Senin, 19 Januari 2009

Menegakkan Islam dengan Cara Islam

Farid Achmad Okbah, M.Ag.
Saturday, 27 October 2001

Judul di atas menggambarkan upaya sungguh-sungguh untuk memahami dan mempraktikkan dengan benar penegakan syariat Islam dengan cara yang sesuai dengan Islam. Meskipun kenyataan faktual banyak upaya yang dilakukan umat Islam dalam menegakkan kalimat Allah itu dengan berbagai cara. Adakalanya Islami tapi parsial, ada pula yang tidak Islami tetapi berusaha melegitimasi dengan dalil-dalil syar'i dengan lebih banyak bersifat ijthadi pada saat ada dalil. Sebab, ijtihad dilakukan pada saat tidak ada dalil atau dalil bisa dipahami lebih dari satu pengertian.

Karenanya, kita dapati berbagai corak perjuangan yang dilakukan umat Islam satu sama lain menekankan pentingnya bidang garapan yang digelutinya. Para politisi Muslim, umpamanya, menekankan perjuangan Islam yang paling efektif adalah melalui jalur politik. Sementara, para ekonom Muslim menganalisis, mana mungkin perjuangan Islam bisa berhasil kalau umat Islam lemah ekonominya. Demikian pula para juru dakwah, mereka mengemukakan bahwa perjuangan Islam yang paling dominan adalah umat Islam ini kembali berpegang kepada Islam agar mereka jaya, tanpa memperinci lebih jauh apa dan bagaimana merealisasikannya, dst. ... dst.

Maka dari itu, tema ini menjadi penting untuk dibahas dalam rangka merekonstruksi perjuangan umat Islam dalam menegakkan dinullah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya serta perjalanan salafus shaleh sepanjang sejarah perjuangan umat Islam.

Tujuan

Kita menyadari bahwa tanggung jawab yang akan dipertanyakan kelak pada hari akhirat adalah tanggung jawab personal. Artinya, Allah tidak membebankan tanggung jawab pihak lain kepada kita, kecuali kalau kita punya andil dalam persoalan tersebut. Karenanya, banyak ayat yang menekankan tanggung jawab ini.

Allah SWT telah berfirman (yang artinya): "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Al-Baqarah: 286). "Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri." (An-Nisa: 84). "Hai orang-orang yang beriman, selamatkanlah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka." (At-Tahrim: 6).

Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): "Mulailah dengan diri kalian sendiri atau mulailah dengan keluargamu." Dengan demikian, prioritas kita adalah menyelamatkan diri sendiri dari segala kemungkinan penyimpangan terhadap misi utama kehidupan kita, yaitu: "Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (Adz-Dzariyat: 56).

Apabila kita sadari hal itu, kita akan memahami arti ibadah seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan kita sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhoi Allah SWT. "Segala apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan, perbuatan yang nampak, maupun yang tersembunyi." (Ibnu Taimiyah, Al-'Ubudiyah, hlm. 1).

Ini mengandung pengertian bahwa seluruh aktivitas kita harus sesuai dengan syariat Islam. Jadi, fokusnya adalah kita sementara acuannya adalah syariat Islam. Karenanya tidak benar seseorang yang belum mengerti ajaran Islam dalam membangun kepribadiannya, tetapi sudah sibuk bagaimana menegakkan Islam. Tidak berarti menegakkan Islam tidak penting, tetapi prosesnya salah. Sesudah seseorang dalam sekup individu melaksanakan tanggung jawab dirinya sebagai hamba Allah, dia akan melangkah menempati posisi di masyarakatnya sesuai dengan kapasitas masing-masing. Di sinilah terjadi interaksi dan kooperasi antara anggota masyarakat Muslim sesuai dengan firman Allah SWT: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al-Maidah: 2).

Dan, tanggung jawabnya semakin luas sesuai dengan kapasitas kemampuannya, sehingga dengan posisi masing-masing itu akan dimintai pertanggungjawabannya seperti sabda Nabi saw., "Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah penanggung jawab dan setiap kalian akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Imam yang ada di tengah manusia adalah penanggung jawab dan dia akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang suami bertanggung jawab terhadap keluarganya dan dia akan ditanyai tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya. Dan seorang istri bertanggung jawab terhadap rumah suaminya dan anaknya dan dia akan ditanya tentang mereka." (HR Bukhari, Muslim, dan selain keduanya).

Apabila setiap individu tidak melaksanakan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah yang berkewajiban melaksanakan syariat Islam sesuai dengan kemampuannya, berarti dia telah berkhianat. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (Al-Anfal: 27).

Dalam istilah fiqh bahwa tanggung jawab personal itu fardhu 'ain, sedangkan tanggung jawab kolektif adalah fardhu kifayah. Adalah salah besar kalau ada orang yang mengutamakan fardhu kifayah (tanggung jawab kolektif) daripada tanggung jawab fardhu 'ain (individu). Tetapi, menjadi sangat baik kalau dia mengerjakan fardhu 'ainnya sekaligus melaksanakan fardhu kifayahnya. Kalau tidak, maka seluruh umat berdosa.

Teladan Rasulullah

Gambaran di atas akan lebih jelas pada personifikasi Rasulullah saw. sebagai teladan bagi perjuangan umat Islam. Dan, mempelajari perjalanan perjuangan Nabi saw. tidak boleh sepotong-sepotong, seperti mereka yang terperangkap dengan mengkotak-kotakkan masa Mekah dan masa Madinah. Karena, Islam sudah lengkap dan Nabi saw. telah mempraktikkannya secara sempurna. Makanya, kewajiban kita adalah memahami sirah Nabi saw. itu secara komprehensif dan mempaktikkannya sesuai dengan kapasitas dan kondisi kita, seperti firman Allah SWT: "Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian ...." (Ath-Thaghabun: 16). Dan, Rasulullah saw. memberikan arahan atas kelengkapan syariat Islam yang harus kita pedomani:

"Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan hal-hal yang wajib, maka janganlah kalian meninggalkannya; dan telah memberikan batasan-batasan, maka janganlah kalian melanggarnya. Dia mengharamkan sesuatu, maka janganlah kalian melanggarnya; dan mendiamkan banyak hal sebagai rahmat bagi kalian, maka janganlah kalian mencari-cari (hukumnya)." (HR Daruqutni, hadits hasan). Dan, beliau menekankan pegangan yang harus dipedomani pada saat terjadi perbedaan atau perselisihan: "Maka, barang siapa yang hidup di antara kalian, niscaya akan melihat perbedaan yang banyak. Maka, hendaklah kalian (mengikuti) sunnahku dan juga sunnah Khulafa ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk dan gigitlah dengan gigi geraham dan hendaklah kalian menjauhui perkara-perkara yang diciptakan (bid'ah, red.), karena sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat."
(HR Abu Daud dan Tirmidzi, hadits hasan).

Secara ringkas kita melihat praktik Nabi saw. dalam membangun kekuatan Islam. Nabi saw. ketika berada di Mekah membuat kader yang difokuskan di rumah-rumah dan terutama di rumah Arqam bin Abi Arqam. Di antara kader yang matang ditugasi menyampaikan dakwah, seperti Mushab bin 'Umair yang dikirim ke madinah.

Nabi saw. mencari tempat yang kondusif untuk mengembangkan dakwah dan kekuatan Islam. Beliau pergi ke Thaif tetapi tidak cocok. Kemudian beliau lebih memilih ke Madinah karena mendapat sambutan di sana. Kemudian beliau membangunn masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam dan penempaan para kader. Langkah berikutnya beliau mempererat hubungan sesama Muslim dengan mempersaudarakan antara Muhajirin (dari Mekah) dan Anshar (dari Madinah). Beliau membuat Piagam Madinah untuk membentengi umat Islam dan memberikan hak-hak non-Muslim. Nabi saw. mempersiapkan kekuatan untuk menghadang segala upaya ofensif kaum kuffar sampai 27 kali belaiu berperang antara perang defensif dan ofensif (seperti Perang Tabuk).

Di sini menjadi jelas bahwa kesatuan visi yaitu membangun aqidah yang benar sampai kesatuan langkah, yaitu kepada tegaknya kekuatan jihad merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh. (Lihat, DR. Rabi' bin Hadi al-Madkhal, Minhajul Anbiya, hlm. 87).

Karena itu, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menggunakan istilah perjuangan menegakkan Islam dengan cara Islam, yaitu dengan ungkapan "jihad". Beliau membagi jihad ini menjadi 4 bagian:

1. Jihad menundukkan hawa nafsu meliputi 4 tahap.
* Berjihad dengan mempelajari ajaran agama Islam demi kebahagiaan dunia dan akhirat.
* Jihad melaksanakan ilmu yang diperolehnya itu, karena ilmu tanpa amal adalah tidak berarti dan bahkan membahayakan.
* Jihad dengan berdakwah berdasarkan ilmu yang benar dan praktik nyata.
* Jihad menekan diri agar sabar terhdap cobaan dakwah berupa gangguan manusia (empat hal inilah makna yang terkandung dalam surah Al-Ashr, yang kata Imam Syafi'i seandainya Allah tidak menurunkan ayat kecuali Al-'Ashr, niscaya cukup bagi manusia).
2. Jihad melawan syaitan meliputi dua hal.
* Jihad melawan pemikiran syaitan berupa syubhat dan keragu-raguan yang dapat merusak keimanan. Perlawanannya adalah dengan keyakinan.
* Jihad melawan syaitan yang membisikan agar terjerumus kepada syahwat, hawa nafsu. Caranya dengan sabar dan menahan diri dengan berpuasa. (Lihat QS As-Sajdah: 2).
3. Jihad melawan kaum kufar dan munafikin melalui 4 tahap.
* Dengan kalbu
* Dendan lisan
* Dengan harta
* Dengan tangan
Jihad melawan kaum kuffar lebih utama dengan tangan, sementara terhadap kaum munafikin dengan lisan.
4. Jihad melawan kezaliman, kemungkaran, dan bid'ah ditempuh melalui tiga tahap. (1) Dengan tangan kalau mampu, kalau tidak (2) dengan lisan, kalau tidak mampu (3) minimal dengan hati. (HR Muslim).

Demikian 13 tingkatan jihad yang telah dilaksanakan secara sempurna oleh Rasulullah saw. (Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Zaadul Ma'ad, Juz 3 hlm. 6-12).

Benar kata Umar bin Khattab dalam ungkapan spektakulernya, yang artinya, "Kami adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam, seandainya kami mencari selainnya, niscaya kami akan dihinakan oleh Allah."

Juga ucapan Imam Malik, "Tidaklah urusan umat ini akan menjadi baik, kecuali dengan mengikuti hal-hal yang telah menjadikan umat terdahulu menjadi baik." Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar: