Jumat, 30 Januari 2009

KAJIAN TAFSIR DI INDONESIA

KAJIAN TAFSIR DI INDONESIA
(TAHUN 1960 – 2008)
Oleh : Taufikurrahman

A. Pendahuluan
Al Qur’an yang dalam memori kolektif kaum muslimin sepanjang abad sebagai kalam Allah, menyebut dirinya sebagai “ petunjuk bagi manusia” dan memberikan “penjelasan atas segala sesuatu” sedemikian rupa sehinggga tidak ada sesuatupun yang ada dalam realitas yang luput dari penjelasannya. Bila diasumsikan bahwa kandungan al Qur’an bersifat universal, berarti aktualitas makna tersebut pada tataran kesejarahan meniscayakan dialog dengan pengalaman manusia dalam konteks waktu. Hal ini juga berlaku dengan kajian tafsir yang ada di Indonesia. Sesuai dengan kondisi sosio-historisnya, Indonesia juga mempunyai perkembangan tersendiri dalam kaitannya dengan proses untuk memahami dan menafsirkan al Qur’an.
Perkembangan penafsiran al Qur’an agak berbeda dengan perkembangan yang terjadi di dunia Arab yang merupakan tempat turunnya al Qur’an dan sekaligus tempat kelahiran tafsir al-Qur’an. Perbedaan tersebut terutama disebabkan oleh perbedaan latar belakang budaya dan bahasa. Karena bahasa Arab adalah bahasa mereka, maka mereka tidak mengalami kesulitan berarti untuk memahami bahasa al Qur’an sehingga proses penafsiran juga lumayan cepat dan pesat. Hal ini berbeda dengan bangsa Indonesia yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab. Karena itu proses pemahaman al Qur’an terlebih dahulu dimulai dengan penerjemahan al Qur’an ke dalam bahasa Indonesia baru kemudian dilanjutkan dengan pemberian penafsiran yang lebih luas dan rinci. Oleh karena itu pula, maka dapat dipahami jika penafsiran al Qur’an di Indonesia melalui proses yang lebih lama jika dibandingkan dengan yang berlaku di tempat asalnya.
Dalam makalah ini penulis mencoba untuk membahas berbagai kajian tafsir yang ada di Indonesia mulai tahun 1960 sampai dengan sekarang. Pembatasan waktu ini penulis ambil dari periodesasi yang pernah dibuat oleh Howard M. Federspiel tentang kemunculan dan perkembangan tafsir al Qur’an di Indonesia yaitu awal abad XX sampai dengan tahun 1960-an, 1960 - 1970-an dan tahun 1970an sampai dengan sekarang. Sebetulnya periodesasi yang dibuat oleh Federspiel ini tidak luput dari kritikan, namun penulis memakainya dalam rangka mempermudah sebab sejauh menyangkut periodesasi perkembangan penafsiran di Indonesia, pembagian Federspiel inilah yang cukup memadai.
Makalah ini mencoba untuk membahas perkembangan kajian tafsir yang ada di Indonesia mulai tahun 1960an sampai dengan tahun 2008. Hanya saja karena banyaknya karya-karya tafsir yang ada di Indonesia, maka makalah ini akan menjelaskan secara lebih rinci pada tafsir lengkap 30 juz, sedangkan karya tafsir yang bersifat tematis, maupun yang hanya menfokuskan pada surat-surat tertentu akan penulis ulas secara lebih singkat sehingga diharapkan kajian ini akan mencakup keseluruhan karya tafsir yang ada di Indonesia secara komprehensif namun padat isi.

B. Karakteristik Penafsiran di Indonesia Tahun 1960 - 2008
Dari segi generasi Howard M. Federspiel pernah melakukan pembagian kemunculan dan perkembangan tafsir al Qur’an di Indonesia ke dalam tiga generasi. Generasi pertama dimulai sekitar awal abad XX sampai dengan tahun 1960-an. Era ini ditandai dengan penerjemahan dan penafsiran yang didominasi oleh model tafsir terpisah-pisah dan cenderung pada surat-surat tertentu sebagai obyek tafsir. Generasi kedua, yang muncul pada pertengahan 1960-an, merupakan penyempurnaan dari generasi pertama yang ditandai dengan adanya penambahan penafsiran berupa catatan kaki, terjemahan kata per kata dan kadang disertai dengan indeks sederhana. Tafsir generasi ketiga, mulai tahun 1970-an, merupakan penafsiran yang lengkap, dengan komentar-komentar yang luas terhadap teks yang juga disertai dengan terjemahnya.
Kesimpulan yang dikemukakan oleh Federspiel ini tidak sepenuhnya benar. Fakta menunjukkan bahwa pada periode pertama sudah ada karya tafsir yang sudah merupakan penafsiran lengkap seperti Tarjuman al Mustafid karya Abdul Rauf al Singkili dan Marah Labid karya Syek Muhammad Nawawi. Demikian juga pada periode kedua sudah terdapat tafsir lengkap 30 juz dengan komentar yang luas seperti tafsir al Azhar karya Hamka Hanya saja secara umum karya yang ada memang cenderung seperti yang dikemukakan oleh Federspiel.
Perkembangan terakhir dari kajian tafsir di Indonesia menunjukkan karya tafsir yang mengarah pada kajian tafsir maudhu’i. Hal ini banyak dipelopori oleh Quraish Shihab, yang banyak menghasilkan beberapa buku tafsir tematik seperti Lentera Hati, Membumikan al Qur’an dan Wawasan al Qur’an. Kecenderungan ini kemudian diikuti oleh para penulis yang lain dan makin disemarakkan dengan berbagai kajian tematik dari tesis dan disertasi di berbagai perguruan tinggi Islam.


C. Karya Tafsir Di Indonesia
1. Terjemah
Terjemah al Qur’an juga dimasukkan ke dalam bagian karya tafsir karena pada dasarnya terjemah juga merupakan upaya untuk mengungkapkan makna al Qur’an ke dalam bahasa lain. Artinya di dalamnya terdapat unsur interpretasi manusia terhadap ayat-ayat al Qur’an meskipun dalam bentuk yang sederhana, terlebih di dalamnya juga disertai dengan catatan kaki tentang makna satu ayat. Karya terjemah yang dihasilkan pada periode ini antara lain :
a. Al Qur’an dan Terjemahnya oleh Yayasan Penyelenggara Penterjemahan al Qur’an Departemen Agama RI tahun 1967. Karya ini merupakan salah satu proyek yang dimotori oleh Departemen Agama RI dalam rangka penerjemahan al Qur’an ke dalam Bahasa Indonesia.
b. Al Qur’an dan Terjemahannya oleh Redaksi Penerbit Bahrul Ulum pimpinan H. Bahtiar Surin
c. Al Qur’an Bacaan Mulia tahun 1977 oleh Dr. H. B. Jassin. Karya ini lebih merupakan upaya penerjemahan al Qur’an ke dalam Bahasa Indonesia dengan bahasa puitis. Hal ini sesuai dengan latar belakang HB Jassin yang merupakan seorang sasterawan. Latar belakang penerjemahan al Qur’an dengan bahasa puitis adalah karena al Qur’an memiliki kandungan sastra yang tiada tara.

2. Tafsir Tematis
Dari karya tafsir yang berkembang di Indonesia ada yang disusun dengan corak tafsir tematis di antaranya adalah :
a. Tematik Plural
Karya tafsir tematis ada yang bersifat plural yaitu karya yang membahas berbagai persoalan. Di antaranya adalah :
1) Membumikan al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (1992), Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan (1994) dan Wawasan al-Qur’an (1996). Ketiganya adalah karya Quraish Shihab yang diterbitkan oleh Mizan Bandung. Dalam ketiga buku ini Quraish Shihab membahas berbagai tema yang berkaitan dengan persoalan-persoalan yang ada di tengah masyarakat.
2) Ensiklopedi al Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1996) karya M. Dawam Raharjo. Karya ini merupakan kumpulan kajian serius yang ditulis oleh Dawam Raharjo dalam Jurnal Ulumul Qur’an tahun 1990-an.
3) Dalam Cahaya al al Qur’an, Tafsir Sosial Politik Al Qur’an (Jakarta; Gramedia, 2000) karya Syu’bah Asa. Buku Tafsir ini berawal dari artikel-artikel tafsir yang ditulis oleh Syu’bah Asa dalam majalah Panji Masyarakat antara tahun 1997-1999.
4) Tafsir Tematik al Qur’an tentang Hubungan Sosial antar Ummat Beragama (Yogyakarta: Pustaka SM, 2000) karya Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam PP Muhammadiyah
b. Tematik Singular
Tafsir tematik singular adalah karya tafsir yang menfokuskan diri dalam satu topik bahasan tertentu. Karya tafsir jenis ini cukup banyak, sebagian besar berasal dari disertasi, di antaranya adalah:
1) Konsep Kufr dalam al Qur’an, Suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tematis karya Harifuddin Cawidu. Karya ini berasal dari disertasi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 1989.
2) Konsep Perbuatan Manusia Menurut al Qur’an sebuah Kajian Tematik karya Jalaluddin Rahman yang berasal dari disertasinya di Pasca Sarjana IAIN Jakarta.
3) Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al Qur’an (1992) karya Dr Musa Asy’arie. Karya ini berasal dari disertasi Asy’arie di IAIN Sunan Kalijaga Yoryakarta
4) Menyelami Kebebasan Manusia, Telaah Kritis terhadap Konsepsi Al Qur’an (1996) karya Machasin. Karya ini berasal dari tesis Machasin di IAIN Yogyakarta dengan judul Kebebasa dan Kekuasaan Allah dalam Al Qur’an.
5) Ahl Kitab, Makna dan Cakupannya (1998), karya Muhammad Ghalib Mattalo. Karya ini berasal dari disertasi Ghalib di IAIN Jakarta dengan judul Wawasan Al Qur’an tentang Ahl Kitab tahun 1997.
6) Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al Qur’an (1999), karya Nasaruddin Umar. Buku ini berasal dari disertasinya di IAIN Jakarta dengan judul Perspektif Jender dalam Al Qur’an.
7) Tafsir bi Al-Ra’yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al Qur’an (1999) karya Nashruddin Baidan.
8) Tafsir Kebencian: Studi Bias Jender dalam Tafsir (1999) karya Zaitunah Subhan. Karya ini berasal dari disertasi di Pasca sarjana IAIN Jakarta
9) Memasuki Makna Cinta (2000) karya Abdurrasyid Ridha. Karya ini berasal dari skripsi di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul Konsep Cinta dalam Al Qur’an.
10) Jiwa dalam al Qur’an, Solusi Krisis Keruhanian Manusia Modern (2000) karya Dr. Achmad Mubarok. Karya ini berasal dari disertasi dengan judul Konsep Nafs dalam Al Qur’an di Pasca Sarjana IAIN Jakarta
11) Subhanallah: Quantum Bilangan-bilangan al-Qur’an (2008) karya Muhamad Mas’ud. Karya ini mengkaji berbagai fenomena angka yang ada di dalam al Qur’an dihubungkan dengan ilmu matematika dan penemuan ilmiah modern.
3. Tafsir yang mefokuskan diri pada ayat, surat atau juz tertentu
a. Ayat dan Surat Tertentu
Karya tafsir yang menfokuskan diri pada ayat dan surat tertentu adalah
1) Hidangan Ilahi Ayat-ayat Tahlil (1997) karya M. Quraish Shihab. Buku ini merupakan kumpulan ceramah Quraish pada acara tahlilan di kediaman mantan presiden Suharto dalam rangka mendo’akan kematian Fatimah Siti Hartinah Suharto tahun 1996. Setelah itu dilanjutkan dengan penafsiran ayat-ayat yang dibaca dalam tahlilan yaitu surat al Fatihah, al Baqarah : 1-5, ayat kursi (QS 2: 255), khawatim surat al Baqarah (QS 2: 284-286), al-Ikhlas, al-Falaq dan al-Nas.
2) Tafsir bil Ma’tsur Pesan Moral al Qur’an (1993) karya Jalaluddin Rakhmat. Ayat dan surat yang dipilih tampaknya didasarkan pada ayat maupun surat yang mempunyai riwayat bi al-ma’thur sebagai sabab nuzul. Ayat dan surat yang dikaji di antaranya adalah Al Fatihah: 1, Al Baqarah 2 :19-20, 75-78, al-‘Adiyat: 1-5, Maryam: 1-6, al-Qadr dan al-Takathur.
b. Surat al Fatihah
Karya tafsir yang menfokuskan pembahasan pada surat al Fatihah antara lain adalah : Kandungan al Fatihah, karya Bahroem Rangkuti ( Jakarta: Pustaka Islam, 1960), Tafsir Surat al Fatihah karya H Hasri (Cirebon: Toko Mesir, 1969), Samudra al Fatihah karya Bey Arifin (Surabaya: Arini, 1972), karya ini membahas surat al-Fatihah dikaitkan dengan berbagai penemuan ilmiah modern, Tafsir Ummul Qur’an karya M Abdul Malik Hakim (Surabaya: Al-Ikhlas, 1981), Butir-butir Mutiara al Fatihah karya Labib MZ dan Maftuh Ahnan (Surabaya, Bintang Pelajar, 1986), Risalah Fatihah karya A Hassan (Bangil: Yayasan al Muslimun, 1987), Mahkota Tuntunan Ilahi (1988) karya M Quraish Shihab, dan Tafsir Sufi Surat al Fatihah (1999) karya Jalaluddin Rakhmat
c. Surat An Nisa’
Tafsir Hijri, Kajian Tafsir Al Qur’an Surat An Nisa’ (Jakarta: Logos, 2000) karya KH Didin Hafidhuddin. Buku ini merupakan hasil kajian tafsir yang disampaikan KH Didin Hafidhuddin di Masjid Al Hijri Universitas Ibnu Khaldun Bogor setiap Ahad sejak tahun 1993.
d. Surat Yasin
Karya tafsir yang membahas tentang surat Yasin antara lain adalah : Tafsir Surah Yasin (Jakarta : Bulan Bintang: 1978) karya Zainal Abidin Ahmad, Kandungan Surat Yasin (tt:, Yulia Karya, 1978) karya Mahfudli Sahli, Memahami Surat Yaa Sin (Jakarta :Golden Trayon Press, 1998) karya Radiks Purba
e. Juz Amma
Karya tafsir yang menfokuskan pembahasan pada juz ‘amma (juz 30) antara lain adalah : Al Abroor, Tafsir Djuz ‘Amma Karya Mustafa Baisa (Surabaya: Usaha Keluarga, 1960), Tafsir Juz Amma dalam Bahasa Indonesia karya M. Said (Bandung: al-Ma’arif, 1960), Juz ‘Amma dan Makna karya Gazali Dunia (Jakarta: Bulan Bintang, 1978) dan Tafsir Juz Amma Disertai Asbabun Nuzul (2000) karya Rafi’udin S.Ag dan Drs. KH. Edham Rifa’i.

4. Tafsir Lengkap 30 Juz
Tafsir al Qur’an di Indonesia yang membahas secara lengkap 30 juz sesuai dengan mushaf uthmani cukup banyak. Hal yang menunjukkan bahwa Indonesia sebenarnya juga merupakan salah satu ikon peradaban Islam. Karya-karya tafsir tersebut antara lain adalah:
a. Tafsir al Bayan
1). Biografi Penulis
Penulis tafsir ini adalah Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi bin Muhammad Husein bin Muhammad Mas’ud bin Abd. Rahman Ash Shiddieqy. Dilahirkan pada bulan Jumadil Akhir 1321H/ 10 Maret 1907 M di Lho Seumawe + 273 km sebelah timur Banda Aceh. Hasbi Ash Shiddieqy menuntut ilmu dari para ulama di beberapa pondok pesantren terkenal di Dayah, Blangkabu, Gendong, Krueng Mane, Kutaraja dsb. Dari silsilahnya diketahui bahwa ia adalah keturunan ke-37 dari Abu Bakar Ash Shiddieq
Beliau mempelajari bahasa Arab daripada gurunya yang bernama Syeikh Muhammad ibn Salim al-Kalali, seorang ulama berbangsa Arab. Pada tahun 1926 T.M Hasbi ash Shiddieqy berangkat ke Surabaya dan melanjutkan pelajarannya di Madrasah al-Irsyad, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan oleh Syeikh Ahmad Surkati (1874-1943), seorang ulama yang berasal dari Sudan . Di Madrasah al-Irsyad Hasbi ash Shiddieqy mengambil takhassus dalam bidang pendidikan selama 2 tahun. Pengajiannya di al-Irsyad dan gurunya Ahmad Surkati banyak memberi didikan ke arah pembentukan pemikiran moden. Beliau juga pernah menuntut di Timur Tengah.
T.M Hasbi ash Shiddieqy merupakan seorang ulama Indonesia yang terkenal. Beliau memiliki keahlian dalam bidang ilmu fiqh dan usul fiqh, tafsir, hadith, dan ilmu kalam. T.M Hasbi ash Shiddieqy telah dianugerahkan dua gelar Doktor Honoris Causa sebagai penghargaan di atas jasa-jasanya terhadap perkembangan Perguruan Tinggi Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman Indonesia. Anugerah tersebut diperoleh dari Universitas Islam Bandung dan (UNISBA) pada 22 Maret 1975, dan dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada 29 Oktober 1975.
Hasbi Ash Shiddieqy meninggal dunia pada tanggal 9 Desember 1975. Jasad beliau dikebumikan di pemakaman keluarga IAIN Ciputat Jakarta.
2) Karakteristik Tafsir al Bayan
Tafsir al-Bayan merupakan hasil karya kedua yang dikarang oleh Prof. T.M Hasbi ash Shiddieqy dalam bidang penafsiran al-Qur’an sesudah karyanya yang pertama yaitu Tafsir An-Nur yang diterbitkan pada tahun 1956. Pada Muqaddimah tafsir ini, Hasbi Ash Shiddieqy menulis: “Dengan inayah Allah Taala dan taufiq-Nya, setelah saya selesai dari menyusun Tafsir An-Nur yang menterjemahkan ayat dan menafsirkannya, tertarik pula hati saya kepada menyusun al-Bayan” . Karyanya yang kedua ini juga merupakan terjemahan dan tafsir al-Qur’an dalam bahasa Indonesia yang diperkirakan dihasilkan oleh pengarang pada awal tahun 60-an lagi. Cetakan pertama kitab tafsir ini ialah pada tahun 1971 melalui terbitan PT Almaarif Bandung, dengan ukuran 15 x 22 cm.
Hasbi Ash Shiddieqy menyatakan sebab-sebab penulisan tafsir ini adalah untuk menyempurnakan sistem penerjemahan yang terdapat dalam Tafsir An-Nur karya pertamanya dalam bidang ini. Di samping itu ia juga merasa bahwa terjemahan-terjemahan al-Qur’an yang beredar ditengah-tengah masyarakat perlu dikaji dan ditinjau semula. Ash Shiddieqy berkata di dalam kitab tafsirnya:
“Maka setelah saya memperhatikan perkembangan penterjemahan al-Qur’an akhir-akhir ini, serta meneliti secara tekun terjemahan-terjemahan itu, nyatalah bahawa banyak terjemahan kalimat yang perlu ditinjau dan disempurnakan. Oleh karenanya, dengan memohon taufiq daripada Allah Taala, saya menyusun sebuah terjemah yang lain dari yang sudah-sudah yang melengkapi segala lafazh, bahkan melengkapi terjemah dari lafazh-lafazh yang diungkapkan menurut pendapat pendapat ahli tafsir kenamaan”
Al-Bayan yang dinamakan oleh pengarang adalah bermaksud “Suatu penjelasan bagi makna-makna al-Qur’an”. Kitab ini terdiri dari dua jilid. Jilid pertama mengandungi nas-nas ayat al-Qur’an rmulai dari surah al-Fatihah sampai dengan ayat 75 surah al-Kahf. Kesemua terjemahan dan tafsiran bagi jilid pertama mengandungi 789 muka surat. Jilid kedua Tafsir al-Bayan ini, dimulai dari surah al-Kahf ayat ke 75 sampai dengan surah al-Nas bersama terjemahan dan tafsirannya yang terkandung dalam muka surat 789 sehingga 1604
Metode yang dipergunakan dalam penerjemahan ayat yaitu adakalanya Hasbi menerjemahkan lafal ayat saja, terkadang ia juga menerjemahkan makna ayat yaitu dengan memasukkan ke dalam ayat makna yang ia pandang seharusnya ada. Sehingga menurutnya terjemahan itu sudah menjelaskan makna. Sedangkan dalam penafsiran ayat-ayat al Qur’an Hasbi lebih menafsirkannya secara ringkas. Tafsiran ayat-ayat al Qur’an biasanya dimulai dengan kata “ya’ni”. Dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an, Hasbi banyak melakukan penafsiran ayat dengan ayat yaitu dengan menerangkan ayat-ayat lain yang semakna. Ayat-ayat yang sebanding atau semakna ini biasanya dinyatakan dengan menyebut nomor surat dan nomor ayat, misalnya pada foot note 124 ketika menjelaskan surat al-Baqarah : 104, Hasbi kemudian membandingkan dengan surat an-Nisa’: 46 yaitu “ Bandingkan dengan ayat 46 S.4: An Nisa’. Sedangkan ayat-ayat yang ada hubungannya dengan penafsiran tersebut dinyatakan menyebut nomor surat dan nomor ayat, diawali dengan kata “ bacalah”. Misalnya pada foot note 200 ia menyatakan “baca : a. 6 S 35:Fathir; a. 50 S.18:Al Kahf”. Di samping itu, Hasbi juga sangat memperhatikan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum.

b. Tafsir al-Azhar
1). Biografi penulis
Tafsir ini ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah (atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA, yang merupakan singkatan namanya), lahir tahun 1908, di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, dan meninggal di Jakarta 24 Juli 1981, adalah sastrawan Indonesia, sekaligus ulama, dan aktivis politik. Belakangan ia diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang dihormati. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Hamka adalah seorang otodidak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Husayn Haykal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, AR Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.


2) Karakteristik Tafsir al Azhar
Tafsir ini pada mulanya merupakan rangkaian kajian yang disampaikan pada kuliah subuh oleh Hamka di masjid al-Azhar yang terletak di Kebayoran Baru sejak tahun 1959. Nama al-Azhar bagi masjid tersebut telah diberikan oleh Syeikh Mahmud Shaltut, Rektor Universitas al-Azhar semasa kunjungan beliau ke Indonesia pada Desember 1960 dengan harapan supaya menjadi kampus al-Azhar di Jakarta. Penamaan tafsir HAMKA dengan nama Tafsir al-Azhar berkaitan erat dengan tempat lahirnya tafsir tersebut yaitu Masjid Agung al-Azhar.
Terdapat beberapa faktor yang mendorong HAMKA untuk menghasilkan karya tafsir tersebut. Hal ini dinyatakan sendir oleh HAMKA dalam mukadimah kitab tafsirnya. Di antaranya ialah keinginan beliau untuk menanam semangat dan kepercayaan Islam dalam jiwa generasi muda Indonesia yang amat berminat untuk memahami al-Quran tetapi terhalang akibat ketidakmampuan mereka menguasai ilmu Bahasa Arab. Kecenderungan beliau terhadap penulisan tafsir ini juga bertujuan untuk memudahkan pemahaman para muballigh dan para pendakwah serta meningkatkan keberkesanan dalam penyampaian khutbah-khutbah yang diambil daripada sumber-sumber Bahasa Arab
HAMKA memulai Tafsir Al-Azharnya dari surah al-Mukminun karena beranggapan kemungkinan beliau tidak sempat menyempurnakan ulasan lengkap terhadap tafsir tersebut semasa hidupnya. Mulai tahun 1962, kajian tafsir yang disampaikan di masjid al-Azhar ini, dimuat di majalah Panji Masyarakat. Kuliah tafsir ini terus berlanjut sampai terjadi kekacauan politik di mana masjid tersebut telah dituduh menjadi sarang “Neo Masyumi” dan “Hamkaisme”. Pada tanggal 12 Rabi’ al-awwal 1383H/27 Januari 1964, Hamka ditangkap oleh penguasa orde lama dengan tuduhan berkhianat pada negara. Penahanan selama dua tahun ini ternyata membawa berkah bagi Hamka karena ia dapat menyelesaikan penulisan tafsirnya.
Tafsir al-Azhar merupakan karya HAMKA yang memperlihatkan keluasan pengetahuan beliau, yang hampir mencakup semua disiplin ilmu penuh berinformasi. Sumber penafsiran yang dipakai oleh Hamka antara lain, al Qur’an, hadith Nabi, pendapat tabi’in, riwayat dari kitab tafsir mu’tabar seperti al Manar dan Mafatih al Ghayb, serta juga dari syair-syair seperti syair Moh. Ikbal . Tafsir ini ditulis dalam bentuk pemikiran dengan metode analitis atau tahlili. Karakteristik yang tampak dari tafsir al-Azhar ini adalah gaya penulisannya yang bercorak adabi ijtima’i (sosial kemasyarakatan) yang dapat disaksikan dengan begitu kentalnya warna setting sosial budaya Indonesia yang ditampilkan oleh Hamka dalam menafsirkan ayat-ayat al Qur’an.

c. Al Qur’an dan Tafsirnya
1) Biografi Penulis
Tafsir ini disusun oleh Tim Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia (UII) yang terdiri dari Prof. H. Zaini Dahlan MA., Drs. H. Zuhad Abdurrahman, Ir. RHA Sahirul Alim, M.Si., Hifni Muchtar. L.Ph., MA., Drs. H. Muhadi Zainuddin, L.Th., Drs. H. Hasan Kharomen, dan Drs. H. Darwin Harsono. Diterbitkan oleh Badan Wakaf UII tahun 1995 sebanyak 10 jilid. Secara teknis tafsir ini merupakan revisi dan penyempurnaan dari Tafsir yang diterbitkan oleh Tim Departemen Agama RI. Anggota Tim Tafsir yang dibentuk oleh Departemen Agama RI adalah Prof. H. Bustami A Gani, Prof. TM Hasbi Ash Shiddieqy, Drs. Kamal Muchtar H. Gazali Thaib, KH. Syukri Ghozali, Prof. Dr. H. Mukti Ali, Prof. Dr. H. Mukhtar yahya, Prof. H.M. Toha Yahya Umar, KH. Amin Nashir, Prof.KH. Ibrahim Hussin, LML, H.A. Timur Jailani MA., Prof. KH. A. Musaddad, Prof. R. H.A. Soenarjo SH, KH Ali Maksum, Drs. M. Sanusi Latif, Drs. Busairi Majidi dan Drs. A. Rochim.

2). Karakteristik Al Qur’an dan Tafsirnya
Sebagaimana yang dijelaskan di atas, tafsir ini merupakan edisi revisi dari al Qur’an dan tafsirnya yang disusun oleh Tim Departemen Agama RI. Perbaikan dan penyempurnaan yang dilakukan oleh Tim Universitas Islam Indonesia Yogyakarta meliputi :
a) Kesalahah penulisan teks/naskah ayat al Qur’an Penulisan Mushaf disesuaikan dengan Mushaf Usmani yang telah distandarkan berdasarkan SK Menteri Agama No 7 tahun 1984
b) Kesalahan penterjemah/kekurangan ayat-ayat al Qur’an
c) Kesalahan penulisan hadis
d) Melengkapi setiap hadis dengan perawi masing-masing.
e) Melengkapi tanda-tanda baca/wakaf
f) Menyempurnakan redaksi dan ejaan sesuai dengan ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan
g) Menyempurnakan teknis percetakan/lay out dan tulisan Arab
h) Menyesuaikan ejaan dengan SKB 2 Menteri tentang Transliterasi Arab-Latin
i) Penyempurnaan perwajahan al Qur’an dan Tafsirnya
j) Melengkapi daftar bacaan/bibliografi dan penyusunanya sesuai dengan tradisi keilmuan

Model penyajian yang digunakan oleh tafsir ini yaitu di setiap surat dimulai dengan mukaddimah. Dalam mukaddimah diuraikan mengenai seluk beluk sekitar surat yang akan ditafsirkan. Dalam surat al Fatihah misalnya, secara rinci dan sistematis diuraikan nama-nama surat, tempat diturunkannya surat, serta jumlah ayatnya. Setelah itu dilanjutkan dengan uraian singkat mengenai pokok isi surat al Fatihah
Berkenaan dengan metode penyampaian tafsir, dalam Al Qur’an dan Tafsirnya, diberikan batasan untuk setiap terjemah, tafsir dan kesimpulan dengan judul khusus, sehingga memudahkan pembaca untuk memahaminya. Dalam tafsir ini juga diadakan pengelompokan ayat-ayat dalam satu surat dengan topik tertentu yang merupakan tema yang dikandung ayat-ayat yang akan ditafsirkan. Misalnya “Pengetahuan Tentang Hari Kiamat” untuk QS Fussilat : 47-48 dan “Sikap Manusia dalam Menerima Rahmat dan Cobaan Allah Swt” untuk QS Fussilat : 49-51 Hal ini akan memudahkan pembaca untuk menangkap tema ayat yang akan ditafsirkan. Islah Gusmian melihat bahwa metode ini merupakan salah satu usaha dari tim agar tujuan al Qur’an dapat dipahami dengan mudah oleh ummat Islam. Hal ini terbukti juga dari adanya pemberian kesimpulan secara konsisten di setiap akahir kelompok ayat yang dikaji.

d. Ayat Suci dalam Renungan
1) Biografi Penulis
Tafsir ini ditulis oleh Moh. E Hasyim. Sejauh ini belum didapatkan data utuh dari Moh. E Hasyim, hanya saja penulis memperkirakan ia berasal dari daerah Jawa Barat. Hal ini dapat dilihat dari kata pengantar yang diberikan oleh KH Miftah Farid yang menyatakan bahwa Moh. E Hasyim sebelumnya pernah menyusun tafsir berbahasa Sunda Ayat Suci Lenyepaneun yang banyak dipakai oleh masyarakat muslim Jawa Barat.

2) Karakteristik Tafsir Ayat Suci dalam Renungan
Buku ini merupakan tafsir lengkap 30 juz yang ditulis runtut sesuai dengan urutan dalam mushaf uthmani. Setiap volume disesuaikan dengan pembagian juz yang ada dalam mushaf sehingga buku tafsir ini berjumlah 30 jilid. Sebelum masuk pada kajian tafsir, Hasyim menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan makhraj, misalnya tentang makhraj spesifik Arab, juga huruf arab yang biasanya ditulis dengan “a” tetapi bersuara “o” dan lain sebagainya
Model penyaijiannya adalah yang digunakan oleh Hasyim dalam tafsir ini adalah pertama teks arab setiap ayat ditulis utuh satu ayat disertai dengan aksara latin dan terjemah Indonesia. Setelah itu setiap kata ditampilkan dalam bentuk penggalan kata. Setiap penggalan kata disertai aksara latin dan terjemah perkata. Setelah menyajikan dua model penyajian terjemah ini baru dipaparkan penjelasan tentang maksud ayat.
Model penyajian ini mempunyai keuntungan ganda yaitu pertama model penerjemahan per kata dalam satu ayat akan membantu pembaca dalam memahami makna setiap ayat. Sementara yang kedua, model terjemah per ayat akan memudahkan pembaca untuk memahami maksud ayat. Dari sini dapat dipahami bahwa tafsir ini ditulis dengan penekanan bagaimana nilai-nilai al Qur’an dapat tersosialisasi di tengah kehidupan sosial masyarakat.

e. Tafsir Al Misbah
1) Biografi Penulis
Penulis tafsir ini adalah M. Quraish Shihab. Ia lahir di Rappang Sulawesi Selatan tanggal 16 Pebruari 1944. Meraih gelar sarjana Fakultas ushuluddin tahun 1967, MA dari jurusan tafsir hadith tahun 1969 dan program doktoral tahun 1982. Semuanya ia dapatkan dari Universitas al Azhar Kairo Mesir. Pada tahun 1992-1998 Ia menjadi rektor IAIN (sekarang menjadi UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Tahun 1998 Ia diangkat menjadi menteri agama, dan duta besar RI di mesir. Pada tahun 1989 – sekarang ia merupakan anggota dewan pentashih al Qur’an dan kini sebagai Direktur Pusat Studi al Qur’an (PSQ) Jakarta.

2) Karakteristik Tafsir al Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al Qur’an
Sebelum menulis karya tafsir ini, Quraish Shihab sudah banyak menulis tafsir al Qur’an, namun kebanyakan merupakan tafsir tematis. Di antaranya adalah Membumikan al Qur’an, Lentera Hati, dan Wawasan al Qur’an. Shihab juga pernah menyusun tafsir tahlili dengan metode nuzuli yaitu membahasa ayat-ayat al-Qur’an sesuai dengan urutan masa turunnya surat-surat al-Qur’an dan sempat diterbitkan oleh Pustaka Hidayah pada tahun 1997 dengan judul Tafsir al-Qur’an al-Karim. Namun Quraish Shihab kemudian melihat bahwa karyanya tersebut kurang menarik minat masyarakat, karena pembahasannnya banyak bertele-tele dalam persoalan kosa kata dan kaidah yang disajikan. Oleh karena itu ia tidak melanjutkan. Kemudian ia menulis dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat yang ia beri nama Tafsir al Misbah Pesan Kesan dan Keserasian al Qur’an Dari pemberian judul tafsirnya ini dapat diterka perhatian yang ingin ditekankan oleh Qurasih Shihab dalam tafsirnya ini.
Tafsir al Misbah diterbitkan pertama kali tahun 2000 oleh Lentera Hati Jakarta. Pembagian volume tafsir al Misbah didasarkan atas ketuntasan pembahasan surat-surat dalam al-Qur’an sehingga masing-masing volume mempunyai kuantitas yang berbeda, tergantung dari banyaknya surat yang dibahas dalam masing-masing volume. Tercatat sebanyak 15 volume dari tafsir al Misbah.
Sesuai dengan perhatian Shihab terhadap tafsir tematis, maka Tafsir al Misbah ini pun disusun dengan tetap berusaha menghidangkan setiap bahasan surat pada apa yang disebut dengan tujuan surat atau tema pokok surat. Hal ini dapat disaksikan misalnya ketika mencoba menafsirkan surat al Baqarah, Quraish Shihab menjelaskan bahwa tema pokok surat ni adalah ayat yang membicarakan tentang kisah al Baqarah yaitu kisah bani israil dengan seekor sapi. Melalui kisah al Baqarah ditemukan bukti kebenaran petunjuk Allah, meskipun pada mulanya tidak bisa dimengerti. Kisah ini juga mebuktikan kkekuasaan Allah. Karena iulah sebenarnya surat al-Baqarah berkisar pada betapa haq dan benarnya ktab suci al quran dan betapa wajar petunjuknya untuk diikuti.
Dalam tafsirnya ini Quraish Shihab banyak mengambil inspirasi dari beberapa mufassir terdahulu, di antaranya adalah Ibrahim Ibn Umar al-Biqa’i (w.885H/1480M), Muhammad Tantawi pemimpin tinggi al Azhar, Mutawalli al-Sha’rawi, Sayyid Qutb, Muhammada Tahir b. Ashur, dan Muhammad Husayn Tabataba’i
D. Penutup
Kajian tafsir di Indonesia sebetulnya mengalami kemajuan yang cukup pesat. Hanya saja sesuai kondisi sosio-historis bangsa Indonesia, maka metode penafsiran tidak terlepas dari metode terjemah dalam rangka memudahkan pemahaman ummat Islam di Indonesia. dengan kecenderungan penafsiran yang lebih mengarah pada metode penafsiran tematis, maka kajian tafsir yang berkembang lebih banyak pada tafsir tematis.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arifin, Bey. Samudra al Fatihah. Surabaya: Arini, 1972.
Baidan, Nashruddin. Tafsir bi Al-Ra’yi: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam Al Qur’an. Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999

__________. Perkembangan Tafsir al Qur’an di Indonesia. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2003

Disertasi Ilmiah 4 : Tafsir al Bayan oleh Prof. Dr. TM Hasbi Ash shiddieqy , http://disertasi.blogspot.com. 28 Juni 2007

Essack, Farid. Qur’anic Hermeneutics, Problems and Prospect” The Muslim Word, LXXXIII, 2 April, 1993
Federspiel, Howard M.. Kajian Tafsir Indonesia ter. Drs. Tajul Arifin. Bandung; Mizan, 1996.

Gusmian, Islah. Khazahan Tafsir Indonesia dari Hermenutika hingga Ideologi. Jakarta: Teraju, 2003

Haji Abdul Malik Karim Amrullah, id.wikipedia.org

HAMKA, Tafsir Al-Azhar juz 1. Jakarta: PT Pembimbing Masa, 1967.

Jalal, Abd. Tafsir al-Maraghi dan Tafsir al-Nur Sebuah Studi Perbandingan, Disertasi: IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1985

Mas’ud, Muhamad. Subhanallah: Quantum Bilangan-bilangan al-Qur’an. Yogyaarta: Diva Press, 2008.

Purba, Radiks. Memahami Surat Yasin. Jakarta: Golden Terayon Press, 1998

Rafi’udin dan Rifa’i, Edham. Tafsir Juz Amma Disertai Asbabun Nuzul. Jakarta: Pustaka Dwi Par, 2000.

Rakhmat, Jalaluddin. Tafsir bil Ma’tsur Pesan Moral al Qur’an. Bandung : Rosdakarya, 1993.

Raharjo, M. Dawam. Ensiklopedi al Qur’an. Jakarta: Paramadina, 1996.

Shiddieqy , Hasbi Ash. Tafsir al Bayan Vol I. Bandung: PT Al Am’arif, tt

__________. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1999.

Shihab, M. Quraish. Membumikan al Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 1992

__________. Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung: Mizan, 1994.

__________. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1996

__________. Tafsir al Misbah : Pesan Kesan dan Keserasian al Qur’an vol.I Jakarta : Lentera Hati, 2002

__________. Logika Agama (Jakarta: Lentera hati 2005

Subhan, Zaitunah. Tafsir Kebencian: Studi Bias Jender dalam Tafsir. Yogyakarta: LKiS, 1999.

Tafsir al Azhar, http//disertasi.blogspot.com.

Tim Badan Wakaf UII., Al Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: UII, 1995.

Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender, Perspektif Al Qur’an. Jakarta: Paramadina, 1999.

Yusuf, M. Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir al Azhar. Jakarta : Pustaka Panji Mas, 1990

Copy dari: http://idiaprenduan.com

Kamis, 29 Januari 2009

Penutupan KKM IV Ibnu Sina di Cam Vietnam

Kenangan yang tersisa dari Stail Surabaya

Tromang2 pade begaya di depan asrama yang penuh kenangan dan saat ini telah berubah menjadi taman juga lapangan olahraga. Kini, mereka semua telah bertebaran atau bahasa creannya pantasiru fiil ardy dalam mengemban amanah menegakkan agama Allah fiil ardy. good luck selalu...coy...

Jumat, 23 Januari 2009

Apa itu Sekolah Integral ?

Apa itu Sekolah Integral ?

Filosofis
http://www.integral.sch.id
Apa itu Sekolah Integral ?

Integral berarti menyeluruh, sekolah integral berarti sekolah yang pengelolaannya melibatkan komponen pendidikan secara menyeluruh. Komponen pendidikan tersebut meliputi institusi pendidikan, materi pembelajaran berupa transfer ilmu dan uswah, pendekatan dan motodologi pengajaran, murid serta lingkungan sekolah.

Institusi pendidikan terdiri dari keluarga sekolah dan masyarakat. Materi pembelajaran berupa ilmu yang dipandang secara komprehensif, merupakan kesatuan yang utuh sehingga tidak ada pemisahan ilmu agama (ulumuddin) dengan ilmu umum (science), dunia dan akhirat. Pendekatan dan metodologi pengajaran merupakan proses transfer ilmu serta metodologi pengembangan ilmu tersebut yang dilandasi oleh uswah (tauladan yang baik), sehingga bukan hanya sekedar transfer ilmu dan kerangka berfikir tetapi juga transfer nilai. Murid sebagai pembelajar dipandang secara utuh dan menyeluruh dari seluruh instrumentasi yang dimiliki manusia, sehingga aspek intelektual, spiritual dan keterampilan dikembangangkan secara terpadu. Pola perndidikan inilah yang diharapkan mampu mengembangkan kemampuan dari seluruh potensi manusia secara maksimal.

Mengapa Luqman al-Hakim ?

Luqman al-Hakim adalah sosok pendidik, yang bukan seorang nabi atau seorang rosul, tetapi namanya diabadikan dalam al-Qur’an, karena memang dia diberi karunia berupa kelapangan dada dan keluasan ilmu. Atas dasar wisdom, kearifan dan kebijaksanaan dia dalam proses pendidikan putra-putrinya, ada cuplikan dialog yang diabadikan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an :

“.....dan ingatlah ketika luqman berkata kepada putranya dalam pengajaran “Janganlah kamu mempersekutukan tuhanmu, karena itu merupakan malapetaka yang besar.” (QS Al-Qur’an :13)

Proses pendidikan bukan persoalan yang sederhana, karena menyangkut persoalan yang secara langsung bersentuhan dengan sifat, bakat, karakter manusia. Proses pendidikan akan bersentuhan dengan ambisi, emosi, perasasaan, dan kemampuan berfikir (intelegensi) manusia. Proses penddikan akan saling berpengaruh secara timbal balik dengan lingkungan. Proses pendidikan juga akan ditentukan oleh pertumbuhan dan perkembangan jiwa objek didik dan si pendidik. Sarana dan prasarana yang diperlukan dalam proses pendidikan juga merupakan hal yang penting untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Dari berbagai macam ragam persoalan dalam proses pendidikan, Allah SWT mengingatkan pada hal pokok, dan utama dalam proses pendidikan, yaitu harus bertauhid, tidak mempersekutukan Allah dengan segala sesuatu apapun. Tauhid sebagai cara pandang terhadap kehidupan, tauhid sebagai landasan nilai aktifitas kehidupan, dan tauhid sebagai acuan tujuan hidup.
Apabila tauhid tidak tertanam dalam proses pendidikan, maka apapun yang dilakukan, profesi apa yang dikerjakan, kemampuan yang dimiliki, ilmu yang dikuasai, dan teknologi yang digunakan tidak akan mampu memaknai hidup atau dengan bahasa Al-Qur’an kehidupan itu menjadi malapetaka.
Begitu pentingnya proses penanaman tauhid dalam proses pendidikan, maka program hal ini pulalah yang mendorong Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah Surabaya untuk mendirikan Lembaga Pendidikan Islam Luqman al-Hakim. Lembaga pendidikan yang bertauhid yang disebut juga dengan Sekolah Integral.

Senin, 19 Januari 2009

Kaidah-Kaidah Memahami Sunnah

Dr. Anis bin Ahmad bin Thahir
Friday, 28 December 2007
Seorang muslim diperintahkan oleh Allah untuk mengikuti Rasulullah saw. dan meneladani beliau. Allah SWT berfirman (yang artinya), ".... Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah ...." (Al-Hasyr: 7). Juga, firman-Nya, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah." (Al-Ahzaab: 21).

Sebelum mengamalkan hadits-hadits Rasulullah, seorang muslim harus memahami beberapa hal penting, yang merupakan kaidah, agar pemahamannya benar dan pengamalannya mendapatkan petunjuk (terarah).

Setiap hadits yang diutarakan oleh Rasulullah saw. itu ada maksudnya. Orang yang serampangan mengamalkan hadits tanpa memahami maksudnya akan terjebak pada kesalahan dalam pengamalan ibadahnya. Contoh berikut mungkin dapat menerangkan jelasnya pernyataan ini. Yaitu, kasus yang dialami oleh 'Adi bin Hatim r.a. ketika turun firman Allah SWT, "Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar ...." (Al-Baqarah: 187). Dia ('Adi bin Hatim r.a.) mengambil dua helai benang: yang satu berwarna putih, dan yang satu lagi berwarna hitam. Kemudian, diletakkannya di bawah bantalnya. Setelah itu, dia mulai melihat (mengamati) kedua benang itu dan tidak tampak sesuatu. Ketika dia memberitahukan hal itu kepada Rasulullah saw., maka Rasulullah saw. bersabda, "Yang dimaksud dengan dua benang tersebut adalah gelapnya malam dan cerahnya waktu siang." (HR Bukhari dan Muslim). Dari sini terlihat dengan jelas, betapa seseorang yang belum mendapatkan pemahaman dengan benar itu pasti melangkah dengan tidak benar pula. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui bagaimana cara memahami sunnah dengan benar.



1. Memahami Sunnah dengan Tuntunan Al-Qur'an
As-Sunnah adalah sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an dalam syariat Islam. As-Sunnah menerangkan dan merinci apa yang ada dalam Al-Qur'an. Tidak ada pertentangan antara As-Sunnah dengan Al-Qur'an. Jika terdapat pertentangan, hal itu mungkin terjadi karena haditsnya tidak shahih atau kita sendiri yang tidak bisa memahaminya. Karena, Allah SWT telah menegaskan, "Kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (An-Nisaa': 82).

Contoh yang paling jelas bahwa sunnah yang shahih tidak bertentangan dengan Al-Qur'an, justru yang bertentangan dengan Al-Qur'an adalah hadits-hadits dha'if (lemah) dan maudhu (palsu), yaitu kisah gharaniq (sembahan atau tuhan-tuhan) kaum musyrikin). Diriwayatkan bahwa setelah membaca firman Allah SWT, "Maka apakah patut (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-'Uzza dan Manat yang ketiga." (An-Najm: 19-20). Maka, Rasulullah saw. bersabda, "Mereka itu adalah gharaniq yang tinggi dan sungguh syafaatnya (pertolongannya) sangat diharapkan." Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka sifatkan dengan ketinggian-Nya yang agung. Kisah yang bathil ini mustahil akan benar karena bertentangan dengan ayat itu sendiri (yang disebutkan). Apakah patut Rasulullah saw. memuji tuhan-tuhan orang-orang musyrik? Maka dari itu, hadits ini jelas bathil, sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah rhm. melalui ucapannya, "Ini (termasuk hadits) yang dipalsukan oleh orang-orang zindiq." (Nashbul Majaaniiq, hlm. 25).


2. Mengumpulkan Hadits-Hadits yang Satu Tema dan Pembahasan pada Satu Tempat
Merupakan suatu keharusan untuk memahami sunnah dengan pemahaman yang benar, yaitu mengumpulkan hadits-hadits shahih yang satu pembahasan supaya hadits yang mutasyabih (yang memiliki banyak penafsiran) bisa dikembalikan ke yang muhkam (maknanya jelas), yang muthlaq (tidakterikat) di bawa ke yang muqayyad (terikat), dan yang 'amm (maknanya umum) ditafsirkan oleh yang khashsh (maknanya khusus). Dengan cara ini, akan jelas maksud hadits tersebut, maka jangan mempertentangkan antara hadits yang satu dengan yang lainnya.

Imam Ahmad berkata, "Suatu hadits, kalau tidak engkau kumpulkan jalan-jalannya (sanad-sanadnya), engkau tidak akan paham karena sebagian hadits menafsirkan sebagian yang lainnya." (Al-Jaami' (I/270).

Apabila sanad-sanad suatu hadits yang satu pembahasan tidak dikumpulkan pada suatu tempat, maka itu bisa menyebabkan terjadinya kesalahan dalam memahami hadits tersebut. Padahal, orang itu berdalil dengan hadits shahih, akan tetapi dia tidak mengumpulkan hadits yang semisal dengannya sehingga menyebabkan pemahamannya terhadap hadits tersebut tidak sempurna. Bahkan, pemahaman dan gambarannya menyimpang tentang masalah yang dia bahas itu. Contoh untuk kasus ini adalah sebagai berikut.

Hadits Abu Umamah ketika melihat alat pertanian, beliau berkata, "Aku mendengar Nabi saw. bersabda, 'Tidaklah (alat) ini masuk ke rumah suatu kaum, kecuali Allah akan memasukkan padanya kehinaan'." (HR Bukhari). Zhahir (lahiriah) hadits ini memberikan faedah tentang bencinya Rasulullah saw. terhadap pertanian. Namun, kalau seseorang mengumpulkan hadits-hadits yang lain tentang pertanian, maka dia akan mendapatkan bahwa Rasulullah saw. justru menganjurkan untuk bertani dan menerangkan tentang bolehnya bertani, sebagaimana sabda beliau sebagai berikut.

"Tidaklah seorang muslim menanam tanaman atau menabur benih, lalu burung memakan dari tanaman itu, atau binatang ternak, melainkan yang demikian itu sebagai sedekah (bagi yang menanam)." (HR Bukhari dan Muslim).

"Jika kiamat telah mendatangi salah seorang di antara kalian dan di tangannya (masih) ada bibit kurma, maka hendaklah dia menanamnya." (HR Ahmad).

Dari tiga hadits yang telah disebutkan ini ada satu hadits yang seolah-olah bertentangan, yaitu hadits yang disebutkan pertama. Lalu, bagaimanakah cara para ulama menyatukan antara hadits-hadits yang tampaknya bertentangan ini? Bagaimana pula pemahaman yang benar setelah menyatukan hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini (bertani)?

Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam kitabnya, Fathul Baari (V/5), menjelaskan bahwa cara menyatukan hadits-hadits ini adalah dengan salah satu dari dua cara sebagai berikut: (1) dibawa ke makna akibat buruk dari pertanian karena melalaikan kewajiban, atau (2) bertani dengan tidak melalaikan kewajiban tetapi melampaui batas dalam melakukannya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Bukhari di dalam memahami hadits-hadits tersebut dengan menulis judul bab sebagai berikut: "Hal-Hal yang Diperingatkan dari Akibat-Akibat Jelek karena Sibuk dengan Alat Pertanian atau Melampaui Batas dari yang Diperintahkan".

Ada hadits yang mendukung pemahaman bahwa maksud larangan tersebut ditujukan apabila seseorang disibukkan dengan bertani dari kewajiban-kewajiban, seperti jihad di jalan Allah, apalagi bagi yang dekat tempatnya dengan musuh-musuh Allah. Hadits tersebut adalah hadits marfu' dari Ibnu 'Umar r.a., "Jika kalian berjual-beli dengan (cara) 'inah (salah satu bentuk riba), kalian dilalaikan oleh ternak kalian, dan kalian suka (disibukkan) dengan bertani sehingga kalian meninggalkan (kewajiban) jihad, niscaya Allah akan menimpakan atas kalian kehinaan yang Dia tidak akan mencabutnya sampai kalian kembali kepada agama kalian." (Hadits Shahih Riwayat Ahmad dan Abu Dawud).


3. Menyatukan Hadits-Hadits yang Tampak Bertentangan
Pada dasarnya tidak ada pertentangan antara nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah yang shahih. Seandainya terjadi suatu pertentangan, maka itu anggapan kita semata, bukan hakikat dari nash-nash tersebut. Inilah keyakinan seorang mukmin pada hadits-hadits yang dapat dipercaya (hadits-hadits yang shahih atau hasan). Firman Allah berikut harus selalu menjadi pedoman. "Kalau kiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (An-Nisaa': 82).

Contoh hadits-hadits yang tampaknya bertentangan adalah hadits-hadits yang melarang seseorang menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau kecil, sementara ada hadits-hadits lain yang membolehkan hal tersebut. Cara jama' yang dipakai para ulama untuk menyatukan hadits-hadits yang tampak bertentangan tersebut adalah dengan menyatakan bahwa hadits-hadits larangan dimaksudkan bila dilakukan di tempat terbuka, sedangkan hadits-hadits yang membolehkan dimaksudkan bila dilakukan di dalam suatu tempat yang ada pembatasnya (seperti seseorang melakukannya di WC). (Ta-wiil Mukhtalafil Hadiits [hlm. 90] dan Nailul Authaar [I/98]).

Adapun kitab yang paling bermanfaat (dan bagus) yang bisa dijadikan rujukan untuk mendapatkan mukhtalaful hadits (hadits yang tampaknya bertentangan dengan hadits yang lain tetapi memungkinkan untuk dijamak/disatukan) adalah Musykilul Aatsaar karya Ath-Thahawi dan Ta'wiil Mukhtalaf al-Hadiits karya Ibnu Qutaibah.


4. Mengetahui Nasikh dan Mansukh Suatu Hadits
(Nasikh=Hadits yang Menghapus Hadits yang Lain; Mansukh=Hadits yang Dihapus)
Nasakh (hukum yang lama diganti hukum yang baru) dalam hadits memang terjadi. Seorang muslim yang mengamalkan suatu hadits tanpa mengetahui kalau hadits itu mansukh, berarti dia telah terjatuh ke dalam ilmu yang tidak diperintahkan syara' untuk mengamalkannya. Sebab, kita tidak diperintahkan untuk mengamalkan hadits-hadits yang mansukh. Sementara nasakh adalah suatu 'illat (penyebab) dilarangnya beramal dengan satu hadits (yang mansukh, ed.).

Al-Hafizh as-Suyuthi rhm. berkata (yang artinya), "Nasakh telah dimasukkan oleh Imam at-Tirmidzi dalam kategori al-'ilal (cacat hadits). Namun, beliau hanya mengkhususkannya dalam masalah pengalamannya saja (bukan status haditsnya)." (Al-Alfiyah, hlm. 22).

Seseorang tidak boleh tergesa-gesa dalam masalah ini sehingga mengatakan hadits ini mansukh, kecuali setelah mengetahui dalil-dalil dan qara-in (tanda-tanda) yang menunjukkan adanya nasakh.

Adapun kitab-kitab yang bisa membantu untuk mengetahui yang mansukh dari hadits-hadits adalah sebagai berikut.
* Ittihaaf Dzawiir Rusuukh karya Al-Ju'buri.
* An-Naasikh wal-Mansuukh karya Ibnul Jauzi.
* Al-I'tibaar fin Naasikh wal-Mansuukh minal Akbaar karya Al-Hazimi.


5. Mengetahui Asbabul Wuruud Hadits
(Asbabul Wuruud=Sebab-Sebab Disabdakannya Suatu Hadits)
Mengetahui sebab-sebab disabdakannya suatu hadits sangat membantu dalam memahami maksud hadits Rasulullah. Termasuk cara yang baik dalam memahami sunnah Nabi adalah meneliti (melihat) sebab-sebab tertentu disabdakannya suatu hadits, atau kaitannya dengan 'illat (alasan atau sebab) tertentu yang ditegaskan langsung dari nash (teks) hadits itu, atau dari istinbath/kesimpulan (maknanya), atau yang dipahami (langsung) dari kondisi ketika hadits tersebut diucapkan (oleh Rasulullah saw.).

Untuk memahami suatu hadits dengan pemahaman yang benar dan mendalam, tidak boleh tidak, kita harus mengetahui situasi dan kondisi yang menyebabkan hadits itu diucapkan oleh Nabi. Biasanya, hadits datang sebagai penjelas terhadap kejadian-kejadian tertentu dan sebagai terapi terhadap situasi dan kondisi kejadian tersebut. Dengan begitu, maksud dari hadits itu dapat ditentukan dengan jelas dan rinci. Tujuannya tidak lain agar hadits itu tidak menjadi sasaran bagi dangkalnya perkiraan, atau kita mengikuti zhahir (lahiriah dari hadits tersebut) yang tidak dimaksudkan (oleh maknanya). (Kaifa Nata'aamal ma'as-Sunnah [hlm. 125]).

Contoh kasusnya adalah sebagai berikut. Ada sebuah hadits yang berbunyi (artinya), "Kalian lebih tahu urusan dunia kalian." (HR Muslim, Kitab Al-Manaaqib, no. 2363).

Sebagian orang menjadikan hadits ini sebagai alasan untuk lari dari hukum-hukum syara' (agama) yang berkaitan dengan masalah ekonomi, perdata, politik, dan yang semisalnya dengan alasan--seperti anggapan mereka yang salah--bahwa itu adalah urusan duniawi.

Apakah betul ini yang dimaksud oleh hadits tersebut? Sama sekali tidak! Karena, di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah terdapat hal-hal yang mengatur urusan muamalah: jual-beli, serikat dagang, pegadaian, sewa-menyewa, utang-piutang, dan sebagainya. Bahkan, ayat terpanjang di dalam Al-Qur'an turun untuk membahas aturan penulisan utang-piutang. "Hai, orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dengan benar ...." (Al-Baqarah: 282).

Dengan demikian, hadits tersebut di atas ditafsirkan oleh sebab diucapkannya hadits tersebut, yaitu kisah penyerbukan pohon kurma atas anjuran Rasulullah berdasarkan pendapat beliau yang merupakan dugaan belaka dalam masalah penyerbukan pohon kurma. Setelah itu para sahabat menjalankan saran Nabi tersebut dengan penuh ketaatan, padahal ketika itu mereka tidak melakukan penyerbukan, kemudian Rasulullah saw. bersabda dengan hadits tersebut.

Contoh yang lain adalah hadits yang artinya, "Barang siapa melakukan sunnah yang baik dalam agama Islam ...." (HR Muslim, Kitab Az-Zakaah, Bab "Al-Hatstsu 'alash Shadaqah" [IV/2801, 2802]).

Sebagian orang memahami hadits ini dengan pemahaman yang salah. Sehingga, mereka membuat bid'ah-bid'ah (amal yang diada-adakan dan tidak ada dasarnya) dalam agama dengan beranggapan bahwa mereka sedang mendekatkan diri kepada Allah dan beramal dengan sunnah yang baik, yang masuk dalam kandungan makna hadits Rasulullah saw. di atas.

Akan tetapi, kalau kita merujuk kepada sebab disabdakannya hadits ini, akan kita dapatkan sebabnya, yaitu bahwa Nabi pada suatu hari menyuruh para sahabat untuk bersedekah. Kemudian, datanglah seorang pria dengan membawa bungkusan besar yang kedua tangannya hampir tidak mampu untuk membawanya, lalu ia meletakkannya di tengah masjid. Setelah itu, orang-orang pun ikut berinfaq sampai muka Rasulullah saw. berseri-seri (karena senang), seakan-akan wajah beliau seperti sesuatu yang disepuh dengan emas, lalu beliau mengucapkan hadits tersebut.

Maka dari itu, mengartikan hadits tersebut kepada perbuatan bid'ah jelas-jelas secara meyakinkan bukan yang dimaksud. Bahkan, itu merupakan kesesatan yang nyata. Dan, sebab-sebab disabdakannya hadits tersebut menjadi bukti terkuat akan kesalahan cara pengambilan dalil yang ditempuh oleh mereka.

Ibnu Hamzah ad-Dimasyqi mempunyai kitab berjudul Al-Bayaan wa at-Ta'riif fii Ashaab Wuruud al-Hadiits asy-Syariif yang dicetak dalam tiga jilid. Kitab itu termasuk yang paling lengkap dalam bidang ilmu ini (asbaabul wuruud hadits).


6. Mengetahui Ghariibul Hadiits
(Ghariibul Hadiits=Kata-Kata yang Sulit Dipahami pada Teks Hadits)
Rasulullah saw. adalah orang yang paling fasih dalam mengucapkan bahasa Arab dan beliau berbicara kepada para sahabat dengan bahasa Arab yang jelas dan dikenal oleh mereka. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam memahami apa yang diinginkan dari lafazh yang diucapkan oleh Rasulullah saw. karena mereka adalah orang Arab asli, yang tidak pernah dimasuki (dipengaruhi) oleh bahasa orang 'Ajam (orang non-Arab).

Tetapi, dengan berlalunya waktu dan berbaurnya sebagian orang dengan yang lain, baik yang Arab maupun yang 'Ajam, bahasa yang dipakai sebagian besar orang Arab menjadi lemah. Selain itu, bahasa mereka bercampur dengan bahasa orang 'Ajam, serta mereka menjadi semakin jauh dari bahasa Arab yang fasih. Sehingga, banyak orang yang menemukan kesulitan dalam memahami hadits-hadits Nabi karena mereka tidak mengetahui arti kata-kata dalam hadits-hadits tersebut.

Oleh sebab itulah, para ulama bangkit menyusun karangan semacam ini, yaitu kitab-kitab ghaariibul hadiits. Mereka menyusun sebuah kitab untuk menerangkan kata-kata yang sulit dipahami dalam suatu hadits beserta penjelasannya. Jika seorang ulama, penuntut ilmu, dan seorang muslim secara umum ingin memahami hadits yang baik, hendaklah dia merujuk kepada kitab-kitab ghariibul hadiits, yang paling penting di antaranya adalah sebagai beirkut.
* Ghariibul Hadiits karya Al-Harawi.
* Ghariibul Hadiits karya Abu Ishaq al-Harbi.
* Ghariib ash-Shahiihain karya Al-Humaidi.
* An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits karya Ibnul Atsir.
Kitab yang terakhir (An-Nihaayah) adalah kitab terlengkap dan paling bermanfaat daripada kitab-kitab ghariib lainnya.


7. Memahami Sunnah seperti yang Dipahami Sahabat Rasulullah
Kaidah ini termasuk yang paling penting supaya seorang muslim berpegang dengan sunnah, seperti berpegangnya salafush shaleh, serta agar selamat dari penambahan dan pengurangan.

Dengan demikian, yang paling utama dalam menerangkan As-Sunnah adalah hadits-hadits Nabi sendiri, kemudian perkataan dan perbuatan para sahabat (al-aatsaar as-salafiyah), karena para sahabat telah menyaksikan turunnya Al-Qur'an dan wahyu turun di hadapan mereka. Maka, jika terjadi pemahaman yang salah dari salah seorang mereka terhadap Sunnah Nabi, niscaya Jibril akan turun kepada Rasulullah saw. untuk meluruskan dan mengoreksi pemahaman yang salah itu.

Oleh karena itu, para ulama hadits menggolongkan perkataan seorang sahabat: "Kami berpendapat begini pada zaman Rasulullah," sebagai perkataan yang memiliki hukum marfu' (yang bisa disandarkan kepada Rasulullah saw.). Apabila orang-orang berselisih tentang pemahaman suatu hadits, maka pemahaman yang paling utama didahulukan adalah pemahaman sahabat Rasulullah saw.

Contoh untuk kasus ini adalah hadits tentang menghadap ke kiblat atau membelakanginya ketika buang air besar atau kecil. Ada atsar (perkataan sahabat) dari Ibnu Umar r.a., beliau berkata, "Sesungguhnya yang demikian itu (buang hajat) terlarang jika di tempat yang terbuka, namun jika di antara kamu dan kiblat ada sesuatu yang menutupi (menghalangi), maka tidak mengapa (hukumnya boleh)." (HR Abu Dawud, Kitab Ath-Thaharah Bab "Karaahiyah Istiqbaali Qiblati 'inda Qadhaa-il Haajah" [I/3]).

Kitab-kitab yang penyusunnya banyak menukil atsar-atsar salafiyyah (orang-orang shalih terdahulu) dari sahabat dan tabi'in adalah sebagai berikut.
* Mushannaf 'Abdirrazzaq.
* Mushannaf Ibni Abi Syaibah.
* Sunan Sa'id bin Manshur.
* Sunan ad-Darimi.
* As-Sunan al-Kubraa dan As-Sughaa karya Imam Al-Baihaqi.


8. Merujuk Kitab-Kitab Syarah Hadits
(Kitab-Kitab yang Berisi Penjelasan dan Keterangan dari Matan [Teks] Hadits) Termasuk hal-hal yang penting dalam memahami hadits-hadits Nabi adalah merujuk kitab-kitab syarah. Sebab, di dalamnya terdapat penjelasan tentang gharib, nasikh-mansukh, fiqhul hadits, dan riwayat-riwayat yang tampaknya bertentangan sehingga seseorang tidak mungkin meninggalkan kitab-kitab seperti ini.

Para ulama hadits telah meninggalkan kitab-kitab syarah untuk kita yang menjelaskan hadits-hadits Nabi saw. Para ulama adalah penerjemah hadits-hadits Nabi untuk seluruh umat. Setiap seorang ulama yang lebih dahulu (lebih dekat masa hidupnya dari Rasulullah saw.) maka penjelasannya akan lebih dekat kepada kebenaran dan lebih layak untuk diterima, biasanya.

Kitab syarah yang paling utama didahulukan setelah memperhatikan yang lebih dahulu zaman penyusunnya adalah kitab yang penyusunnya memiliki perhatian terhadap dalil-dalil dengan menerangkan makhaarijul ahaadiits (jalan periwayatan hadits) yang bermacam-macam, serta menerangkan shahih dan dha'ifnya dalil tersebut.

Demikian pula harus didahulukan kitab yang penyusunnya paling jauh dari fanatik madzhab, yangmana suatu hadits bisa saja dipalingkan olehnya dari makna yang sesungguhnya yang diinginkan Rasulullah saw. tanpa disertai dalil yang rajih (kuat).

Di antara contoh kitab syarah hadits yang sesuai dengan pemahaman para sahabat dan mu'tamad (yang bisa dipertanggungjawabkan) yaitu sebagai berikut.
* Syarhus Sunnah karya Imam Al-Baghawi.
* Fathul Baari karya Ibnu Rajab al-Hanbali.
* Fathul Baari Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar al-Asqalani.

Sumber: Diringkas dari Delapan Kaidah Memahami Sunnah, terj. Abu 'Abdirrahman Mukti 'Ali 'Abdulkarim (Pustaka Imam Asy-Syafi'i, 2007); judul asli: Dhawaabith Muhimmah li Husni Fahmis Sunnah, Dr. Anis bin Ahmad bin Thahir (Jeddah: Husnu Salim, 1999).

Oleh: Abu Annisa

Menegakkan Islam dengan Cara Islam

Farid Achmad Okbah, M.Ag.
Saturday, 27 October 2001

Judul di atas menggambarkan upaya sungguh-sungguh untuk memahami dan mempraktikkan dengan benar penegakan syariat Islam dengan cara yang sesuai dengan Islam. Meskipun kenyataan faktual banyak upaya yang dilakukan umat Islam dalam menegakkan kalimat Allah itu dengan berbagai cara. Adakalanya Islami tapi parsial, ada pula yang tidak Islami tetapi berusaha melegitimasi dengan dalil-dalil syar'i dengan lebih banyak bersifat ijthadi pada saat ada dalil. Sebab, ijtihad dilakukan pada saat tidak ada dalil atau dalil bisa dipahami lebih dari satu pengertian.

Karenanya, kita dapati berbagai corak perjuangan yang dilakukan umat Islam satu sama lain menekankan pentingnya bidang garapan yang digelutinya. Para politisi Muslim, umpamanya, menekankan perjuangan Islam yang paling efektif adalah melalui jalur politik. Sementara, para ekonom Muslim menganalisis, mana mungkin perjuangan Islam bisa berhasil kalau umat Islam lemah ekonominya. Demikian pula para juru dakwah, mereka mengemukakan bahwa perjuangan Islam yang paling dominan adalah umat Islam ini kembali berpegang kepada Islam agar mereka jaya, tanpa memperinci lebih jauh apa dan bagaimana merealisasikannya, dst. ... dst.

Maka dari itu, tema ini menjadi penting untuk dibahas dalam rangka merekonstruksi perjuangan umat Islam dalam menegakkan dinullah sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya serta perjalanan salafus shaleh sepanjang sejarah perjuangan umat Islam.

Tujuan

Kita menyadari bahwa tanggung jawab yang akan dipertanyakan kelak pada hari akhirat adalah tanggung jawab personal. Artinya, Allah tidak membebankan tanggung jawab pihak lain kepada kita, kecuali kalau kita punya andil dalam persoalan tersebut. Karenanya, banyak ayat yang menekankan tanggung jawab ini.

Allah SWT telah berfirman (yang artinya): "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (Al-Baqarah: 286). "Tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri." (An-Nisa: 84). "Hai orang-orang yang beriman, selamatkanlah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka." (At-Tahrim: 6).

Rasulullah saw. bersabda (yang artinya): "Mulailah dengan diri kalian sendiri atau mulailah dengan keluargamu." Dengan demikian, prioritas kita adalah menyelamatkan diri sendiri dari segala kemungkinan penyimpangan terhadap misi utama kehidupan kita, yaitu: "Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku." (Adz-Dzariyat: 56).

Apabila kita sadari hal itu, kita akan memahami arti ibadah seluas-luasnya, yaitu segala sesuatu yang kita lakukan dalam kehidupan kita sesuai dengan apa yang dicintai dan diridhoi Allah SWT. "Segala apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah, baik berupa perkataan, perbuatan yang nampak, maupun yang tersembunyi." (Ibnu Taimiyah, Al-'Ubudiyah, hlm. 1).

Ini mengandung pengertian bahwa seluruh aktivitas kita harus sesuai dengan syariat Islam. Jadi, fokusnya adalah kita sementara acuannya adalah syariat Islam. Karenanya tidak benar seseorang yang belum mengerti ajaran Islam dalam membangun kepribadiannya, tetapi sudah sibuk bagaimana menegakkan Islam. Tidak berarti menegakkan Islam tidak penting, tetapi prosesnya salah. Sesudah seseorang dalam sekup individu melaksanakan tanggung jawab dirinya sebagai hamba Allah, dia akan melangkah menempati posisi di masyarakatnya sesuai dengan kapasitas masing-masing. Di sinilah terjadi interaksi dan kooperasi antara anggota masyarakat Muslim sesuai dengan firman Allah SWT: "Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." (Al-Maidah: 2).

Dan, tanggung jawabnya semakin luas sesuai dengan kapasitas kemampuannya, sehingga dengan posisi masing-masing itu akan dimintai pertanggungjawabannya seperti sabda Nabi saw., "Ketahuilah bahwa setiap kalian adalah penanggung jawab dan setiap kalian akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Imam yang ada di tengah manusia adalah penanggung jawab dan dia akan ditanyai terhadap apa yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang suami bertanggung jawab terhadap keluarganya dan dia akan ditanyai tentang apa yang menjadi tanggung jawabnya. Dan seorang istri bertanggung jawab terhadap rumah suaminya dan anaknya dan dia akan ditanya tentang mereka." (HR Bukhari, Muslim, dan selain keduanya).

Apabila setiap individu tidak melaksanakan tanggung jawabnya sebagai hamba Allah yang berkewajiban melaksanakan syariat Islam sesuai dengan kemampuannya, berarti dia telah berkhianat. "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (Al-Anfal: 27).

Dalam istilah fiqh bahwa tanggung jawab personal itu fardhu 'ain, sedangkan tanggung jawab kolektif adalah fardhu kifayah. Adalah salah besar kalau ada orang yang mengutamakan fardhu kifayah (tanggung jawab kolektif) daripada tanggung jawab fardhu 'ain (individu). Tetapi, menjadi sangat baik kalau dia mengerjakan fardhu 'ainnya sekaligus melaksanakan fardhu kifayahnya. Kalau tidak, maka seluruh umat berdosa.

Teladan Rasulullah

Gambaran di atas akan lebih jelas pada personifikasi Rasulullah saw. sebagai teladan bagi perjuangan umat Islam. Dan, mempelajari perjalanan perjuangan Nabi saw. tidak boleh sepotong-sepotong, seperti mereka yang terperangkap dengan mengkotak-kotakkan masa Mekah dan masa Madinah. Karena, Islam sudah lengkap dan Nabi saw. telah mempraktikkannya secara sempurna. Makanya, kewajiban kita adalah memahami sirah Nabi saw. itu secara komprehensif dan mempaktikkannya sesuai dengan kapasitas dan kondisi kita, seperti firman Allah SWT: "Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian ...." (Ath-Thaghabun: 16). Dan, Rasulullah saw. memberikan arahan atas kelengkapan syariat Islam yang harus kita pedomani:

"Sesungguhnya Allah SWT telah menetapkan hal-hal yang wajib, maka janganlah kalian meninggalkannya; dan telah memberikan batasan-batasan, maka janganlah kalian melanggarnya. Dia mengharamkan sesuatu, maka janganlah kalian melanggarnya; dan mendiamkan banyak hal sebagai rahmat bagi kalian, maka janganlah kalian mencari-cari (hukumnya)." (HR Daruqutni, hadits hasan). Dan, beliau menekankan pegangan yang harus dipedomani pada saat terjadi perbedaan atau perselisihan: "Maka, barang siapa yang hidup di antara kalian, niscaya akan melihat perbedaan yang banyak. Maka, hendaklah kalian (mengikuti) sunnahku dan juga sunnah Khulafa ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk dan gigitlah dengan gigi geraham dan hendaklah kalian menjauhui perkara-perkara yang diciptakan (bid'ah, red.), karena sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat."
(HR Abu Daud dan Tirmidzi, hadits hasan).

Secara ringkas kita melihat praktik Nabi saw. dalam membangun kekuatan Islam. Nabi saw. ketika berada di Mekah membuat kader yang difokuskan di rumah-rumah dan terutama di rumah Arqam bin Abi Arqam. Di antara kader yang matang ditugasi menyampaikan dakwah, seperti Mushab bin 'Umair yang dikirim ke madinah.

Nabi saw. mencari tempat yang kondusif untuk mengembangkan dakwah dan kekuatan Islam. Beliau pergi ke Thaif tetapi tidak cocok. Kemudian beliau lebih memilih ke Madinah karena mendapat sambutan di sana. Kemudian beliau membangunn masjid sebagai pusat kegiatan umat Islam dan penempaan para kader. Langkah berikutnya beliau mempererat hubungan sesama Muslim dengan mempersaudarakan antara Muhajirin (dari Mekah) dan Anshar (dari Madinah). Beliau membuat Piagam Madinah untuk membentengi umat Islam dan memberikan hak-hak non-Muslim. Nabi saw. mempersiapkan kekuatan untuk menghadang segala upaya ofensif kaum kuffar sampai 27 kali belaiu berperang antara perang defensif dan ofensif (seperti Perang Tabuk).

Di sini menjadi jelas bahwa kesatuan visi yaitu membangun aqidah yang benar sampai kesatuan langkah, yaitu kepada tegaknya kekuatan jihad merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh. (Lihat, DR. Rabi' bin Hadi al-Madkhal, Minhajul Anbiya, hlm. 87).

Karena itu, Ibnu Qayyim al-Jauziyah menggunakan istilah perjuangan menegakkan Islam dengan cara Islam, yaitu dengan ungkapan "jihad". Beliau membagi jihad ini menjadi 4 bagian:

1. Jihad menundukkan hawa nafsu meliputi 4 tahap.
* Berjihad dengan mempelajari ajaran agama Islam demi kebahagiaan dunia dan akhirat.
* Jihad melaksanakan ilmu yang diperolehnya itu, karena ilmu tanpa amal adalah tidak berarti dan bahkan membahayakan.
* Jihad dengan berdakwah berdasarkan ilmu yang benar dan praktik nyata.
* Jihad menekan diri agar sabar terhdap cobaan dakwah berupa gangguan manusia (empat hal inilah makna yang terkandung dalam surah Al-Ashr, yang kata Imam Syafi'i seandainya Allah tidak menurunkan ayat kecuali Al-'Ashr, niscaya cukup bagi manusia).
2. Jihad melawan syaitan meliputi dua hal.
* Jihad melawan pemikiran syaitan berupa syubhat dan keragu-raguan yang dapat merusak keimanan. Perlawanannya adalah dengan keyakinan.
* Jihad melawan syaitan yang membisikan agar terjerumus kepada syahwat, hawa nafsu. Caranya dengan sabar dan menahan diri dengan berpuasa. (Lihat QS As-Sajdah: 2).
3. Jihad melawan kaum kufar dan munafikin melalui 4 tahap.
* Dengan kalbu
* Dendan lisan
* Dengan harta
* Dengan tangan
Jihad melawan kaum kuffar lebih utama dengan tangan, sementara terhadap kaum munafikin dengan lisan.
4. Jihad melawan kezaliman, kemungkaran, dan bid'ah ditempuh melalui tiga tahap. (1) Dengan tangan kalau mampu, kalau tidak (2) dengan lisan, kalau tidak mampu (3) minimal dengan hati. (HR Muslim).

Demikian 13 tingkatan jihad yang telah dilaksanakan secara sempurna oleh Rasulullah saw. (Ibnul Qayyim al-Jauziyah, Zaadul Ma'ad, Juz 3 hlm. 6-12).

Benar kata Umar bin Khattab dalam ungkapan spektakulernya, yang artinya, "Kami adalah kaum yang dimuliakan Allah dengan Islam, seandainya kami mencari selainnya, niscaya kami akan dihinakan oleh Allah."

Juga ucapan Imam Malik, "Tidaklah urusan umat ini akan menjadi baik, kecuali dengan mengikuti hal-hal yang telah menjadikan umat terdahulu menjadi baik." Wallahu a'lam.

Salaf dalam Mencari Maisyah (Penghidupan yang Halal)

Farid Achmad Okbah, M.Ag.
Monday, 01 January 2007

Ada lima hal yang membangun kepribadian seorang Muslim pada masa dahulu, sekarang, dan akan datang. Pertama, mengenal Allah; kedua, mengenal kebenaran yang Allah turunkan; ketiga, ikhlas kepada Allah; keempat, mengikuti jejak Rasulullah; dan kelima, mencari yang halal. Pembahasan kita pada kaitan yang kelima ini dalam rangka mengisi kehidupan yang diridhai oleh Allah SWT. Hal itu telah dicontohkan oleh para nabi. Menurut riwayat Ibnu Abbas, Nabi Daud bekerja sebagai pandai besi, Nabi Adam petani, Nabi Nuh tukang kayu, Nabi Idris penjahit, dan Nabi Musa penggembala. Demikian pula contoh yang dipraktikkan oleh para ulama salaf, terutama Rasulullah dan para sahabatnya. Mereka bekerja dalam bidang perdagangan, pertanian, dan jasa.

Dari Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), "Wahai manusia, sesungguhnya Allah SWT itu suci dan tidak menerima kecuali yang suci. Dan Allah SWT telah memerintah orang mukmin dengan apa yang diperintahkannya kepada para rasul, yaitu 'Wahai sekalin rasul, makanlah dari harta yang suci dan kerjakanlah perbuatan shaleh.' Kemudian beliau bercerita tentang seseorang yang dalam perjalanan panjang lalu memanjatkan tangannya ke langit sambil berdoa mengucap: Ya Tuhan, ya tuhan. Namun makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan mengonsumsi yang haram. Bagaimana doanya bisa dikabulkan?" (HR Muslim).

Dari Ibnu Syihab berkata, Urwah bin Zubeir memberitahukan kepadaku bahwa Aisyah r.a berkata, tatkala Abu Bakar ash-Shiddiq menjabat sebagai khalifah ia berkata, "Kaumku telah mengetahui bahwa pekerjaanku (keahlianku) mampu menopang kesulitan keluargaku. Dan (sekarang) saya sibuk dengan urusan kaum Muslimin. Apakah kemudian keluarga Abu Bakar akan makan dari harta ini (baitul mal), sementara saya bekerja di dalamnya untuk kaum Muslimin?"

Dari Miqdad r.a., dari Nabi saw., "Tidaklah seseorang memakan makanan pun yang lebih baik daripada ia makan dari pekerjaan tangannya dan bahwa Nabiyallah Daud a.s. makan dari pekerjaan tangannya."

Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw. bahwa Nabi Daud AS tidak makan kecuali dari pekerjaan tanganya.

Dari Abi Ubaid Budah Abdurarahman, budak Abdurrahman bin Auf, bahwasanya ia mendengar Abu Hurairah r.a. berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Salah seorang dari kalian lebih baik mengantar sesuatu barang di atas punggungnya (menjadi kuli) itu lebih baik daripada ia meminta kepada seseorang, lalu ia memberinya atau tidak memberinya."

Contoh Para Ulama Salaf dalam Bermaisyah

Thalhah bin Ubaidillah

Dari Sa'di binti Auf berkata, "Thalhah datang kepadaku dan aku melihatnya dalam keadaan gelisah. Aku bertanya, 'Ada apa denganmu?' Ia menjawab, 'Hartaku telah menjadi banyak dan itu menggelisahkanku.' Aku bertanya, 'Lalu apa yang harus kamu lakukan?' Ia menjawab, "Saya akan membagikannya.' Maka, Thalhah pun kemudian membagikannya hingga tak tersisa sedirham pun untuknya."

Dari Hasan berkata, "Thalhah menjual tanahnya seharga 700 ribu. Pada malam harinya ia tidak bisa tidur karena uang itu masih ada padanya. Keesokan harinya ia membagikan semua uang itu." (HR Imam Ahmad).

Dari Hasan berkata, "Thalhah bin Ubaidillah menjual tanahnya dari Utsman seharga 700 ribu. Utsman kemudian membawakan uang itu kepadanya. Tatkala Utsman datang, ia berkata, 'Seseorang telah menyimpan uang satu malam di rumahnya, sementara ia tidak tahu apa yang akan dipukulkan Allah dari perkara-Nya karena kelalaian terhadap-Nya. Ia kemudian tidur sementara utusannya menyelisihinya di jalan-jalan Madinah hingga datang waktu sahur dan tak ada satu dirham pun padanya.

Abdurrahman bin Auf

Dari Tsabit al-Banani dari Anas berkata, "Ketika Aisyah r.a. berada di rumahnya, tiba-tiba ia mendengar suara yang mengagetkan kota Madinah. Ia lalu berkata, 'Ada apa ini?' Mereka menjawab, 'Kafilah Abdurrahman bin Auf datang dari Syam dengan 700 unta.' Aisyah berkata, 'Saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, 'Saya melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak.' Ucapan ini sampai kepada Abdurrahman. Ia kemudian menemui Aisyah dan bertanya atas ucapan itu. Aisyah kemudian berkata kepadanya. Abdurrahkam lalu berkata, 'Saya bersaksi kepadamu bahwa kafilah dengan muatan, pelana, dan alas pelananya (saya infakkan) di jalan Allah 'Azza wa Jalla'."

Darinya berkata, ketika Aisyah berada di rumahnya ia mendengar suara dari kota Madinah. Ia lalu bertanya, 'Apa ini?' Mereka menjawab, 'Kafilah Abdurrahman bin Auf datang dari Syam membawa segala sesuatu.' (Perawi berkata), 'Yaitu 700 unta.' (Perawi berkata), 'Maka, terdengarlah suara gemuruh di kota Madinah karena kafilah itu.' Aisyah berkata, 'Saya mendengar Rasululah saw. bersabda, 'Saya melihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan merangkak.' Ia berkata, 'Kalau mampu, saya akan masuk ke dalamnya dengan berdiri.' Maka ia menjadikan muatan dan pelana kafilahnya itu untuk di jalan Allah." (HR Imam Ahmad).

Dari zuhri berkata, "Abdurrahman bin Auf bershadaqah pada masa Rasulullah saw. dengan setengah hartanya: empat ribu dinar. Kemudian, bershadaqah lagi dengan 40 ribu, kemudian bershadaqah lagi dengan 40 ribu dinar. Kemudian, ia membawa 500 kuda di jalan Allah. Kemudian, ia membawa 1500 unta di jalan Allah. Dan, mayoritas hartanya dari perdagangan.

Dari Said bin Ibrahim dari ayahnya, "Bahwa Abdurrahman bin Auf diberi makanan, sementara ia tengah berpuasa. Ia berkata, 'Mushab bin Umair terbunuh, sementara ia adalah seorang yang dermawan (pemberi). Ia dikafani dengan kain yang bila kepalanya ditutup, kakinya terlihat; dan bila kakinya ditutup, kepalanya terlihat'." (Dan menurutku) ia berkata, "Hamzah terbunuh, sementara ia seorang dermawan, yaitu tidak terdapat untuk mengkafaninya, kecuali sehelai kain. Kemudian dunia dilapangkan untuk kita selapang-lapangnya." (Atau ia berkata), "Kami diberi dunia apa yang telah diberikan kepada kami, dan kami khawatir bahwa itu adalah kebaikan yang disegerakan untuk kita. Kemudian, ia menangis sehingga ia meninggalkan makanan. (HR Bukhari).

Dari Said bin Husain berkata, adalah Abdurrahman bin Auf tidak diketahui (bila) ia berada di antara para budaknya.

Salman al-Farisi

Dari Nukman bin Hamid berkata, "Saya datang bersama paman saya kepada Salman al-Farisi di Madain, sementara ia bekerja sebagai penjual daun kurma. Saya mendengar ia berkata, "Saya membeli daun kurma satu dirham, lalu aku kerjakan dan aku menjualnya dengan tiga dirham. Satu dirham saya jadikan modal. Satu dirham saya berikan kepada kelurga dan satu dirham saya infakkan. Meskipun Umar menghentikanku, tapi aku tidak menghentikannya.

Dari Abi Laila al-Kindi berkata, "Anak Salman berkata kepada Salman, 'Berilah saya wasiat.'
Ia bertanya, 'Apakah kamu mempunyai sesuatu?'
Ia menjawab, 'Tidak.'
Ia berkata, 'Dari mana?'
Ia menjawab, 'Saya meminta manusia.'
Ia berkata, 'Kamu ingin memberiku kotoran manusia'."

Abdullah bin Mubarak

Hibban bin Musa berakta, "Ibnu Mubarak dicela karena tidak memberikan jamuan dari hartanya, baik di negara lain maupun terhadap penduduk negerinya."
Ia berkata, "Saya mengetahui tempat dari orang-orang yang memiliki keutaaman dan kejujuran dalam mencari hadits dan telah melakuan pencarian dengan baik. Mereka adalah orang-orang yang membutuhkan. Bila kami meninggalkan mereka, ilmu mereka akan hilang. Sementara, bila kami menolong mereka, ilmu akan tersebar kepada umat Muhammad. Dan, saya tidak mengetahui setelah kenabian yang lebih utama daripada tersebarnya ilmu."

Maksudnya adalah bahwa Ibnu Mubarak menyalurkan hartanya untuk kepentingan para pejuang pencari ilmu. Yaitu, mereka yang akan menyebarkan agama ini kepada umat manusia. Sementara, penuduk negeri tidak mengetahuinya, sampai-sampai ia mendapatkan celaan dari orang-orang.

Al-Husain bin Hasan al-Maruzi berkata, "Saya mendengar Ibnu Mubarak berkata, 'Penduduk dunia keluar dari dunia sebelum mereka makan yang terbaik di dalamnya.'
Orang-orang bertanya, 'Apa yang terbaik di dalamnya?'
Ia menjawab, 'Makrifah kepada Allah Azza wa Jalla'."

Ali bin Hasan bin Syaqiq berkata, saya mendengar Ibnu Mubarak berkata, "Saya menolak satu dirham dari yang syubhat itu lebih saya cintai daripada bershadaqah dengan seratus ribu, dan seratus ribu, hingga enam ratus ribu."

Abdulah bin Khubaiq berkata, "Ibnu Mubarak ditanya apakah tawadhu itu?"
Ia menjawab, "Sombong di depan orang kaya."

Sulaiman bin Daud berkata, "Saya bertanya tentang Ibnu Mubarak kepada manusia?"
Ia berkata, "Ulama."
Saya bertanya, "Apakah ia dari raja?"
Ia berkata, "Dari orang yang zuhud."
Saya bertanya, "Apakah ia termasuk orang jelata?"
Ia berkata, "Huzaimah dan teman-temannya."
Saya bertanya, "Apakah ia termasuk orang rendahan?"
Ia menjawab, "Orang-orang yang hidup dengan agama mereka."

Nasihat Menyikapi Harta dengan Zuhud

Nasihat Sufyan ats-Tsauri kepada Ali bin al-Hasan.

Wahai saudaraku! Hendaknya kamu mencari harta yang halal dan apa yang engkau hasilkan dengan tanganmu. Hendaknya engkau jauhi kotoran manusia (shadaqah) untuk memakannya atau mencampurinya. Karena, orang yang memakan kotoran manusia seperti ketinggian bagi seseorang dan tidak memiliki bawahan. Ia senantiasa berada dalam ketakutan untuk terjerumus kepada bawahnya dan hancur ketinggiannya. Orang yang memakan kotoran manusia akan berbicara dengan hawa nafsu, dan merendah di hadapan manusia karena takut mereka akan menangkapnya.

Wahai saudaraku! Bila kamu menerima sesuatu dari manusia, lisanmu telah terputus. Dan, engkau telah memuliakan sebagian manusia dan merendahkan sebagaian lainnya. Padahal, ia tidak turun kepadamu pada hari kiamat. Sesungguhnya orang yang memberimu sesuatu dari hartanya, sebetulnya itu adalah kotorannya. Dan arti dari kotorannya adalah mensucikan amalnya dari dosa. Apabila engkau menerima sesuatu dari manusia, engkau akan memenuhi panggilannya bila ia mengajak kepada kemungkaran. Sesungguhnya orang yang memakan kotoran manusia seperti seseorang yang memiliki serikat terhadap sesuatu yang sudah semestinya ia membagikannya.

Wahai saudaraku! Laparlah dan sedikit beribadah itu lebih baik daripada engkau banyak beribadah tapi kenyang dengan kotoran manusia. Telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Seandainya salah seorang dari kalian mengambil tali kemudian mengumpulkan sampai membelakangi punggungnya itu lebih baik daripada ia berdiri di atas kepala saudaranya, memintanya atau mengharapkannya." (HR Bukhari).

Telah sampai kepada kami bahwa Umar r.a. berkata, "Barang siapa di antara kalian yang bekerja, maka kami memujinya dan bila ia tidak bekerja, kami menuduhnya."

Ia berkata, "Wahai para pembaca! Tinggikan kepala kalian dan janganlah menambah kekhusyu'an atas apa yang ada di hati. Berlomba-lombalah dalam mencari kebaikan, dan jangan menjadi tanggungan manusia! Jalan sudah jelas."

Ali bin Abi Thalib berkata, "Sesungguhnya orang yang hidup dari tangan manusia, seperti orang yang menanam pohon di tanah orang lain."

Maka, takutlah kepada Allah wahai saudaraku, sesungguhnya tidaklah seseorang menerima dari manusia sesuatu kecuali ia menjadi hina dan rendah di sisi manusia, sementara orang Mukmin adalah saksi Allah di muka bumi.

Hendakanya kamu jangan mencari harta yang buruk, lalu menginfakkannya di dalam ketaatan kepada Allah. Sesungguhnya meninggalkannya adalah kewajiban dari Allah. Sesunggunya Allah adalah bersih dan tidak menerima, kecuali yang bersih.

Apa pendapatmu terhadap seseorang yang pakaiannya terkena air kencing kemudian mensucikannya dengan air kencing lainnya? Apakah menurutmu itu akan membersihkannya? Sekali-kali tidak! Sesungguhnya kotoran tidak bisa dibersihkan, kecuali dengan yang baik. Begitu pula kejelekan tidak akan terhapus kecuali dengan kebaikan. Sesungguhnya Allah itu bersih dan tidak menerima, kecuali yang bersih. Dan, sesungguhnya yang haram tidak akan diterima dari amal apa pun. Atau, apakah seseorang yang melakukan dosa, lalu ia menghapusnya dengan dosa? Wallahu a'lam bish-shawab.
Terakhir kali diperbaharui ( Wednesday, 12 December 2007 )

Tazkiyah yang Benar dan Penyimpangannya

Farid Achmad Okbah, M.Ag.
Monday, 15 January 2007

Banyak orang dalam mencari rizki (baca: dunia) tidak mengindahkan batasan halal dan haram. Mereka mengira bahwa kebahagian terletak pada banyaknya materi. Mereka beranggapan bahwa apabila seseorang mempunyai rumah mewah, mobil wah, perusahaan banyak, dan simpanan uang di bank yang melimpah, maka orang tersebut bisa disebut bahagia. Tapi, pada kenyataannya, orang seperti ini justru kehidupannya menderita. Sehingga, tak jarang orang itu terkena stress dari berbagai masalah yang menimpanya. Dalam kondisi seperti itu, ternyata harta tidak bisa selalu memecahkan masalah. Hanya harta yang di tangan orang yang shaleh saja yang bisa membahagiakan. Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), "Sebaik-baik harta yang baik adalah di tangan orang yang shaleh."





Ada kalanya orang menyangka bahwa jabatan atau kedudukan sosial dapat mengantarkan pada kehormatan yang dapat membahagiakan. Untuk tujuan itu, banyak orang menyuap dan berbuat apa saja agar menduduki jabatan tertentu. Mereka berasumsi bahwa tempat tersebut terhormat dan basah. Biasanya, cara perolehan jabatan seperti ini banyak menimbulkan masalah di belakang hari, terutama menjadi lahan subur bagi para penjilat dan kelompok oportunis. Bisa diduga bahwa karir itu akan berakhir dengan kekecewaan-kekecewaan sebab dibangun dengan landasan yang rapuh dan berkhianat terhadap amanat jabatan tersebut. Memang jabatan tidak selamanya membawa kebahagiaan. Bahkan, tanggung jawabnya berat sekali di hari kemudian. Rasulullah saw. bersabda kepada Abu Dzar al-Ghifari, "Apabila kamu lemah, jangan kamu memangku jabatan, karena itu adalah amanat dan akan menjadi penyesalan pada hari kiamat kelak."

Sementara itu, sebagian manusia "hidung belang" beranggapan bahwa kebahagiaan terletak pada pelampiasan nafsu kepada wanita sebanyak dan secantik mungkin. Banyak wanita yang lemah imannya jatuh ke pangkuannya. Dia bagaikan orang yang minum air laut, semakin diminum semakin haus. Tiada hentinya dia mengarungi lautan perzinaan. Banyak dari mereka yang berakhir dengan mengidap penyakit berbahaya. Demikian akibat menyalahi aturan Allah SWT. Model pemuda seperti ini pernah datang kepada Rasulullah saw. dan menyatakan bersedia memasuki pelataran Islam dengan satu syarat agar dia dibolehkan berzina karena dia merasa paling suka sama perempuan. Kemudian Rasulullah saw. membisiki telinga pemuda tadi seraya bertanya, "Apakah engkau rela ibumu dizinai orang?"
Dia menjawab, "Tidak."
"Apakah engkau rela saudaramu dizinai orang?"
Dia menjawab, "Tidak."
"Mengapa engkau rela menzinai (mungkin itu) ibunya orang, atau saudarinya orang, atau tantenya orang lain."
Karuan saja pemuda itu bergumam, "Sungguh, saya kelewatan."
Sejak itulah dia berkata, "Tidak ada perbuatan yang paling saya benci melebihi berzina."

Banyak orang menempuh berbagai cara untuk mendapatkan kebahagiaan, tapi tak mendapatkannya. Ibnu Hazm, seorang ulama hebat dari Andalusia, Spanyol, pernah mengatakan bahwa seluruh manusia berjalan ke satu arah, yaitu mengusir ketakutan untuk mencapai kebahagiaan. Karena takut miskin, manusia bekerja keras mendapatkan harta agar kaya. Karena takut bodoh, manusia mencari ilmu agar pintar. Karena takut hina, manusia mencari kedudukan agar terhormat, dan sebagainya. Tapi, cara apa pun yang ditempuh manusia untuk mendapatkan kebahagiaan tidaklah dapat terwujud kecuali dengan ad-din (agama Islam). Dengan Islam bukan saja kebahagiaan dunia yang diperoleh, tapi juga kebahagiaan di akhirat.

Pusat Kebahagiaan

Pusat kebahagiaan itu terletak di hati. Apabila hati seseorang itu dipenuhi dengan cahaya keimanan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, dia akan bahagia di dunia dan akhirat. Sebaliknya, bagi mereka yang berpaling dari jalan Allah dan mengikuti jalan lain dengan konsepsi syaitan dan konco-konconya, pasti cepat atau lambat akan mendapat kesengsaraan dunia, apalagi di akhirat. Allah SWT berfirman (yang artinya), "Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, ...." (At-Taubah: 124).

Allah hanya menerima hati yang bersih, tulus ikhlas kehidupannya, dengan berbagai variasinya dipersembahkan hanya untuk-Nya. Allah SWT berfirman, "(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (Asy-Syu'aaraa: 88-89). Karena, hati ini sebagai penggerak dan penentu kebahagiaan seseorang, maka harus diperhatikan. Seperti disinyalir Rasulullah saw., "Ketahuilah bahwa dalam jasad manusia terdapat segumpal darah, kalau dia baik seluruh jasadnya baik. Namun, apabila dia rusak, seluruh jasadnya rusak. Itulah hati." (HR Bukhari).

Sebagian ulama salaf menggambarkan bahwa hati ini seperti rumah yang mempunyai pintu dan jendela. Apabila penjagaan pintu dan jendela tidak ketat, bisa dipastikan seisi rumah akan dikuras oleh maling. Pintu dan jendela tersebut adalah mata, telinga, dan seluruh anggota tubuh. Sedangkan malingnya adalah syaitan dan kroni-kroninya. Kita berkewajiban untuk menjaga hati dan mengisinya dengan tazkiyah sesuai petunjuk Al-Qur'an dan susnah Rasulullah saw.

Perlu diketahui bahwa hati itu bekerja sesuai dengan fungsinya, sebagaimana anggota tubuh kita bekerja sesuai dengan fungsinya. Awalnya hati itu hidup. Tapi, proses berikutnya bila tidak dijaga dan diisi dengan tazkiyah, dia bisa sakit, bahkan mati. Rasulullah saw. menggambarkan hati itu dalam sabdanya, "Permisalan petunjuk dan ilmu yang ditugaskan Allah kepadaku bagaikan air hujan yang turun ke bumi. Di antaranya mengenai tanah yang subur dapat membawa air untuk manusia … bahkan pepohonan. Ada yang mengena tanah tandus dapat menahan air tapi tak dapat menghidupkan pepohonan. Ada pula tanah yang datar dapat menahan air dan tidak pula membutuhkan pepohonan. Tanah pertama seperti hatinya mukmin yang menyerap ilmu Islam serta mengaplikasikannya. Tanah kedua hatinya orang munafik yang bisa menyerap ilmu Islam tapi tidak menjalankannya. Tanah ketiga seperti hatinya orang kafir yang tidak mengindahkan ajaran orang Islam, apalagi mengamalkannya." (HR Bukhari).

Tazkiyah

Tazkiyah secara bahasa berasal dari akar kata zakaa, berarti "berkembang". Tazkiyah adalah pengembangan dan pembersihan. Sedangkan menurut epistemologi syara', tazkiyah berarti perawatan, pengembangan, dan pembersihan hati dari berbagai intrik syirik.

Rasulullah saw. selalu berdoa seperti berikut. "Ya Allah, berilah ketakwaan kepada jiwaku dan bersihkanlah. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik yang membersihkannya. Engkaulah penolong dan pemiliknya." (HR Muslim dan Ahmad).

Syariat Islam ini isinya adalah tazkiyah nufus (pembersihan jiwa). Sehingga, mereka pantas sebagai penduduk surga yang bersih. Tak ubahnya seperti pakaian yang bersih kita letakkan di almari, sementara yang kotor harus dicuci, dijemur, dan disetrika. Perhatian perintah shalat, tujuannya agar terhindar dari kekejian dan kemungkaran. "Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar." (Al-Ankabut: 45).

Rasulullah saw. bersabda, "Bagaimana pendapatmu bila di hadapan pintumu ada sungai (yang mengalir) yang dengan itu kamu sekalian mandi lima kali sehari?"
Lalu Rasulullah bersabda lagi, "Adakah tersisa daki di badannya?"
Lantas sahabat pun menjawab, "Tidak sedikit pun."
Kemudian Rasulullah pun bersabda, "Begitulah perumpamaan shalat lima waktu yang dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan (dosa-dosa)" (HR Bukhari).

Perintah zakat disebutkan Al-Qur'an: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, ...." (At-Taubah: 103).

Perintah haji disebutkan sebagai berikut. "… maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji ...." (Al-Baqarah: 197).

Demikian pula sederetan syariat Allah lainnya, semua itu bertujuan agar manusia bersih jiwanya. Itulah rahasia yang Allah tidak menjadikan di dalam diri manusia dua hati. Yaitu, apabila hati seseorang diisi dengan cinta kepada Allah, seluruh cinta yang lain akan keluar dan terikat dengan itu. Sebaliknya, hati yang diisi cinta selain Allah, seperti harta, perempuan, jabatan, dsb., maka cinta kepada Allah akan terbang. Tak heran ungkapan seorang ulama bernama Ibnu Taimiyah, "Di dunia ini ada surga, siapa yang tidak memasukinya, dia tidak akan memasuki surga akhirat."

Ia juga mengatakan, "Apa yang akan diperbuat kepadaku oleh musuh-musuhku? Surga itu milikku, ada di dadaku. Ke mana saja saya menuju, dia bersamaku, tidak berpisah. Bila aku dipenjara, itu adalah khalwat bagiku; bila dibunuh, aku mati syahid; dan bila aku diusir, kepergianku adalah darmawisata."

Cara Membersihkan Jiwa

Bagaimana cara membersihkan jiwa? Pertama, kita harus mengenal diri kita. Kedua, mengisi diri kita melewati pembersihan (tazkiyah) dengan tiga tahapan: (1) pembersihan akidah, (2) pembersihan dengan menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangannya, (3) menjalankan sunnah-sunnah Rasulullah saw.

Tiga Tahapan Pembersihan Jiwa

Adapun tiga tahapan yang harus dilalui oleh seorang Muslim yang ingin mendapatkan kebahagiaan dan ketenteraman hidupnya adalah sebagai berikut.

Tahap Pertama: Tazkiyah Melalui Pembersihan Akidah

Seluruh isi Al-Qur'an mengadung ajaran akidah yang lengkap, terdiri dari empat bagian. Pemberitahuan tentang Allah, nama dan sifatnya disebut tauhid ilmiyah teoritis. Ajakan agar penghambaan (baca: ibadah) hanya kepada Allah semata disebut dengan tauhid amaliyah praktis. Penjelasan tentang perintah dan larangan yang harus ditaati sebagai konsekuensi logis penerimaan tauhid disebut dengan hak-hak tauhid. Keterangan positif tentang hasil yang akan diperoleh pelaku tauhid di dunia maupun di akhirat dan akibat buruk bagi yang menolak atau ragu-ragu terhadap tauhid di dunia sebagai kesengsaraan dan di akhirat ke dalam api neraka.

Begitu bersih jiwa orang yang berakidah Islam yang benar sehingga dapat membuahkan kebahagiaan setiap saat. Digambarkan oleh Allah indah sekali berikut ini. "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (An-Nahl: 97).

Berbeda dengan orang yang rusak akidahnya seperti umumnya musyrikin, maka Allah menyebut mereka jiwanya kotor. "Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, ...." (At-Taubah: 28). Hal itu terjadi karena mereka banyak menzalimi dirinya karena tidak mengindahkan ajakan Sang Pencipta dirinya. "Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar." (Luqman: 13). Akibatnya, mereka berjalan di atas kesesatan. "Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya." (An-Nisaa': 116).

Di sini rahasia Rasulullah saw. mencurahkan perhatian selama tiga belas tahun saat berada di Mekah. Rasulullah saw. menggembleng para sahabat agar akidahnya murni dari intrik-intrik syirik apa pun bentuknya.

Ibnul Qayyim menggambarkan indah sekali keimanan mereka yang bersih itu. Ringkasnya, mereka adalah manusia yang hatinya diliputi dengan pengertian terhadap Allah sampai meluap rasa cintanya, rasa takut (baca: khasyah), pengagungan, dan selalu merasa dikontrol oleh Allah SWT (baca: muraqabah). Rasa cintanya telah merasuki seluruh bagian tubuhnya sampai tulang sumsumnya sampai pada tingkat melalaikan cinta selain dari pada-Nya. Tandanya, ia banyak ingat dan menyebut Allah. Seluruh harap dan cemasnya ditujukan kepada-Nya serta selalu bertawakal dan mengembalikan segala urusannya kepada Allah setelah melalui berbagai upaya dan sebab yang dibenarkan. Tak jarang ia bertaubat dan tunduk patuh keharibaannya.

Apabila dia meletakkan punggungnya di pembaringannya, jiwanya melayang ke hadirat Ilahi sambil menyebut-nyebut nama dan sifat-sifat-Nya. Dia menyaksikan asma dan sifat-Nya yang telah memerangi cahaya hatinya. Badannya di atas tempat tidur, sementara jiwanya berdarmawisata dan sujud di keharibaan Rabb yang dia cintai, penuh khusu', dan rendah hati. Hanya Allah jualah yang memenuhi seluruh kebutuhan manusia dan seluruh makhluk. Allahlah yang mengampuni dosa hambanya, menyelesaikan segala persoalannya, membahagiakan orang sedih, menolong yang lemah, memberi kekayaan dan mencukupkan orang miskin. Dialah yang mematikan dan menghidupkan, membahagiakan dan mencelakakan, menyesatkan dan memberi petunjuk, memberi kekayaan kepada segolongan manusia dan menjadikan miskin pada segolongan yang lain, mengangkat derajat suatu kaum dan menghinakan kaum yang lain, dan sebagainya.

Begitu pentingnya akidah ini sehingga harus kita pelajari secara global kemudian terinci dari sumber yang terpercaya. Ini masalah agama (baca: din) tidak boleh kita ambil dari sembarang orang, tapi harus dari yang terpercaya ilmu dan amalnya. Seperti sinyalemen Imam Malik dan Ibnu Sirin, "Ilmu ini, ilmu agama, hendaknya kamu ambil ilmu agamamu dari orang yang benar-benar kamu percayai."

Tentunya, dalam kesempatan yang terbatas ini, kami tidak mengungkapkan poin-poin dalam akidah, tetapi sebatas pembuka dan perangsang belaka agar diketahui pentingnya hal tersebut.

Tahap Kedua: Tazkiyah dengan Menjalankan Perintah dan Meninggalkan Larangan

Sebelum seseorang melakukan atau meninggalkan sesuatu, hendaknya dia tahu betul bahwa hal tersebut memang diperintah sehingga harus dikerjakan atau dilarang sehingga harus ditinggalkan. Sementara, yang sering terjadi ada orang yang menjalankan kewajiban tapi pada saat yang lain dia melakukan pelanggaran. Contohnya, berapa banyak orang yang menjalankan shalat di masjid, tapi kalau pergi ke kantor dia melakukan korupsi. Kita harus konsekuen kalau mau selamat. Kita harus melaksanakan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang. Dalam hadis qudsi, Allah SWT pernah menyatakan, Allah Taala berfirman, "Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku proklamirkan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih baik bagi-Ku daripada yang Kuwajibkan kepadanya. Senantiasa hamba-Ku mendekat kepadaku dengan mengerjakan yang sunnah-sunnah sampai Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya untuk mendengarkan, matanya untuk melihat, tangannya untuk berkreasi, dan kakinya untuk berjalan. Apabila dia meminta kepada-Ku, pasti Kuberikan. Apabila berlindung kepada-Ku, pasti Kulindungi dia. Tidaklah aku rela mengerjakan sesuatu seperti ragunya aku mengambil nyawa orang mukmin karena mati, sementara Aku tak suka menyakitinya." (HR Bukhari dan yang lainnya).

Kewajiban mengerjakan perintah Allah tidak bisa ditawar-tawar, apalagi ada anggapan pengecualian bagi orang-orang tertentu. Demikian kesalahan besar bagi orang yang mengerjakan sunnah yang banyak, tapi pada saat yang sama dia meninggalkan kewajiban. Seperti orang yang mengeluarkan sedekah tapi tidak bayar zakat. Dalam menjalankan kewajiban ini, umat Islam terbagi menjadi tiga bagian seperti disinggung Al-Qur'an.

"Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar." (Faathir: 32).

Menurut Ibnu Taimiyah, seperti halnya shalat, dhaalimun linafsihi adalah orang yang suka mengundurkan waktu salatnya. Muqtasid adalah orang yang mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Sementara saabiqun bil khairat adalah orang yang mengerjakan shalat tepat waktu, berjamaah dan mengerjakan sunnah rawatib.

Umar bin Khattab r.a. berpendapat, sebaik-baik perbuatan adalah mengerjakan yang diwajibkan Allah dan meninggalkan apa yang dilarang Allah serta berbaik niat terhadap Allah.

Ada pula orang yang mempunyai kewajiban menafkahi anak dan istri sehingga untuk itu dia matia-matian mencari rizki. Anehnya sering ia meninggalkan kewajiban lainnya seperti shalat dan yang lainnya. Tak jarang pula dia mencarinya dengan jalan tidak benar seperti riba, korupsi, dll.

Orang yang menjalankan kewajiban dengan benar, menjalankan shalat, berpuasa pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat jika mampu, menunaikan haji jika berkecukupan, dan menjalankan tanggung jawab sesama manusia, berarti orang itu telah berjalan setengah langkah menuju keselamatan, sementara setengah berikutnya menghindari hal-hal yang dilarang.

Yang perlu diingat selalu bahwa Allah SWT sayang kepada hambanya. Maka, segala sesuatu yang membahayakan atau merugikan mereka pasti dilarang, sedangkan yang baik dibolehkan. Meskipun sebagian orang tidak tahu apa hikmah pelarangan dan kebolehan sesuatu itu. Untuk hak menghalalkan dan mengharamkan hanya milik Allah SWT.

Rasulullah saw. sudah menjalankan batasan-batasan larangan Allah dalam sabda-sabdanya. Di antaranya, Dari Nu’man bin Basyir r.a. berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya ada yang samar-samar (syubhat), banyak manusia tidak mengetahuinya. Maka barang siapa menjaga dirinya dari hal yang syubhat itu berarti telah bersih agama dan kehormatannya. Sementara, orang yang terlihat dengan syubhat terjatuh ke dalam yang haram tak ubahnya seperti penggembala yang menggembalakan kambingnya di sekitar kebun orang. Lambat laun ia akan memasukinya. Ketauhilah, setiap raja meletakkan batasan larangan. Ingatlah bahwa larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkannya. Sungguh dalam tubuh manusia ada segumpal darah, kalau baik, seluruh badan baik; tapi kalau rusak, seluruh badan rusak. Itulah hati." (HR Bukhari dan Muslim).

Di antara larangan yang disebut-sebut Rasulullah saw. adalah larangan menyekutukan Allah, melawan orang tua, berdukun, menyihir, menipu, berbohong, bersaksi palsu, menyembah kuburan, sombong, dengki, bersumpah selain Allah, riya, tidak khusu' dalam shalat, mendahului imam saat shalat berjamaah, berzina, minum khamar, makan binatang buas, berjudi, menyetubuhi istri saat sedang menstruasi, makan riba, mencuri, menyuap, menyerobot tanah orang, bersumpah palsu, mengumpat, mendengarkan musik-musik, mengagungkan gambar yang bernyawa, menggunakan emas dan sutra bagi pria, menyerupai wanita, sedang wanita menyerupai pria, mengadu domba, meratapi orang mati, menato badan, dll. Semua larangan itu harus kita tinggalkan agar kita mendapat manisnya iman. Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, pasti Allah menggantinya.

Tahap Ketiga: Tazkiyah dengan Menjalankan Sunnah Rasulullah

Istilah yang dimaksud seperti sunnah ahli fiqih, yaitu amalan taat selain yang wajib, apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak terkena sangsi apa-apa.

Mengamalkan yang sunnah-sunnah setelah yang wajib itu diharapkan agar kita sampai pada derajat waliyullah, yang mendapat perlindungan dari Allah, seperti tertera dalam hadis qudsi di atas. Allah mencintai hamba yang senantiasa menjalankan sunnah Rasulullah saw.

Penyimpangan Tazkiyah

Sesudah kita membicarakan metode yang benar dalam bertazkiah, maka sebagai perbandingan, marilah kita melihat penyimpangan tazkiah. Penyimpangan tazkiah paling lengkap dilakukan oleh kalangan sufi dalam ketiga bentuk ditambah dengan metode-metode lain yang diadopsi dari sumber-sumber agama lain dan filsafat Yunani.

Istilah sufi sendiri tidak ada dalam Al-Qur'an dan hadits. Istilah itu baru muncul pada tahun 150 H ketika ada orang bernama Hasyim al-Kufi yang dijuluki sufi. Sementara, orang yang pertama kali menjalankan praktek sufi adalah Ibrahim bin Adham (wafat 161 H). Ia meninggalkan istana, mengembara dengan pakaian jubah wol mirip yang dilakukan Sidarta Gautama.

Kelompok sufi pada generasi pertama masih terikat dengan syariat Al-Qur'an dan sunnah. Mereka hanya merespon kehidupan masyarakat dan penguasa yang cenderung bermewah-mewahan.

Kemudian terjadi penyimpangan pada praktik sufi ketika Al-Husein bin Manshur al-Hallaj memploklamirkan hulul dan iltihad (wihadtul wujud) dan dikafirkan oleh ulama serta digantung di Baghdad pada tahun 309 H. Dan, dilanjutkan oleh Mahyuddin Ibnu Arabi (wafat 638 H). Puncak perkembangan tasawuf ada pada abad 9 dan 10 H.

Jadi, keyakinan sufi yang paling menyimpang adalah wihdatul wujud yang berarti keberadaan mutlak bagi suatu zat yang tinggal menjelma dalam beberapa wujud sesuai dengan keberagamaan sifatnya. Zat itu dapat terlihat oleh mereka dalam wujud apa saja dan menjelma dalam segala bentuk. Keyakinan itu berasal dari India dan Parsi.

Ritual penggemblengan jiwa model tasawuf adalah dengan amalan berupa khalwat, melepaskan diri, tidak tidur, tidak bicara, memusatkan pikiran sambil semedi hingga menyatu dengan pencipta alam (hulul).

Mereka bersiul, bertepuk tangan, dan menyanyi. Mereka meyakini kehadiran Nabi Khidir dalam kehidupan mereka. Mereka menyebut nama Allah dengan lafadz huwa-huwa atau Hu, Hu. Mereka mengharamkan yang dihalalkan Allah seperti melarang minum air dingin, tidak boleh makan daging, dan lain-lain. Mereka meyakini nur Mmuhammad sebagai tujuan Allah menciptakan makhluknya. Mereka berpatokan dengan mimpi-mimpi dalam menetapkan hukum. Mereka membagi ilmu dhahir dan batin. Dhahir adalah syariat dan batin adalah ilmu mereka. Mereka membagi agama menjadi empat tahapan: syariat, thariqat, ma'rifat, dan hakikat. Mereka mengkulutuskan kuburan-kuburan yang dianggap wali.

Demikianlah, semoga dapat memberikan gambaran perbedaan tazkiah yang benar dan yang menyimpang. Wallaahu a'lam.
Terakhir kali diperbaharui ( Wednesday, 12 December 2007 )