TIGA WASIAT PENTING RASULULLAH SAW
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ أَوْصَانِي خَلِيلِي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِثَلَاثٍ بِصِيَامِ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَرَكْعَتَيْ الضُّحَى وَأَنْ أُوتِرَ قَبْلَ أَنْ أَرْقُدَ [رواه البخاري ومسلم]
Artinya: “Abu Hurairah berkata: ‘Kekasihku, Rasulullah saw telah berwasiat kepadaku tiga perkara: pertama agar selalu melakukan puasa tiga hari setiap bulan, kedua, agar melakukan shalat Dhuha dua rakaat dan ketiga, agar aku selalu melakukan shala witir sebelum tidur” (HR. Bukhari).
Dalam hadits di atas, Rasulullah saw berwasiat kepada Abu Hurairah akan tiga hal. Tidak semata-mata Rasulullah saw mewasiatkannya melainkan menunjukkan ketiga hal tersebut sangat penting. Bahkan, dalam hadits lain masih riwayat Imam Bukhari, Abu Hurairah menambahkan kata-kata: “Kekasihku, Rasulullah saw, telah berwasiat tiga hal kepadaku dan aku tidak akan meninggalkannya sampai meninggal dunia nanti……” (HR. Bukhari).
Berkaitan dengan riwayat tersebut, Ibnu Hajar al-Asqalany dalam bukunya Fathul Bari mengatakan: bahwa jumlah kata: ‘Aku tidak akan meninggalkannya sampai meninggal dunia nanti’ merupakan isi wasiat Rasulullah saw. Artinya, lanjut Ibnu Hajar, Rasulullah saw berwasiat kepada Abu Hurairah tiga hal agar tidak ditinggalkan satu kalipun sampai ajal Abu Hurairah tiba.
Lalu, bukankah dalam hadits di atas disebutkan bahwa wasiat tersebut hanya untuk Abu Hurairah, dan apakah itu juga berarti wasiat untuk kita semua? Jawabannya iya. Sekalipun redaksi haditsnya ditujukan untuk Abu Hurairah, akan tetapi hukumnya berlaku untuk umum, untuk kita semua. Karena petunjuk kepada salah seorang sahabat, merupakan petunjuk juga untuk semua orang selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Oleh karena itu, wasiat di atas hakikatnya ditujukkan untuk kita semua juga.
Untuk lebih jelas dan detailnya, berikut ini penulis mencoba menjelaskan satu persatu dari tiga wasiat di atas, sehingga lebih jelas dan dapat dengan mudah diamalkan.
1. Puasa tiga hari setiap bulan
Puasa merupakan di antara amal ibadah yang sangat mulia dan utama. Banyak sekali hadits-hadits Rasulullah saw yang menceritakan keutamaan puasa ini. Di antara keutamaannya, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah saw, adalah bahwa puasa dapat menjauhkan pelakunya dari api neraka, puasa juga merupakan di antara cara efektif seseorang dapat masuk ke dalam surga, dan puasa merupakan di antara pemberi syafa’at (penolong) kelak di hari Kiamat. Rasulullah saw dalam hal ini bersabda:
عن أبي سعيد الخدرى قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((ما من عبد يصوم يوما فى سبيل الله إلا باعد الله بذلك وجهه عن النار سبعين خريفا)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada seorang hamba pun yang berpuasa sekalipun satu hari di jalan Allah, kecuali Allah akan menjauhkan dirinya dari siksa api neraka sebanyak tujuh puluh kharif (tujuh puluh kharif maksudnya adalah sejauh perjalanan yang menghabiskan masa tujuh puluh tahun)" (HR. Bukhari Muslim).
عن أبي أمامة عنه قال: قلت يا رسول الله, دلنى على عمل أدخل به الجنة, قال: ((عليك بالصوم, لا مثل له)) [رواه النسائى وابن حبان والحاكم]
Artinya: "Abu Umamah berkata: "Saya bertanya kepada Rasulullah saw: 'Wahai Rasulullah saw, tunjukkan kepada saya sebuah amal perbuatan yang dapat memasukkan saya ke dalam surga". Rasulullah saw menjawab: "Berpuasalah, karena tidak ada amalan yang sebanding pahalanya dengan puasa" (HR. Nasai, Ibn Majah dan Hakim).
عن عبد الله بن عمرو قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((الصيام والقرآن يشفعان للعبد يوم القيامة, يقول الصيام: أي رب منعته الطعام والشهوة, فشفعنى فيه, ويقول القرآن: منعته النوم بالليل, فشفعنى فيه, قال: فيشفعان)) [رواه أحمد والحاكم]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Puasa dan (rajin membaca) al-Qur'an, kelak pada hari Kiamat dapat memberikan syafaat (pertolongan) kepada hamba. Puasa kelak akan berkata: "Ya Allah, ia telah menahan dirinya dari makanan dan hawa nafsunya, maka jadikanlah saya sebagai penolongnya". Al-Qur'an juga kelak akan berkata: "Ya Allah, ia telah rela meluangkan waktunya untuk tidak tidur pada malam hari (karena membaca al-Qur'an), maka jadikanlah saya sebagai penolongnya (pemberi syafa'at)". Lalu puasa dan al-Qur'an pun, berkat idzinNya, menjadi penolong bagi hamba tersebut" (HR. Ahmad dan Hakim).
Di antara puasa yang disunnahkan oleh Rasulullah saw adalah puasa tiga hari setiap bulan Islam. Maksud dari bulan Islam adalah bulan Muharram, Shafar, Rabiul Awwal, dan seterusnya, bukan bulan Januari, Februari dan seterusnya.
Di antara keutamaan puasa tiga hari setiap bulan Islam ini adalah bahwa pahalanya sama dengan orang yang melakukan puasa selama satu tahun penuh. Rasulullah saw dalam hal ini bersabda:
عن أبي قتادة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((ثلاث من كل شهر, ورمضان إلى رمضان, فهذا صيام الدهر كله)) [رواه مسلم]
Artinya: “Dari Abu Dzar bahwasannya Rasulullah saw bersabda: “Puasa tiga hari setiap bulan, dan puasa Ramadhan ke Ramadhan lainnya, (pahalanya) sama dengan puasa satu tahun penuh” (HR. Muslim).
عن أبي ذر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ((من صام ثلاثة أيام من كل شهر فقد صام الدهر كله)) [رواه أحمد بإسناد صحيح]
Artinya: “Dari Abu Dzar, Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa yang melakukan puasa tiga hari setiap bulan, maka sungguh (pahalanya) ia telah berpuasa satu tahun penuh” (HR. Ahmad, dengan sanad Shahih).
Lalu, apa yang dimaksud dengan puasa tiga hari tersebut? Imam Ibnu Hajar al-Asqalany dalam bukunya Fathul Bari, ketika menjelaskan hadits di atas, beliau mengatakan, bahwa para ulama berbeda pendapat tentang kapan dan apa maksud dari tiga hari tersebut. Menurut catatan Ibnu Hajar, para ulama dalam hal ini terbagi kepada sepuluh pendapat:
Pendapat pertama, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan puasa tiga hari setiap bulan itu tidak dalam hari tertentu dan tidak boleh menentukan hari tertentu juga. Artinya, yang penting dia berpuasa selama tiga hari setiap bulan, dan pada hari atau tanggal apa saja terserah yang bersangkutan. Misalnya, dia puasa tanggal, 1, 6 dan 12, lalu pada bulan berikutnya, tanggal 4, 9 dan 23 dan seterusnya. Hal demikian adalah sah-sah saja. Bahkan, apabila seseorang menentukan waktu tertentu untuk puasa tiga hari setiap bulannya, misalnya setiap tanggal 1, 10 dan 20, maka hukumnya makruh (dibenci). Pendapat ini, menurut Ibnu Hajar, merupakan pendapat Imam Malik.
Pendapat kedua, bahwa yang dimaksud dengan puasa tiga hari setiap bulan itu adalah puasa tiga hari pertama setiap bulan, yaitu setiap tanggal 1, 2 dan 3 setiap bulannya. Pendapat ini merupakan pendapatnya Imam Hasan al-Bashri.
Pendapat ketiga, mengatakan bahwa puasa tiga hari dimaksud adalah setiap tanggal 12, 13 dan 14 setiap bulannya.
Pendapat keempat, mengatakan setiap tanggal 13, 14 dan 15, atau yang sering disebut dengan puasa bidh (puasa bulan purnama) di mana bulan sedang memancarkan cahayanya dengan terang. Pendapat keempat ini berdasarkan hadits di bawah ini:
عن أبي ذر الغفاري أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ((يا أبا ذر, إذا صمت من الشهر ثلاثة أيام, فصم ثلاث عشرة, وأربع عشرة, وخمس عشرة)) [رواه الترمذي والنسائي وصححه الألباني]
Artinya: “Dari Abu Dzar, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: ‘Wahai Abu Dzar, apabila kamu puasa tiga hari setiap bulan, puasalah pada tanggal 13, 14 dan 15” (HR. Turmudzi, Nasai dan hadits tersebut dinilai Shahih oleh Albany).
Pendapat kelima, puasa tiga hari dimaksud adalah dimulai pada hari Sabtu pertama, kemudian hari Ahad dan Senin. Lalu, pada bulan berikutnya, dimulai dari hari Selasa pertama, kemudian Rabu, dan Kamis. Pada bulan berikutnya dimulai dari hari Jum’at pertama, kemudian Sabtu dan Ahad. Pada bulan berikutnya dimulai dari hari Senin pertama, kemudian hari Selasa dan Rabu, demikian seterusnya. Pendapat ini disandarkan kepada pendapat Siti Aisyah.
Pendapat keenam, puasa tiga hari dimaksud adalah hari Kamis pertama, kemudian hari Senin, kemudian hari Kamis lagi. Hal ini berdasarkan hadits di bawah ini:
Pendapat ketujuh, dimulai dari hari Senin pertama, kemudian Kamis lalu Senin lagi.
Pendapat kedelapan, dan pendapat ini merupakan pendapatnya Abu Darda, puasa tiga hari dimaksud adalah tanggal 1, tanggal 10 dan tanggal 20 setiap bulannya.
Pendapat kesembilan, yang dimaksud dengan tiga hari dimaksud adalah puasa tanggal 1, tanggal 11 dan tanggal 21 setiap bulannya. Pendapat ini disandarkan kepada pendapat Ibnu Sya’ban al-Maliky.
Pendapat kesepuluh, dan pendapat ini merupakan pendapat Imam an-Nakha’i, bahwa yang dimaksud dengan puasa tiga hari itu adalah tiga hari terakhir setiap bulannya. Apabila dalam satu bulan itu ada 30 hari, maka puasa dimaksud adalah tanggal 28, 29 dan 30. Apabila dalam satu bulannya ada 29 hari, maka puasanya tanggal 27, 28 dan 29. Dengan catatan, sekali lagi, bulan yang dipakai adalah bulan Islam (bulan Hijriyyah) bukan bulan Masehi (bukan bulan Januari, Februari dan seterusnya).
Lalu, dari sepuluh pendapat di atas, pendapat mana yang paling kuat dan dapat diambil? Para ulama dalam hal ini mengatakan, seseorang dapat mengambil hari dan tanggal apa saja, yang penting tiga hari setiap bulannya. Baik ketiga hari tersebut tertentu, misalnya 13, 14, dan tanggal 15 setiap bulan, maupun tidak tertentu, misalnya bulan ini puasa tanggal 1, 2 dan 3, bulan depan tanggal 10, 20 dan 30 dan seterusnya. Selama puasanya tiga hari dalam setiap bulan, maka sudah dipandang cukup. Hal ini mengingat dalam banyak hadits disebutkan bahwa Rasulullah saw tidak tertentu berpuasanya, terkadang hari Kamis, Senin dan Senin lagi, dan terkadang hari lainnya.
Sebuah hadits dari Ummu Salamah misalnya menjelaskan hal itu:
عن أم سلمة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم من كل شهر يوم الخميس ويوم الإثنين من هذه الجمعة, والإثنين من المقبلة [رواه النسائي وحسنه الألباني]
Artinya: “Ummu Salamah berkata: “Rasulullah saw biasa berpuasa setiap bulannya, hari Kamis, Senin dan hari Senin minggu berikutnya” (HR. Nasai, dan hadits tersebut dinilai Hasan oleh Albany).
Bahkan, dalam hadits di bawah ini, lebih jelas lagi akan kebolehan melakukan puasa pada hari apa saja dan pada tanggal berapa saja, selama tiga hari dalam setiap bulan:
عن عائشة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصوم ثلاثة أيام من كل شهر. فقيل لها: من أيه؟ قالت: لم يكن يبالي من أيه كان [رواه أحمد بإسناد صحيح وابن ماجه]
Artinya: “Aisyah berkata: “Adalah Rasulullah saw senantiasa puasa tiga hari setiap bulannya”. Lalu ditanyakan kepada Aisyah: “Hari apa saja yang tiga itu?” Aisyah menjawab: ‘Rasulullah saw tidak memperdulikan hari apanya (maksudnya, tidak menentukan hari tertentu, yang penting tiga hari setiap bulan)” (HR. Ahmad dengan sanad Shahih, dan Ibnu Majah).
2. Melaksanakan Shalat Dluha
Shalat Dluha termasuk shalat sunnat yang sangat dianjurkan. Para ulama menghukuminya sebagai shalat Sunnat Mu’akkadah, artinya shalat sunnat yang sangat dianjurkan dan hukumnya berada sedikiti di bawah wajib.
Di antara keutamaan dan kelebihan shalat Dluha adalah sebagai berikut:
1) Ada dua shalat sunnat, hemat penulis, yang pernah diwajibkan kepada Rasulullah saw, yaitu shalat Dluha dan Tahajud. Tidak semata-mata Allah mewajibkan kedua shalat sunnat tersebut kepada Rasulullah saw melainkan karena penting dan keutamaan dua shalat dimaksud.
Dalil bahwa shalat Tahajud pernah diwajibkan kepada Rasulullah saw adalah dalam al-Qur’an surat al-Muzammil ayat 1-4. Sementara dalil bahwa shalat Dluha pernah diwajibkan kepada Rasulullah saw adalah hadits di bawah ini:
عن ابن عباس أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((كتب علي النحر ولم يكتب عليكم, وأمرت بركعتي الضحى ولم تؤمروا بها)) [رواه أحمد]
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw bersabda: “Kurban wajib bagi saya, namun bagi kalian tidak, demikian juga shalat Dluha dua rakaat, sementara kalian tidak diwajibkan”.
Hanya saja, sebagian ulama menilai hadits tersebut Dhaif (lemah), mengingat banyak hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah saw terkadang melakukan shalat Dluha dan terkadang pula meninggalkannya. Ini artinya, menurut sebagian ulama, bahwa shalat Dluha tidak wajib bagi Rasulullah saw.
Hemat penulis, kedua pendapat tersebut tidak bertentangan dan dapat digabungkan satu sama lain. Shalat Dluha pernah diwajibkan kepada Rasulullah saw, kemudian kewajibannya ini dihapuskan. Karena itu, Hadits yang mengatakan bahwa shalat Dluha wajib bagi Rasulullah saw, itu pada waktu belum dihapuskan kewajibannya.
Sedangkan hadits yang mengatakan bahwa Rasulullah saw terkadang melaksanakannya dan terkadang pula meninggalkannya, dating setelah kewajiban tersebut dihapus. Namun terlepas dari itu semua, dengan dipilihnya shalat Dluha sebagai shalat yang wajib kepada Rasulullah saw, menunjukkan bahwa shalat Dluha ini memiliki keutamaan tersendiri.
2) Shalat Dluha juga merupakan di antara shalat dimana waktu pelaksanaannya disebutkan dalam al-Qur’an, bahkan Allah bersumpah dengan waktunya. Ada tiga waktu, hemat penulis, di mana Allah dalam al-Qur’an bersumpah dengan tiga waktu ini, yaitu waktu Dluha (surat adh-Dluha ayat 1), waktu Ashar (surat al-‘Ashr ayat 1, sebagian ahli tafsir sebagaimana diungkapkan oleh Imam ar-Razi dalam tafsirnya, Mafatihul Ghaib mengatakan bahwa ada banyak ulama yang mengartikan kata ‘ashr dalam ayat dimaksud adalah waktu Ashar, bukan waktu dalam pengertian umum), dan waktu Fajar (surat al-Fajr ayat 1). TIdak semata-mata Allah bersumpah dengan tiga waktu ini, melainkan ada keutamaan tersendiri dari tiga waktu dimaksud.
Bahkan, dalam tiga waktu di atas, Allah mensyariatkan shalat yang kemudian shalat ini disebut dengan nama waktunya, Shalat Dluha, Shalat, Shalat Ashar dan Shalat Fajar (Shalat Shubuh). Dan, hemat penulis, hanya tiga waktu dan tiga shalat inilah yang disebutkan dalam al-Qur’an dimana Allah bersumpah dengan ketiga waktu di atas. Ada satu shalat lagi, yaitu Shalat Tahajud yang juga disebutkan oleh Allah dalam al-Qur’an, hanya Allah tidak bersumpah dengan waktunya (QS. Al-Isra ayat 79).
3) Shalat Dluha merupakan shadaqahnya 360 sendi tulang dalam tubuh manusia. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah saw dalam hadits di bawah ini:
عن أبي ذر, عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((يصبح على كل سلامى من أحدكم صدقة, فكل تسبيحة صدقة, وكل تحميدة صدقة, وكل تهليلة صدقة, وكل تكبيرة صدقة, وأمر بالمعروف صدقة, ونهي عن المنكر صدقة, ويجزئ من ذلك ركعتان يركعهما من الضحى)) [رواه مسلم]
Artinya: "Dari Abu Dzar, Rasulullah saw bersabda: "Hendaklah setiap tulang-tulang kalian bersedekah, setiap ucapan tasbih (subhanallah) adalah shadaqah, setiap ucapan tahmid (alhamdulillah) adalah shadaqah, setiap ucapan tahlil (laa ilaaha illallaah) adalah shadaqah, setiap ucapan takbir (Allahu Akbar) adalah shadaqah, mengajak kepada kebaikan adalah shadaqah, mencegah kemungkaran adalah shadaqah. Semua yang disebutkan di atas tersebut dapat diraih (pahalanya) hanya dengan melakukan shalat Dluha dua rakaat" (HR. Muslim).
عن بريدة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال:((فى الإنسان ستون وثلاثمائة مفصل, عليه أن يتصدق عن كل مفصل منها صدقة)) قالوا: فمن الذى يطيق يا رسول الله؟ قال: ((النخامة فى المسجد يدفنها, أو الشيئ ينحيه عن الطريق, فإن لم يقدر فركعتا الضحى تجزئ عنه)) [رواه أبو داود وأحمد والحديث صحيح]
Artinya: "Dari Buraidah, Rasulullah saw bersabda: "Pada tubuh manusia itu terdapat tiga ratus enam puluh buah sendi-sendi tulang. Setiap sendi tulang tersebut hendaknya dapat melakukan satu shadaqah". Para sahabat lalu bertanya: "Siapakah orang yang dapat melakukan hal itu wahai Rasulullah saw?" Rasulullah saw bersabda: "Yaitu orang yang mengubur (membersihkan) dahak yang berada di dalam mesjid, atau orang yang menyingkirkan duri dan sejenisnya dari tengah jalan. Apabila tidak mampu melakukan hal itu, maka cukup kamu melaksanakan shalat Dluha dua rakaat" (HR. Abu Dawud dan Imam Ahmad, serta haditsnya Shahih).
3) Melakukan shalat Dluha merupakan di antara ciri orang yang tunduk dan bertakwa kepada Allah. Rasulullah saw bersabda:
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((لا يحافظ على صلاة الضحى إلا أواب)) قال: ((وهي صلاة الأوبين)) [رواه ابن خزيمة والحاكم والحديث حسن].
Artinya: "Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw bersabda: "Tidak ada yang selalu menjaga untuk melakukan shalat Dluha, melainkan orang yang kembali (kepada kebaikan). Dalam riwayat lain dikatakan: "Shalat Dluha itu adalah shalatnya orang-orang yang kembali kepada kebenaran" (HR. Ibn Khuzaemah dan Imam Hakim, serta haditsnya hadits Hasan).
Kapan waktu melaksanakannya?
Para ulama berpendapat bahwa waktu pelaksanaan shalat Dluha adalah setelah matahari terbit sampai matahari tergelincir sedikit (zawal, atau sebelum waktu Dluhur). Di antara dalilnya adalah:
عن أنس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من صلى الغداة فى جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس, ثم صلى ركعتين, كانت له كأجر حجة وعمرة تامة, تامة, تامة)) [أخرجه الترمذى والحديث حسن]
Artinya: "Anas berkata, Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang melakukan shalat Shubuh berjamaah, lalu duduk berdzikir kepada Allah sampai matahari terbit, lalu shalat dua rakaat, maka pahalanya sama dengan pahala melakukan Haji dan Umrah secara sempurna, secara sempurna, secara sempurna" (HR. Turmudzi dan haditsnya Hasan).
Sedangkan mengapa waktu paling akhir pelaksanaanya adalah ketika matahari tergelincir sedikit (zawal, sebelum Dluhur), karena sesuai dengan namanya yakni Dluha, yang berarti waktu sebelum matahari tergelincir. Demikian menurut para ulama Fiqih.
Dari waktu pelaksanaan tadi, terdapat waktu yang paling utama (afdhal) untuk melakukannya, yaitu pada waktu panas matahari sudah mulai memanas (sekitar jam 08.00 atau 08.30 pagi). Hal ini didasarkan kepada hadits di bawah ini:
عن زيد بن أرقم أنه رأى قوما يصلون من الضحى, فقال: أما لقد علموا أن الصلاة فى غير هذه الساعة أفضل, إن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ((صلاة الأوبين حين ترمض الفصال)) [رواه مسلم]
Artinya: "Dari Zaid bin Arqam bahwasannya ia melihat sekelompok orang melakukan shalat Dluha. Zaid berkata: "Kalau seandainya kalian mengetahui bahwa waktu paling utama untuk melakukan shalat Dluha adalah bukan waktu ini. Rasulullah saw pernah bersabda: "Shalat orang-orang yang bertaubat (shalat Dluha) itu (sebaiknya dilakukan) ketika anak-anak unta mulai merasakan panasnya terik matahari" (HR. Muslim).
Jumlah rakaatnya
Shalat Dluha paling sedikit dilakukan dua rakaat, dan paling banyaknya dilakukan dua belas rakaat. Selain jumlah di atas, shalat Dluha juga dapat dilakukan dalam jumlah empat, enam dan delapan rakaat. Apabila anda hendak melakukannya dalam jumlah empat, enam, delapan atau dua belas rakaat, maka lakukanlah dua rakaat-dua rakaat. Artinya, setelah dua rakaat anda salam, kemudian bangun lagi dan shalat kembali dua rakaat. Demikian seterusnya. Hal ini didasarkan kepada hadits di bawah ini:
عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((صلاة الليل والنهار مثنى مثنى)) [رواه النسائى وابن ماجه والحديث صححه الألبانى]
Artinya: "Dari Ibnu Umar, bahwasannya Rasulullah saw bersabda: "Shalat malam dan shalat siang itu hendaknya dilakukan dua rakaat-dua rakaat" (HR. Nasai dan Ibnu Majar. Hadits tersebut dipandang shahih oleh Imam al-Bani).
Dalil bahwa shalat Dluha dapat dilakukan dua rakaat adalah hadits di bawah ini:
عن أبي ذر, عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((يصبح على كل سلامى من أحدكم صدقة, فكل تسبيحة صدقة, وكل تحميدة صدقة, وكل تهليلة صدقة, وكل تكبيرة صدقة, وأمر بالمعروف صدقة, ونهي عن المنكر صدقة, ويجزئ من ذلك ركعتان يركعهما من الضحى)) [رواه مسلم]
Artinya: "Dari Abu Dzar, Rasulullah saw bersabda: "Hendaklah setiap tulang-tulang kalian bersedekah, setiap ucapan tasbih (subhanallah) adalah shadaqah, setiap ucapan tahmid (alhamdulillah) adalah shadaqah, setiap ucapan tahlil (laa ilaaha illallaah) adalah shadaqah, setiap ucapan takbir (Allahu Akbar) adalah shadaqah, mengajak kepada kebaikan adalah shadaqah, mencegah kemungkaran adalah shadaqah. Semua yang disebutkan di atas tersebut dapat diraih (pahalanya) hanya dengan melakukan shalat Dluha dua rakaat" (HR. Muslim).
Dalil bahwa shalat Dluha dapat dilakukan empat rakaat adalah:
عن أبي الدرداء وأبي ذر, عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال: ((يقول الله عز وجل: ابن أدم! اركع لي من أول النهار أربع ركعات, أكفك آخره)) [رواه الترمذى والحديث حسن]
Artinya: "Dari Abu Darda dan Abu Dzar, Rasulullah saw bersabda: "Allah swt berfirman: 'Wahai keturunan Adam, shalatlah untukku empat rakaat pada permulaan siang, niscaya saya cukupkan akhir siangnya" (HR. Turmudzi dan haditsnya Hasan).
Dalil shalat Dluha dapat dilakukan enam rakaat:
عن أنس بن مالك, أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلى الضحى ست ركعات [رواه الترمذى والحديث صحيح لغيره].
Artinya: "Dari Anas bin Malik, bahwasannya Rasulullah saw melakukan shalat Dluha enam rakaat" (HR. Turmudzi dan haditsnya Shahih Lighairihi).
Dalil shalat Dluha dapat dilakukan delapan rakaat adalah:
عن أم هانئ قالت: لما كان عام الفتح, أتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو بأعلى مكة, قام رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى غسله, فسترت عليه فاطمة, ثم أخذ ثوبه, فالتحف به, ثم صلى ثمان ركعات سبحة الضحى [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Ummu Hani' berkata: "Pada saat penaklukan kota Mekah, saya datang menghadap Rasulullah saw dan beliau sedang berada di ujung kota Mekah. Rasulullah saw lalu berdiri menuju tempat mandinya dan Fatimah menutupinya, lalu beliau mengambil pakaiannya dan memakainya kemudian Rasulullah saw melakukan shalat Dluha sebanyak delapan rakaat" (HR. Bukhari Muslim).
Sedangkan dalil bolehnya dilakukan dua belas rakaat adalah hadits di bawah ini:
عن أبي الدرداء قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من صلى الضحى ركعتين, لم يكتب من الغافلين, ومن صلى أربعا, كتب من العابدين, ومن صلى ستا, كفي ذلك اليوم, ومن صلى ثمانيا, كتبه الله من القانتين, ومن صلى ثنتى عشرة ركعة, بنى الله له بيتا فى الجنة, وما من يوم ولا ليلة إلا لله من يمن به على عباده صدقة, وما من الله على أحد من عباده أفضل من أن يلهمه ذكره)) [رواه الطبرانى والحديث حسن]
Artinya: "Abu Darda berkata, Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang melakukan shalat Dluha dua rakaat, maka ia tidak akan tercatat sebagai orang yang lalai. Barangsiapa yang shalat Dluhanya empat rakaat, maka ia termasuk orang yang ahli beribadah. Siapa yang shalat Dluhanya enam rakaat, maka Allah akan cukupkan (kebaikan) baginya untuk hari itu. Barangsiapa yang shalat Dluha delapan rakaat, Allah akan mencatatnya sebagai orang yang patuh tunduk, serta siapa yang shalat Dluha dua belas rakaat, Allah akan membangunkan sebuah rumah kelak di surga. Tidak ada satu hari ataupun malam melainkan ada orang yang diberikan karunia oleh Allah berupa sedekah. Namun, tidak ada karunia dan pemberian paling utama dari Allah bagi seseorang, selain Allah mengilhamkan kepadanya untuk selalu berdzikir dan mengingatNya" (HR. Thabrani, dan haditsnya Hasan).
3. Melakukan Shalat Witir
Secara bahasa Witir berarti ganjil (al'adad al-fardi). Sedangkan secara istilah, Shalat Witir berarti shalat Sunnat yang jumlah rakaatnya ganjil yang dapat dilakukan di antara waktu shalat Isya dengan waktu sebelum Shalat Shubuh, dan dilakukan sebagai penutup dari shalat malam.
Dalam kitab al-Majmu' (4/480), Imam Nawawi mengatakan bahwa para ulama berbeda pendapat apakah Shalat Witir ini termasuk bagian dari shalat Tahajud atau tidak. Sebagian ulama memasukkannya sebagai salah satu bagian dari shalat Tahajjud. Artinya, ketika dikatakan shalat Tahajjud, maka Shalat Witir termasuk di dalamnya. Ulama lain mengatakan bahwa ia berdiri sendiri, terpisah dari shalat Tahajjud.
Shalat Witir termasuk shalat sunnah mu’akkadah, bahkan Madzhab Hanafi memandangnya sebagai sesuatu yang wajib. Shalat Witir mempunyai banyak kelebihan dan keutamaan, di antaranya termasuk shalat yang dianjurkan oleh Rasulullah saw dalam banyak hadits. Tidak semata-mata Rasulullah saw menganjurkan dalam banyak kesempatan, kecuali untuk sesuatu yang sangat penting.
Di antara hadits tentang keutamaan shalat Witir adalah:
عن ابن مسعود أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((يا أهل القرآن أوتروا فإن الله عز وجل وتر يحب الوتر)) [رواه ابن ماجه والترمذي وأحمد وحسنه الألباني].
Artinya: “Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah saw bersabda: “Wahai para pecinta al-Qur’an, shalat Witirlah kalian, kerena Allah itu Witir (ganjil, maksudnya satu), dan Allah menyukai Witir (yang tidak genap)’ (HR. Ibnu Majah, Turmudzi, Ahmad, dan Albany menilai hadits tersebut Hasan).
Mengingat pentingnya shalat Witir ini, Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam bukunya Majmu’ al-Fatawa (23/88): ‘Semua ummat Islam sepakat bahwa Shalat Witir hukumnya sunnah mu’akkadah (sunnat yang sangat dianjurkan). Siapa yang meninggalkannya, berarti telah meninggalkan pengakuannya. Shalat Witir lebih baik dan lebih utama dari pada shalat sunnat rawatib Zhuhur, Maghrib dan Rawatib Isya. Dan Shalat Witir lebih baik dan lebih utama dari semua shalat-shalat sunnat siang hari seperti Shalat Dluha, bahkan, shalat yang paling utama dan paling baik setelah shalat-shalat wajib adalah shalat malam, yang di antara shalat malam tersebut adalah shalat Witir dan shalat sunnat rawatib dua rakaat sebelum Shubuh (qabliyyah Shubuh”.
Waktu melaksanakannya
Para ulama telah sepakat bahwa Shalat Witir dapat dilakukan di antara waktu setelah shalat Isya sampai sebelum terbit fajar. Artinya, ia dapat melakukan di awal malam, pertengahan atau akhir malam (baik sebelum maupun sesudah tidur). Namun, dari waktu tersebut, waktu yang paling disukai oleh Allah untuk melaksanakan Shalat Witir adalah sepertiga malam paling akhir (waktu dini hari, setelah tengah malam). Hal ini berdasarkan hadits-hadits berikut ini:
عن عائشة قالت: ((من كل الليل قد أوتر رسول الله صلى الله عليه وسلم: من أول الليل وأوسطه وآخره, فانتهى وتره إلى السحر)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Rasulullah saw melakukan Shalat Witir setiap malam, terkadang di permulaan malam, pertengahan dan di akhir malam. Namun, beliau kemudian melakukannya pada waktu sahur (sepertiga malam terakhir)" (HR. Bukhari Muslim).
Apabila seseorang merasa yakin bahwa ia akan bangun pada waktu sepertiga malam akhir, maka lebih utama apabila ia mengakhirkan pelaksanaan Shalat Witirnya pada akhir malam. Namun, apabila ia merasa yakin tidak akan bangun pada sepertiga akhir malam tersebut, maka sebaiknya ia melakukan Shalat Witir sebelum tidur. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
عن جابر بن عبد الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من خاف منكم ألا يستيقظ من آخر الليل, فليوتر وليرقد, ومن طمع منكم أن يستيقظ من آخر الليل فليوتر من آخره, فإن صلاة آخر الليل محضورة, فذلك أفضل)) [رواه مسلم]
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang merasa khawatir tidak dapat bangun pada akhir malam, maka Shalat Witirlah terlebih dahulu kemudian baru tidur. Namun bagi yang merasa yakin dapat bangun di akhir malam, maka Shalat Witirlah di waktu akhir malam tersebut. Karena Shalat Witir di akhir malam itu akan dihadiri oleh para malaikat, dan waktu tersebut adalah waktu yang paling utama" (HR. Muslim).
Demikian juga, sebaiknya Shalat Witir dilakukan sebagai penutup shalat-shalat sunnat malam lainnya. Artinya, Shalat Witir sebaiknya dilakukan setelah semua shalat malam dilakukan dengan lengkap, sehingga setelah Shalat Witir tidak ada lagi shalat sunnat malam yang dikerjakan, karena sudah ditutup oleh shalat Witir. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((اجعلوا آخر صلاتكم بالليل وترا)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: Dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda: "Jadikanlah Shalat Witir sebagai shalat paling akhir dari shalat malam kalian" (HR. Bukhari Muslim).
Apakah apabila telah melakukan Shalat Witir, masih boleh melakukan shalat sunnat lainnya, dan apakah Shalat Witir boleh dilakukan berulang-ulang?
Para ulama dalam hal ini terbagi kepada dua pendapat (lihat dalam al-Majmu': 3/521), Bidayatul Mujtahid: 1/297, Fathul Qadir: 1/312):
Pendapat pertama mengatakan bahwa boleh melakukan shalat sunnat lainnya sekalipun sudah melakukan Shalat Witir. Ia boleh shalat sunnat berapa saja ia kehendaki, hanya ia tidak boleh mengulang Shalat Witirnya. Pendapat ini adalah pendapatnya jumhur ulama seperti Hanafiyyah, Malikiyyah, Hanabilah, sebagian besar Syafi'iyyah, Ibrahim an-Nakha'I, juga pendapatnya Abu Bakar, Ibn Abbas, Siti Aisyah dan shahabat-shahabat lainnya. Hal ini didasarkan kepada hadits-hadits berikut ini:
عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم: كان يسلم تسليما يسمعنا, ثم يصلى ركعتين بعدما يسلم وهو قاعد)) [رواه مسلم]
Artinya: Dari Siti Aisyah bahwasannya Rasulullah saw, mengucapkan salam (dalam Shalat Witir) dengan suara agak keras sehingga kami mendengarnya, lalu beliau shalat lagi dua rakaat sambil duduk setelah beliau mengucapkan salam (maksudnya setelah selesai melakukan Shalat Witir)" (HR. Muslim).
Dalam hadits lain dikatakan:
عن أم سلمة أنه صلى الله عليه وسلم كان يركع ركعتين بعد الوتر وهو جالس (رواه الترمذى وابن ماجه بإسناد لين)
Artinya: "Dari Ummu Salamah, bahwasannya Rasulullah saw melakukan shalat sunnat dua rakaat sambil duduk setelah beliau Shalat Witir" (HR. Turmudzi, Ibn Majah dengan sanad lemah).
عن جابر بن عبد الله قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((من خاف منكم ألا يستيقظ من آخر الليل, فليوتر وليرقد, ومن طمع منكم أن يستيقظ من آخر الليل فليوتر من آخره, فإن صلاة آخر الليل محضورة, فذلك أفضل)) [رواه مسلم]
Artinya: Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang merasa khawatir tidak dapat bangun pada akhir malam, maka Shalat Witirlah terlebih dahulu kemudian baru tidur. Namun bagi yang merasa yakin dapat bangun di akhir malam, maka Shalat Witirlah di waktu akhir malam tersebut. Karena Shalat Witir di akhir malam itu akan dihadiri oleh para malaikat, dan waktu tersebut adalah waktu yang paling utama" (HR. Muslim).
Semua hadits-hadits di atas menunjukkan bolehnya melakukan shalat sunnat setelah Shalat Witir. Namun demikian, apabila setelah Shalat Witir melakukan shalat sunnat lainnya, tetap untuk Shalat Witir tidak boleh dilakukan untuk yang kedua kalinya (tidak boleh dua kali atau lebih cukup satu kali saja). Hal ini berdasarkan hadits berikut ini:
عن طلق بن علي أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((لا وتران فى ليلة)) [رواه الترمذى وأبو داود والحديث حسن]
Artinya: "Dari Thalq bin Ali bahwasannya Rasulullah saw bersabda: "Tidak boleh melakukan dua Shalat Witir dalam satu malam" (HR. Turmudzi, Abu Dawud dan haditsnya Hasan).
Pendapat kedua, mengatakan bahwa tidak boleh melakukan shalat sunnat lainnya setelah Shalat Witir, kecuali apabila Shalat Witir yang telah dilakukannya itu batal dan harus diulang. Maka ia boleh melakukan shalat sunnat lainnya terlebih dahulu, lalu ditutup dengan Shalat Witir. Pendapat ini adalah pendapatnya Ibn Umar, Ibn Mas'ud, Utsman bin Affan dan sebagian ulama Syafi'iyyah. Di antara dalil yang dijadikan pegangan kelompok ini adalah:
عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((اجعلوا آخر صلاتكم بالليل وترا)) [رواه البخارى ومسلم]
Artinya: Dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda: "Jadikanlah Shalat Witir sebagai shalat paling akhir dari shalat malam kalian" (HR. Bukhari Muslim).
Namun demikian, pendapat yang paling kuat, hemat penulis, adalah pendapat jumhur ulama, pendapat pertama. Hal ini dikarenakan dalam hadits-hadits di atas disebutkan bahwa Rasulullah saw pernah melakukan shalat sunnat lainnya setelah beliau melakukan Shalat Witir. Apabila setelah Shalat Witir tidak boleh melakukan shalat sunnat lainnya, tentu dalam hadits di atas, Rasulullah saw tidak akan membolehkan seseorang yang dikhawatirkan tidak akan dapat bangun di akhir malam untuk melakukan Shalat Witir sebelum tidur. Di samping itu, harus dipahami bahwa Shalat Witir sebagai penutup shalat sunnat malam, tidak berarti tidak boleh sama sekali untuk melaksanakan shalat sunnat setelah Shalat Witir. Namun, harus dipahami bahwa umumnya dan sebaiknya Shalat Witir itu dilakukan setelah seluruh shalat sunnat malam lainnya dikerjakan. Wallahu a'lam.
Jumlah rakaat Shalat Witir dan cara melaksanakannya
Dalam beberapa hadits di bawah ini disebutkan bahwa Shalat Witir boleh dilakukan dalam jumlah satu atau tiga atau lima atau tujuh atau sembilan rakaat. Bahkan, dalam madzhab Syafi’i juga diperbolehkan dalam jumlah sebelas rakaat. Imam Nawawi dalam Raudhatut Thaalibin mengatakan: “Shalat Witir hukumnya sunnat, dapat dilakukan dalam jumlah satu rakaat, tiga, lima, tujuh, sembilan dan sebelas rakaat. Dan sebelas rakaat ini jumlah maksimalnya. Apabila lebih dari sebelas rakaat, menurut pendapat yang paling kuat, maka tidak sah shalat witirnya”.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini penjelasan lebih lanjut berikut dalil-dalilnya:
1) Shalat Witir satu rakaat
Jumhur ulama berpendapat bahwa Shalat Witir boleh dilakukan dalam jumlah satu rakaat. Hal ini di antaranya didasarkan kepada dalil-dalil berikut ini:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((صلاة الليل مثنى مثنى, فإذا خشي أحدكم الصبح, صلى واحدة توتر له ما قد صلى)) [رواه البخارى]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Shalat malam itu dua rakaat dua rakaat. Apabila seseorang merasa khawatir akan segera datang waktu Shubuh, maka shalatlah satu rakaat, sebagai Shalat Witir baginya dari shalat-shalat yang telah dilakukannya". (HR. Bukhari).
عن ابن عمر ان النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((الوتر ركعة من آخر الليل)) [رواه مسلم]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Shalat Witir itu satu rakaat pada waktu akhir malam" (HR. Muslim).
عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلى من الليل إحدى عشرة ركعة, يوتر منها بواحدة (رواه مسلم]
Artinya: "Dari Siti Aisyah, bahwasannya Rasulullah saw melakukan shalat malam sebanyak sebelas rakaat, di antaranya dengan Shalat Witir satu rakaat" (HR. Muslim).
Sementara menurut Imam Abu Hanifah, bahwa minimal Shalat Witir itu adalah tiga rakaat. Hal ini berdasarkan hadits berikut ini:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((المغرب وتر النهار)) [رواه أحمد]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Maghrib itu adalah Witirnya siang hari" (HR. Ahmad).
Namun demikian, tentu hadits yang dijadikan pegangan oleh Abu Hanifah tidak berarti batasan bahwa minimal rakaat Witir itu adalah seperti shalat Maghrib, yaitu tiga rakaat, hanya saja hal itu sebagai salah satu bagian dari Shalat Witir. Dan satu rakaat pun tetap diperbolehkan, karena banyak hadits-hadits yang menguatkan hal itu sebagaiman telah disebutkan di atas.
2) Shalat Witir tiga rakaat
Untuk Shalat Witir yang tiga rakaat, boleh dilakukan dengan dua cara
1) Shalat dua rakaat terlebih dahulu, lalu salam, lalu berdiri lagi dan shalat satu rakaat lalu salam lagi sehingga semuanya menjadi tiga rakaat. Bolehnya melakukan Shalat Witir seperti ini berdasarkan hadits berikut ini:
عن ابن عمر أنه كان يسلم بين الركعتين والوتر حتى يأمر ببعض حاجته (رواه البخارى)
Artinya: Dari Ibnu Umar bahwasannya ia melakukan salam di antara dua rakaat dan Witir (dan satu rakaat), sehingga ia dapat memerintahkan untuk menyelesaikan sebagian keperluannya" (HR. Bukhari).
عن ابن عمر كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفصل الشفع والوتر بتسليم يسمعناه (رواه أحمد وابن حبان)
Artinya: "Dari Ibnu Umar, bahwasannya Rasulullah saw memisahkan antara rakaat genap dan ganjil dengan salam yang kami dapat mendengarnya" (HR. Ahmad dan Ibn Hibban)
عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقرأ فى الركعتين اللتين يوتر بعدهما (سبح اسم ربك الأعلى) و (قل يا أيها الكافرون), ويقرأ فى الوتر ب (قل هو الله أحد) و (قل أعوذ برب الفلق) و (قل أعوذ برب الناس) [أخرجه الطحاوى والحديث ضعيف]
Artinya: Dari Siti Aisyah bahwasannya Rasulullah saw pada dua rakaat Shalat Witir membaca surat al-A'la dan al-Kafirun. Kemudian beliau membaca pada rakaat ketiga dari Shalat Witir surat al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas" (HR. at-Thahawi dan haditsnya Dhaif).
2) Shalat tiga rakaat sekaligus dengan satu kali tasyahud. Hal ini juga pernah dipraktekkan oleh Rasulullah saw sebagaimana tertera dalam hadits berikut ini:
عن عائشة قالت: ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم فى رمضان ولا فى غيره يزيد على إحدى عشرة ركعة: يصلى أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن, ثم يصلى أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن, ثم يصلى ثلاثا...(رواه البخارى ومسلم)
Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Rasulullah saw tidak pernah melakukan shalat malam baik pada bulan Ramadhan maupun pada bulan-bulan lainnya, lebih dari sebelas rakaat; beliau shalat empat rakaat, dan kamu tidak usah menanyakan bagus dan lamanya, lalu shalat empat rakaat lagi, dan jangan ditanya mengenai bagus dan panjangnya, kemudian beliau shalat tiga rakaat" (HR. Bukhari Muslim).
عن عائشة قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يوتر بثلاث لا يقعد إلا فى آخرهن (رواه النسائ والحاكم ومالك)
Artinya: Siti Aisyah berkata: "Rasulullah saw melakukan Shalat Witir sebanyak tiga rakaat, dan beliau tidak duduk (maksudnya tasyahud) kecuali pada rakaat paling akhir" (HR. Nasa'i, Hakim dan Malik).
Namun demikian, apabila Shalat Witir ini dilakukan tiga rakaat sekaligus, maka tidak boleh memakai tasyahud awal (tapi cukup satu kali tasyahud saja yaitu tasyahud akhir) sebagaimana shalat Maghrib. Hal ini karena ada hadits yang mengatakan:
عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ((لا توتروا بثلاث, أوتروا بخمس أو بسبع, ولا تشبهوا بصلاة المغرب)) [رواه الحاكم والبيهقى]
Artinya: "Rasulullah saw bersabda: "Janganlah Shalat Witir dengan tiga rakaat, Shalat Witirlah dengan lima atau tuhuh rakaat. Namun jangan seperti melakukan shalat maghrib (pakai tasyahud awal)" (HR. Hakim dan Baihaki).
Surat apa yang sebaiknya dibaca pada tiga rakaat Shalat Witir?
Dalam hadits di bawah ini, disebutkan bahwa sebaiknya surat yang dibaca pada Shalat Witir tiga rakaat adalah: pada rakaat pertama surat al-A'la (sabbihis marabbikal a'la), pada rakaat kedua al-Kafirun (qul ya ayyuhal kaafirun) dan pada rakaat ketiga surat al-Ikhlas (qul huwallahu ahad), tentu semuanya setelah membaca surat al-Fatihah terlebih dahulu. Hal ini sebagaimana tertera dalam hadits berikut ini:
عن ابن عباس قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرأ فى الوتر ب(سبح اسم ربك الأعلى) و (قل ياأيها الكافرون) و (قل هو الله أحد) فى ركعة ركعة)) [رواه الترمذى والنسائى]
Artinya: Dari Ibn Abbas, bahwasannya Rasulullah saw apabila Shalat Witir, beliau membaca surat al-A'la (sabbihis marabbikal a'la), al-Kafirun (Qul ya ayyuhal kaafirun) dan al-Ikhlas (qul huwallahu ahad) pada setiap rakaatnya" (HR. Turmduzi dan Nasai).
عن أبي بن كعب قال: ((كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرأ فى الوتر ب(سبح اسم ربك الأعلى) و (قل يا أيها الكافرون) و(قل هو الله أحد), فإذا سلم قال: سبحان الملك القدوس, سبحان الملك القدوس ثلاث مرات)) [رواه أبو داود والنسائى]
Artinya: Ubay bin Ka'ab berkata: "Rasulullah saw apabila Shalat Witir, beliau membaca surat al-A'la, al-Kafirun dan al-Ikhlas. Apabila beliau telah salam, beliau membaca: Subhanalmalikil kuddus (maha suci Allah, Maha Raja dan Maha Suci), subhanal malikil kuddus sebanyak tiga kali" (HR. Abu Dawud dan Nasai).
Sementara menurut Malikiyyah dan Syafi'iyyah, disunnahkan ketika rakaat ketiga dari Shalat Witir, di samping membaca surat al-Ikhlas juga membaca surat al-Falaq dan an-Nas. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقرأ فى الركعتين اللتين يوتر بعدهما (سبح اسم ربك الأعلى) و (قل يا أيها الكافرون), ويقرأ فى الوتر ب (قل هو الله أحد) و (قل أعوذ برب الفلق) و (قل أعوذ برب الناس) [أخرجه الطحاوى والحديث ضعيف]
Artinya: Dari Siti Aisyah bahwasannya Rasulullah saw pada dua rakaat Shalat Witir membaca surat al-A'la dan al-Kafirun. Kemudian beliau membaca pada rakaat ketiga dari Shalat Witir surat al-Ikhlas, al-Falaq dan an-Nas" (HR. at-Thahawi dan haditsnya Dhaif).
Hanya saja, hadits terakhir ini dhaif, dan karenanya hemat penulis, pada rakaat ketiga cukup hanya membaca al-Ikhlas saja. Wallahu a'lam
3) Shalat Witir lima rakaat
Shalat Witir juga boleh dilakukan dalam jumlah lima rakaat, dan tidak ada tasyahud awal. Duduk tasyahudnya cukup satu kali yaitu pada rakaat kelima. Hal ini berdasarkan hadits berikut ini:
عن عائشة قالت: ((كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلى من الليل ثلاث عشرة ركعة يوتر من ذلك بخمس لا يجلس إلا فى آخرها)) [رواه مسلم]
Artinya: "Siti Aisyah berkata: "Rasulullah saw melakukan shalat malam sebanyak tiga belas rakaat. Beliau melakukan Shalat Witirnya sebanyak lima rakaat dan beliau tidak duduk tasyahud kecuali pada rakaat terakhir (kelima) saja" (HR. Muslim)
4) Shalat Witir tujuh atau sembilan rakaat
Shalat Witir juga boleh dilakukan dalam jumlah tujuh atau sembilan rakaat. Namun, untuk Shalat Witir yang dilakuan dalam jumlah tujuh atau sembilan rakaat, maka tasyahud dilakukan dalam dua tempat. Tasyahud awal ketika rakaat menjelang akhir (para rakaat keenam atau kedelapan), dan tasyahud akhir pada rakaat terakhir.
Prakteknya, apabila sudah sampai rakaat ke enam (bagi yang hendak Witir tujuh rakaat), atau apabila sudah sampai pada rakaat kedelapan (bagi yang hendak Witir sembilan rakaat), duduk tasyahud terlebih dahulu, tanpa salam, kemudian ia bangkit lagi untuk shalat satu rakaat lagi, dan setelah itu ia tasyahud akhir lalu salam. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut ini:
عن عائشة فى صفة وتر النبي صلى الله عليه وسلم قالت: ((كنا نعد له صلى الله عليه و سلم سواكه, فيبعثه الله ما شاء أن يبعثه من الليل, فيتسوك ويتوضأ, ويصلى تسع ركعات لا يجلس فيها إلا فى الثامنة, فيذكر الله ويحمده ويدعوه, ثم ينهض ولا يسلم, ثم يقوم التاسعة, ثم يقعد فيذكر الله ويحمده ويدعوه, ثم يسلم تسليما يسمعناه, ثم يصلى ركعتين بعد ما يسلم وهو قاعد فتلك إحدى عشرة ركعة يا بني, فلما أسن نبي الله صلى الله عليه وسلم وأخذ اللحم أوتر بسبع, وصنع فى الركعتين مثل صنيعه الأول, فتلك تسع يا بني)) [رواه مسلم]
Artinya: "Siti Aisyah berkata tentang sifat Rasulullah saw dalam melaksanakan Shalat Witir: "Kami biasa menyediakan siwak untuk Rasulullah saw. Allah lalu membangunkannya pada waktu malam. Beliau lalu bersiwak, lalu berwudhu, lalu shalat sebanyak sembilan rakaat. Beliau tidak duduk tasyahud kecuali pada rakaat kedelapan, beliau (pada duduk tasyahud tersebut) menyebut nama Allah, memujiNya dan berdoa kepadaNya. Lalu beliau bangkit tanpa ada salam sebelumnya. Beliau bangkit untuk rakaat yang kesembilan, lalu beliau duduk tasyahud, membaca dzikir, tahmid dan berdoa, kemudian beliau mengucapkan salam sehingga kami betul-betul dapat mendengarnya. Lalu beliau shalat dua rakaat sambil duduk setelah selesai Shalat Witir. Jumlah seluruhnya, wahai putraku, adalah sebelas rakaat. Ketika Rasulullah saw sudah menginjak masa tua, beliau melakukan Shalat Witir sebanyak tujuh rakaat. Beliau juga melakukan shalat dua rakaat sebagaimana yang dilakukannya pada sebelumnya (dua rakaat setelah selesai Shalat Witir), sehingga, wahai putraku, jumlah semuanya adalah sembilan rakaat" (HR. Muslim).
Demikian, penjelasan singkat tiga wasiat Rasulullah saw untuk kita semua. Semoga kita semua sejak saat ini, mulai merutinkan untuk melakukan tiga wasiat Rasulullah saw di atas, mengingat betapa besar dan utamanya ketiga hal dimaksud; puasa tiga hari setiap bulan, shalat Dluha dan Shalat Witir.
Mengakhiri tulisan ini, alangkah baiknya penulis kutipkan di antara sabda Rasulullah saw di bawah ini:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((لا تزولا قدما عبد حتى يسأل يوم القيامة عن أربع: عن عمره فيما أفناه, وعن علمه ماذا عمل فيه, وعن ماله من أين اكتسبه وفيما أنفقه, وعن جسمه فيما أبلاه)) [رواه الترمذي وصححه الألباني]
Artinya: “Rasulullah saw bersabda: “TIdak beranjak kedua kaki seseorang kelak pada hari Kiamat, melainkan akan ditanya empat hal: Tentang umurnya, dalam hal apa dihabiskan, tentang ilmunya, apa yang telah diperbuatnya, tentang hartanya, dari mana didapatkan dan kemana dihabiskan, serta tentang badannya dalam hal apa dipergunakan” (HR. Turmudzi, dan Albany menilai hadits tersebut Shahih).
Semua yang ada di tubuh kita akan dimintai pertanggungjawaban, termasuk umur yang telah Allah berikan kepada kita, juga tubuh, demikian juga dengan harta dan ilmu. Mari kita isi umur yang tersisa ini dengan lebih banyak berbuat kebaikan, yang di antaranya melakukan tiga wasiat Rasulullah saw di atas. Jangan sampai umur terus maju, tapi kebaikan tidak pernah melaju. Jangan sampai kesempatan hidup terus berkurang tapi perbuatan dosa tidak pernah berhenti. Jangan sampai penyesalan itu datang belakangan. Mumpung masih ada kesempatan, mari kita isi dengan kebaikan dan kebaikan juga kebaikan. Semoga. Wallahu ‘alam bis shawab.
Qatamea, 01 Juni 2008.
copyrd by http://poetryarchives.blogspot.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar