. Dia menyaksikan asma dan sifat-Nya yang telah memerangi cahaya hatinya. Badannya di atas tempat tidur, sementara jiwanya berdarmawisata dan sujud di keharibaan Rabb yang dia cintai, penuh khusu', dan rendah hati. Hanya Allah jualah yang memenuhi seluruh kebutuhan manusia dan seluruh makhluk. Allahlah yang mengampuni dosa hambanya, menyelesaikan segala persoalannya, membahagiakan orang sedih, menolong yang lemah, memberi kekayaan dan mencukupkan orang miskin. Dialah yang mematikan dan menghidupkan, membahagiakan dan mencelakakan, menyesatkan dan memberi petunjuk, memberi kekayaan kepada segolongan manusia dan menjadikan miskin pada segolongan yang lain, mengangkat derajat suatu kaum dan menghinakan kaum yang lain, dan sebagainya.

Begitu pentingnya akidah ini sehingga harus kita pelajari secara global kemudian terinci dari sumber yang terpercaya. Ini masalah agama (baca: din) tidak boleh kita ambil dari sembarang orang, tapi harus dari yang terpercaya ilmu dan amalnya. Seperti sinyalemen Imam Malik dan Ibnu Sirin, "Ilmu ini, ilmu agama, hendaknya kamu ambil ilmu agamamu dari orang yang benar-benar kamu percayai."

Tentunya, dalam kesempatan yang terbatas ini, kami tidak mengungkapkan poin-poin dalam akidah, tetapi sebatas pembuka dan perangsang belaka agar diketahui pentingnya hal tersebut.

Tahap Kedua: Tazkiyah dengan Menjalankan Perintah dan Meninggalkan Larangan

Sebelum seseorang melakukan atau meninggalkan sesuatu, hendaknya dia tahu betul bahwa hal tersebut memang diperintah sehingga harus dikerjakan atau dilarang sehingga harus ditinggalkan. Sementara, yang sering terjadi ada orang yang menjalankan kewajiban tapi pada saat yang lain dia melakukan pelanggaran. Contohnya, berapa banyak orang yang menjalankan shalat di masjid, tapi kalau pergi ke kantor dia melakukan korupsi. Kita harus konsekuen kalau mau selamat. Kita harus melaksanakan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang. Dalam hadis qudsi, Allah SWT pernah menyatakan, Allah Taala berfirman, "Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku proklamirkan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih baik bagi-Ku daripada yang Kuwajibkan kepadanya. Senantiasa hamba-Ku mendekat kepadaku dengan mengerjakan yang sunnah-sunnah sampai Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya untuk mendengarkan, matanya untuk melihat, tangannya untuk berkreasi, dan kakinya untuk berjalan. Apabila dia meminta kepada-Ku, pasti Kuberikan. Apabila berlindung kepada-Ku, pasti Kulindungi dia. Tidaklah aku rela mengerjakan sesuatu seperti ragunya aku mengambil nyawa orang mukmin karena mati, sementara Aku tak suka menyakitinya." (HR Bukhari dan yang lainnya).

Kewajiban mengerjakan perintah Allah tidak bisa ditawar-tawar, apalagi ada anggapan pengecualian bagi orang-orang tertentu. Demikian kesalahan besar bagi orang yang mengerjakan sunnah yang banyak, tapi pada saat yang sama dia meninggalkan kewajiban. Seperti orang yang mengeluarkan sedekah tapi tidak bayar zakat. Dalam menjalankan kewajiban ini, umat Islam terbagi menjadi tiga bagian seperti disinggung Al-Qur'an.

"Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar." (Faathir: 32).

Menurut Ibnu Taimiyah, seperti halnya shalat, dhaalimun linafsihi adalah orang yang suka mengundurkan waktu salatnya. Muqtasid adalah orang yang mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Sementara saabiqun bil khairat adalah orang yang mengerjakan shalat tepat waktu, berjamaah dan mengerjakan sunnah rawatib.

Umar bin Khattab r.a. berpendapat, sebaik-baik perbuatan adalah mengerjakan yang diwajibkan Allah dan meninggalkan apa yang dilarang Allah serta berbaik niat terhadap Allah.

Ada pula orang yang mempunyai kewajiban menafkahi anak dan istri sehingga untuk itu dia matia-matian mencari rizki. Anehnya sering ia meninggalkan kewajiban lainnya seperti shalat dan yang lainnya. Tak jarang pula dia mencarinya dengan jalan tidak benar seperti riba, korupsi, dll.

Orang yang menjalankan kewajiban dengan benar, menjalankan shalat, berpuasa pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat jika mampu, menunaikan haji jika berkecukupan, dan menjalankan tanggung jawab sesama manusia, berarti orang itu telah berjalan setengah langkah menuju keselamatan, sementara setengah berikutnya menghindari hal-hal yang dilarang.

Yang perlu diingat selalu bahwa Allah SWT sayang kepada hambanya. Maka, segala sesuatu yang membahayakan atau merugikan mereka pasti dilarang, sedangkan yang baik dibolehkan. Meskipun sebagian orang tidak tahu apa hikmah pelarangan dan kebolehan sesuatu itu. Untuk hak menghalalkan dan mengharamkan hanya milik Allah SWT.

Rasulullah saw. sudah menjalankan batasan-batasan larangan Allah dalam sabda-sabdanya. Di antaranya, Dari Nu’man bin Basyir r.a. berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya ada yang samar-samar (syubhat), banyak manusia tidak mengetahuinya. Maka barang siapa menjaga dirinya dari hal yang syubhat itu berarti telah bersih agama dan kehormatannya. Sementara, orang yang terlihat dengan syubhat terjatuh ke dalam yang haram tak ubahnya seperti penggembala yang menggembalakan kambingnya di sekitar kebun orang. Lambat laun ia akan memasukinya. Ketauhilah, setiap raja meletakkan batasan larangan. Ingatlah bahwa larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkannya. Sungguh dalam tubuh manusia ada segumpal darah, kalau baik, seluruh badan baik; tapi kalau rusak, seluruh badan rusak. Itulah hati." (HR Bukhari dan Muslim).

Di antara larangan yang disebut-sebut Rasulullah saw. adalah larangan menyekutukan Allah, melawan orang tua, berdukun, menyihir, menipu, berbohong, bersaksi palsu, menyembah kuburan, sombong, dengki, bersumpah selain Allah, riya, tidak khusu' dalam shalat, mendahului imam saat shalat berjamaah, berzina, minum khamar, makan binatang buas, berjudi, menyetubuhi istri saat sedang menstruasi, makan riba, mencuri, menyuap, menyerobot tanah orang, bersumpah palsu, mengumpat, mendengarkan musik-musik, mengagungkan gambar yang bernyawa, menggunakan emas dan sutra bagi pria, menyerupai wanita, sedang wanita menyerupai pria, mengadu domba, meratapi orang mati, menato badan, dll. Semua larangan itu harus kita tinggalkan agar kita mendapat manisnya iman. Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, pasti Allah menggantinya.

Tahap Ketiga: Tazkiyah dengan Menjalankan Sunnah Rasulullah

Istilah yang dimaksud seperti sunnah ahli fiqih, yaitu amalan taat selain yang wajib, apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak terkena sangsi apa-apa.

Mengamalkan yang sunnah-sunnah setelah yang wajib itu diharapkan agar kita sampai pada derajat waliyullah, yang mendapat perlindungan dari Allah, seperti tertera dalam hadis qudsi di atas. Allah mencintai hamba yang senantiasa menjalankan sunnah Rasulullah saw.

Penyimpangan Tazkiyah

Sesudah kita membicarakan metode yang benar dalam bertazkiah, maka sebagai perbandingan, marilah kita melihat penyimpangan tazkiah. Penyimpangan tazkiah paling lengkap dilakukan oleh kalangan sufi dalam ketiga bentuk ditambah dengan metode-metode lain yang diadopsi dari sumber-sumber agama lain dan filsafat Yunani.

Istilah sufi sendiri tidak ada dalam Al-Qur'an dan hadits. Istilah itu baru muncul pada tahun 150 H ketika ada orang bernama Hasyim al-Kufi yang dijuluki sufi. Sementara, orang yang pertama kali menjalankan praktek sufi adalah Ibrahim bin Adham (wafat 161 H). Ia meninggalkan istana, mengembara dengan pakaian jubah wol mirip yang dilakukan Sidarta Gautama.

Kelompok sufi pada generasi pertama masih terikat dengan syariat Al-Qur'an dan sunnah. Mereka hanya merespon kehidupan masyarakat dan penguasa yang cenderung bermewah-mewahan.

Kemudian terjadi penyimpangan pada praktik sufi ketika Al-Husein bin Manshur al-Hallaj memploklamirkan hulul dan iltihad (wihadtul wujud) dan dikafirkan oleh ulama serta digantung di Baghdad pada tahun 309 H. Dan, dilanjutkan oleh Mahyuddin Ibnu Arabi (wafat 638 H). Puncak perkembangan tasawuf ada pada abad 9 dan 10 H.

Jadi, keyakinan sufi yang paling menyimpang adalah wihdatul wujud yang berarti keberadaan mutlak bagi suatu zat yang tinggal menjelma dalam beberapa wujud sesuai dengan keberagamaan sifatnya. Zat itu dapat terlihat oleh mereka dalam wujud apa saja dan menjelma dalam segala bentuk. Keyakinan itu berasal dari India dan Parsi.

Ritual penggemblengan jiwa model tasawuf adalah dengan amalan berupa khalwat, melepaskan diri, tidak tidur, tidak bicara, memusatkan pikiran sambil semedi hingga menyatu dengan pencipta alam (hulul).

Mereka bersiul, bertepuk tangan, dan menyanyi. Mereka meyakini kehadiran Nabi Khidir dalam kehidupan mereka. Mereka menyebut nama Allah dengan lafadz huwa-huwa atau Hu, Hu. Mereka mengharamkan yang dihalalkan Allah seperti melarang minum air dingin, tidak boleh makan daging, dan lain-lain. Mereka meyakini nur Mmuhammad sebagai tujuan Allah menciptakan makhluknya. Mereka berpatokan dengan mimpi-mimpi dalam menetapkan hukum. Mereka membagi ilmu dhahir dan batin. Dhahir adalah syariat dan batin adalah ilmu mereka. Mereka membagi agama menjadi empat tahapan: syariat, thariqat, ma'rifat, dan hakikat. Mereka mengkulutuskan kuburan-kuburan yang dianggap wali.

Demikianlah, semoga dapat memberikan gambaran perbedaan tazkiah yang benar dan yang menyimpang. Wallaahu a'lam.
Terakhir kali diperbaharui ( Wednesday, 12 December 2007 )

KONSEP METODE PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN

KONSEP METODE PENDIDIKAN DALAM AL-QUR’AN


Oleh:

Hikmatulloh, S. PdI

I. Pendahuluan

Pendidikan Islam, tentunya tidak akan terlepas dari “Panduan” ajaran Islam itu sendiri yakni al-Qur’an. Dalam konsep pendidikan Islam, maka harus melihat segala sesuatunya dari sudut al-Qur’an dan as-Sunnah.

Metode dalam pengajaran juga termasuk ke dalam kurikulum pendidikan. Dan pendidikan agama Islam, harus mengacu kepada al-Qur’an, tulisan ini berusaha menggali konsep dan asa pendidikan Islam khususnya menyangkut metode pengajaran yang ada dalam Al-Qur’an.

Sebagaimana dalam beberapa ayat al-Qur’an, metode memiliki kaitan yang amat luas. Thariqah atau metode yang digunakan tersebut, terkadang di dalam al-Qur’an, dilihat dari segi objeknya, sifatnya, fungsinya, akibatnya dan sebagainya. Hal ini berarti didalam al-Qur’an terdapat perhatian yang luar biasa tinggi. Dan dengan demikian al-Qur’an lebih menunjukannya dengan isyarat-isyarat yang memungkinkan dilakukan dan dikembangkan lebih lanjut. Akan tetapi, dalam hal ini al-Qur’an tidak menunjukan arti dari metode pendidikan secara tersurat, akan tetapi tersirat, hal ini karena memang al-Qur’an bukan ilmu pengetahuan tentang metode. Dan pemahaman sangat dituntut dalam menemukan pengertian yang macam-macam.

Dalam Bahasa Arab, kata metode diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang digunakan kata (الطريقة), (منهج), dan (الوصيلة). (الطريقة) berarti jalan, (المنهج) berarti system dan (الوصيلة) berarti mediator. Dengan demikian ata arab yang dekat dengan arti metode adalah (الطريقة). Kata serupa dengan kata (الطريقة) ini banyak dijumpai dalam al-Qur’an. kata (طريقة) diulang sebanyak 11 kali. Kata ini biasanya dihubungkan dengan objeknya yang dituju seperti menuju neraka seperti dalam an-Nisa (4); 169:

Artinya: Kecuali jalan ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.

Terkadang kata (الطريقة) juga dihubungkan dengan sifat jalan yang dituju tersebut seperti dalam Q.S. Al Ahqaf (46); 30:

Artinya: memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.

II. Pembahasan

Bertolak dari pandangan tersebut, al-Qur’an menawarkan berbagai pendekatan dan metode dalam pendidikan, yakni dalam tata cara menyampaikan materi pendidikan. Metode tersebut antara lain.

1. Metode Teladan

Dalam Q. S. Al Ahzab (33):21 Allah menyatakan bahwa:

Artinya: Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu….

Dalam al-Qur’an, kata teladan diproyeksikan dengan kata (أسرة) yang kemudian diberi kata sifat (حسنة). Kata (أسرة) diulang dalam al-Qur’an sebanyak 6 kali dengan mengambil contoh dari nabi. Dalam surat al-Ahzab diatas, merupakan bukti adanya metode keteladanan dalam pengajaran. Muhammad Qutb misalnya, mengisyaratkan bahwa di dalam Nabi Muhammad adalah contoh yang baik dan ini merupakan suatu metodologi dalam pengajaran. Bahwa harus mancontoh Nabi baik segi akhlak dalam bermasyarakat maupun dalam beribadah kepada Allah.

Lebih lanjut, al-Qur’an menjelaskan Akhlak nabi Muhammad dalam bentuk tingkah laku. Misalnya dalam surat al Fatr (48): 29:


Artinya: Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.

Hal ini menandakan bahwa dalam dunia pendidikan seorang figur yang baik harus ada. Dalam hal ini tentunya seorang guru harus memiliki figur yang baik yang mana bisa di contoh oleh murid atau anak didiknya.

2. Metode Kisah-kisah

Sidalam al-Qur’an selain terdapat nama suatu surat, yaitu surat al-Qasas yang berarti cerita-cerita atau kisah-kisah, juga kata kisah tersebut diulang sebanyak 44 kali. Quraishihab pernah meneliti, bahwa mengemukakan kisah dalam al-Qur’an tidak segan-segan untuk mengatakan atau memberitahukan “kelemahan Manusiawi”.

Kisah-kisah sebagai metode pendidikan, tenyata memiliki daya tarik yang dapat menyentuh perasaan. Islam menyadari sifat alamiah tersebut, dan menyadari pengaruhnya yang sangat besar.

Sebagai contoh, dalam Q.S Al Qashash () 76-81, Allah memberi pelajaran contoh orang yang tercela:


Artinya: (76). Sesungguhnya Karun adalah Termasuk kaum Musa, Maka ia Berlaku aniaya terhadap mereka, dan Kami telah menganugerahkan kepadanya perbendaharaan harta yang kunci-kuncinya sungguh berat dipikul oleh sejumlah orang yang kuat-kuat. (ingatlah) ketika kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri". (77). Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (78). Karun berkata: "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku". dan Apakah ia tidak mengetahui, bahwasanya Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu, tentang dosa-dosa mereka.(79). Maka keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya. berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; Sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar".(80). Berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar".(81). Maka Kami benamkanlah Karun beserta rumahnya ke dalam bumi. Maka tidak ada baginya suatu golonganpun yang menolongnya terhadap azab Allah. dan Tiadalah ia Termasuk orang-orang (yang dapat) membela (dirinya).

Cerita ataupun kisah sebagaimana di atas bisa dijadikan contoh dari teknik pendidikan. Allah menggunakan berbagai cerita; cerita sejarah faktual yang menampilkan suatu tokoh kehidupan manusia yang dimaksudkan agar manusia bisa berfikir dan mengambil pelajaran dari kisah tersebut.

Untuk maksud dan tujuan cerita tersebut, al-Qur'an mengungkapkan sebanyak 44 kali seperti diatas. Sebagaimana dalam Q.S. al-Baqarah (2): 30-39 misalnya berisi tentang dialog antara Allah dan Malaikat.


Artinya: (30). Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (31). Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!” (32). Mereka menjawab: “Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (33). Allah berfirman: “Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka Nama-nama benda ini.” Maka setelah diberitahukannya kepada mereka Nama-nama benda itu, Allah berfirman: “Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan?” (34). Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: “Sujudlah kamu kepada Adam,” Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir. (35). Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang zalim. (36). Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari Keadaan semula dan Kami berfirman: “Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan.” (37). Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (38). Kami berfirman: “Turunlah kamu semuanya dari surga itu! kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, Maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. (39). Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Dalam kisah ini, Allah bermaksud mengungkapkan bahwa khaligah dimuka bumi ini adalah dari jenis manusia. Manusia dengan sikap protes kurang sejalan dengan kehendak Allah. Akan tetapi setalah manusia diberi pengajaran oleh Allah barulah malaikat mengikuti kekhalifahan. Hal ini dikarenakan manusia memiliki potensi untuk dididik sehingga dapat tampil sebagai pemimpin dimuka bumi.

Demikian adalah contoh dari kisah yang dapat diangkat menjadi metode pengajaran dalam pendidikan Islam. Pendidik dapat menggali hikmah dibalik kisah tersebut dan menyampaikainya kepada peserta didik. Dan kedua kisah diatas adalah contoh metode pendidikan Allah melalui kisah al-Qur’an dalam aspek keimanan dan akhlak.

3. Metode Nasihat

Al-Qur’an juga menggunakan kalimat-kalimat yang menyentuh hati untuk mengarahkan manusia kepada ide yang dikehendakinya. Hal demikian kemudian dikenal dengan nasihat. Akan tetapi nasihat yang disampaikannya selalu disertai dengan panutan/teladan si pemberi atau penyampai nasihat tersebut.

Di dalam al-Qur’an kata-kata nasihat diulang sebanyak 13 ayat dalam 7 surat. Diantara ayat-ayat tersebut ada yang berkaitan dengan nasihat para nabi terhadap kaumnya. Sebagaimana Nabi Saleh menasihati kaumnya dalam Q.S. al-A’raf (7):79


Artinya: 79. Maka Shaleh meninggalkan mereka seraya berkata: “Hai kaumku Sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat”.

Pada ayat ini, nasihat diberikan kepada satu kaum yang terlihat melanggar perintah Allah. Kaum tersebut terkena bencana karena tidak mengindahkan nasihat tersebut. Nasihat pada umumnya diberikan kepada orang yang menyimpang. Jika nasihat ini dikaitkan dengan dengan metode, maka menurut al-Qur’an metode itu hanya diberikan kepada mereka yang melanggar peraturan, . dengan demikian, metode nasihat tampaknya lebih ditunjukan kepada murid-murid atau peserta didik yang malanggar peraturan. Ini menunjukan dasar fisikologis yang kuat karena pada umumnya orang tidak menyenangi nasihat, apalagi apabila nasihat itu ditunjukan kepada pribadi tertentu.

Nasihat juga menunjukan perbedaan antara yang memberi nasihat dengan yang dinasihati. Yang menasihati berada pada posisi lebih tinggi. Lebih-lebih bila nasihat tersebut datang dari orang yang tidak disukai, maka tidak akan banyak artinya. Berbeda bila nasihat diberikan oleh orang yang disukai secara obyaktif, mereka justru meminta nasihat atau lebih senang dinasihati. Nampaknya nasihat harus lebih dahulu didasarkan kepada kepribadian pemberi nasihat.

Q.S. al-Aaraf (7):79

Artinya: 93. Maka Syu’aib meninggalkan mereka seraya berkata: “Hai kaumku, Sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat-amanat Tuhanku dan aku telah memberi nasehat kepadamu. Maka bagaimana aku akan bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir?”

Inti dari persoalan ayat ini sama dengan ayat sebelumnya. Perbedaan terletak pada yang memberi nasihat, yaitu Nabi Syu’aeb. Hal serupa juga dapat dijumpai pada Q.S (28); (20); (7); (29) dan ; (79).

Nasihat juga bisa datang dari bawah ke atas dengan dua kemungkinan. Kemungkinan pertama yang menasihati lebih baik dari yang dinasihati, seperti nabi Ibrahim menasihati ayahnya, azar yang menyembah dan pembuat berhala. Yang kedua, yang menasihati lebih buruk dari yang dinasihati, seperti putra putri nabi Yakub yang berniat jahat pada saudaranya nabi Yusuf. Q. S. (12): 11:


Artinya: 11. Mereka berkata: “Wahai ayah Kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai Kami terhadap Yusuf, Padahal Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya.

Dengan demikian nasihat, bisa saja digunakan untuk tujuan-tujuan kurang baik, namun ini jarang terjadi. Yang banyak dilakukan adalah nasihat tersebut sasarannya adalah timbulnya kesadaran pada orang yang dinasihati. Ini bisa dilihat pada apa yang dilakukan oleh Lukmanul Hakim kepada putranya: Q.S. Luqman ():13-19:

Artinya (13). Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar”.

14. Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

15. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.

16. (Luqman berkata): “Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.

17. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).

18. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.

19. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.

Dari uraian diatas sudah jelas bahwa al-Qur’an secara eksplisit menggunakan nasihat sebagai salah satu cara untuk menyampaikan suatu ajaran. Karenanya sebagai metode pengajaran, nasihat dapat dilakukan.

III. Kesimpulan

Di dalam al-Qur’an sangat banyak sekali metode pengajaran yang Allah contohkan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh yang terdapat di atas.

Al-Qur’an sebagai kitab suci tidak akan pernah habis digali isinya. Demikian juga mengenai masalah metode pendidikan Islam ini masih bisa dikembangkan lebih lanjut.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam pendidikan Islam atau tarbiyah Islamiyah, masalah metode mendapat perhatian yang sangat besar. Al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumbangan ajaran Islam berisi prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk yang dapat difahami dan diinterpretasikan menjadi konsep metode yang bisa diterapkan.

Written by aa_Hikmat

Nopember 25, 2008 pada 3:45 am

Posted in 1 pendidikan

Tagged with 1 pendidikan, Add new tag, al-Qir'an, Filsafat Pendidikan, Hikmatulloh, pendidikan agama, transmisi keilmuan

copyrd by http://ahikmat.wordpress.com

TIGA WASIAT PENTING RASULULLAH SAW

TIGA WASIAT PENTING RASULULLAH SAW


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ بِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ [رواه البخاري ومسلم]

Artinya: “Abu Hurairah berkata: ‘Kekasihku, Rasulullah saw telah berwasiat kepadaku tiga perkara: pertama agar selalu melakukan puasa tiga hari setiap bulan, kedua, agar melakukan shalat Dhuha dua rakaat dan ketiga, agar aku selalu melakukan shala witir sebelum tidur” (HR. Bukhari).

Dalam hadits di atas, Rasulullah saw berwasiat kepada Abu Hurairah akan tiga hal. Tidak semata-mata Rasulullah saw mewasiatkannya melainkan menunjukkan ketiga hal tersebut sangat penting. Bahkan, dalam hadits lain masih riwayat Imam Bukhari, Abu Hurairah menambahkan kata-kata: “Kekasihku, Rasulullah saw, telah berwasiat tiga hal kepadaku dan aku tidak akan meninggalkannya sampai meninggal dunia nanti……” (HR. Bukhari).

Berkaitan dengan riwayat tersebut, Ibnu Hajar al-Asqalany dalam bukunya Fathul Bari mengatakan: bahwa jumlah kata: ‘Aku tidak akan meninggalkannya sampai meninggal dunia nanti’ merupakan isi wasiat Rasulullah saw. Artinya, lanjut Ibnu Hajar, Rasulullah saw berwasiat kepada Abu Hurairah tiga hal agar tidak ditinggalkan satu kalipun sampai ajal Abu Hurairah tiba.

Lalu, bukankah dalam hadits di atas disebutkan bahwa wasiat tersebut hanya untuk Abu Hurairah, dan apakah itu juga berarti wasiat untuk kita semua? Jawabannya iya. Sekalipun redaksi haditsnya ditujukan untuk Abu Hurairah, akan tetapi hukumnya berlaku untuk umum, untuk kita semua. Karena petunjuk kepada salah seorang sahabat, merupakan petunjuk juga untuk semua orang selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Oleh karena itu, wasiat di atas hakikatnya ditujukkan untuk kita semua juga.

Untuk lebih jelas dan detailnya, berikut ini penulis mencoba menjelaskan satu persatu dari tiga wasiat di atas, sehingga lebih jelas dan dapat dengan mudah diamalkan.

1. Puasa tiga hari setiap bulan

Puasa merupakan di antara amal ibadah yang sangat mulia dan utama. Banyak sekali hadits-hadits Rasulullah saw yang menceritakan keutamaan puasa ini. Di antara keutamaannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah saw, adalah bahwa puasa dapat menjauhkan pelakunya dari api neraka, puasa juga merupakan di antara cara efektif seseorang dapat masuk ke dalam surga, dan puasa merupakan di antara pemberi syafa’at (penolong) kelak di hari Kiamat. Rasulullah saw dalam hal ini bersabda:

عن أبي سعيد الخدرى قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((ما من عبد يصوم يوما فى سبيل الله إلا باعد الله بذلك وجهه عن النار سبعين خريفا)) [رواه البخارى ومسلم]

Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada seorang hamba pun yang berpuasa sekalipun satu hari di jalan Allah, kecuali Allah akan menjauhkan dirinya dari siksa api neraka sebanyak tujuh puluh kharif (tujuh puluh kharif maksudnya adalah sejauh perjalanan yang menghabiskan masa tujuh puluh tahun)" (HR. Bukhari Muslim).

عن أبي أمامة عنه قال: قلت يا رسول الله, دلنى على عمل أدخل به الجنة, قال: ((عليك بالصوم, لا مثل له)) [رواه النسائى وابن حبان والحاكم]

Artinya: "Abu Umamah berkata: "Saya bertanya kepada Rasulullah saw: 'Wahai Rasulullah saw, tunjukkan kepada saya sebuah amal perbuatan yang dapat memasukkan saya ke dalam surga". Rasulullah saw menjawab: "Berpuasalah, karena tidak ada amalan yang sebanding pahalanya dengan puasa" (HR. Nasai, Ibn Majah dan Hakim).

عن عبد الله بن عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((الصيام والقرآن يشفعان للعبد يوم القيامة, يقول الصيام: أي رب منعته الطعام والشهوة, فشفعنى فيه, ويقول القرآن: منعته النوم بالليل, فشفعنى فيه, قال: فيشفعان)) [رواه أحمد والحاكم]

Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Puasa dan (rajin membaca) al-Qur'an, kelak pada hari Kiamat dapat memberikan syafaat (pertolongan) kepada hamba. Puasa kelak akan berkata: "Ya Allah, ia telah menahan dirinya dari makanan dan hawa nafsunya, maka jadikanlah saya sebagai penolongnya". Al-Qur'an juga kelak akan berkata: "Ya Allah, ia telah rela meluangkan waktunya untuk tidak tidur pada malam hari (karena membaca al-Qur'an), maka jadikanlah saya sebagai penolongnya (pemberi syafa'at)". Lalu puasa dan al-Qur'an pun, berkat idzinNya, menjadi penolong bagi hamba tersebut" (HR. Ahmad dan Hakim).

Di antara puasa yang disunnahkan oleh Rasulullah saw adalah puasa tiga hari setiap bulan Islam. Maksud dari bulan Islam adalah bulan Muharram, Shafar, Rabiul Awwal, dan seterusnya, bukan bulan Januari, Februari dan seterusnya.

Di antara keutamaan puasa tiga hari setiap bulan Islam ini adalah bahwa pahalanya sama dengan orang yang melakukan puasa selama satu tahun penuh. Rasulullah saw dalam hal ini bersabda:

عن أبي قتادة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((ثلاث من كل شهر, ورمضان إلى رمضان, فهذا صيام الدهر كله)) [رواه مسلم]

Artinya: “Dari Abu Dzar bahwasannya Rasulullah saw bersabda: “Puasa tiga hari setiap bulan, dan puasa Ramadhan ke Ramadhan lainnya, (pahalanya) sama dengan puasa satu tahun penuh” (HR. Muslim).

عن أبي ذر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ((من صام ثلاثة أيام من كل شهر فقد صام الدهر كله)) [رواه أحمد بإسناد صحيح]

Artinya: “Dari Abu Dzar, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang melakukan puasa tiga hari setiap bulan, maka sungguh (pahalanya) ia telah berpuasa satu tahun penuh” (HR. Ahmad, dengan sanad Shahih).

Lalu, apa yang dimaksud dengan puasa tiga hari tersebut? Imam Ibnu Hajar al-Asqalany dalam bukunya Fathul Bari, ketika menjelaskan hadits di atas, beliau mengatakan, bahwa para ulama berbeda pendapat tentang kapan dan apa maksud dari tiga hari tersebut. Menurut catatan Ibnu Hajar, para ulama dalam hal ini terbagi kepada sepuluh pendapat:

Pendapat pertama, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan puasa tiga hari setiap bulan itu tidak dalam hari tertentu dan tidak boleh menentukan hari tertentu juga. Artinya, yang penting dia berpuasa selama tiga hari setiap bulan, dan pada hari atau tanggal apa saja terserah yang bersangkutan. Misalnya, dia puasa tanggal, 1, 6 dan 12, lalu pada bulan berikutnya, tanggal 4, 9 dan 23 dan seterusnya. Hal demikian adalah sah-sah saja. Bahkan, apabila seseorang menentukan waktu tertentu untuk puasa tiga hari setiap bulannya, misalnya setiap tanggal 1, 10 dan 20, maka hukumnya makruh (dibenci). Pendapat ini, menurut Ibnu Hajar, merupakan pendapat Imam Malik.

Pendapat kedua, bahwa yang dimaksud dengan puasa tiga hari setiap bulan itu adalah puasa tiga hari pertama setiap bulan, yaitu setiap tanggal 1, 2 dan 3 setiap bulannya. Pendapat ini merupakan pendapatnya Imam Hasan al-Bashri.

Pendapat ketiga, mengatakan bahwa puasa tiga hari dimaksud adalah setiap tanggal 12, 13 dan 14 setiap bulannya.

Pendapat keempat, mengatakan setiap tanggal 13, 14 dan 15, atau yang sering disebut dengan puasa bidh (puasa bulan purnama) di mana bulan sedang memancarkan cahayanya dengan terang. Pendapat keempat ini berdasarkan hadits di bawah ini:

عن أبي ذر الغفاري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ((يا أبا ذر, إذا صمت من الشهر ثلاثة أيام, فصم ثلاث عشرة, وأربع عشرة, وخمس عشرة)) [رواه الترمذي والنسائي وصححه الألباني]

Artinya: “Dari Abu Dzar, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: ‘Wahai Abu Dzar, apabila kamu puasa tiga hari setiap bulan, puasalah pada tanggal 13, 14 dan 15” (HR. Turmudzi, Nasai dan hadits tersebut dinilai Shahih oleh Albany).

Pendapat kelima, puasa tiga hari dimaksud adalah dimulai pada hari Sabtu pertama, kemudian hari Ahad dan Senin. Lalu, pada bulan berikutnya, dimulai dari hari Selasa pertama, kemudian Rabu, dan Kamis. Pada bulan berikutnya dimulai dari hari Jum’at pertama, kemudian Sabtu dan Ahad. Pada bulan berikutnya dimulai dari hari Senin pertama, kemudian hari Selasa dan Rabu, demikian seterusnya. Pendapat ini disandarkan kepada pendapat Siti Aisyah.

Pendapat keenam, puasa tiga hari dimaksud adalah hari Kamis pertama, kemudian hari Senin, kemudian hari Kamis lagi. Hal ini berdasarkan hadits di bawah ini:

Pendapat ketujuh, dimulai dari hari Senin pertama, kemudian Kamis lalu Senin lagi.

Pendapat kedelapan, dan pendapat ini merupakan pendapatnya Abu Darda, puasa tiga hari dimaksud adalah tanggal 1, tanggal 10 dan tanggal 20 setiap bulannya.

Pendapat kesembilan, yang dimaksud dengan tiga hari dimaksud adalah puasa tanggal 1, tanggal 11 dan tanggal 21 setiap bulannya. Pendapat ini disandarkan kepada pendapat Ibnu Sya’ban al-Maliky.

Pendapat kesepuluh, dan pendapat ini merupakan pendapat Imam an-Nakha’i, bahwa yang dimaksud dengan puasa tiga hari itu adalah tiga hari terakhir setiap bulannya. Apabila dalam satu bulan itu ada 30 hari, maka puasa dimaksud adalah tanggal 28, 29 dan 30. Apabila dalam satu bulannya ada 29 hari, maka puasanya tanggal 27, 28 dan 29. Dengan catatan, sekali lagi, bulan yang dipakai adalah bulan Islam (bulan Hijriyyah) bukan bulan Masehi (bukan bulan Januari, Februari dan seterusnya).

Lalu, dari sepuluh pendapat di atas, pendapat mana yang paling kuat dan dapat diambil? Para ulama dalam hal ini mengatakan, seseorang dapat mengambil hari dan tanggal apa saja, yang penting tiga hari setiap bulannya. Baik ketiga hari tersebut tertentu, misalnya 13, 14, dan tanggal 15 setiap bulan, maupun tidak tertentu, misalnya bulan ini puasa tanggal 1, 2 dan 3, bulan depan tanggal 10, 20 dan 30 dan seterusnya. Selama puasanya tiga hari dalam setiap bulan, maka sudah dipandang cukup. Hal ini mengingat dalam banyak hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw tidak tertentu berpuasanya, terkadang hari Kamis, Senin dan Senin lagi, dan terkadang hari lainnya.

Sebuah hadits dari Ummu Salamah misalnya menjelaskan hal itu:

عن أم سلمة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم من كل شهر يوم الخميس ويوم الإثنين من هذه الجمعة, والإثنين من المقبلة [رواه النسائي وحسنه الألباني]

Artinya: “Ummu Salamah berkata: “Rasulullah saw biasa berpuasa setiap bulannya, hari Kamis, Senin dan hari Senin minggu berikutnya” (HR. Nasai, dan hadits tersebut dinilai Hasan oleh Albany).

Bahkan, dalam hadits di bawah ini, lebih jelas lagi akan kebolehan melakukan puasa pada hari apa saja dan pada tanggal berapa saja, selama tiga hari dalam setiap bulan:

عن عائشة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم ثلاثة أيام من كل شهر. فقيل لها: من أيه؟ قالت: لم يكن يبالي من أيه كان [رواه أحمد بإسناد صحيح وابن ماجه]

Artinya: “Aisyah berkata: “Adalah Rasulullah saw senantiasa puasa tiga hari setiap bulannya”. Lalu ditanyakan kepada Aisyah: “Hari apa saja yang tiga itu?” Aisyah menjawab: ‘Rasulullah saw tidak memperdulikan hari apanya (maksudnya, tidak menentukan hari tertentu, yang penting tiga hari setiap bulan)” (HR. Ahmad dengan sanad Shahih, dan Ibnu Majah).

2. Melaksanakan Shalat Dluha

Shalat Dluha termasuk shalat sunnat yang sangat dianjurkan. Para ulama menghukuminya sebagai shalat Sunnat Mu’akkadah, artinya shalat sunnat yang sangat dianjurkan dan hukumnya berada sedikiti di bawah wajib.

Di antara keutamaan dan kelebihan shalat Dluha adalah sebagai berikut:

1) Ada dua shalat sunnat, hemat penulis, yang pernah diwajibkan kepada Rasulullah saw, yaitu shalat Dluha dan Tahajud. Tidak semata-mata Allah mewajibkan kedua shalat sunnat tersebut kepada Rasulullah saw melainkan karena penting dan keutamaan dua shalat dimaksud.

Dalil bahwa shalat Tahajud pernah diwajibkan kepada Rasulullah saw adalah dalam al-Qur’an surat al-Muzammil ayat 1-4. Sementara dalil bahwa shalat Dluha pernah diwajibkan kepada Rasulullah saw adalah hadits di bawah ini:

عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((كتب علي النحر ولم يكتب عليكم, وأمرت بركعتي الضحى ولم تؤمروا بها)) [رواه أحمد]

Artinya: “Dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda: “Kurban wajib bagi saya, namun bagi kalian tidak, demikian juga shalat Dluha dua rakaat, sementara kalian tidak diwajibkan”.

Hanya saja, sebagian ulama menilai hadits tersebut Dhaif (lemah), mengingat banyak hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw terkadang melakukan shalat Dluha dan terkadang pula meninggalkannya. Ini artinya, menurut sebagian ulama, bahwa shalat Dluha tidak wajib bagi Rasulullah saw.

Hemat penulis, kedua pendapat tersebut tidak bertentangan dan dapat digabungkan satu sama lain. Shalat Dluha pernah diwajibkan kepada Rasulullah saw, kemudian kewajibannya ini dihapuskan. Karena itu, Hadits yang mengatakan bahwa shalat Dluha wajib bagi Rasulullah saw, itu pada waktu belum dihapuskan kewajibannya.

Sedangkan hadits yang mengatakan bahwa Rasulullah saw terkadang melaksanakannya dan terkadang pula meninggalkannya, dating setelah kewajiban tersebut dihapus. Namun terlepas dari itu semua, dengan dipilihnya shalat Dluha sebagai shalat yang wajib kepada Rasulullah saw, menunjukkan bahwa shalat Dluha ini memiliki keutamaan tersendiri.

2) Shalat Dluha juga merupakan di antara shalat dimana waktu pelaksanaannya disebutkan dalam al-Qur’an, bahkan Allah bersumpah dengan waktunya. Ada tiga waktu, hemat penulis, di mana Allah dalam al-Qur’an bersumpah dengan tiga waktu ini, yaitu waktu Dluha (surat adh-Dluha ayat 1), waktu Ashar (surat al-‘Ashr ayat 1, sebagian ahli tafsir sebagaimana diungkapkan oleh Imam ar-Razi dalam tafsirnya, Mafatihul Ghaib mengatakan bahwa ada banyak ulama yang mengartikan kata ‘ashr dalam ayat dimaksud adalah waktu Ashar, bukan waktu dalam pengertian umum), dan waktu Fajar (surat al-Fajr ayat 1). TIdak semata-mata Allah bersumpah dengan tiga waktu ini, melainkan ada keutamaan tersendiri dari tiga waktu dimaksud.

Bahkan, dalam tiga waktu di atas, Allah mensyariatkan shalat yang kemudian shalat ini disebut dengan nama waktunya, Shalat Dluha, Shalat, Shalat Ashar dan Shalat Fajar (Shalat Shubuh). Dan, hemat penulis, hanya tiga waktu dan tiga shalat inilah yang disebutkan dalam al-Qur’an dimana Allah bersumpah dengan ketiga waktu di atas. Ada satu shalat lagi, yaitu Shalat Tahajud yang juga disebutkan oleh Allah dalam al-Qur’an, hanya Allah tidak bersumpah dengan waktunya (QS. Al-Isra ayat 79).

3) Shalat Dluha merupakan shadaqahnya 360 sendi tulang dalam tubuh manusia. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah saw dalam hadits di bawah ini:

عن أبي ذر, عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((يصبح على كل سلامى من أحدكم صدقة, فكل تسبيحة صدقة, وكل تحميدة صدقة, وكل تهليلة صدقة, وكل تكبيرة صدقة, وأمر بالمعروف صدقة, ونهي عن المنكر صدقة, ويجزئ من ذلك ركعتان يركعهما من الضحى)) [رواه مسلم]

Artinya: "Dari Abu Dzar, Rasulullah saw bersabda: "Hendaklah setiap tulang-tulang kalian bersedekah, setiap ucapan tasbih (subhanallah) adalah shadaqah, setiap ucapan tahmid (alhamdulillah) adalah shadaqah, setiap ucapan tahlil (laa ilaaha illallaah) adalah shadaqah, setiap ucapan takbir (Allahu Akbar) adalah shadaqah, mengajak kepada kebaikan adalah shadaqah, mencegah kemungkaran adalah shadaqah. Semua yang disebutkan di atas tersebut dapat diraih (pahalanya) hanya dengan melakukan shalat Dluha dua rakaat" (HR. Muslim).

عن بريدة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:((فى الإنسان ستون وثلاثمائة مفصل, عليه أن يتصدق عن كل مفصل منها صدقة)) قالوا: فمن الذى يطيق يا رسول الله؟ قال: ((النخامة فى المسجد يدفنها, أو الشيئ ينحيه عن الطريق, فإن لم يقدر فركعتا الضحى تجزئ عنه)) [رواه أبو داود وأحمد والحديث صحيح]

Artinya: "Dari Buraidah, Rasulullah saw bersabda: "Pada tubuh manusia itu terdapat tiga ratus enam puluh buah sendi-sendi tulang. Setiap sendi tulang tersebut hendaknya dapat melakukan satu shadaqah". Para sahabat lalu bertanya: "Siapakah orang yang dapat melakukan hal itu wahai Rasulullah saw?" Rasulullah saw bersabda: "Yaitu orang yang mengubur (membersihkan) dahak yang berada di dalam mesjid, atau orang yang menyingkirkan duri dan sejenisnya dari tengah jalan. Apabila tidak mampu melakukan hal itu, maka cukup kamu melaksanakan shalat Dluha dua rakaat" (HR. Abu Dawud dan Imam Ahmad, serta haditsnya Shahih).

3) Melakukan shalat Dluha merupakan di antara ciri orang yang tunduk dan bertakwa kepada Allah. Rasulullah saw bersabda:

عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((لا يحافظ على صلاة الضحى إلا أواب)) قال: ((وهي صلاة الأوبين)) [رواه ابن خزيمة والحاكم والحديث حسن].

Artinya: "Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada yang selalu menjaga untuk melakukan shalat Dluha, melainkan orang yang kembali (kepada kebaikan). Dalam riwayat lain dikatakan: "Shalat Dluha itu adalah shalatnya orang-orang yang kembali kepada kebenaran" (HR. Ibn Khuzaemah dan Imam Hakim, serta haditsnya hadits Hasan).

Kapan waktu melaksanakannya?

Para ulama berpendapat bahwa waktu pelaksanaan shalat Dluha adalah setelah matahari terbit sampai matahari tergelincir sedikit (zawal, atau sebelum waktu Dluhur). Di antara dalilnya adalah:

عن أنس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من صلى الغداة فى جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس, ثم صلى ركعتين, كانت له كأجر حجة وعمرة تامة, تامة, تامة)) [أخرجه الترمذى والحديث حسن]

Artinya: "Anas berkata, Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang melakukan shalat Shubuh berjamaah, lalu duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit, lalu shalat dua rakaat, maka pahalanya sama dengan pahala melakukan Haji dan Umrah secara sempurna, secara sempurna, secara sempurna" (HR. Turmudzi dan haditsnya Hasan).

Sedangkan mengapa waktu paling akhir pelaksanaanya adalah ketika matahari tergelincir sedikit (zawal, sebelum Dluhur), karena sesuai dengan namanya yakni Dluha, yang berarti waktu sebelum matahari tergelincir. Demikian menurut para ulama Fiqih.

Dari waktu pelaksanaan tadi, terdapat waktu yang paling utama (afdhal) untuk melakukannya, yaitu pada waktu panas matahari sudah mulai memanas (sekitar jam 08.00 atau 08.30 pagi). Hal ini didasarkan kepada hadits di bawah ini:

عن زيد بن أرقم أنه رأى قوما يصلون من الضحى, فقال: أما لقد علموا أن الصلاة فى غير هذه الساعة أفضل, إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ((صلاة الأوبين حين ترمض الفصال)) [رواه مسلم]

Artinya: "Dari Zaid bin Arqam bahwasannya ia melihat sekelompok orang melakukan shalat Dluha. Zaid berkata: "Kalau seandainya kalian mengetahui bahwa waktu paling utama untuk melakukan shalat Dluha adalah bukan waktu ini. Rasulullah saw pernah bersabda: "Shalat orang-orang yang bertaubat (shalat Dluha) itu (sebaiknya dilakukan) ketika anak-anak unta mulai merasakan panasnya terik matahari" (HR. Muslim).

Jumlah rakaatnya

Shalat Dluha paling sedikit dilakukan dua rakaat, dan paling banyaknya dilakukan dua belas rakaat. Selain jumlah di atas, shalat Dluha juga dapat dilakukan dalam jumlah empat, enam dan delapan rakaat. Apabila anda hendak melakukannya dalam jumlah empat, enam, delapan atau dua belas rakaat, maka lakukanlah dua rakaat-dua rakaat. Artinya, setelah dua rakaat anda salam, kemudian bangun lagi dan shalat kembali dua rakaat. Demikian seterusnya. Hal ini didasarkan kepada hadits di bawah ini:

عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((صلاة الليل والنهار مثنى مثنى)) [رواه النسائى وابن ماجه والحديث صححه الألبانى]

Artinya: "Dari Ibnu Umar, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: "Shalat malam dan shalat siang itu hendaknya dilakukan dua rakaat-dua rakaat" (HR. Nasai dan Ibnu Majar. Hadits tersebut dipandang shahih oleh Imam al-Bani).

Dalil bahwa shalat Dluha dapat dilakukan dua rakaat adalah hadits di bawah ini:

عن أبي ذر, عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((يصبح على كل سلامى من أحدكم صدقة, فكل تسبيحة صدقة, وكل تحميدة صدقة, وكل تهليلة صدقة, وكل تكبيرة صدقة, وأمر بالمعروف صدقة, ونهي عن المنكر صدقة, ويجزئ من ذلك ركعتان يركعهما من الضحى)) [رواه مسلم]

Artinya: "Dari Abu Dzar, Rasulullah saw bersabda: "Hendaklah setiap tulang-tulang kalian bersedekah, setiap ucapan tasbih (subhanallah) adalah shadaqah, setiap ucapan tahmid (alhamdulillah) adalah shadaqah, setiap ucapan tahlil (laa ilaaha illallaah) adalah shadaqah, setiap ucapan takbir (Allahu Akbar) adalah shadaqah, mengajak kepada kebaikan adalah shadaqah, mencegah kemungkaran adalah shadaqah. Semua yang disebutkan di atas tersebut dapat diraih (pahalanya) hanya dengan melakukan shalat Dluha dua rakaat" (HR. Muslim).

Dalil bahwa shalat Dluha dapat dilakukan empat rakaat adalah:

عن أبي الدرداء وأبي ذر, عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: ((يقول الله عز وجل: ابن أدم! اركع لي من أول النهار أربع ركعات, أكفك آخره)) [رواه الترمذى والحديث حسن]

Artinya: "Dari Abu Darda dan Abu Dzar, Rasulullah saw bersabda: "Allah swt berfirman: 'Wahai keturunan Adam, shalatlah untukku empat rakaat pada permulaan siang, niscaya saya cukupkan akhir siangnya" (HR. Turmudzi dan haditsnya Hasan).

Dalil shalat Dluha dapat dilakukan enam rakaat:

عن أنس بن مالك, أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلى الضحى ست ركعات [رواه الترمذى والحديث صحيح لغيره].

Artinya: "Dari Anas bin Malik, bahwasannya Rasulullah saw melakukan shalat Dluha enam rakaat" (HR. Turmudzi dan haditsnya Shahih Lighairihi).

Dalil shalat Dluha dapat dilakukan delapan rakaat adalah:

عن أم هانئ قالت: لما كان عام الفتح, أتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو بأعلى مكة, قام رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى غسله, فسترت عليه فاطمة, ثم أخذ ثوبه, فالتحف به, ثم صلى ثمان ركعات سبحة الضحى [رواه البخارى ومسلم]

Artinya: "Ummu Hani' berkata: "Pada saat penaklukan kota Mekah, saya datang menghadap Rasulullah saw dan beliau sedang berada di ujung kota Mekah. Rasulullah saw lalu berdiri menuju tempat mandinya dan Fatimah menutupinya, lalu beliau mengambil pakaiannya dan memakainya kemudian Rasulullah saw melakukan shalat Dluha sebanyak delapan rakaat" (HR. Bukhari Muslim).

Sedangkan dalil bolehnya dilakukan dua belas rakaat adalah hadits di bawah ini:

عن أبي الدرداء قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من صلى الضحى ركعتين, لم يكتب من الغافلين, ومن صلى أربعا, كتب من العابدين, ومن صلى ستا, كفي ذلك اليوم, ومن صلى ثمانيا, كتبه الله من القانتين, ومن صلى ثنتى عشرة ركعة, بنى الله له بيتا فى الجنة, وما من يوم ولا ليلة إلا لله من يمن به على عباده صدقة, وما من الله على أحد من عباده أفضل من أن يلهمه ذكره)) [رواه الطبرانى والحديث حسن]

Artinya: "Abu Darda berkata, Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang melakukan shalat Dluha dua rakaat, maka ia tidak akan tercatat sebagai orang yang lalai. Barangsiapa yang shalat Dluhanya empat rakaat, maka ia termasuk orang yang ahli beribadah. Siapa yang shalat Dluhanya enam rakaat, maka Allah akan cukupkan (kebaikan) baginya untuk hari itu. Barangsiapa yang shalat Dluha delapan rakaat, Allah akan mencatatnya sebagai orang yang patuh tunduk, serta siapa yang shalat Dluha dua belas rakaat, Allah akan membangunkan sebuah rumah kelak di surga. Tidak ada satu hari ataupun malam melainkan ada orang yang diberikan karunia oleh Allah berupa sedekah. Namun, tidak ada karunia dan pemberian paling utama dari Allah bagi seseorang, selain Allah mengilhamkan kepadanya untuk selalu berdzikir dan mengingatNya" (HR. Thabrani, dan haditsnya Hasan).

3. Melakukan Shalat Witir

Secara bahasa Witir berarti ganjil (al'adad al-fardi). Sedangkan secara istilah, Shalat Witir berarti shalat Sunnat yang jumlah rakaatnya ganjil yang dapat dilakukan di antara waktu shalat Isya dengan waktu sebelum Shalat Shubuh, dan dilakukan sebagai penutup dari shalat malam.

Dalam kitab al-Majmu' (4/480), Imam Nawawi mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat apakah Shalat Witir ini termasuk bagian dari shalat Tahajud atau tidak. Sebagian ulama memasukkannya sebagai salah satu bagian dari shalat Tahajjud. Artinya, ketika dikatakan shalat Tahajjud, maka Shalat Witir termasuk di dalamnya. Ulama lain mengatakan bahwa ia berdiri sendiri, terpisah dari shalat Tahajjud.

Shalat Witir termasuk shalat sunnah mu’akkadah, bahkan Madzhab Hanafi memandangnya sebagai sesuatu yang wajib. Shalat Witir mempunyai banyak kelebihan dan keutamaan, di antaranya termasuk shalat yang dianjurkan oleh Rasulullah saw dalam banyak hadits. Tidak semata-mata Rasulullah saw menganjurkan dalam banyak kesempatan, kecuali untuk sesuatu yang sangat penting.

Di antara hadits tentang keutamaan shalat Witir adalah:

عن ابن مسعود أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((يا أهل القرآن أوتروا فإن الله عز وجل وتر يحب الوتر)) [رواه ابن ماجه والترمذي وأحمد وحسنه الألباني].

Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah saw bersabda: “Wahai para pecinta al-Qur’an, shalat Witirlah kalian, kerena Allah itu Witir (ganjil, maksudnya satu), dan Allah menyukai Witir (yang tidak genap)’ (HR. Ibnu Majah, Turmudzi, Ahmad, dan Albany menilai hadits tersebut Hasan).

Mengingat pentingnya shalat Witir ini, Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam bukunya Majmu’ al-Fatawa (23/88): ‘Semua ummat Islam sepakat bahwa Shalat Witir hukumnya sunnah mu’akkadah (sunnat yang sangat dianjurkan). Siapa yang meninggalkannya, berarti telah meninggalkan pengakuannya. Shalat Witir lebih baik dan lebih utama dari pada shalat sunnat rawatib Zhuhur, Maghrib dan Rawatib Isya. Dan Shalat Witir lebih baik dan lebih utama dari semua shalat-shalat sunnat siang hari seperti Shalat Dluha, bahkan, shalat yang paling utama dan paling baik setelah shalat-shalat wajib adalah shalat malam, yang di antara shalat malam tersebut adalah shalat Witir dan shalat sunnat rawatib dua rakaat sebelum Shubuh (qabliyyah Shubuh”.

Waktu melaksanakannya

Para ulama telah sepakat bahwa Shalat Witir dapat dilakukan di antara waktu setelah shalat Isya sampai sebelum terbit fajar. Artinya, ia dapat melakukan di awal malam, pertengahan atau akhir malam (baik sebelum maupun sesudah tidur). Namun, dari waktu tersebut, waktu yang paling disukai oleh Allah untuk melaksanakan Shalat Witir adalah sepertiga malam paling akhir (waktu dini hari, setelah tengah malam). Hal ini berdasarkan hadits-hadits berikut ini:

عن عائشة قالت: ((من كل الليل قد أوتر رسول الله صلى الله عليه وسلم: من أول الليل وأوسطه وآخره, فانتهى وتره إلى السحر)) [رواه البخارى ومسلم]

Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Rasulullah saw melakukan Shalat Witir setiap malam, terkadang di permulaan malam, pertengahan dan di akhir malam. Namun, beliau kemudian melakukannya pada waktu sahur (sepertiga malam terakhir)" (HR. Bukhari Muslim).

Apabila seseorang merasa yakin bahwa ia akan bangun pada waktu sepertiga malam akhir, maka lebih utama apabila ia mengakhirkan pelaksanaan Shalat Witirnya pada akhir malam. Namun, apabila ia merasa yakin tidak akan bangun pada sepertiga akhir malam tersebut, maka sebaiknya ia melakukan Shalat Witir sebelum tidur. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

عن جابر بن عبد الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من خاف منكم ألا يستيقظ من آخر الليل, فليوتر وليرقد, ومن طمع منكم أن يستيقظ من آخر الليل فليوتر من آخره, فإن صلاة آخر الليل محضورة, فذلك أفضل)) [رواه مسلم]

Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang merasa khawatir tidak dapat bangun pada akhir malam, maka Shalat Witirlah terlebih dahulu kemudian baru tidur. Namun bagi yang merasa yakin dapat bangun di akhir malam, maka Shalat Witirlah di waktu akhir malam tersebut. Karena Shalat Witir di akhir malam itu akan dihadiri oleh para malaikat, dan waktu tersebut adalah waktu yang paling utama" (HR. Muslim).

Demikian juga, sebaiknya Shalat Witir dilakukan sebagai penutup shalat-shalat sunnat malam lainnya. Artinya, Shalat Witir sebaiknya dilakukan setelah semua shalat malam dilakukan dengan lengkap, sehingga setelah Shalat Witir tidak ada lagi shalat sunnat malam yang dikerjakan, karena sudah ditutup oleh shalat Witir. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((اجعلوا آخر صلاتكم بالليل وترا)) [رواه البخارى ومسلم]

Artinya: Dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda: "Jadikanlah Shalat Witir sebagai shalat paling akhir dari shalat malam kalian" (HR. Bukhari Muslim).

Apakah apabila telah melakukan Shalat Witir, masih boleh melakukan shalat sunnat lainnya, dan apakah Shalat Witir boleh dilakukan berulang-ulang?

Para ulama dalam hal ini terbagi kepada dua pendapat (lihat dalam al-Majmu': 3/521), Bidayatul Mujtahid: 1/297, Fathul Qadir: 1/312):

Pendapat pertama mengatakan bahwa boleh melakukan shalat sunnat lainnya sekalipun sudah melakukan Shalat Witir. Ia boleh shalat sunnat berapa saja ia kehendaki, hanya ia tidak boleh mengulang Shalat Witirnya. Pendapat ini adalah pendapatnya jumhur ulama seperti Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah, sebagian besar Syafi'iyyah, Ibrahim an-Nakha'I, juga pendapatnya Abu Bakar, Ibn Abbas, Siti Aisyah dan shahabat-shahabat lainnya. Hal ini didasarkan kepada hadits-hadits berikut ini:

عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم: كان يسلم تسليما يسمعنا, ثم يصلى ركعتين بعدما يسلم وهو قاعد)) [رواه مسلم]

Artinya: Dari Siti Aisyah bahwasannya Rasulullah saw, mengucapkan salam (dalam Shalat Witir) dengan suara agak keras sehingga kami mendengarnya, lalu beliau shalat lagi dua rakaat sambil duduk setelah beliau mengucapkan salam (maksudnya setelah selesai melakukan Shalat Witir)" (HR. Muslim).

Dalam hadits lain dikatakan:

عن أم سلمة أنه صلى الله عليه وسلم كان يركع ركعتين بعد الوتر وهو جالس (رواه الترمذى وابن ماجه بإسناد لين)

Artinya: "Dari Ummu Salamah, bahwasannya Rasulullah saw melakukan shalat sunnat dua rakaat sambil duduk setelah beliau Shalat Witir" (HR. Turmudzi, Ibn Majah dengan sanad lemah).

عن جابر بن عبد الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من خاف منكم ألا يستيقظ من آخر الليل, فليوتر وليرقد, ومن طمع منكم أن يستيقظ من آخر الليل فليوتر من آخره, فإن صلاة آخر الليل محضورة, فذلك أفضل)) [رواه مسلم]

Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang merasa khawatir tidak dapat bangun pada akhir malam, maka Shalat Witirlah terlebih dahulu kemudian baru tidur. Namun bagi yang merasa yakin dapat bangun di akhir malam, maka Shalat Witirlah di waktu akhir malam tersebut. Karena Shalat Witir di akhir malam itu akan dihadiri oleh para malaikat, dan waktu tersebut adalah waktu yang paling utama" (HR. Muslim).

Semua hadits-hadits di atas menunjukkan bolehnya melakukan shalat sunnat setelah Shalat Witir. Namun demikian, apabila setelah Shalat Witir melakukan shalat sunnat lainnya, tetap untuk Shalat Witir tidak boleh dilakukan untuk yang kedua kalinya (tidak boleh dua kali atau lebih cukup satu kali saja). Hal ini berdasarkan hadits berikut ini:

عن طلق بن علي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((لا وتران فى ليلة)) [رواه الترمذى وأبو داود والحديث حسن]

Artinya: "Dari Thalq bin Ali bahwasannya Rasulullah saw bersabda: "Tidak boleh melakukan dua Shalat Witir dalam satu malam" (HR. Turmudzi, Abu Dawud dan haditsnya Hasan).

Pendapat kedua, mengatakan bahwa tidak boleh melakukan shalat sunnat lainnya setelah Shalat Witir, kecuali apabila Shalat Witir yang telah dilakukannya itu batal dan harus diulang. Maka ia boleh melakukan shalat sunnat lainnya terlebih dahulu, lalu ditutup dengan Shalat Witir. Pendapat ini adalah pendapatnya Ibn Umar, Ibn Mas'ud, Utsman bin Affan dan sebagian ulama Syafi'iyyah. Di antara dalil yang dijadikan pegangan kelompok ini adalah:

عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((اجعلوا آخر صلاتكم بالليل وترا)) [رواه البخارى ومسلم]

Artinya: Dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda: "Jadikanlah Shalat Witir sebagai shalat paling akhir dari shalat malam kalian" (HR. Bukhari Muslim).

Namun demikian, pendapat yang paling kuat, hemat penulis, adalah pendapat jumhur ulama, pendapat pertama. Hal ini dikarenakan dalam hadits-hadits di atas disebutkan bahwa Rasulullah saw pernah melakukan shalat sunnat lainnya setelah beliau melakukan Shalat Witir. Apabila setelah Shalat Witir tidak boleh melakukan shalat sunnat lainnya, tentu dalam hadits di atas, Rasulullah saw tidak akan membolehkan seseorang yang dikhawatirkan tidak akan dapat bangun di akhir malam untuk melakukan Shalat Witir sebelum tidur. Di samping itu, harus dipahami bahwa Shalat Witir sebagai penutup shalat sunnat malam, tidak berarti tidak boleh sama sekali untuk melaksanakan shalat sunnat setelah Shalat Witir. Namun, harus dipahami bahwa umumnya dan sebaiknya Shalat Witir itu dilakukan setelah seluruh shalat sunnat malam lainnya dikerjakan. Wallahu a'lam.

Jumlah rakaat Shalat Witir dan cara melaksanakannya

Dalam beberapa hadits di bawah ini disebutkan bahwa Shalat Witir boleh dilakukan dalam jumlah satu atau tiga atau lima atau tujuh atau sembilan rakaat. Bahkan, dalam madzhab Syafi’i juga diperbolehkan dalam jumlah sebelas rakaat. Imam Nawawi dalam Raudhatut Thaalibin mengatakan: “Shalat Witir hukumnya sunnat, dapat dilakukan dalam jumlah satu rakaat, tiga, lima, tujuh, sembilan dan sebelas rakaat. Dan sebelas rakaat ini jumlah maksimalnya. Apabila lebih dari sebelas rakaat, menurut pendapat yang paling kuat, maka tidak sah shalat witirnya”.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini penjelasan lebih lanjut berikut dalil-dalilnya:

1) Shalat Witir satu rakaat

Jumhur ulama berpendapat bahwa Shalat Witir boleh dilakukan dalam jumlah satu rakaat. Hal ini di antaranya didasarkan kepada dalil-dalil berikut ini:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((صلاة الليل مثنى مثنى, فإذا خشي أحدكم الصبح, صلى واحدة توتر له ما قد صلى)) [رواه البخارى]

Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Apabila seseorang merasa khawatir akan segera datang waktu Shubuh, maka shalatlah satu rakaat, sebagai Shalat Witir baginya dari shalat-shalat yang telah dilakukannya". (HR. Bukhari).

عن ابن عمر ان النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((الوتر ركعة من آخر الليل)) [رواه مسلم]

Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Shalat Witir itu satu rakaat pada waktu akhir malam" (HR. Muslim).

عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلى من الليل إحدى عشرة ركعة, يوتر منها بواحدة (رواه مسلم]

Artinya: "Dari Siti Aisyah, bahwasannya Rasulullah saw melakukan shalat malam sebanyak sebelas rakaat, di antaranya dengan Shalat Witir satu rakaat" (HR. Muslim).

Sementara menurut Imam Abu Hanifah, bahwa minimal Shalat Witir itu adalah tiga rakaat. Hal ini berdasarkan hadits berikut ini:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((المغرب وتر النهار)) [رواه أحمد]

Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Maghrib itu adalah Witirnya siang hari" (HR. Ahmad).

Namun demikian, tentu hadits yang dijadikan pegangan oleh Abu Hanifah tidak berarti batasan bahwa minimal rakaat Witir itu adalah seperti shalat Maghrib, yaitu tiga rakaat, hanya saja hal itu sebagai salah satu bagian dari Shalat Witir. Dan satu rakaat pun tetap diperbolehkan, karena banyak hadits-hadits yang menguatkan hal itu sebagaiman telah disebutkan di atas.

2) Shalat Witir tiga rakaat

Untuk Shalat Witir yang tiga rakaat, boleh dilakukan dengan dua cara

1) Shalat dua rakaat terlebih dahulu, lalu salam, lalu berdiri lagi dan shalat satu rakaat lalu salam lagi sehingga semuanya menjadi tiga rakaat. Bolehnya melakukan Shalat Witir seperti ini berdasarkan hadits berikut ini:

عن ابن عمر أنه كان يسلم بين الركعتين والوتر حتى يأمر ببعض حاجته (رواه البخارى)

Artinya: Dari Ibnu Umar bahwasannya ia melakukan salam di antara dua rakaat dan Witir (dan satu rakaat), sehingga ia dapat memerintahkan untuk menyelesaikan sebagian keperluannya" (HR. Bukhari).

عن ابن عمر كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفصل الشفع والوتر بتسليم يسمعناه (رواه أحمد وابن حبان)

Artinya: "Dari Ibnu Umar, bahwasannya Rasulullah saw memisahkan antara rakaat genap dan ganjil dengan salam yang kami dapat mendengarnya" (HR. Ahmad dan Ibn Hibban)

عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقرأ فى الركعتين اللتين يوتر بعدهما (سبح اسم ربك الأعلى) و (قل يا أيها الكافرون), ويقرأ فى الوتر ب (قل هو الله أحد) و (قل أعوذ برب الفلق) و (قل أعوذ برب الناس) [أخرجه الطحاوى والحديث ضعيف]

Artinya: Dari Siti Aisyah bahwasannya Rasulullah saw pada dua rakaat Shalat Witir membaca surat al-A'la dan al-Kafirun. Kemudian beliau membaca pada rakaat ketiga dari Shalat Witir surat al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas" (HR. at-Thahawi dan haditsnya Dhaif).

2) Shalat tiga rakaat sekaligus dengan satu kali tasyahud. Hal ini juga pernah dipraktekkan oleh Rasulullah saw sebagaimana tertera dalam hadits berikut ini:

عن عائشة قالت: ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم فى رمضان ولا فى غيره يزيد على إحدى عشرة ركعة: يصلى أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن, ثم يصلى أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن, ثم يصلى ثلاثا...(رواه البخارى ومسلم)

Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Rasulullah saw tidak pernah melakukan shalat malam baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan lainnya, lebih dari sebelas rakaat; beliau shalat empat rakaat, dan kamu tidak usah menanyakan bagus dan lamanya, lalu shalat empat rakaat lagi, dan jangan ditanya mengenai bagus dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga rakaat" (HR. Bukhari Muslim).

عن عائشة قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يوتر بثلاث لا يقعد إلا فى آخرهن (رواه النسائ والحاكم ومالك)

Artinya: Siti Aisyah berkata: "Rasulullah saw melakukan Shalat Witir sebanyak tiga rakaat, dan beliau tidak duduk (maksudnya tasyahud) kecuali pada rakaat paling akhir" (HR. Nasa'i, Hakim dan Malik).

Namun demikian, apabila Shalat Witir ini dilakukan tiga rakaat sekaligus, maka tidak boleh memakai tasyahud awal (tapi cukup satu kali tasyahud saja yaitu tasyahud akhir) sebagaimana shalat Maghrib. Hal ini karena ada hadits yang mengatakan:

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ((لا توتروا بثلاث, أوتروا بخمس أو بسبع, ولا تشبهوا بصلاة المغرب)) [رواه الحاكم والبيهقى]

Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Janganlah Shalat Witir dengan tiga rakaat, Shalat Witirlah dengan lima atau tuhuh rakaat. Namun jangan seperti melakukan shalat maghrib (pakai tasyahud awal)" (HR. Hakim dan Baihaki).

Surat apa yang sebaiknya dibaca pada tiga rakaat Shalat Witir?

Dalam hadits di bawah ini, disebutkan bahwa sebaiknya surat yang dibaca pada Shalat Witir tiga rakaat adalah: pada rakaat pertama surat al-A'la (sabbihis marabbikal a'la), pada rakaat kedua al-Kafirun (qul ya ayyuhal kaafirun) dan pada rakaat ketiga surat al-Ikhlas (qul huwallahu ahad), tentu semuanya setelah membaca surat al-Fatihah terlebih dahulu. Hal ini sebagaimana tertera dalam hadits berikut ini:

عن ابن عباس قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرأ فى الوتر ب(سبح اسم ربك الأعلى) و (قل ياأيها الكافرون) و (قل هو الله أحد) فى ركعة ركعة)) [رواه الترمذى والنسائى]

Artinya: Dari Ibn Abbas, bahwasannya Rasulullah saw apabila Shalat Witir, beliau membaca surat al-A'la (sabbihis marabbikal a'la), al-Kafirun (Qul ya ayyuhal kaafirun) dan al-Ikhlas (qul huwallahu ahad) pada setiap rakaatnya" (HR. Turmduzi dan Nasai).

عن أبي بن كعب قال: ((كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرأ فى الوتر ب(سبح اسم ربك الأعلى) و (قل يا أيها الكافرون) و(قل هو الله أحد), فإذا سلم قال: سبحان الملك القدوس, سبحان الملك القدوس ثلاث مرات)) [رواه أبو داود والنسائى]

Artinya: Ubay bin Ka'ab berkata: "Rasulullah saw apabila Shalat Witir, beliau membaca surat al-A'la, al-Kafirun dan al-Ikhlas. Apabila beliau telah salam, beliau membaca: Subhanalmalikil kuddus (maha suci Allah, Maha Raja dan Maha Suci), subhanal malikil kuddus sebanyak tiga kali" (HR. Abu Dawud dan Nasai).

Sementara menurut Malikiyyah dan Syafi'iyyah, disunnahkan ketika rakaat ketiga dari Shalat Witir, di samping membaca surat al-Ikhlas juga membaca surat al-Falaq dan an-Nas. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقرأ فى الركعتين اللتين يوتر بعدهما (سبح اسم ربك الأعلى) و (قل يا أيها الكافرون), ويقرأ فى الوتر ب (قل هو الله أحد) و (قل أعوذ برب الفلق) و (قل أعوذ برب الناس) [أخرجه الطحاوى والحديث ضعيف]

Artinya: Dari Siti Aisyah bahwasannya Rasulullah saw pada dua rakaat Shalat Witir membaca surat al-A'la dan al-Kafirun. Kemudian beliau membaca pada rakaat ketiga dari Shalat Witir surat al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas" (HR. at-Thahawi dan haditsnya Dhaif).

Hanya saja, hadits terakhir ini dhaif, dan karenanya hemat penulis, pada rakaat ketiga cukup hanya membaca al-Ikhlas saja. Wallahu a'lam

3) Shalat Witir lima rakaat

Shalat Witir juga boleh dilakukan dalam jumlah lima rakaat, dan tidak ada tasyahud awal. Duduk tasyahudnya cukup satu kali yaitu pada rakaat kelima. Hal ini berdasarkan hadits berikut ini:

عن عائشة قالت: ((كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلى من الليل ثلاث عشرة ركعة يوتر من ذلك بخمس لا يجلس إلا فى آخرها)) [رواه مسلم]

Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Rasulullah saw melakukan shalat malam sebanyak tiga belas rakaat. Beliau melakukan Shalat Witirnya sebanyak lima rakaat dan beliau tidak duduk tasyahud kecuali pada rakaat terakhir (kelima) saja" (HR. Muslim)

4) Shalat Witir tujuh atau sembilan rakaat

Shalat Witir juga boleh dilakukan dalam jumlah tujuh atau sembilan rakaat. Namun, untuk Shalat Witir yang dilakuan dalam jumlah tujuh atau sembilan rakaat, maka tasyahud dilakukan dalam dua tempat. Tasyahud awal ketika rakaat menjelang akhir (para rakaat keenam atau kedelapan), dan tasyahud akhir pada rakaat terakhir.

Prakteknya, apabila sudah sampai rakaat ke enam (bagi yang hendak Witir tujuh rakaat), atau apabila sudah sampai pada rakaat kedelapan (bagi yang hendak Witir sembilan rakaat), duduk tasyahud terlebih dahulu, tanpa salam, kemudian ia bangkit lagi untuk shalat satu rakaat lagi, dan setelah itu ia tasyahud akhir lalu salam. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:

عن عائشة فى صفة وتر النبي صلى الله عليه وسلم قالت: ((كنا نعد له صلى الله عليه و سلم سواكه, فيبعثه الله ما شاء أن يبعثه من الليل, فيتسوك ويتوضأ, ويصلى تسع ركعات لا يجلس فيها إلا فى الثامنة, فيذكر الله ويحمده ويدعوه, ثم ينهض ولا يسلم, ثم يقوم التاسعة, ثم يقعد فيذكر الله ويحمده ويدعوه, ثم يسلم تسليما يسمعناه, ثم يصلى ركعتين بعد ما يسلم وهو قاعد فتلك إحدى عشرة ركعة يا بني, فلما أسن نبي الله صلى الله عليه وسلم وأخذ اللحم أوتر بسبع, وصنع فى الركعتين مثل صنيعه الأول, فتلك تسع يا بني)) [رواه مسلم]

Artinya: "Siti Aisyah berkata tentang sifat Rasulullah saw dalam melaksanakan Shalat Witir: "Kami biasa menyediakan siwak untuk Rasulullah saw. Allah lalu membangunkannya pada waktu malam. Beliau lalu bersiwak, lalu berwudhu, lalu shalat sebanyak sembilan rakaat. Beliau tidak duduk tasyahud kecuali pada rakaat kedelapan, beliau (pada duduk tasyahud tersebut) menyebut nama Allah, memujiNya dan berdoa kepadaNya. Lalu beliau bangkit tanpa ada salam sebelumnya. Beliau bangkit untuk rakaat yang kesembilan, lalu beliau duduk tasyahud, membaca dzikir, tahmid dan berdoa, kemudian beliau mengucapkan salam sehingga kami betul-betul dapat mendengarnya. Lalu beliau shalat dua rakaat sambil duduk setelah selesai Shalat Witir. Jumlah seluruhnya, wahai putraku, adalah sebelas rakaat. Ketika Rasulullah saw sudah menginjak masa tua, beliau melakukan Shalat Witir sebanyak tujuh rakaat. Beliau juga melakukan shalat dua rakaat sebagaimana yang dilakukannya pada sebelumnya (dua rakaat setelah selesai Shalat Witir), sehingga, wahai putraku, jumlah semuanya adalah sembilan rakaat" (HR. Muslim).

Demikian, penjelasan singkat tiga wasiat Rasulullah saw untuk kita semua. Semoga kita semua sejak saat ini, mulai merutinkan untuk melakukan tiga wasiat Rasulullah saw di atas, mengingat betapa besar dan utamanya ketiga hal dimaksud; puasa tiga hari setiap bulan, shalat Dluha dan Shalat Witir.

Mengakhiri tulisan ini, alangkah baiknya penulis kutipkan di antara sabda Rasulullah saw di bawah ini:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((لا تزولا قدما عبد حتى يسأل يوم القيامة عن أربع: عن عمره فيما أفناه, وعن علمه ماذا عمل فيه, وعن ماله من أين اكتسبه وفيما أنفقه, وعن جسمه فيما أبلاه)) [رواه الترمذي وصححه الألباني]

Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “TIdak beranjak kedua kaki seseorang kelak pada hari Kiamat, melainkan akan ditanya empat hal: Tentang umurnya, dalam hal apa dihabiskan, tentang ilmunya, apa yang telah diperbuatnya, tentang hartanya, dari mana didapatkan dan kemana dihabiskan, serta tentang badannya dalam hal apa dipergunakan” (HR. Turmudzi, dan Albany menilai hadits tersebut Shahih).

Semua yang ada di tubuh kita akan dimintai pertanggungjawaban, termasuk umur yang telah Allah berikan kepada kita, juga tubuh, demikian juga dengan harta dan ilmu. Mari kita isi umur yang tersisa ini dengan lebih banyak berbuat kebaikan, yang di antaranya melakukan tiga wasiat Rasulullah saw di atas. Jangan sampai umur terus maju, tapi kebaikan tidak pernah melaju. Jangan sampai kesempatan hidup terus berkurang tapi perbuatan dosa tidak pernah berhenti. Jangan sampai penyesalan itu datang belakangan. Mumpung masih ada kesempatan, mari kita isi dengan kebaikan dan kebaikan juga kebaikan. Semoga. Wallahu ‘alam bis shawab.

Qatamea, 01 Juni 2008.

copyrd by http://poetryarchives.blogspot.com