Apa itu Tasawuf ?
Agustus 31, 2007 oleh sepedaku
Menurut al-Qur’an, Allah swt menciptakan jin dan manusia hanya untuk menyembah-Nya. Kata-kata “hanya menyembah-Nya” mengandung pengertian jin dan manusia tidak memiliki tugas, tujuan dan pilihan lain dalam hidupnya kecuali hanya untuk menyembah Allah swt saja. Yang dimaksud dengan menyembah adalah menghamba, patuh, tunduk dan merendah terhadap kemauan Allah swt. Hal ini menuntut kepasrahan total pada-Nya. Apabila demikian pengertiannya, hubungan antara jin/manusia dengan Allah swt harus terlaksana seperti antara tuan dan hamba. Tuan adalah sosok yang kaya raya dan bisa berkehendak apapun terhadap hambanya. Semua kebutuhan hidup sang hamba yang memberikan adalah sang tuan. Jika tidak karena tuan, maka si hamba tidak dapat bisa hidup. Oleh sebab itu sang hamba menggantungkan hidupnya dari tuannya. Hal ini mengharuskan sang hamba taat dan patuh pada tuannya. Jika sang tuan menginginkan merah, maka sang hamba harus memberikan merah. Jika sang tuan menginginkan putih, maka sang hamba harus memberikan putih. Jika sang tuan menginginkan sang hamba melakukan A, maka sang hamba harus melakukan A, dan seterusnya. Namun hubungan sang hamba terhadap sang tuan tidak dapat berjalan dengan baik jika tidak disertai kepatuhan total. Kepatuhan total tidak dapat dilaksanakan jika tidak dapat melaksanakan kerendahan diri di depan Sang tuan. Kerendahan diri tidak akan ada jika tidak terdapat cinta pada diri sang hamba. Dengan demikian hubungan sang hamba terhadap sang tuan dapat berjalan dengan baik hanya dengan rasa cinta. Jika rasa cinta sudah dimiliki apapun yang diperintahkan sang tuan akan dilaksanakan dengan suka cita. Dan apapun yang dilarang sang tuan akan ditinggalkan dengan ikhlas. Tujuan hidupnya hanya untuk memenuhi kesenangan sang tuan. Dia akan memelihara dan merawat semua yang dimiliki tuannya. Diapun menyayangi semua yang dimiliki tuannya. Karena harta tuannya adalah kesayangannya. Dia tak akan memikirkan kesenangan dirinya. Dia pun menjadi abdi yang mengabdi kepada tuan yang sangat dicinta. Jika demikian adanya sang tuan - karena kaya dan mampu berbuat apapun terhadap sang hamba - akan merasa bangga melihat sang hamba patuh dan tunduk padanya. Apabila sang tuan merasa senang dia akan cinta pada sang hamba. Jika demikian adanya apapun keinginan sang hamba akan dipenuhinya karena sang tuan memiliki cinta yang lebih besar terhadap sang hamba. Hubungan timbal balik antara sosok hamba dan tuan diatas adalah gambaran ideal seorang abdi manusia yang harus patuh dan tunduk pada Tuhannya. Tapi kenyataannya sangat jarang manusia yang memiliki kesadaran demikian. Disinilah diperlukan sebuah paradigma berpikir, sikap dan pembuktian atas kehidupan seorang manusia. Semua itu tidak akan ditemukan dalam berbagai wacana kecuali hanya tasawuf. Tasawuf mengatur semua gerak-gerik, langkah dan sikap seorang hamba yang berhubungan dengan Tuhan. Di dalamnya menuntut seorang hamba untuk berpikir bahwa kehidupannnya tidak memiliki tujuan lain kecuali hanya mengabdi pada Sang Maha Raja. Dialah Allah swt. Dan karena tujuan hidupnya hanya menabdi pada Allah swt, dia harus patuh, tunduk dan pasrah pada apa yang diperintahkan Tuhannya. Dia harus memiliki keyakinan bahwa kehidupannya tidak bisa berjalan kecuali dengan kekuatan yang diberikan Tuhannnya. Dengan demikian tasawuf merupakan sebuah wacana sekaligus praktik yang harus dimiliki semua individu beriman. Ini adalah sebuah bekal dan tatanan sikap seorang hamba yang ingin mengenal Tuhan, diri sendiri dan tujuan hidupnya. Oleh karenanya di dalam tasawuf tidak sedikitpun mengajarkan penindasan, kemarahan, keserakahan, penganiayaaan, dan apapun yang berbentuk menyakiti. Justru sebaliknya dalam tasawuf hanya diajarkan perkenalan, percintaan, sikap, pengorbanan, harapan, penghambaan, ketaatan, dan semua yang berbentuk pasrah. Semua sikap ini harus lebih melibatkan intusi, kepercayaan, cinta, perasaan dan iman. Tidak bisa diwujudkan dengan pengandalan penuh rasio. Kadar rasio bisa dilibatkan sedikit. Hal ini digunakan hanya untuk mendukung pengetahuan terhadap cinta yang dimiliki ketika seseorang menangkap objek Sang Maha Cinta, Allah swt. Terkait dengan hal tersebut dalam era modern sekarang ini dunia spiritual sangat gersang. Segala bentuk tatanan dan wacana dalam kehidupan hanya menawarkan rasionalitas tanpa menyentuh dimensi ruhani. Teknologi dan science lahiriah dijadikan dewa kehidupan. Inilah yang menyebabkan moralitas setiap individu sangat asing dengan Tuhannya. Padahal Tuhannya yang menyebabkan ia hidup. Tuhannya pula yang seharusnya menjadi tujuan hidup. Namun semuanya ibarat buta dan tidak tahu tanah air dimana ia dilahirkan. Akibatnya dia tidak tahu harus membela, membangun dan memajukan tanah siapa. Yang dibela, dibangun dan dimajukan hanyalah kepuasan nafsu diri sendiri. Padahal nafsu tidak akan pernah habis-habisnya mengeluarkan nafas hausnya. Semakin ia meminum air kepuasan semakin ia haus tiada tara. Akhirnya waktu-waktu dalam hidupnya hanya dihabiskan untuk memenuhi kehausan nafsu diri sendiri. Hal demikian yang menimbulkan berbagai macam efek buruk bagi kehidupan di setiap aspek. Ilmu pengetahuan dijadikan alat pemuas nafsu belaka. Politik tidak dijalankan untuk kemaslahatan masyarakat. Tetapi dijalankan untuk meraih kekuasaan. Akhirnya moralitas hilang dari pakaian individu. Jika moralitas tidak menjadi pakaian individu sistem kehidupan menjadi rusak total. Satu sama lain saling sikut, saling mengalahkan dan saling menghancurkan. Maka hukum rimba berdiri. Nilai-nilai ketuhanan terkubur dalam-dalam. Dan kehidupan manusia sebagai khalifah Tuhan binasa hingga alam rusak. Jika demikian adanya apa yang akan dilakukan seorang manusia ketika Allah swt meminta pertanggung-jawabannya kelak di akhirat? Kehidupan semacam ini harus segera dirubah. Paradigma berpikir dan perilaku harus melibatkan dimensi ruhani. Dunia ruhani harus menjadi modal dalam membangun peradaban manusia. Karena inti dari sebuah kemajuan terdapat pada nilai-nilai moralitas. Nilai-nilai moralitas dapat dijalankan hanya dengan sisi ruhani. Dan yang mengatur sisi ruhani adalah tasawuf/sufisme. Namun harus diingat dunia ruhani berbeda dengan dunia perdukununan, setan, jin, dedemit, paranormal, kebatinan, ilmu hikmah atau lainnya. Satu prinsip dalam orientasi tasawuf adalah “mencari, menggapai dan mendapatkan cinta Allah.” Tasawuf tidak mengurusi dunia mistik setani atau jini. Tasawuf juga tidak identik dengan pengobatan alternatif. Tidak pula identik dengan kekebalan tubuh, tidak mempan dibacok, tidak mempan ditembak, dapat terbang, berjalan di atas air atau keajaiban lain. Semua itu justru dapat menjauhkan seorang hamba dengan Tuhannya. Memang banyak para kekasih Allah yang diberi anugerah atau karamah sehingga menyebabkan suatu kejadian diluar kebiasaan, seperti kebal bacok, dapat mengobati orang sakit tanpa bantuan medis atau dapat melihat makhluk gaib seperti jin. Tetapi itu semua bukan tujuan kekasih Allah. Itu adalah efek seseorang ketika dekat dengan Allah swt. Allah memberikan anugerah kepadanya, sehingga apapun yang di kehendaki sang hamba akan dikabulkan. Dan sekali lagi semua anugerah berupa karomah dalam bentuk keanehan diluar kebiasaan bukan tujuan seorang kekasih Tuhan. Bukan pula orientasi tasawuf. Orientasi tasawuf adalah pembersihan jiwa, hati, dan fikiran guna mengenal, merapat dan menjadi kekasih Allah swt. A. Asal usul Kata Tasawuf Kata tasawuf secara asal usulnya memiliki beragam pendapat. Yang sering dikemukakan oleh para ahli adalah: Pertama tasawuf berasal dari kata Shûf, yang memiliki arti bulu domba, karena pakaian yang bahannya berasal dari bulu domba biasa di pakai oleh para sufi. Kedua tasawuf berasal dari bahasa Yunani Shophos artinya hikmat atau pengetahuan. Ketiga, kata tasawuf berasal dari kata Shâfa, yang memiliki arti suci. Pendapat ini dianut oleh Mazhab Jama’ah seperti Abu al-Fatih al-Bisti. Maksud perkataan ini adalah bersih dan sucinya hati dari kotoran. Keempat, tasawuf berasal dari kata Shâff, yang memiliki arti barisan. Kata ini, dimaksudkan kepada barisan pertama dalam Shalat berjam’ah. Maksudnya adalah, para sufi selalu menomor satukan Ibadah kepada Allah dalam hidupnya, sama seperti ketika mereka shalat berjamaa’ah yang selalu menempati posisi pertama dalam barisan shalat. Kelima, tasawuf berasal dari kata Suffah, kata ini dimaksudkan untuk menyamakan para sahabat Nabi yang tinggal di masjid Madinah dan mencurahkan diri untuk beribadah kepada Allah, seperi Abu Dzâr al-Ghifâri. Berdasarkan ke lima pendapat di atas, dari segi arti sepintas kata sufi lebih pantas dinisbatkan kepada kata sâfâ, yang berarti suci. Karena seorang sufi adalah orang yang bersih hatinya, bukan dilihat dari pakaiannya. Namun untuk menelusuri asal kata tidak hanya diteliti dari segi makna saja tetapi harus diteliti pula dari segi sistem bahasa. Dan jika dikaji secara ilmiah, pendapat yang lebih relevan adalah yang berasal dari kata suff- artinya bulu domba. Alasannya, kata tasawuf merupakan bentuk masdâr dari kata kerja tasawwafa, yang berarti memakai suf (pakaian yang terbuat dari bulu domba), seperti taqammasa yang memiliki arti memakai qâmis. Dengan demikian orang-orang sufi adalah orang yang tidak mengindahkan keindahan duniawi seperti layaknya memakai pakaian yang terbuat dari bulu domba yang berkualitas rendah. B. Pengertian Tasawuf Sesuai dengan asal-usul katanya, pengertian tasawuf pun memiliki keragaman pula. Menurut Ibrahim Ibn Maulid al-Râqîs yang dikutip oleh al-Tûsi, dalam mendefinisikan kata ini dirinya telah menjumlah lebih dari seratus definisi. Sementara dalam kitab Risâlah al-Qusyairiyyah, al-Qusyairî mendefinisikan tasawuf sampai lima ratus definisi yang terhimpun dari beberapa pendapat para sufi terdahulu. Sedangkan RA Nicholson (Abu Bakar Sirajuddin), pakar tasawuf asal Perancis, mengumpulkan definisi ini sampai delapan ratus tujuh puluh definisi. Berikut beberapa pendapat yang mendefinisikan tasawuf: a. Ma’rûf al-Kharqî (w.200 H), mengatakan bahwa tasawuf adalah tidak peduli akan kenyataan dan mengabaikan apa yang di tangan makhluk; siapa yang tidak sanggup merealisasikan kekafiran niscaya ia tidak sanggup pula merealisasikan tasawuf. b. Al-Junaid al-Baghdâdî (w. 297 H/909 M), mengatakan tasawuf adalah keberadaan bersama Allah tanpa adanya penghubung. c. Abu al-Husain an-Nûrî (w. 295 H) mengatakan bahwa orang-orang sufi ialah kelompok yang bersih jiwanya dari noda-noda sifat manusia, penyakit-penyakit hati, dan mereka bebas dari nafsu syahwat, sehingga mereka mendapat tempat di barisan pertama dan derajat paling tinggi di sisi Allah. d. Bisyr Ibn Haris al-Hâfî (w. 227 H) mengatakan, sufi adalah orang yang suci jiwanya menghadap Allah swt. e. Abû Abdullah Sufyan Ibn Tsauri (w. 167 H) mengatakan, tasawuf adalah diam kalau tidak punya, dan memberi kalau punya. f. Abû al-Farid Sauban Zûn al-Nûn al-Misrî (w. 249 H) mengatakan, sufi adalah orang yang tidak bosan bermohon dan tidak gelisah kalau miliknya diambil. g. Sahl al-Tustûrî (w. 283 H) mengatakan, sufi adalah orang yang membersihkan diri dari kotoran dan selalu bermeditasi, memutuskan hubungan dengan manusia hanya semata-mata karena Allah, dan dalam pandangannya emas dan lumpur itu sama saja. h. Abu Hamid al-Ghazâlî (w. 505 H) mengatakan, para sufi ialah ilmu dan amal dan buahnya adalah moralitas. Dan tasawuf merupakan semacam pengalaman maupun penderitaan riil. Oleh karena itu, para sufi adalah orang-orang yang lebih mengutamakan keadaan rohaniah daripada ucapannya dan jalan mereka adalah penyucian, pembersihan, pencerahan, persiapan dan penantian diri (ma’rifat). i. Al-Husain Ibn Manshur al-Hallâj (w. 309 H) mengatakan, tasawuf adalah keesaan zat, yang tidak dapat menerima seseorang dan seseorang tidak pula dapat menerimanya. j. Ibn al-‘Arabî (w. 638 H) mengatakan, tasawuf adalah berakhlak dengan akhlak Allah. Sufi dan tasawuf merupakan satu-kesatuan yang satu sama lain menjadi mediasi. Bagi sufi, tasawuf adalah apresiasi semua bentuk amalan dan perasaan hati. Sedangkan bagi tasawuf sufi adalah pelaksana segala bentuk rasa (dzauq) atas dasar penyingkapan intuitif (ma’rifat). Jadi ketika mendefinisikan tasawuf, berarti pula mendefinisikan sufi. Begitu juga ketika mendefinisikan sufi, secara otomatis berarti mendefinisikan tasawuf. Dari pengertian ini timbul sebuah kesimpulan bahwa para sufi selalu hidup dengan jiwa yang mengutamakan rasa dan mementingkan pengagungan Tuhan dan bebas dari egoisme. Mereka selalu merasa berada di hadirat Tuhan dan merasakannya sebagai kebahagiaan hakiki. Adapun pengertian tasawuf secara umum menurut Abû al-Wafâ, tercakup pada kesimpulan, bahwa tasawuf adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia. Yaitu untuk merealisasikan kesempurnaan moral, pemaknaan hakekat realitas, dan kebahagiaan rohaniah. Tetapi kesimpulan yang demikian ini sebenarnya masih kurang memenuhi semua makna tasawuf, karena tasawuf memiliki keberagaman pengalaman satu sama lainnya. Bagi mereka yang merasakan pengalaman bidang tasawuf tentu hanya melibatkan rasa (zauq) dan mereka tidak jarang menyampingkan rasio. Untuk itu terkadang susah mengungkapkan rasa yang dialami dengan kata-kata atau kalimat. Sementara pengungkapan rasa menjadi sebuah definisi akan menjadikan makna berbeda antara sufi satu dengan lainnya, karena pengalaman dan rasa yang berbeda-beda yang mereka alami. Menurut A. R Badawi tasawuf memiliki dua warna yang menghiasinya. Pertama, di dalam tasawuf terdapat pengalaman rohani, yakni adanya komunikasi antara Tuhan dan sufi. Yang dimaksud dengan komunikasi antara Tuhan dan sufi adalah sebuah kedekatan antara Tuhan dengan sufi. Sang sufi sudah mengaggap bahwa tidak ada wujud yang hakiki kecuali Tuhan. Ia yang memberi segala macam kehidupan. Ia pula yang menjadi sumber segala inspirasi. Untuk itu sang sufi selalu melihat dan menyadari kemanapun dia berpaling disitu ada wajah Tuhannya. Hal demikian yang membuatnya mengenal, kemudian dekat dan selalu mengadakan komunikasi. Dengan adanya komunikasi setiap saat antara sang sufi dan Tuhan keduanya memiliki rasa cinta yang saling mengasihi. Dan inilah landasan tasawuf. Kedua, merasakan persatuan antara sufi dengan Tuhan. Maksudnya bahwa semua selain Tuhan adalah fana’ , tidak memiliki kekuatan, dan pasti binasa. Oleh karenanya secara haikiki tidak ada wujud kecuali Tuhan. Bahkan diri sendiri pun tidak ada. Wujud hakiki yang ada hanyalah Tuhan. Inilah yang dinamakan dengan fana’ fillah. Ketiadaan selain Tuhan di dalam Tuhan. Seseorang yang memiliki kesadaran ini tidak mengaggap dunia seisinya ada. Yang ada hanyalah Tuhan, yang menjadi kekasihnya. Bahkan diri sendiripun tidak dikenalnya. Yang dikenal dan dirasa hanyalah Tuhan. Pada kesempatan lain Abû al-Wafâ memberikan lima karakter yang melingkupi tasawuf. Pertama, tasawuf adalah penyucian jiwa dengan meningkatkan akhlak. Kedua, mengalami pengalaman rohani berupa fana, yaitu leburnya kesadaran sufi akan dirinya, dan juga mengalami baqa, yaitu langgengnya kesadaran akan Tuhan dengan dirinya. Ketiga, mengakui adanya pengetahuan yang bersifat intuitif (dzauq) yang datang dari Tuhan. Keempat, merasakan ketenteraman rohani. Kelima, pengalaman tasawuf adalah pengalaman pribadi, untuk itu hanya bisa diungkapkan secara simbolik. Dari beberapa pernyataan yang disebutkan di atas kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa, tasawuf adalah sebuah penyerahan diri yang bertujuan untuk mendekatkan diri dengan sedekat-dekatnya kepada Tuhan melalui penyucian jiwa dari segala kotoran rohani, yang tujuannya untuk mendapatkan kesadaran menyatu dengan Tuhan dan mendapatkan pengetahuan ma’rifat. Penyerahan diri bagi para sufi adalah menyerahkan hidup dan matinya hanya untuk beribadah. Dengan pengertian, semua bentuk kegiatan yang dilakukan hanya untuk Allah dan semua bentuk yang ia rasakan dan ia tuju hanya berorientasi karena Allah. Namun semua itu tidak dapat terealisasi keculai dengan sebuah jalan. Jalan tersebut memilikilika-liku yang tidak dapat dilalui dengan mudah. Jalan tersebut ialah penyucian diri. Sebab untuk mendekati Tuhan Yang Maha Suci harus didekati dengan jiwa yang suci. Penyucian diri bagi para sufi adalah, menyucikan jiwa dan raga dari semua hal-hal yang dapat menjauhkan dirinya dengan Tuhan, yakni dari hal-hal yang berbau haram, makruh, dan syubhat, serta menjalankan semua hak-Nya. Hak Allah untuk disembah-Nya dengan mengerjakan yang wajib. Untuk didekati-Nya dengan berzikir. Untuk diperhatikan-Nya dengan meninggalkan semua larangan-Nya. Dan untuk dicintai-Nya dengan melaksanakan yang sunnah. Mendekatkan diri pada Allah bagi para sufi adalah sebuah aplikasi dari rasa cinta yang tiada banding. Ia memiliki nilai cinta yang tinggi kepada Tuhannya. Cintanya kepada selain Tuhan tidak akan mengalahkan cintanya kepada selain Tuhan. Dan orang yang memiliki cinta akan selalu menginginkan dekat dengan yang dicintainya. Ia ingin selalu berhubungan dan dekat dengan-Nya dan tujuan dekat dengan sang kekasih adalah menyatu. Menyatu antara sufi dan Tuhan dalam pengalaman rohani tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hal inilah yang menjadikan Ibnu ‘Arabi berkata bahwa tasawuf adalah ilmu yang bersifat pasti dan meyakinkan. Ilmu ini datangnya langsung dari Allah swt, bukan melalui dalil-dalil. Dan orang yang mendapatkannya adalah orang-orang yang memiliki anugerah dan derajat khusus di sisi Allah swt. Dengan demikian Ia menerima segala sesuatu tidak melalui apapun kecuali langsung dari Allah swt. Oleh sebab itu semua yang ia dapat terkadang susah untuk diungkapkan dengan kata-kata sehingga orang awam sukar untuk memahaminya. Ilmu dan pengalaman dari Allah swt yang didapat merupakan karunia setelah para sufi menempuh berbagai penyucian rohani. Dan yang berhasil mendapatkan karunia semacam ini hanyalah para Nabi dan wali saja. Dengan demikian ada beberapa unsur yang melekat pada ilmu tasawuf, yaitu: 1. Tasawuf adalah ilmu pengetahuan yang bersifat ruhani. Pengetahuan ini tidak bisa dirasakan dengan lahiriyah ragawi. Tetapi hanya dapat dirasakan dan diusahakan dengan jiwa. Karena datangnya dari Allah swt. 2. Tujuan bertasawuf adalah mendekatkan diri kepada Allah swt. pendekatan diri ini untuk mencapai pengenalan dan kedekatan dengan-Nya. Dan jika sudah memiliki kedekatan dengan Tuhan, maka ia akan diberi anugerah pengetahuan dan menjadi kekasih-Nya. Jika sudah menjadi kekasih-Nya semua selain Allah swt akan dipandang sebagai kehinaan dan apa yang diinginkannya akan dikabulkan oleh Allah swt. sebagaimana firman Allah swt: Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.( QS. Al-Baqarah/2:186) 3. Cara untuk mencapai kedekatan diri dengan Allah adalah dengan penyucian jiwa. Cara ini dilakukan dengan susah payah. Anugerah yang didapat pun tergantung kehendak Allah swt. Penyucian jiwa yang dilakukan harus menampik semua keindahan selain Allah swt dan menyatukan orientasi pada Allah swt. Sebagaimana firman Allah swt: Artinya: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.(QS. Al-Ankabut/ 29: 69). C. Asal-Usul Sufisme (tasawuf) Para pengamat tasawuf memberikan beberapa gambaran terhadap asal-usul tasawuf. Sebagian dari mereka, khususnya peneliti Barat berargumen bahwa tasawuf memiliki asal-usul dari unsur-unsur luar Islam. Hal ini bisa dilihat dari kebiasaan dan gaya hidup para sufi yang sama dengan para pemuka agama selain Islam. Berikut beberapa pandangan terhadap asal-usul tasawuf. 1. Unsur Nashrani Satu pendapat mengatakan tasawuf berasal dari Nashrani atau Kristen. Hal ini dibuktikan dari kehidupan para sufi yang selalu mementingkan kehidupan akhirat dibandingkan kepentingan duniawi. Begitu juga dengan kehidupan para rahib-rahib gereja yang hidup dalam kefakiran dan tanpa nikah. Pendapat ini dianut oleh Ignaz Goldziher, orientalis asal Jerman. Ia berpendapat, tasawuf memiliki dua ciri. Tasawauf asketis dan tasawuf secara luas. Tasawuf secara asketis memiliki akar dan pengaruh dari Kristen. Sedangkan tasawuf secara luas, seperti teori-teori ma’rifat, dan hal, memiliki pengaruh dari Hindu dan Neo Platonisme. Adapun pokok-pokok ajaran kristen yang dianggap mempengaruhi tasawuf adalah: 1. Gaya hidup yang fakir. Sebagaimana Isa al-Masih yang selalu mengajarkan hidup dalam kefakiran, tasawuf juga memiliki semangat konsep yang sama. Dalam injil Mathius dikatakan: “beruntunglah kamu orang-orang miskin karena bagimulah kerajaan Allah….Beruntunglah kamu orang yang lapar karena kamu akan kenyang.” 2. Menjaga diri dari menikah, karena dengan menikah akan lupa kepada Tuhan. 3. Terdapat ketergantungan dan ketundukan serta kepatuhan kepada guru spiritual. Karena guru adalah sang pemberi jalan untuk dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini juga dapat ditemukan pada ajaran kristen yang menganggap pendeta adalah sosok penghapus dosa. 4. Kesaksian, yaitu menyaksikan keindahan dan kasih sayang Tuhan secara hakiki. Hal demikian dapat ditemukan pada kitab dan ajaran injil. 5. Pasrah kepada Tuhan. Ajaran ini banyak terdapat dalam injil sebagaimana disampaikan: “Perhatikan burung-burung di langit, dia tidak menanam, dia tidak mengetam dan tidak duka cita pada waktu susah. Bapak kamu dari langit tidak memberi kekuatan kepadanya. Bukankah kamu lebih mulia daripada burung?” Sejalan dengan hal tersebut al-Taftazani mengutip RA. Nicolson yang mengatakan: “kecenderungan asketisme dan kontemplasi ternyata sesuai dengan kristen, bahkan diantaranya menjadi titik tolaknya. Banyak teks injil dan ungkapan yang dikatakan sebagai ucapan al-Masih ternyata ternukil di dalam biografi para sufi angkatan pertama. Bahkan seringkali muncul para biarawan kristen menjadi guru dan menasihati serta memberi pengarahan kepada asketis muslim. Kitapun dapat melihat baju yang terbuat dari bulu domba itu berasal dari ummat kristen. Nazar untuk tidak berbicara, zikir, dan latihan-latihan rohani lainnya mungkin berasal dari sumber yang sama. Begitu juga hal-hal yang berkaitan dengan kerinduan ilahiyah.” Gaya hidup yang dilakukan Isa al-Masih dan para pengikutnya mendapatkan kelestarian dari para sufi. Hal ini yang menyebabkan tasawuf dianggap sebagai penerus ajaran kristen oleh sebagian pendapat. Dengan begitu menurut secara subyektif tasawuf berasal dari ajaran Kristen atau paling tidak terpengaruh dari unsur Kristen. 2. Unsur Persia Ajaran tasawuf selalu mengedepankan prinsip, bahwa kehidupan yang mementingkan materi akan sia-sia, karena hakikat hidup adalah menjadi kekasih Tuhan. Hal-hal yang bernuansa materi dapat memalingkan kepada Tuhan. Ajaran demikian ternyata terdapat pada doktrin agama Persia, Manu dan Mazdaq. Begitu juga tentang kosmologi ajaran tasawuf yang menerangkan teori hakikat Muhammadiyyah diidentikkan oleh sebuah pendapat dengan teori Harmuz dalam ajaran agama Zaratrusta. 3. Unsur Hindu dan Budha Terdapat sebuah pandangan juga yang mengatakan bahwa, ajaran tasawuf berasal dari unsur-unsur Hindu atau Budha. Hal ini bisa dilihat dari ajaran khusu’, pengawasan diri dari keindahan dunia yang menyebabkan nafsu tergoda. Atau doktrin yang mengajarkan bahwa hidup adalah sementara maka dari itu harus diisi dengan mencari kebaikan sebanyak mungkin. Faham fana’ dan baqa’ pun ternyata sudah di dahului oleh faham nirwana dalam ajaran Budha. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hartman et Hoten, seorang orientalis, bahwa tasawuf Islam dipengaruhi ajaran Hindu, Mani, Masehi, dan Neo Platonisme. Hal tersebut ia nyatakan setelah mengkaji beberapa teori-teori Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj dan Junaid al-Baghdadi. 4. Unsur Yunani Yunani adalah negeri para filosof. Salah satu filosof yang mengajarkan tentang hidup zuhud, dan keyakinan tentang roh adalah Phytagoras. Ia menjelaskan bahwa roh manusia itu kekal dan asing ketika berada di dunia. Bagi roh dunia merupakan penjara. Sedangkan kesenangan roh adalah meninggalkan kehidupan yang bersifat materi. Hal itu harus dilakukan dengan hidup zuhud. Seseorang pun diharuskan melakukan kontemplasi. Fenomena ini yang menyebabkan sebuah pendapat mengatakan tasawuf terpengaruh oleh unsur-unsur Yunani, karena semua yang diajarkan oleh Phytagoras diajarkan pula dalam doktrin tasawuf, seperti zuhud. Begitu juga dengan filsafat Plotinus yang mengatakan, bahwa wujud ini memancar dari Zat Tuhan Yang Maha Esa dan roh berasal dari-Nya dan akan kembali. Namun sebelum kembali harus telebih dahulu dibersihkan dari segala macam materi duniawi. Adapun cara penyuciannya dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, bahkan bersatu dengan-Nya. Hal di atas merupakan ajaran yang memiliki kandungan sama dengan teori-teori tasawuf falsafi yang diajarkan Syuhrawardi al-Maqtul, Ibn ‘Arabi, Al-Hallaj dan lain-lain. 5. Analisis Dari semua pendapat tersebut unsur-unsur setiap ajaran atau agama sebelum Islam memang memiliki kesamaan dengan doktrin tasawuf atau sebaliknya. Tetapi bukan berarti tasawuf mengadopsi dan hasil pengaruh dari ajaran dan doktrin luar Islam. Sebagaimana diketahui bahwa kehidupan yang dilakukan sufi seperti zuhd, wara’ dan lain sebagainya adalah kehidupan yang mencontoh Rasulullah saw beserta para sahabat. Rasulullah beserta para sahabat tidak pernah bersentuhan dengan literatur-literatur Yunani, Kristen atau Hindu dan Budha. Begitu juga dengan pergaulan yang dilakukan mereka. Rasulullah adalah seorang yang ummi. Beliau tidak pernah mempelajari tingkah laku para rahib atau filosof. Semua doktrin zuhud yang dipraktikkan rasul dan para sahabat merupakan praktik keseharian yang independen tanpa pengaruh dan imitasi. Begitu juga dengan faham tasawuf falsafi, para sufi selalu bertolak dari Al-Qur’an dan sunnah. Bahkan jika dikaji dan dilihat teori-teori yang ditulis akan tampak bahwa teori-teori falsafi mereka nampak sebagai sebuah tulisan tafsir ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian terdapat perjumpaan atau persamaan antara ajaran tasawuf dengan ajaran-ajaran atau agama lain. Dan ini bukan berarti antara satu ajaran dengan lainnya saling mempengaruhi. Kesimpulannya berdasarkan prinsip Islam semua persamaan yang terlihat dalam tasawuf dan ajaran agama lain bukan suatu hal yang saling mempengaruhi, tetapi tasawuf merupakan ajaran dan faham yang kebetulan memiliki persamaan dengan ajaran-ajaran lain. Hal ini bisa bisa juga diartikan tasawuf sebagai penerus ajaran agama lain. Dan tasawuf tampil sebagai penyempurna doktrin-doktrin agama lain. D. Asas-asas Sufisme (tasawuf) Sufisme/tasawuf adalah ajaran dan doktrin moralitas. Ia adalah faham yang mengajarkan hubungan antara Tuhan dan seorang hamba dan sebaliknya. Doktrin-doktrin tersebut bukan tanpa asas atau dasar, tetapi bermuara dari mutiara-mutiara ayat-ayat al-Qur’an dan perilaku Rasulullah saw dan doktrinnya. Tasawuf juga merupakan ajaran yang bertitik tolak dari akhlak atau perilaku. Hal ini sangat erat kaitannya dengan pembersihan jiwa. Karena tujuan dari tasawuf adalah mendekatkan diri dengan sedekat-dekatnya kepada Allah swt hingga mengenal dan menjadi kekasih-Nya. Allah swt Maha Suci, tentu saja tidak dapat didekati dengan jiwa yang tidak uci. Untuk dapat mendekati-Nya seseorang harus suci baik dari kotoran jasmani maupun kotoran rohani. Kotoran jasmani dapat dibersihkan dengan ilmu syari’at lahiriyah. Sedangkan kotoran batiniyah dapat dibersihkan dengan ilmu syari’at batiniyyah, yaitu akhlak. Akhlak merupakan pengejawantahan dari sisi ajaran ihsan. Dan Ihsan memiliki dimensi yang dinamakan dengan tasawuf. Dengan demikian tasawuf adalah kendaraan untuk mengantarkan pada pembersihan jiwa rohani agar menjadi bersih dan dapat mendekati Allah swt dengan sedekat-dekatnya. Kendaran tersebut berupa khauf, raja’, taubah, zuhud, tawakkal, sukur, sabr, ridla dan lain-lain. Kesemuanya menyangkut kedaaan hati dan rohani. Konsep khauf misalnya, keadaan dimana sufi memiliki ketakutan yang sangat kepada Allah swt. Ia takut akan marah-Nya Allah swt sehingga apabila didengarkan firman-firman-Nya ia selalu mendapatkan kesedihan tiada tara sebagaimana firman Allah swt: Artinya: Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur’an dan kenabian Muhammad s.a.w.)(QS. Al-Maidah/5: 83) Begitu juga dengan ayat yang menerangkan tentang tenangnya jiwa apabila selalu mengingat Allah swt. Orang yang cinta kepada Allah swt akan selalu ingat kepada-Nya. Dimanapun dan kapanpun ia akan selalu berzikir mengucapkan nama-Nya, karena ia cinta. Ia akan mendapatkan ketenangan dan memperoleh ketentraman jiwa. Sebagaimana firman Allah swt: Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.(QS Ar-ra’d/13: 2 Artiya: (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS Ali Imran / 3: 191) Begitu juga dengan tobat. Seorang sufi akan selalu membenahi diri dari segala kesalahan yang pernah dilakukan. Ia akan selalu berusaha membersihkan diri sesuci-sucinya. Usaha tersebut dinamakan dengan tobat. Allah swt berfirman: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS At-Tahrim/66: Tasawuf juga mengajarkan untuk bersyukur, tawakkkal, lebih mementingkan akhirat dibandingkan duniawi dan lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah swt: Artinya: Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.(QS Al-Mukmin/40: 55) Artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (Ibrahim/14: 7) Artinya: ….Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. (QS An_Nisa/4:77) Artinya: Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (At-Talaq/65: 3) Artinya: Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. Al-hujurat/49:13) Artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim/14: 7) Doktrin-doktrin tasawuf tidak hanya ditemukan dalam Al-Qur’an, tetapi hadits memuat hal itu. Diantaranya: Artinya : “seorang laki-laki dsatang kepada Nabi s.a.w lalu berkata, “wahai Nabi Allah berwasiatlah kepadaku.” Nabi berkata, “bertakwalah kepada Allah, karena itu adalah himpunan setiap kebaikan. Berjihadlah, karena itu kehidupan seorang rahbani muslim. Berdzikirlah, karena itu adalah nur (cahaya) bagimu.” (HR. Bukhari) Artinya : “sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak dsapat melihatnya-Nya, maka Ia pasti melihatmu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Artinya : “Dan dari Ali Karramallahu Wajhahu : Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, manakah jalan yang terdekat kepada Allah dan yang termudah atas hamba-hamba-Allah dan yang paling afdhal di sisi Allah? Maka Rasulullah bersabdas, ‘Ya Ali, hendaknya engkau selalu mengekalkan mengingat (dzikir) Allah. Maka Ali berkata, ‘tiap orang berdzikir kepada Allah’. Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Ya Ali, tidak akan terjadi kiamat sehingga tiada tinggal lagi di atas permukaan bumi ini orang-orang yang mengucapkan Allah, Allah. Maka Ali berkata kepada Rasululla, ‘Bagaimana caranya aku berdzikir ya Rasulullah? Maka Rasulullah bersabda, ‘Coba pejamkan kedua matamu dan dengarkan dari saya ucapan tiga kali. Kemudian ucapkanlah Ali seperti itu dan aku akan mendengarkan. Maka Rasulullah saw. berkata, ‘Laa Ilaaha Illa Allah tiga kali sedang kedua matanya tertutup. Kemudian Ali pun mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illa Allah seperti demikian.” 1. Berasaskan al-Qur’an Al-Qur’an dan hadits Nabi adalah sumber kehidupan yang wajib dijadikan pedoman bagi ummat Islam. Banyak materi yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits membidani lahirnya teori-teori dan doktrin tasawuf. Hal ini bisa dilihat dari ayat berikut: “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mumin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Maidah: 54) Ayat diatas menerangkan bahwa Allah swt menurunkan kaum yang memiliki cinta. Cinta adalah sebuah rasa atau keadaan jiwa yang dapat menadamaikan kehidupan. Cinta yang hakiki adalah cinta kepada dan berdasarkan Allah swt. Konsep cinta di dalam Islam hanya terdapat pada doktrin sufisme/tasawuf. Doktrin ini dinamakan dengan mahabbah. Selanjutnya dalam al-Qur’an selalu ditekankan kepada orang-orang yang beriman untuk mensucikan jiwa agar hubungannya dengan Tuhan berjalan lancar. Proses penyucian ini dalam tasawuf dinamakan dengan tazkiyatun nafs. Al-Qur’an membicarakan hal ini dalam ayat berikut: “Hai orang-orang yang beriman bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang sebesar-besarnya, mudah-mudahan Tuhan kemu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi, dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, sesungguhnya, Engkau Maha kuasa atas segala sesuatu.” (QS at-Tahrim: Ayat diatas menunjukkan perintah melaksanakan kesucian jiwa dengan bertobat dan memberikan pahala sorga bagi siapa saja yang terlepas dari kotoran jiwa dan dosa. Jika sudah suci maka ia akan mudah mendekat kepada Sang Khalik. Dan apabila sudah mendekat, maka ia akan bertemu, mengetahui, mengenal Tuhan-Nya dan akan menjadi kekasih-Nya. Kemanapun dan dimanapun ia berada akan selalu melihat dan mengingat Allah swt. Seperti dalam ayat berikut: “Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, maka ke manapun engkau menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui).”(QS al-Baqarah: 115) Ayat di atas menerangkan konsep mahabbah dan wahdat al-wujud. Konsep-konsep ini adalah wacana penting tasawuf/sufisme. Dengan demikian apakah seseorang masih mengatakan jika doktrin-doktrin sufisme berasal dari unsur selain Islam? Begitu juga tentang doktrin kedekatan Tuhan dan hamba. Ayat berikut menerangkan tentang hal tersebut. “Jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang diri-Ku, Aku adalah dekat, Aku mengabulkan seruan orang yang memanggil jika ia dipanggil Aku.” (QS al-Baqarah: 186). “Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dinisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh darahnya sendiri.” (QS Qaf:16). Ke dua ayat diatas menginformasikan bahwa Allah begitu dekat. Untuk itu berlaku awaslah terhadap perilaku, karena Allah selalu melihat dan memantau. Dan Allah Maha Mendengar semua permintaan hamba-hambanya. Ini merupakan ajaran sufisme yang selalu ditekankan. Dalam al-Qur’an juga ditegaskan untuk tidak terikat pada kehidupan duniawi yang serba material. Karena kehidupan semacam ini akan sia-sia. Ia tidak dapat mencapai tujuan hakiki hidup di dunia. “Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdaya kamu tentang Allah.” (QS. Fathir : 5) “katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sementara, dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa.(Qs an-Nisa: 77) Di lain ayat al-Qur’an mengajarkan takwa, sukur, sabar, ridla dan tawakkal kepada Allah swt. Ajaran-ajaran ini adalah pakaian bagi seorang penempuh jalan ruhani. Sebagaimana Allah swt berfirman: “Sesunguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di anatar kamu. (QS al-Hujurat: 13). “Dan hanya kepada Allah-lah orang-orang yang beriman itu bertawakkal.(QS az-Zumar: 39) “Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti akan menambahkan (nikmat) kepadamu.(QS Ibrahim: 7) “Maka bersabarlah kamu karena sesunguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampun untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.(QS. Al-Mu’min: 55). “Allah ridla terhadap mereka, dan mereka pun ridla terhadap-Nya.”(QS al-Maidah: 119) 2. Berasaskan Sunnah Rasul Rasulullah saw merupakan manusia yang dijadikan panutan dan tuntunan hidup oleh kaum sufi. Ia merupakan manusia prototipe yang dijadikan acuan untuk mendekatkan diri pada Allah swt dan menyucikan jiwa. Tidak ada konsep sufi yang bertentangan dengan cara hidup beliau. Dan semua konsep sufisme mengacu pada doktrin dan perilaku Rasulullah saw. At-Taftazani membagi kehidupan Rasulullah saw dalam dua bagian. Bagian pertama adalah kehidupan Rasulullah saw sebelum diangkat menjadi rasul. Dan bagian ke dua adalah kehidupan ketika sudah diangkat menjadi rasul. Sebelum diangkat menjadi rasul Nabi saw selalu mengasingkan diri di tempat sunyi. Khususnya di bulan Ramadlan beliau selalu berkontemplasi, merenung dan meminta petunjuk di Gua Hira. Jauh dari keramaian dan kesibukkan duniawi. Beliau bertafakkur dan menyucikan jiwa dari semua hal yang berbau materi. Aktifitasnya ini menjadikan beliau suci hati dan jiwa. Dalam keadaan demikian Allah memberikan petunjuk dan mengangkatnya sebagai seoarang rasul. Kehidupan inilah yang menjadikan inspirasi bagi para sufi untuk melakukan riyadlah agar kesucian jiwa terpenuhi demi mendapatkan pengenalan dan menjadi kekasih Tuhan. Setelah diangkat menjadi rasul tidak ada sesaat pun dalam kehidupan beliau saw., yang tidak tercatat dan terekam oleh ummatnya. Perintah, perilaku dan larangan serta penetapannya selalu terekam untuk dijadikan sumber hukum setelah al-Qur’an. Laku hidup beliau selalu dijadikan pegangan bagi kehidupan zuhud dan doktrin sufisme. Dalam catatan yang terbatas ini tidak cukup ditulis ajaran-ajaran beliau mengenai laku hidup sufisme. Namun ada beberapa rekaman yang patut di tulis untuk mewakili sufisme sebagai doktrin yang diajarkan Rasulullah saw. Dalam sebuah doa Rasulullah saw berkata: “Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin,”(HR at-Tirmizi, Ibn Majah, dan Hakim). Atau dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Rasulullah datang ke rumah isterinya, Aisyah, ternyata dirumahnya tidak ada makanan. Hal tersebut diterimanya dengan sabar, dan beliau menahan laparnya dengan berpuasa. (HR Abu Daud, at-Tirimizi, dan Nasa’i). Dalam beberapa hadits Nabi saw memiliki sifat-sifat terpuji, seperti kasih sayang, penyantun, suka memberi, suka berterimakasih, pemberani, dan sebagainya. Hal ini yang ditunjukkan pada Aisyah ketika ditanya tentang akhlak Nabi saw ia menjawab, “Akhlaknya adalah al-Qur’an.” (HR. ahmad dan Muslim). Semua yang dilakukan dan dipraktikkan Rasulullah adalah doktrin sufisme. Karena Rasulullah saw memiliki kepribadian sempurna. Beliau adalah suri teladan untuk seluruh ummat manusia. Dan ini adalah tipe ideal bagi setiap sufi. Diceritakan dalam riwayat Aisyah suatu malam Nabi mengerjakan shalat malam. Karena panjang dan banyak rakaatnya, lututnya bergetar. Tatkala sujud terdengar suara tangisnya, namun beliau tetap melakukan shalat sampai azan Bilal Ibn Rabah terdengar di waktu subuh. Melihat Nabi tekun melakukan shalat Aisyah bertanya. “wahai tuan, bukankah dosamu yang terdahulu dan yang akan datang telah diampuni Allah. Mengapa engkau masih terlalu banyak melakukan shalat?” Nabi saw menjawab, “Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur.” (HR Bukhari dan Muslim). Rasulullah saw juga sering berzikir. Dalam sebuah hadits beliau berkata: “Sesungguhnya aku meminta ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya setiap hari tujuh puluh kali.” (HR at-Tabrani). Dalam riwayat yang lain dikatakan Nabi meminta ampun setiap hari seratus kali (HR Muslim). Dan Nabi selalu melakukan i’tikaf di masjid terutama pada malam-malam sepuluh ramadlan akhir (HR Bukhari Muslim). Dalam perilaku Rasulullah saw sering memberikan wejangan-wejangan bagaimana laku hidup yang baik agar dekat dengan Allah swt seperti: “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu; dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan orang banyak niscaya mareka pun akan mencintaimu.” (HR. Ibn Majah, at-Tabrani al-Hakim dan Baihaqi). Nabi juga berfirman dalam sebuah hadits qudsi mengenai kewalian, yaitu: “Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan permusuhan-Ku terhadapnya. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku kepada yang lebih Ku-sukai dari pada pengamalan segala yang kufardlukan atasnya. Kemudian, hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal sunah, maka Aku senantiasa mencintainya. Bila Aku telah jatuh cinta kepadanya, jadilah Aku pendengarannya yang dengannya ia mendengar. Aku penglihatannya yang dengannya ia melihat. Aku tangannya yang dengannya ia memukul. Aku kakinya yang dengan itu ia berjalan. Bila ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya. Jika ia meminta perlindungan, ia Ku-lindungi.” (HR Bukhari). Dilain waktu Nabi pernah bersabda: “sayangilah yang ada dibumi, niscaya kau akan disayangi oleh yang ada di langit” (HR Bukhari) Hadits ini merupakan baju kehidupan sufi. Karena seorang sufi memiliki sifat kasih sayang pada semua ciptaan Allah. Sebab mereka menyadari bahwa ciptaan Allah adalah milik Allah dan Allah adalah Sang kekasih. Untuk itu mereka sangat mencintai, merawat dan sayang pada milik Sang Kekasih. Beberapa sumber di atas dapat dijadikan bukti dan penguat bahwa al-Qur’an dan hadits mendukung semua bentuk doktrin dan teori tasawuf. Jika sekalangan pendapat mengatakan bahwa praktik zuhud, kewalian dan teori-teori falsasfi bukanlah ajaran Nabi sungguh sangat disayangkan, karena persepsi yang demikian sangat bersifat interpretatif-subyektif dan tidak mendasa
Jumat, 14 November 2008
Materi Tazkiyatun-nafs1
Metodologi Pembentukan Integriti Mutmainah
Metodologi Pembentukan ‘Integriti Mutmainah’: Ke Arah Meningkatkan Identiti Budaya Masyarakat Malaysia dan Indonesia[1]
Jamiah Manap[2], Azimi Hamzah[3], Sidek. Mohd. Noah[4] dan Hasnan Kasan[5]
PENDAHULUAN
Kerapuhan nilai integriti kian berleluasa. Setiap hari masyarakat dihidangkan dengan pelbagai permasalahan jenayah dan tingkah laku. Sejumlah 65, 528 kes jenayah keganasan dan 461, 812 kes jenayah harta benda dilaporkan oleh Polis Diraja Malaysia (2005), dari tahun 2001 hingaa 2004. Daripada jumlah tersebut, 21,859 kes jenayah keganasan dan 156,455 kes jenayah harta benda dilaporkan berlaku pada tahun 2004. Jabatan narkotik pula mencatatkan sejumlah 44,873.6 kilogram rampasan dadah dibuat sepanjang tahun 2001-2004 (Polis Diraja Malaysia, 2005). Akhbar Utusan Malaysia, Berita Harian dan Harian Metro pada 21 April 2005 pula melaporkan permasalahan dadah di kalangan artis, suri rumah, pemandu lori dan peneroka felda, penipuan oleh seorang ahli perniagaan yang juga kerabat diraja, peras ugus oleh seorang pegawai pengukatkuasa, budaya pengotor penjaja makanan, penculikan, pemalsuan rekod kematian penjenayah berbahaya oleh pegawai perubatan, kes ragut oleh dua orang wanita, pembuangan bayi di belakang tandas rumah, gejala sosial di kalangan remaja, perlombongan haram di Hutan Gunung Arong dan jenayah juvana di kalangan pelajar. Pada tarikh yang sama, akhbar Indonesia pula melaporkan adanya kontak sejata di Banda Aceh, kecurian motorsikal di Bogor, kutipan haram di Pelabuhan Tanjung Periuk (Kompas) penjualan wanita dan anak di Sukabumi, korupsi di Subang (Pikiran Rakyat), ancaman bom palsu di Jakarta, pergaduhan antara pelajar universiti di Ambon (The Jakarta Pos) dan penemuan bahan ekstasi di Bogor (Jawa Post). Kesemua ini menunjukkan indikasi keruntuhan identiti bangsa Malaysia dan Indonesia yang asalnya dikenali sebagai bangsa yang santun dan berbudi mulia.
Situasi di atas menunjukkan perlunya pengukuhan nilai integriti dalam usaha memartabatkan identiti budaya bangsa yang cemerlang, gemilang dan terbilang. Integriti yang lemah mengakibatkan berlakunya tsunami dalam organisasi iaitu kerosakan sumber manusia dan material (Jamiah Manap et. al 2005). Justeru pemerkasaan nilai integriti perlu segera dilaksanakan untuk melahirkan modal insan yang terpuji seterusnya memantapkan lagi kegemilangan tamadun ummah. Integriti tercapai apabila tindakan seseorang itu selaras dengan nilai yang dipegang (Universiti Islam Antarabangsa 2005). Bagaimanapun, konflik timbul apabila terdapat pertentangan nilai di antara individu, masyarakat dan nilai kebenaran yang mutlak. Sehubungan itu, kertas kerja ini mengupas ‘integriti mutmainah’ sebagai resolusi bagi menangani konflik nilai dan kerapuhan integriti dalam kerangka memperteguh identiti budaya bangsa Malaysia dan Indonesia berlandaskan Al-Quran dan sunnah.
LATAR BELAKANG KEADAAN JIWA MANUSIA DARIPADA PERSPEKTIF
AL QURAN
Manusia secara fitrahnya adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dan mulia sebagaimana firman Allah di dalam Surah At-Tin ayat 4 yang bermaksud:
Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Justeru, manusia diberikan status yang tinggi sebagai khalifah di muka bumi ini dan seterusnya memikul tanggungjawab moral yang berat (M. Kamal Hasan 1995). Bagaimanapun, manusia juga adalah makhluk yang lemah, gelisah dan mementingkan diri (Al-Maarij: 19-29) serta cinta kepada dunia (Ali Imran: 14). Oleh itu, fitrah jiwa manusia cenderung kepada kebajikan dan kejahatan (As-Syam: 7-10).
Keadaan jiwa seseorang mempengaruhi tindakannya. Jiwa yang bersih dan tenang membolehkan seseorang menumpukan perhatian kepada tugas, mengatasi permasalahan hidup dengan efektif dan mengekalkan keharmonian hidup bermasyarakat (Hasnan Kasan 2000). Sebaliknya jiwa yang gelisah mudah berputus asa dan tergesa-gesa dalam membuat keputusan (Hasnan Kasan, 2000). Justeru, syariat Islam (segala peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah untuk mengatur kehidupan manusia di atas muka bumi ini merangkumi hukum fardu dan sunat, halal dan haram serta makruh dan harus) dikurniakan oleh Allah bagi menjamin kebersihan dan ketenangan jiwa manusia (Hasnan Kasan 2000).
Keadaan jiwa manusia dijelaskan di dalam Al-Quran dalam beberapa keadaan. Omar Hasan Kasule (2005), menyenaraikan lapan jenis keadaan jiwa manusia iaitu amarah (kecenderungan kepada kejahatan), lawamah (kesedaran terhadap peraturan moral), mulhamah (aspirasi kepada taqwa), qanu’ah (puas dengan apa yang ada), mutmainah (tenang), radhiyah (reda), mardhiyah (diredai) dan kamilah (sempurna). Muhammad Syukri Salleh (2005), pula menyenaraikan tujuh peringkat nafsu iaitu amarah, lawamah, mulhamah, mutmainah, radhiyah, mardhiyah dan nafsu kamilah. Bagaimanapun, dalam kajian ini, keadaan jiwa manusia secara amnya terbahagi kepada tiga iaitu amarah (12:53), lawamah (75:2) dan mutmainah (89:27). Ini kerana, di dalam Al-Quran ketiga-tiga keadaan jiwa ini didahului dengan perkataan nafs yang bermaksud jiwa. Ini turut bertepatan dengan pendapat Imam Al-Ghazali (1998) yang membahagikan personaliti jiwa manusia kepada tiga kategori tersebut.
Jiwa Amarah
Nafsu Amarah dikategorikan sebagai nafsu yang jahat (Muhammad Shukri Salleh, 2005). Amarah disifatkan sebagai jiwa yang didominasi dengan sifat-sifat mazmumah (sifat yang keji) sebagaimana termaktub di dalam Surah Yusuf yang bermaksud:
Sesungguhnya nafsu amarah itu sentiasa menyuruh manusia berbuat keji
(Surah Yusuf, 12:50).
Amarah adalah jiwa yang cenderung untuk mengingkari perintah Allah dan akhirnya membentuk akhlak yang buruk (Al-Ghazali, 1998). Jiwa yang dikuasai oleh hawa nafsu akan membawa manusia kepada kesesatan dan amalan yang buruk sehingga manusia melupakan hari akhirat dan akhirnya mendapat seksaan di neraka (Al-Mukminun, 23: 63-65). Nafsu amarah yang tidak dikawal boleh menggugat kesejahteraan manusia dan alam sejagat (Al-Mukminun, 23: 71).
Jiwa Lawamah
Nafsu atau jiwa Lawamah juga dikategorikan oleh Muhammad Shukri Salleh (2005), sebagai nafsu yang jahat. Lawwamah merupakan jiwa yang berjuang di antara kebaikan dan kejahatan (Al-Ghazali 1998). Lawamah adalah jiwa yang menyesali setiap kesilapan yang dilakukan. Keadaan jiwa ini dijelaskan di dalam Al-Quran dalam Surah Al-Qiyamah ayat kedua yang bermaksud:
“Aku bersumpah dengan nafs (jiwa) yang menyesali dirinya sendiri atas perbuatan buruk dan setiap pelanggarannya” (Al-Qiyamah, 75:2)
Jiwa Mutmainah
Jiwa mutmainah pula dikategorikan sebagai nafsu yang baik (Muhammad Shukri Salleh, 2005). Jiwa mutmainah merupakan jiwa yang tenang. Manusia berjiwa mutmainah sentiasa redha kepada Allah dan Allah juga redha kepadanya. Ini selaras dengan firman Allah yang bermaksud:
"jiwa yang tenang, kembalilah kepada tuhanmu dengan keadaan redha dan diredhai." (Surah Al-Tahrim, 66:12).
Personaliti jiwa mutmainah diperolehi pada titik keseimbangan antara kekuatan marah dan kekuatan syahwat. Mutmainah adalah jiwa yang tenang dan sempurna kerana memiliki sifat terpuji dan bebas daripada sifat yang keji. Personaliti jiwa mutmainah disebut di dalam Surah Al-Fajr yang bermaksud:
Wahai orang-orang yang mempunyai jiwa yang sentiasa tenang, tetap dengan kepercayaan dan bawaan yang baik (Surah Al-Fajr, 89: 27).
Perkaitan Jiwa dan Iman
Nafsu atau keadaan jiwa manusia berkait langsung dengan tahap keimanannnya. Jiwa manusia berada di dalam keadaan amarah dan lawamah apabila iman berada pada tahap taqlid dan ilmu. Sebaliknya, jiwa manusia berada dalam keadaan mutmainah apabila iman berada pada tahap ayan, haq dan hakikat (Muhammad Shukri Salleh, 2005).
LATAR BELAKANG INTEGRITI
Integriti merupakan satu konsep yang kompleks ( Widang dan Fridlund, 2003). Integriti berasal daripada perkataan latin: ‘integer’ yang bermaksud menyeluruh, sempurna dan kesatuan yang teguh (Widang dan Fridlund, 2003). Pellegrino (1990), merujuk integriti sebagai tahap/keadaan keseimbangan di antara ruang pribadi (privacy), autonomi and nilai individu. Roberts (1994), pula memberikan takrifan yang lebih mudah iaitu kesatuan di antara komitmen sepenuhnya kepada nilai yang dipegang dalam setiap ucapan dan tindakan seseorang. Takrifan Roberts (1994) selari dengan Musschenga (2001) yang menakrifkan integriti sebagi konsistensi dan koherensi dalaman keyakinan seseorang dengan penyataan dan tindakannya (Musschenga 2001).
Pendefinisian terhadap istilah integriti boleh diklasifikasikan kepada empat perspektif iaitu ketekalan nilai peribadi, komitmen terhadap nilai peribadi, komitmen terhadap nilai komuniti dan komitmen terhadap nilai-nilai murni (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2004).
Integriti secara keseluruhannya pula ditakrifkan sebagai pengetahuan, kesedaran, penghayatan dan pegangan teguh kepada nilai-nilai murni secara konsisten yang disertai komitmen sepenuhnya terhadap nilai-nilai tersebut dalam setiap perkataan dan tindakan untuk mencapai kecemerlangan diri dan organisasi (Jamiah Manap et. al., 2005).
Rajah 1 menunjukkan model integriti yang merangkumi empat komponen penting iaitu ilmu, motif atau niat yang betul, penghayatan nilai-nilai murni dan komitmen terhadap nilai tersebut (Jamiah et.al., 2005). Ilmu merupakan teras utama integriti. Ilmu dalam konteks ini adalah pegetahuan dan kefahaman tentang falsafah, nilai, kepentingan dan tujuan integriti dengan jelas dan mendalam. Ilmu ini kemudiannya akan memberikan kesedaran untuk menghayati nilai integriti bagi mencapai kecemerlangan diri dan organisasi. Motivasi yang kuat dan matlamat yang teguh ini kemudiannya akan mendorong individu untuk menghayati nilai-nilai integriti secara mendalam dan menjadikan ianya sebagai nilai yang sebati dengan dirinya. Apabila nilai tersebut telah sebati dengan jiwa individu, individu akan berusaha untuk memberikan komitmen sepenuhnya terhadap nilai yang dipegang dalam setiap tutur kata dan tindakannya. Oleh itu, individu dikatakan mempunyai integriti yang tinggi apabila tindakannya selaras dengan nilai-nilai murni yang dipegangnya.
Rajah 1
Model Integriti
INTEGRITI MUTMAINAH DARIPADA PERSPEKTIF
AL-QURAN & SUNNAH
Fitrah manusia tidak berubah mengikut zaman (Nik Mustapha Nik Hassan, 1999). Sehubungan itu, manusia perlu memahami diri dan membangunkan potensi diri berasaskan petunjuk ilmu wahyu kerana Islam adalah agama yang bersifat relevan, universal sepanjang masa dan setiap tempat (Nik Mustapha Nik Hassan, 1999). Tazkiah atau penyucian jiwa merupakan komitmen psikologi untuk menghijrahkan personaliti jiwa amarah kepada personaliti jiwa lawamah dan akhirnya kepada personaliti jiwa mutmainah (Che’ Zarrina Sha’ari, 2002).
Pemantapan Akidah dan Pemurnian Jiwa
Punca utama krisis manusia masa kini adalah apabila minda manusia merasa bebas daripada kekuasaan dan pengawasan Allah (Zakaria Stapa, 1997 dan M. Kamal Hasan, 1995). Islam menyediakan individu muslim dengan kawalan metafizik yang bersifat abstrak seperti dosa, pahala, neraka dan syurga yang menjadi daya pencetus kepada tingkah laku manusia (Zakaria Stapa, 1997).
Iman merupakan faktor utama yang dapat mencegah manusia daripada terlibat dengan gejala sosial dan jenayah (Qaasim Hersi Farah 2000). Ini kerana, Al-Quran dan sunnah mengandungi panduan asas berasaskan realiti daripada Allah yang tidak mempunyai had masa dan ruang (Khurshid Ahmad 2003). Bagaimanapun, kebebasan manusia berijtihad berlandaskan kaedah-kaedah yang telah ditetapkan menjadikan Islam sentiasa relevan dengan kehidupan moden (Khurshid Ahmad 2003).
Pembangunan personaliti muslim adalah berasaskan penyucian diri manusia melalui tajdid an-nafs iaitu usaha ke arah penyucian jiwa manusia dengan memperbaiki, mendorong dan mengukuhkan fitrah dalaman diri manusia ke tahap yang tinggi (Aziz ul Islam 2000). Pandangan ini berasaskan surah As-Syam ayat 9 dan 10 yang bermaksud: “Dan berjayalah orang yang mensucikan dirinya dan rugilah orang yang mengotorinya”. Oleh itu, motivasi utama pembangunan personaliti manusia adalah keredaan Allah melalui penyucian jiwa, solat dan pengorbanan untuk mencapai keunggulan fitrah sebenar manusia. Ini kerana, jiwa yang tidak mendapat keredaan Allah tidak dapat menerima dirinya sendiri (Aziz ul Islam 2000).
Pemurnian Jiwa
Nilai sesuatu pekerjaan bergantung kepada niat iaitu pendorong atau motif utama perlakuan tersebut (Muhamad Al-Ghazali, 2001). Orang yang ikhlas akan memperolehi keredaan Allah dan kepuasan sejati (Al-Lail: 18-21). Niat yang betul dan hati yang ikhlas adalah prasyarat agar amalan diterima oleh Allah . Niat buruk akan menghakis ketaatan kepada Allah secara berperingkat dan akhirnya membawa individu kepada perlakuan maksiat (Muhamad Al-Ghazali, 2001: 127).
Pemantapan Ibadah
Kematangan akhlak berlaku secara bertahap (Muhammad Al-Ghazali, 2001). Amal soleh adalah proses penyucian jiwa sebagai persiapan untuk mencapai kesempurnaan kendiri (Muhammad Al-Ghazali, 2001). Ibadah memantapkan iman dan seterusnya memelihara fitrah manusia dengan menundukkan hawa nafsu agar terdorong kepada akhlak yang mulia. Kesempurnaan ibadah tercapai apabila berjaya mencetuskan akhlak yang mulia (Muhammad Al-Ghazali, 2001). Tujuan ibadah adalah untuk membentuk ketaqwaan diri kepada Allah (Surah Tho Ha: 132). Oleh itu, ibadah yang tidak membuahkan akhlak tidak mempunyai nilai taqwa (Muhammad Al-Ghazali, 2001).
Hakikat sebenar daripada ibadah solat, zakat, puasa dan haji adalah untuk mensucikan budi pekerti manusia (Muhamad Al-Ghazali, 2001). Justeru, perlaksanaan rukun Islam adalah medan latihan utama pembentukan akhlak mulia (Muhammad Al-Ghazali, 1998). Rukun Islam adalah strategi pencegahan jenayah berasaskan program latihan yang tersusun dan berterusan (Qaasim Hersi Farah, 2000). Kewajipan agama yang termaktub di dalam Islam adalah program latih tubi untuk melatih manusia kepada tingkah laku terpuji secara istiqamah dan teguh terhadap sebarang perubahan bagi membentuk akhlak (Muhammad Al-Ghazali, 1998).
Solat memelihara ketenangan dan kesejahteraan hati (Al-Maarij: 19-23). Zakat meningkatkan hubungan kemanusiaan, menyucikan jiwa (At-Taubah: 103), dan membersihkan harta (Sahih Bukhari: 1324). Puasa mendidik manusia mengawal hawa nafsu (Al-Baqarah: 183) manakala haji meningkatkan disiplin diri dan mengukuhkan persaudaraan Islam (Al-Baqarah: 197).
Pemantapan Ilmu
Ajaran wahyu yang disampaikan di dalam Al-Quran telah sempurna dan dijelaskan secara terperinci melalui sunnah iaitu lisan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah serta diperkemaskan melalui Qias dan Ijmak’ yang berpaksikan al-Quran dan Sunnah (Mohd. Zariat Abdul Rani, 2002). Ajaran Islam terbukti dinamik dan relevan sepanjang zaman dengan keharusan berijtihad (Mohd. Zariat Abdul Rani, 2002). Bagaimanapun, kebanyakan masalah yang menimpa umat Islam adalah berpunca daripada kekeliruan terhadap ajaran Islam akibat kerapuhan pegangan tauhid dan penguasaan ilmu-ilmu fardu ain (Mohd. Zariat Abdul Rani, 2002).
Menurut Zakaria Stapa (2002), pendidikan berterusan adalah mekanisme paling teguh di dalam pembentukan akhlak kerana setiap manusia memiliki potensi untuk cenderung ke arah fujur atau taqwa untuk diperkembangkan. Institusi pendidikan melalui konsep tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) perlu bergabung dengan institusi lain untuk menggilap aspek positif iaitu taqwa dan menyingkirkan aspek negatif iaitu fujur. Proses tazkiah terangkum di bawah taklif Ilahi yang terbahagi kepada dua dimensi iaitu taklif berbentuk suruhan dan amal salih serta taklif dalam bentuk larangan dan tegahan bagi tujuh pancaindera manusia (Zakaria Stapa, 2002).
Pemantapan Nilai
Agama dan sistem kepercayaan yang dipegang akan menentukan ketekalan individu di dalam menerapkan nilai positif di dalam kehidupannya serta mencegah mereka daripada melakukan penyelewengan (Syed Othman Alhabshi 1995). Kestabilan tingkah laku manusia adalah berasaskan kestabilan emosi dan perasaan (Syed Othman Alhabshi 1995). Dalam hal ini, nilai yang dipegang akan berperanan mengawal emosi dan perasaan yang menentukan tingkah laku tersebut (Syed Othman Alhabshi 1995). Sikap yang baik terbentuk apabila individu dapat menguruskan emosi menggunakan nilai positif (Syed Othman Alhabshi 1995).
Masyarakat yang kehilangan nilai akan menjadi lemah dan gagal mempertahankan prestasi yang telah dicapai dalam setiap aspek sebagaimana yang berlaku di Jepun. Penglibatan mahasiswa dalam aktiviti pemujaan, perlantikan seorang pelakon komedi sebagai gabenor Tokyo dan Osaka serta komitmen kerjaya yang tidak konnsisten menunjukkan suasana krtikal belia dan rakyat Jepun akibat kehilangan nilai (Nik Mustapha Nik Hassan 1999). Islam memfokuskan kepada perubahan dalaman individu secara konsisten dan perubahan tersebut kemudiannya dimanifestasikan dalam tindakan seseorang dan seterusnya mempertingkatkan dan memelihara kemajuan yang telah dicapai (Nik Mustapha Nik Hassan, 1999). Bagaimanapun, permusuhan tradisi selepas zaman penjajahan di antara Islam dan Kristian beralih kepada “peperangan intelektual” agar umat Islam menyimpang daripada ajaran Islam yang sebenar (Mohd. Zariat Abdul Rani, 2002). Proses ‘deislamization’ dilakukan oleh Barat dengan menerapkan aliran falsafah dan pemikiran yang bertentangan dengan akidah dan nilai Islam yang diperkukuhkan dengan dasar dan polisi pentadbiran sehingga umat Islam menjadi keliru terhadap ajaran Islam sebenar (Mohd. Zariat Abdul Rani 2002).
Pemantapan Budaya Mulia
Persekitaran memberikan kesan yang besar kepada perkembangan individu khususnya daripada aspek psikologi (Che Zarrina Sa’ari 2001). Adab kebiasaan lingkungan merupakan ancaman terbesar fitrah manusia (Muhammad Al-Ghazali 2001). Sejumlah 12, 314 daripada 36, 996 penagih terlibat dengan dadah kerana terpengaruh dengan rakan mereka (Agensi Dadah Kebangsaan, 2003). Ini selaras dengan kepentingan proses sosialisasi dalam membentuk akhlak oleh Syed Othman Alhabshi (1995). Proses sosialisasi melibatkan pergaulan seseorang dengan orang yang memiliki akhlak yang mulia di dalam jangka masa yang panjang melalui hubungan antara guru-murid, mentor-mente, pemimpin-pengikut atau di dalam kumpulan yang tertentu dalam jangka masa yang lama sehingga menjadi tret yang kekal kepada individu tersebut. Justeru, iklim yang membina perlu diwujudkan untuk membudayakan nilai-nilai Islam secara menyeluruh (Zakaria Stapa 2002c).
Pelaksanaan Undang-undang Islam
Hukum Islam mengandungi prinsip dan konsep yang bertujuan untuk mengelakkan kemudaratan atau mendapatkan manfaat yang diharuskan daripada manusia bagi kesejahteraan manusia (Leha @ Zaleha Muhamat, 2001). Hukuman yang dikenakan ke atas pesalah melindungi masyarakat dan memperbaiki masyarakat daripada anggota yang zalim dan merosakkan (Muhammad Al-Ghazali 2001). Perundangan Islam merupakan sistem kawalan sosial yang bertujuan untuk memelihara kesejahteraan organisasi dan masyarakat (Nik Mustapha Nik Hassan 1999) daripada maksiat dan pencemaran akal (Asjad Mohamed, 2002).
PERBINCANGAN
Integriti secara umumnya merujuk kepada kesatuan di antara nilai dan tingkah laku. Pellegrino (1990), Roberts (1994) dan Musschenga (2001) melihat integriti sebagai keselarasan nilai dalaman dengan tindakan seseorang. Masalah timbul apabila terdapat perbezaan nilai yang dipegang oleh individu dan masyarakat di sekitarnya. Perbezaan nilai ini kemudiannya menimbulkan konflik yang akan menggugat kesejahteraan individu dan masyarakat. Situasi ini menjadi bertambah parah apabila pertembungan di antara nilai-nilai timur dan barat dalam era globalisasi dan glokalisasi berlaku tanpa kekuatan personaliti dan jati diri.
Definisi integriti yang diberikan oleh Pellegrino (1990), Roberts (1994) dan Musschenga (2001), memberikan konotasi bahawa integriti juga memberikan intepretasi yang negatif apabila tingkahlaku seseorang selaras dengan nilai negatif yang dipegangnya. Disinilah tercetusnya ”integriti amarah” yang merujuk kepada keselarasan nilai buruk yang dipegang oleh individu atau masyarakat dengan ucapan dan tindakannya. Jiwa manusia pada tahap ini berada dalam keadaan sesat dan gelisah akibat kejahilan dan kesombongan diri. Kecerdasan emosi, kecerdasan mental, ketaqwaan dan tahap keimanannya berada pada tahap rendah kerana kegagalan memilih jalan yang benar dan kegagalan mengawal hawa nafsu yang cenderung kepada perbuatan keji. Bagaimanapun, konsep kendiri berada pada tahap yang tinggi kerana wujudnya sifat sombong dan bangga diri sebagaimana kesombongan yang ditunjukkan oleh iblis apabila diperintahkan sujud kepada Nabi Adam A.S. Jadual 1 menunjukkan matrik hubungan di antara jiwa amarah, munafik, lawamah dan mutmainah.
Jadual 1: Matrik Jiwa Amarah, Munafik, Lawamah dan Mutmainah
Sindrom munafik pula berlaku apabila individu berpegang kepada nilai yang buruk tetapi berpura-pura mengucapkan perkataan yang baik dan bertindak dengan tingkah laku yang baik supaya diterima oleh masyarakat. Ini mengakibatkan jiwa manusia menjadi gelisah kerana takut keburukan dirinya diketahui oleh orang lain. Penderita sindrom munafik lebih takutkan manusia daripada Allah sebagaimana situasi golongan munafik yang didokumentasikan di dalam Al-Quran. Kecerdasan emosi luaran penderita ‘sindrom munafik’ berada pada tahap tinggi kerana keupayaannya menyesuaikan diri dengan orang lain dan bertindak dengan tindakan yang sepatutnya. Kecerdasan emosi merujuk kepada kebolehan seseorang memahami emosinya dan emosi orang lain dan bertindak sesuai dengan emosi tersebut (Thibodeaux & Bond, 2005). Bagaimanapun, kecerdasan emosi dalamannya berada dalam keadaan tertekan dan akan menzahirkan realiti dirinya yang sebenar pada bila-bila masa. Justeru, ketaqwaan dan konsep kendirinya berada pada tahap rendah.
Fenomena ”sindrom lawamah” pula muncul apabila individu mempunyai nilai yang baik tetapi tidak bertindak selaras dengan nilai tersebut. Ini mengakibatkan individu berada di dalam keadaan gelisah, tertekan dan rasa bersalah. Justeru, konsep kendiri juga berada pada tahap rendah. Jika situasi ini berterusan, tekanan jiwa dan perasaan akan berlaku. Sebaliknya, apabila individu berjaya mengawal dirinya supaya melaksanakan tindakan yang selaras dengan nilai baik tersebut secara konsisten, individu berjaya mengatasi sindrom lawamah dan seterusnya mencapai ”integriti mutmainah” yang juga merupakan kesempurnaan kendiri.
’Integriti mutmainah’ dalam konteks kajian merujuk kepada individu atau kumpulan yang mengetahui, meyakini, menyintai dan menghayati nilai-nilai mulia dan menghindari nilai-nilai buruk yang terkandung di dalam Al-Quran dan sunnah secara mendalam dan bertindak selaras dengan nilai-nilai mulia tersebut secara konsisten dalam setiap aktiviti hidupnya untuk mendapat keredaan Allah.
Fitrah jiwa manusia adalah bertepatan dengan syariat Allah (Hasnan Kasan, 2000). Justeru, cara hidup dan gaya fikir yang bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah akan mengakibatkan konflik kejiwaan sebagaimana firman Allah dalam ayat 30 surah Ar-Ruum. Oleh yang demikian, setiap individu perlu memastikan segala tindakannya berlandaskan syariat, menjauhi makanan yang haram dan syubhat, menunaikan segala kewajipannya dan menjauhi segala larangan kerana perbuatan dosa dan penyelewengan akhlak akan mengotorkan dan menggelisahkan jiwa, manakala ibadah wajib dan sunat pula dapat membersihkan jiwa (Hasnan Kassan, 2000).
Nilai-nilai mulia dan nilai-nilai buruk dinyatakan dengan jelas di dalam Al-Quran dan sunnah sebagai panduan untuk mencapai kejayaan hidup di dunia dan akhirat. Sehubungan itu, nilai ’integriti mutmainah’ adalah berasaskan pemurnian diri daripada nilai-nilai yang buruk dan pencerapan nilai-nilai mulia secara total sehingga menjadi sebati dengan diri sebagaimana kesempurnaan integriti Rasulullullah S.A.W yang dinobatkan oleh Saidatina Aisyah R.A sebagai memiliki akhlak Al-Quran.
Nilai-nilai buruk boleh dikategorikan kepada tiga iaitu
i. kepincangan akidah seperti syirik, menyalahkan takdir, riak, takbur dan menilik nasib;
ii. melakukan perkara yang diharamkan oleh syarak seperti meninggalkan solat, berzina, mencuri dan mengumpat;
iii.gagal mengurus diri dan sistem hidupnya dengan berkesan. Sistem dalam konteks ini adalah tatacara kehidupan yang tersusun untuk membolehkan sesuatu perkara itu berfungsi dengan baik. antara kegagalan tersebut adalah boros, jahil, pengotor, malas dan berfikiran negatif.
Nilai-nilai mulia pula diklasifikasikan kepada empat kategori yang juga merupakan sifat wajib bagi rasul iaitu
i) sidiq (benar)
ii) amanah
iii) tabligh (menyampaikan)
iv) fatonah (bijaksana).
Jadual 2 menunjukkan sebahagian daripada nilai-nilai mulia tersebut yang menjadi tunjang kepada keunggulan jati diri dan identiti budaya masyarakat.
____________________________________________________________________
SIDIQ (kebenaran akidah, perkataan & tindakan)
Beriman kepada Allah
Beriman lkepada Rasul dan kitab Allah
Beriman kepada perkara ghaib
Berkata benar
Malu
Bersyukur
Taat
Ikhlas
Tawaduk
Redha
AMANAH (Menunaikan Kewajipan dan Tanggungjawab)
Menunaikan rukun Islam
Bertanggungjawab
Adil
Memelihara maruah
Menepati waktu
Menjaga kebersihan
Menepati janji
Menyimpan rahsia
Itqan (menjaga kualiti)
Rajin
Menutup aurat
Khusyuk (memberi tumpuan / fokus)
Menjaga pemakanan
Menjaga lidah (pertuturan dan penulisan)
TABLIGH (menyampaikan amanah dan mengamalkan kaedah komunikasi berkesan)
Menyampaikan mesej
Tepat
Cekap
Teliti
Tegas
Berani
Sistematik
Jujur
Mesra
Menghormati orang lain
Ulfah (berkasih-sayang)
Ikram
Zuhud
FATONAH (Kebijaksanaan Mentadbir Diri dan Sistem dalam Kehidupan)
Berilmu
Bertafakur
Ceria
Tenang
Pemurah
Sabar
Pemaaf
Syura
Bersangka baik (berfikiran positif dan optimis)
Memelihara silaturrahim (memelihara hubungan interpersonal)
Berdikari
Ithar (mementingkan orang lain)
Berkepimpinan
Pendamai
Berhemat
____________________________________________________________________
Rajah 2 menunjukkan proses penghijrahan jiwa amarah kepada jiwa mutmainah secara bersepadu melalui penyucian jiwa (tazkiatun nafs). Fitrah jiwa manusia cenderung kepada kejahatan dan kebajikan. Justeru, jiwa amarah perlu disucikan secara berperingkat supaya jiwa tersebut dapat berhijrah daripada integriti amarah kepada jiwa lawamah. Jiwa lawamah itu pula kemudiannya dihijrahkan kepada integriti mutmainah melalui proses penyucian jiwa yang berterusan.
--Rajah 2--
Proses Penghijrahan JiwaJadual 2: Nilai Mulia Integriti Mutmainah
Sidiq (Kebenaran akidah, perkataan & tindakan)
Model penyucian jiwa yang ditunjukkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya merupakan proses penyucian jiwa yang terbukti berkesan dalam melahirkan insan berperibadi mulia dan terpuji. Justeru, metodologi pemantapan ’integriti mutmainah’ adalah berasaskan model tersebut yang bertunjangkan Al-Quran dan sunnah. Rajah 3 menunjukkan metod yang perlu diterapkan untuk melahirkan individu dan masyarakat dengan ”integriti mutmainah”. Pemantapan ilmu merangkumi proses mengukuhkan kefahaman yang tepat dan mendalam terhadap ajaran Islam khususnya dalam memahami mesej yang disampaikan di dalam kitab suci Al-Quran dan juga hadis-hadis nabi di samping mempelajari dan menguasai bidang-bidang ilmu lain yang bermanfaat. Pemantapan akidah merangkumi proses mengukuhkan keimanan yang jitu, murni dan mendalam kepada Allah, kitab-kitab Allah, para malaikat, para nabi, hari akhirat serta qada’ dan qadar Allah.
Pemantapan amal soleh merangkumi perlaksanaan dan penghayatan rukun Islam (syahadah, solat lima waktu, puasa, zakat dan ibadah haji) dengan sempurna dan konsisten. Berkenaan solat tiang agama pula, individu yang mengabaikan solat lima waktu ibarat manusia yang dianggap tidak mempunyai tulang. Oleh itu, individu tersebut tidak mempunyai daya kekuatan untuk memerangi hawa nafsu dan godaan syaitan. Sehubungan itu, penyempurnaan solat lima waktu sewajarnya menjadi agenda utama pemantapan amal soleh kerana solat yang sempurna mencegah individu daripada perbuatan keji dan mungkar serta membolehkannya memperolehi ketenangan jiwa. Selain itu, pemantapan amal soleh juga merangkumi penghayatan akhlak mulia dan terpuji yang termaktub di dalam Al-Quran dan sunnah sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad S.A.W dan para sahabat.
Rajah 3
Pelan Pembentukan Integriti Mutmainah
Penjernihan nilai dan budaya negatif merujuk kepada usaha yang dilakukan untuk menghapuskan segala nilai-nilai dan budaya negatif di dalam diri individu dan juga persekitarannya. Identiti golongan remaja khususnya bertambah bercelaru akibat wujudnya dualisme nilai. Nilai yang diajar di sekolah berlawanan dengan nilai budaya popular di media massa dan media hiburan masakini yang lebih mementingkan keuntungan jangka pendek tanpa mengambikira kerugian kos sosial dalam jangka masa panjang. Justeru, langkah penjernihan perlu diambil untuk menghasilkan persekitaran yang bebas daripada unsur-unsur negatif dan menutup laluan fujur bagi memelihara tujuh pancaindera manusia.
Pemantapan budaya mulia merangkumi pembudayaan nilai-nilai Islam secara menyeluruh dalam setiap institusi dan organisasi masyarakat secara bersepadu. Justeru, pemantapan budaya mulia melibatkan setiap unit dalam masyarakat untuk bergerak secara sinergi untuk saling mengukuhkan kefahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai integriti khususnya di kalangan media massa dan pentadbir. Perlaksanaan undang-undang Islam pula merangkumi penerapan, pengukuhan dan perlaksanaan hukum yang telah termaktub di dalam Al-Quran dan sunnah untuk mencegah perlanggaran dan memelihara integriti masyarakat.
Al-Quran dan sunnah menggariskan panduan khusus kepada manusia untuk mencapai kesempurnaan kendiri dan ketenangan jiwa berasaskan realiti daripada Allah yang tidak mempunyai batasan ruang dan zaman. Dalam masa yang sama, Islam mengiktiraf kemuliaan akal manusia dengan kebebasan berijtihad. Kesempurnaan kendiri atau ’integriti mutmainah’ hanya akan diperolehi apabila jiwa manusia mencintai tuhan-Nya dan menjadi sebati dengan ajaran Al-Quran dan sunnah. Keindahan dan kemuliaan jiwa ini kemudiannya diterjemahkan di dalam kehidupan seharian dan hasilnya akan melahirkan anggota masyarakat yang mempunyai identiti dan jati diri yang unggul.
[1] Kertas kerja dibentangkan di Simposium Kebudayaan Indonesian Malaysia ke IX, 2005, anjuran Universiti Kebangsaan Malaysia dan Universiti Padjajaran di Bandung, Indonesia pada 10-12 Mei 2005.
[2] xxx
[3] Profesor di Fakulti Pengajian Pendidikan dan Pengarah di Institut Pengembangan Pertanian, Universiti Putra Malaysia
[4] Profesor Madya dan Timbalan Dekan Pengajian Siswazah, Fakulti Pengajian Pendidikan, Universiti Putra Malaysia
[5] Pensyarah Kanan di Pusat Pengajian Umum, Universiti Kebangsaan Malaysia
* untuk mendapatkan artikel penuh, sila rujuk:
Jamiah Manap, Azimi Hamzah, Sidek Mohd. Noah & Hasnan Kasan. 2007. Metodologi pembentukan 'Integriti Mutmainah': Ke arah meningkatkan identiti budaya masyarakat Malaysia dan Indonesia. Dlm. Armida S. Alisjahbana, Ramdan Panigoro & Parikesit (pnyt.). Indonesia dan Malaysia dalam era globalisasi dan desentralisasi: Mewujudkan kemakmuran bersama, hlm. 578-592. Bandung: Sekretariat Kantor Pembantu Rektor Bidang Kerjasama UNPAD. (Bab dalam buku)
Posted by Jamiah Hj. Manap at 6:00 PM 0 comments
Labels: Artikel Prosiding, Makalah dalam Buku
Saturday, August 18, 2007
Berfikir Qurani
Oleh DR. SIDEK BABA, Bicara Agama, Berfikir Qurani
AL-QURAN adalah sumber ilmu dan hikmah. Daripadanya terdapat kisah-kisah untuk dijadikan ibrah atau teladan, terdapat prinsip untuk dijadikan sumber ikutan, pedoman-pedoman untuk dijadikan sumber amalan.
Ia juga terdapat anjuran ulul albab iaitu mengajak manusia berfikir tentang diri, alam, kejadian dan kehidupan. Al-Quran mengajak manusia berfikir.
Berfikir Qurani bermaksud bagaimana sumber-sumber al-Quran dijadikan pedoman berfikir tentang sesuatu. Jiwa tadabbur iaitu jiwa mengkaji dan menyelidik juga membawa seseorang berfikir. Berfikir menerusi jendela al-Quran adalah asas kepada berfikir Qurani.
Membaca dan menghafaz al-Quran adalah sesuatu yang amat baik. Setiap kalimah yang dibaca diberi pahala oleh Allah. Lebih dari itu al-Quran terkandung ilmu yang amat berharga untuk manusia. Ilmuan Islam terdahulu menjadikan al-Quran sebagai sumber berfikir.
Tradisi taawil dan tafasir dalam kalangan ulama Islam menjadikan ilmu Islam berkembang. Darinya terbina ilmu tentang akidah, ibadah, akhlak, syariah dan fikah dan ia mampu membentuk peribadi manusia yang Islami. Al-Quran terdapat sumber ilmu tentang sains, kemasyarakatan, kekeluargaan, alam dan persekitaran, psikologi, perubatan dan pendidikan. Prinsip dan pedoman al-Quran membimbing manusia berfikir, mencari jawapan dan petunjuk tentang sesuatu.
Para remaja perlu mendekati al-Quran tidak saja untuk dibaca, dihafaz tetapi menjadikan al-Quran sebagai sumber ilmu dan sumber berfikir. Ayat-ayat Allah adalah sesuatu yang hidup dalam kehidupan.
Kisah-kisah yang dirakamkan oleh al-Quran ribuan tahun lalu bukan hanya merakamkan apa yang pernah berlaku pada masa yang lalu tetapi berulang kembali pada masakini dan boleh terjadi semula pada masa depan.
Para remaja yang mencari pedoman untuk hidup, maju dan berubah tentu memerlukan pedoman tentang gelagat manusia pada masa yang lalu dan kesannya terhadap kehidupan.
Kisah Nabi Lut a.s umpamanya adalah peristiwa menarik untuk mengajak remaja berfikir. Peristiwa itu mengisahkan bagaimana Nabi Lut a.s berdepan dengan gelagat kaumnya yang enggan kembali kepada hidup yang fitrah.
Mereka memilih pasangan yang sejenis sebagai teman hidup dan tidak memilih yang berlainan jenis seperti yang sepatutnya. Allah amat membenci perbuatan itu lalu diturunnya musibah gempa bumi dan menghancurkan kehidupan itu.
Pada hari ini gelagat yang sama timbul semula. Masyarakat Barat memilih jalan gay dan lesbian sebagai asas perkongsian hidup. Asas keluarga luas sudah mula runtuh dan asas keluarga kecil sudah semakin menggugat. Bayangkan kehidupan tanpa asas kekeluargaan dan zuriat ia bakal meruntuhkan sistem dan tamadun.
Kehidupan yang lepas bebas dan melampaui batas menyebabkan kerosakan pada tabiat dan nilai-nilai kemasyarakatan dan kemanusiaan. Hari ini lahir musibah di Barat dan di Timur iaitu musibah AIDS/HIV yang amat menakutkan. Perlakuan seks bebas, pergaulan yang melampaui batas dikuti dengan salahguna dadah dan nilai hidup yang pupus menyebabkan musibah itu sedang berkembang ibarat api yang sedang meratah daun-daun kering di musim kemarau.
Punca segala masalah yang berbangkit kembali kepada akhlak manusia. Tanpa pedoman akhlak manusia akan menghadapi masalah dalam kehidupannya. Sebab itu al-Quran memberikan pedoman tentang pergaulan, kekeluargaan dan pendidikan supaya kekuatan akhlak menjadi tunjang dalam pembinaan diri, keluarga dan masyarakat. Malah Nabi Muhammad dihantar kepada manusia pun bertujuan untuk menyempurnakan akhlak manusia. Nabi Muhammad dibentuk oleh Allah s.w.t. dengan peribadi contoh untuk menjadi sumber teladan kepada manusia.
Sumber
Berfikir Qurani bagi remaja menjadikan al-Quran sebagai sumber. Bagi mencari ilmu umpamanya tidak salah akal dijadikan alat penting untuk berfikir. Tetapi akal remaja dan manusia tidak segala-gala. Jangkauan akal dan pancaindera manusia terbatas. Terdapat alam lepas yang seluas-luasnya untuk dikaji.
Terdapat faktor-faktor ghaibiyyat yang memerlukan kefahaman remaja sebagai asas rukun iman. Sekiranya remaja tidak berfikir dengan merujuk sumber ilmu dari al-Quran, remaja akan kehilangan pedoman dan pertunjuk. Akal manusia memerlukan pertunjuk. Tanpa hikmah (al-Quran) remaja tidak akan memiliki kekuatan untuk memahami kehidupan dan realiti.
Al-Quran memberi pedoman kepada manusia bagaimana untuk bergaul. Al-Quran juga mengaturkan para remaja bagaimana untuk menuntut ilmu. Al-Quran juga membimbing remaja bagaimana memahami makna kemajuan dan perubahan. Malah al-Quran memberi pedoman kepada remaja tentang sains dan teknologi.
Al-Quran tidak menyekat remaja bergaul walaupun dalam kalangan yang berlainan jenis. Tetapi remaja mestilah patuh dengan hukum syarak. Hukum syarak tidak membenarkan pergaulan yang melampaui batas sehingga timbul fitnah. Pada diri remaja ada nafsu dan keinginan. Al-Quran memberikan batasan supaya keinginan dan nafsu dapat dikawal. Sekiranya pergaulan itu berlaku untuk maksud ilmu pengetahuan umpamanya, Islam mengharuskannya.
Al-Quran tidak menghalang remaja menuntut ilmu. llmu adalah sesuatu yang amat penting bagi remaja. Tanpa ilmu, remaja akan hilang pedoman dan arah. Tetapi Islam menganjurkan kepentingan ilmu fardu ain kepada remaja ilmu tentang akidah, ibadah, akhlak dan syariahnya mantap.
Apabila remaja mengembangkan bakat dan minat dalam bidang ilmu fardu kifayah, asas binaan akhlak menjadikan penguasaan ilmu fardu kifayah lebih bermakna.
Al-Quran juga memberi pedoman kepada remaja bagaimana untuk maju dan membangun. Pembangunan dan kemajuan mengikut perspektif al-Quran merujuk kepada pembangunan manusia atau rijal. Sebab itu al-Quran turun kepada manusia bernama Muhammad, tidak pada gunung-ganang, batu-batan atau pokok-pokok.
Pada manusia ada akal dan mempunyai potensi berfikir. Pada manusia ada hati dan kalbu membolehkan manusia merasa dan menimbang akan baik-buruknya sesuatu. Apabila al-Quran membangunkan sahsiah dan watak Nabi, peribadi Nabi dikatakan sebagai ‘peribadi al-Quran’ iaitu bagaimana sumber-sumber al-Quran menghidupkan watak Nabi baik dalam kata-kata, perbuatan dan amalan. Apabila peribadi Quran menjadi contoh kepada manusia lain maka kehidupan manusia akan menjadi baik dan lebih bermakna.
Sekiranya manusia menjadi baik, pengurusan diri, keluarga dan persekitaran juga akan jadi baik. Asas inilah yang perlu ada kepada remaja supaya kehidupan dewasanya terbimbing dan terpedoman dengan nilai-nilai yang Qurani. Kelemahan umat Islam hari ini antara sebabnya tidak menjadikan al-Quran sebagai sumber berfikir, sumber ilmu dan sumber pedoman.
Ramai umat Islam yang terpaut dengan berfikir cara Barat dan menolak kepentingan agama dan al-Quran yang menyebabkan maksud maju dan membangun menghakis nilai-nilai kemanusiaan. Manusia semakin bersikap individualistik, kebendaan dan nafsu nafsi.
Al-Quran tidak menolak kepentingan benda dan individu mahu pun nafsu. Al-Quran menyatakan benda itu sebagai sumber dan kejadian Allah. Yang ditentang oleh Islam ialah berfahaman kebendaan sehingga faktor benda mengatasi segala-gala.
Malah benda menjadi barang pujaan dan sembahan. Al-Quran juga tidak menolak kepentingan individu atau fardhi tetapi al-Quran menganjurkan sikap jemaah supaya manusia mempunyai hubungan dengan orang lain dan timbul sifat muafakat dan kebersamaan.
Al-Quran tidak menolak kepentingan nafsu. Tanpa nafsu manusia tidak mempunyai daya dan keinginan. Yang mendorong manusia belajar, bekerja, berkeluarga ialah nafsu kerana nafsu itu adalah sesuatu yang fitrah. Namun, apabila nafsu menjadi matlamat bukan alat, manusia akan dikuasai oleh nafsu tanpa batasan nilai baik-buruk. Akhirnya nafsu merosakkan manusia .
Berfikir Qurani boleh memandu dan membimbing remaja bagaimana kehidupan harus diolah berasaskan pertunjuk Allah untuk kesejahteraan manusia
- PROF. DR. SIDEK BABA ialah pensyarah di Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM), Gombak.
UM/170806
Posted by Jamiah Hj. Manap at 9:55 PM 0 comments
Labels: Koleksi Artikel dari Akhbar
Berfikir Menjana Ilmu
Oleh DR. SIDEK BABA
BERFIKIR ialah suatu aktiviti akliah dan rohaniah yang berlaku pada seseorang akibat adanya kecenderungan mengetahui dan mengalami. Ia disusun dengan teratur supaya lahirnya makna, fakta dan kefahaman.
Akal manusia berfungsi untuk mengingat, berfikir dan menaakul. Daripadanya kegiatan berfikir berlaku.
Manusia diberi daya kognitif yang membolehkannya berfikir. Manusia juga diberi daya efektif yang membolehkan emosi, perasaan dan kerja hati berhubung dengan daya kognitif. Daripadanya lahir pemikiran. Pemikiran yang berkembang boleh memberi asas kepada lahirnya ilmu.
Pada diri manusia terdapat sumber ilmu. Persekitaran yang ada pada diri manusia terkandung ilmu. Pohon-pohon yang subur, haiwan pelbagai jenis, sumber-sumber hasil bumi yang banyak terkandung ilmu. Peristiwa yang berlaku, perubahan yang terjadi, rahmah dan nikmat yang banyak terkandung ilmu. Allah jadikan semuanya adalah untuk manfaat manusia. Ia mendorong manusia berfikir kerana daripada aktiviti berfikir manusia akan dapat manfaat ilmu.
Ilmu menyebabkan manusia tahu dan menerima makna akan sesuatu. Akhirnya dengan ilmu manusia tahu nilai guna sesuatu dan hikmah daripada sesuatu kejadian.
Para remaja perlu menyuburkan naluri ingin tahu dengan cara berfikir. Berfikir harus dipandu oleh maklumat, fakta dan ilmu. Sejarah pemikiran bukanlah sesuatu yang baru. Sejak Nabi Adam, manusia pertama, proses berfikir sudah berlaku. Sebab itu Allah ajarkan Nabi Adam tentang nama-nama sesuatu supaya dengan mengetahui nama-nama tersebut menjadikannya serba tahu dan ia amat bermakna untuk memandu kehidupan.
Remaja tidak tiba-tiba dewasa dan matang dalam berfikir apalagi mempunyai nilai yang betul tentang sesuatu perkara. Proses bertatih dalam berfikir adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Naluri ingin tahu, ingin mencuba, ingin mengkaji harus tumbuh dalam hati remaja supaya sesuatu yang dilihat dan diperhati tidak hanya berlaku begitu saja tetapi menyebabkan aktiviti berfikir berlaku. Dengan membaca, menonton, berkomunikasi, melihat gelagat dan masalah manusia yang silih berganti, ia membolehkan remaja berfikir.
Aktiviti berfikir membolehkan remaja mendapat jawapan, melakukan analisis dan ia memberikan asas yang baik untuk remaja mencari jalan keluar, meneliti akar masalah dan akhirnya mampu menghasilkan sudut pandangan terhadap sesuatu.
Ibnu Nafis, Ibnu Sina, Al-Batani, Az-Zahrawi, Newton, Einstein, Kepler, Plato, Aristotle dan ramai lagi ahli ilmu, ahli falsafah dan ahli fikir memulakan aktiviti saintifiknya dengan berfikir. Genius ini memiliki kekuatan berfikir yang luar biasa. Bila melihat langit, bintang-bintang, cakerawala yang beredar, hujan yang turun, petir kilat sambar menyambar, sakit dan kematian, ia mendorong mereka berfikir. Hasil daripada pemikiran lahirlah tanggapan dan kesimpulan terhadap sesuatu. Daripadanya ilmu subur dan hidup lebih bermakna.
Dalam tradisi orang Barat sejak zaman Plato, Aristotle dan Socrates membawa ke zaman Galileo, Bruno sehinggalah ke zaman Descartes, Kant, Derrida dan Michel Foucou pada abad ini, manusia tidak pernah berhenti berfikir. Pemikiran mereka berkembang berasaskan pemerhatian, kajian, dapatan, renungan yang bersandar kepada akal dan pengalaman.
Faktor agama, kitab dan kenabian tidak dijadikan sandaran utama. Akhirnya hipotesis dan teori tentang sesuatu dibina atas asas rasional dan saintifik bukan berasaskan autoriti wahyu atau pun agama.
Wahyu
Dalam tradisi Islam akal itu adalah sesuatu yang penting. Berfikir menerusi pemerhatian dan uji kaji tidak pula ditolak. Tetapi akal itu dipandu oleh nilai dan ilmu yang jauh lebih tinggi daripada apa yang diketahui oleh manusia. Akal manusia dan pancaindera manusia tidak mampu mencapai segala-gala. Walaupun banyak kehebatan dicetuskan oleh akal namun keterbatasannya tidak menjadikan manusia memiliki kudrat dan kuasa terhadap alam dan kehidupan ini secara mutlak.
Tradisi Islam meletakkan sumbersumber wahyu sebagai hikmah dan pedoman untuk manusia berfikir. Sumber wahyu tidak saja menyatakan perkara-perkara yang nyata tetapi juga hal-hal yang ghaib. Yang ghaib tetap wujud walaupun sifatnya tidak maujud. Keyakinan manusia kepada benda yang nyata dan wujud semata-mata belum melengkapi sifat dan hakikat kejadian itu sendiri. Roh manusia adalah sesuatu yang wujud dan tidak maujud dalam bentuk benda.
Namun, manusia yang hidup boleh berkata-kata dalam melakukan pelbagai kegiatan dan ia adalah gambaran adanya roh pada tubuh badan manusia. Sekiranya roh telah tiada, sehebat mana pun akal manusia, hati manusia dan ketangkasan jasmani manusia, ia akan kaku dan mati. Roh ialah ciptaan Allah, bukannya manusia. Yang diketahui oleh manusia tentang roh amat sedikit.
Para remaja harus melihat bahawa berfikir adalah suatu fitrah. Fitrah ini mesti dipandu oleh ilmu dan nilai. Ilmu wahyu dan nilai agama menjadikan proses berfikir lebih bermakna. Proses berfikir menjadikan remaja lebih berilmu, menjadi tahu dan menerima makna akan sesuatu dengan merujuk kepada kebesaran dan keperkasaan Allah.
Apabila sandaran berfikir sifatnya kerana Allah, hikmah berfikir akan memberi rahmat kepada remaja. Remaja akan dilatih tidak saja berfikir secara zahir tetapi faktor batini akan sentiasa menjadi aspek penting dalam kehidupan. Bila remaja melihat dan mengkaji sesuatu dengan mata zahir, ia juga harus menghubungkan objek kajian dan pemerhatian dengan mata hati dan mata batin.
Sekiranya remaja berasa kagum dengan muzik popular Barat, pemikiran yang ada tidak saja untuk hiburan mengisi kehendak hawa nafsu semata-mata tetapi tuntutan batini dan hati yang berasaskan asas rohaniah yang tinggi mahukan hiburan yang tidak membawa kepada lagha dan melalaikan. Ia harus mampu mencetuskan minda dan hati dalam titik harmoni yang mendorong manusia mentertibkan hawa nafsu, menyuburkan nilai-nilai adab dan apresiasi dan menghasilkan keinsafan yang tinggi terhadap kekuasaan Allah s.w.t..
Ilmu inilah yang sebenarnya harus dijana oleh remaja hasil berlakunya proses fikir dan zikir yang membimbing remaja supaya dekat kepada Allah.
- PROF. DR. SIDEK BABA ialah pensyarah di Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM).
* Dipetik dari akhbar Utusan Malaysia 28 September 2006
Posted by Jamiah Hj. Manap at 7:55 PM 0 comments
Labels: Koleksi Artikel dari Akhbar
Saturday, August 11, 2007
Sejarah Ringkas IImu Mantiq
Oleh DR. SYED ALI TAWFIK AL--ATTAS dalam Utusan Malaysia
Setiap manusia diberi keupayaan berfikir yang berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani dan akali. Keupayaan berfikir ini mempunyai pelbagai bentuk bergantung kepada tahap-tahap pertumbuhan yang berlainan. Pemikiran seseorang dibentuk oleh persekitarannya dan ini dapat dilihat pada rupa bentuk dan kaedah tertentu. Dengan kesungguhan seseorang berupaya membina pemikirannya menjadi matang dan bernas sehingga mengatasi pemikiran terdahulu. Semua itu berlaku melalui pentaakulan dan penghujahan.
Bolehlah dikatakan bahawa kemunculan mantiq semula jadi, falsafah, dan pemikiran secara umumnya adalah bersekali dengan kewujudan manusia, yakni bermula dengan kelahirannya. Mantiq, yang ditakrifkan sebagai peraturan-peraturan berfikir yang betul, melalui kefahaman (inference) yang menghasilkan kesimpulan- kesimpulan yang benar dan sahih, menjadi panduan kepada manusia dalam soal berfikir dan gerak daya yang berkaitan dengannya.
Dalam ulasannya terhadap mantiq Timur, Ibn Sina mendapati bahawa ada kemungkinan besar mantiq berasal dari Timur, mendahului mantiq Aristotle. Beliau mengatakan:
“Ada kemungkinan bahawa kita juga mewarisi ilmu dari sumber-sumber lain dari Greek..., kita mengalu-alukan ilmu ini kerana ia diperoleh melalui kaedah-kaedah ilmiah. Orang-orang Greek menamakannya Logic. Tetapi ada kemungkinan bahawa orang-orang Timur menamakannya dengan nama lain.”
Secara jujur kaum Muslimin telah bekerja keras mendalami mantiq Aristotle dan menguasainya dengan cemerlang berbanding bidang-bidang lain. Semua ini mungkin disebabkan oleh hakikat bahawa karya mantiq beliau telah diterjemah berkali-kali.
Merujuk kepada karya-karya sejarawan, al-Hujayri percaya bahawa mantiq dan falsafah yang dikembangkan oleh Aristotle secara berhati-hati melalui kaedah penyusunan dan pengkategorian, pada hakikatnya telah diwarisi oleh orang-orang Parsi, yang kemudiannya menulisnya secara tersusun dan formal.
Kalau kita melihat kepada sejarah sains dan falsafah, kita dapati para filsuf Greek menekankan prinsip-prinsip mantiq sebelum kedatangan Aristotle dan menggunakan prinsip-prinsip mantiq sebelum kedatangan Aristotle lagi, dan menggunakan prinsip-prinsip mantiq dalam penyelesaian masalah. Sebagai contoh, Sarton menyatakan dalam History of Philosophy bahawa Zeno menyiapkan kerja-kerja Parmenides dari segi ruang lingkup, kaedah dan pembuktian. Beliau mengesahkan bahawa sekiranya seseorang mengambil kira perubahan dan sifat berubah alam ini sebagai suatu hakikat dia pasti akan menemui kesimpulan yang mantiqi. Mungkin disebabkan oleh pendekatannya yang tersusun dan teratur beliau mampu memandu orang-orang yang datang kemudian. Aristotle menamakannya pengasas mantiq dan hujah dialektikal.
Zeno adalah filsuf aliran pemikiran Aela. Beliau dilahirkan pada 486 SM. Beliau hidup selepas Parmenides, dua kurun sebelum Aristotle. Beliau meyakini dan mengajar bahawa mustahil dua hakikat yang saling bercanggah disatukan. Prinsip ini digunakan bagi membuktikan kesatuan alam. Beliau dianggap orang yang banyak berbicara tentang mantiq.
Segala bukti yang dikemukakan oleh Zeno digunakan bagi menyokong teori kesatuan alam dan bagi menolak kemungkinan pergerakan dan perubahan. Semua bukti-bukti ini disandarkan kepada undang-undang percanggahan.
Golongan sufasta‘iyyah pula berusaha mengkaji khitabah dan jadal. Minat mereka ini akhirnya membawa mereka mengajar nahu dan sintaks. Dengan berbuat demikian mereka mengesahkan Protagoras, sofist yang pertama sebagai pengasas ilmu nahu. Beliau mempunyai pengaruh besar ke atas para pelajarnya terutama dalam soal kepelbagaian dan bentuk-bentuk kata kerja. Pada masa sama dia adalah guru pertama mantiq amali (practical logic).
Aristotle adalah orang pertama memperkenalkan logic sebagai kaedah ilmiah yang tersendiri dan seterusnya menulis tentangnya pada kurun keempat sebelum Masihi. Dengan sebab itu dia dikenali sebagai pengasas mantiq dan guru pertama.
Pada kurun yang pertama Hijrah kaum Muslimin dikenali dengan suatu kaedah mantiq yang tersendiri. Ini sebelum mantiq Aristotle berkembang luas. Mantiq kaum Muslimin dapat dilihat dengan jelas dalam bidang teologi dan prinsip-prinsip perundangan Islam. Dalam kurun-kurun berikutnya kedua-dua bidang ini menjadi bidang keutamaan kaum Muslimin. Mereka mengenal pasti dan menyelesaikan permasalahan agama dengan pertolongan dua bidang ilmu ini, khususnya teologi. Mereka bergantung kepada mantiq bagi membuktikan hujah-hujah mereka, dan bagi memperolehi kesimpulan-kesimpulan yang sahih, tanpa perlu merujuk kepada mantiq Aristotle.
Bidang ilmu yang membicarakan dasar-dasar perundangan adalah hasil mantiq para fuqaha. Golongan Mutakallimun tidak menggunakan mantiq Aristotle hinggalah ke kurun ke-5 hijrah disebabkan kepercayaan yang tinggi terhadap kemampuan dan keyakinan yang tinggi terhadap kemampuan dan keyakinan yang diberikan oleh mantiq mereka sendiri pada ketika itu.
Ramai ilmuwan ulung telah menyumbang kepada bidang mantiq, antaranya al-Kindi, Abu Bishr Matta b. Yunus, al-Qarani, Yahya Ibn Adi al-Nasrani, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Bihminyar dan al-Lawkari. Walaupun Ibn Sina tidak menghuraikan sepenuhnya mantiq Aristotle dalam bukunya al-Shifa’, dan tidak menjelaskannya dengan sempurna, dia telah melakukannya dalam buku-buku yang lain, dan dia telah menyampaikannya dengan tepat.
Para filsuf Muslim pada umumnya menghabiskan banyak masa dan usaha bagi menjelaskan masalah-masalah berkaitan mantiq. Sesetengahnya, seperti al-Farabi, Ibn Sina dan Nasiruddin al-Tusi, adalah contoh-contoh yang cemerlang dalam soal ini. Setengah ilmuwan dan pemikir lain seperti Fakhr al-Din al-Razi, Abu al-Barakat al-Baghdadi, al-Qutb al-Razi dan Sadr al-Din al-Shirazi turut memberi sumbangan besar terhadap bidang ini.
Abu Nasr al-Farabi telah menulis suatu kajian yang luas dan lengkap tentang mantiq, walaupun pada hakikatnya beliau hanyalah menulis suatu ringkasan dalam pembicaraannya tentang Organon karya Aristotle. Dia percaya, dengan menggalakkan mantiq seseorang boleh memperbaiki kaedah yang digunakan; jika digunakan dengan betul, seseorang akan dipandu oleh akal ke jalan yang benar dan terpelihara dari kesilapan.
Dia juga percaya bahawa kaitan mantiq dan akan seumpama kaitan nahu dan bahasa, atau prinsip-prinsip ‘arud dengan syair. Beliau menekankan aspek-aspek amali mantiq, dan meletakkan akal di bawah prinsip-prinsip mantiq.
Al-Farabi berhujah bahawa penggunaan khitabah dan jadal, ataupun kejuruteraan dan arithmetik, tidak berupaya menggantikan peranan mantiq kerana mantiq bukanlah ibarat suatu perhiasan yang tidak bermakna. Sebaliknya kecenderungan semula jadi manusia menyebabkannya mustahil ditukar ganti.
Isi kandungan dan unsur-unsur mantiq adalah berkenaan dengan perkara-perkara yang mengkaji prinsip-prinsip yang sahih dalam gerak daya berfikir. Karya yang dipersembahkan oleh al-Farabi dalam bidang syair mempunyai dua aspek. Yang pertama menyentuh keupayaan beliau memahami secara menyeluruh dan tepat mantiq Aristotle yang sudah tersebar ke dunia Arab; yang kedua menyentuh kemampuannya mengasaskan lima seni, yakni lima bentuk hujah.
Pada kurun-kurun ke-5 dan ke-6 Hijrah, Ibn Sina berjaya menjelaskan mantiq Aristotle, meringkas dan mengkajinya, dan menghabiskan masa yang banyak dalam usaha memahaminya. Dalam pendahuluan bukunya beliau ada menyebut tentang mantiq Timur, dan mendakwa ia selaras dengan mantiq aliran Mashsha‘i. Beliau mengajarkan falsafah gaya baru yang cenderung ke arah aliran Aristotle dan Mashsha‘i, menggabungkan kedua- duanya dengan pendekatan kaedah berdasarkan falsafah Neo-Platonik.
Antara karya-karya terpenting sumbangan Ibn Sina ialah Kitab al-Najat yang kemudiannya diterjemah ke bahasa Parsi dengan judul Danishnamah Ala‘i. Ibn Sina menulis buku berkenaan bagi memujuk Sultan Dinasti Kakwayh, dan mempersembahkannya kepada baginda sebagai hadiah.
Sumbangan lain beliau tentang mantiq boleh dilihat dalam al-Nukat wa al-Fawa‘id. Risalah ini tidak diketahui umum sebagai karyanya. Walau bagaimanapun terdapat satu salinan karya ini, di Istanbul. Secara ringkasnya ia merupakan suatu risalah tentang mantiq, fizik dan metafizik. Persoalan-persoalan yang dibincangkan itu juga boleh dijumpai di dalam kitab al-Najat dan juga al-Isharat yang juga merupakan karangan beliau.
Di dalam kitab al-Shifa’, yang dianggap salah satu karya teragung dalam bidang falsafah, Ibn Sina telah menulis suatu bab khusus tentang mantiq. Tajuk bab itu ialah al-Burhandan ia telah diterbitkan secara berasingan di Kaherah pada tahun 1954 oleh Abdul Rahman Badawi.
Nasruddin al-Tusi juga dianggap ilmuwan besar ilmu mantiq, lebih daripada keahlian beliau dalam perundangan Islam, sains, teologi, falsafah, matematik dan astrologi.
Nasruddin al-Tusi menyatakan bahawa mantiq itu adalah merupakan suatu ilmu dan suatu alat. Tujuannya sama dengan sains yang menyelidiki makna-makna dan sifat. Ia juga seperti suatu alat disebabkan sifatnya seumpama kunci kepada tanggapan dan kefahaman terhadap ilmu-ilmu yang lain. Beliau percaya bahawa ilmu mantiq mampu menghalang akal fikiran daripada terjerumus ke dalam kesilapan dan kekeliruan.
Al-Tusi membahagikan semua ilmu kepada faham (konsep) dan hukum. Beliau berhujah bahawa kefahaman terhadap sesuatu faham itu boleh dicapai melalui takrif, dan manakala hukum pula diketahui melalui kias (analogi). Beliau percaya bahawa takrif dan kias adalah merupakan alat-alat, dengan menggunakannya seseorang akan memperolehi ilmu.
Kias, berdasarkan kepada takrif yang diberikan oleh Ibn Sina berbeza daripada takrif Aristotle. Ibn Sina membahagikan silogisme kepada dua: Konjunktif dan ekseptif. Beliau menyempurnakan takrifan itu dengan menggunakan gaya bahasanya yang tersendiri.
Taqiyyuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim, juga dikenali sebagai Ibn Taymiyyah, dilahirkan di Harran pada tahun 661 Hijrah. Dalam bukunya, al-Raddu ala al-Matiqiyyin, beliau merujuk kepada suatu buku yang bertajuk al-Ara’ wa al-Diyanah yang ditulis oleh al-Hassan bin Musa al-Nawbakhti yang mendedahkan dan menjelaskan kesilapan-kesilapan Aristotle dan falsafahnya. Ada permulaan bukunya Ibn Taimiyyah membicarakan tentang istilah ilmu mantiq. Seperti al-Hadd, al-Qawl al- Sharih dan istilah-istilah lain. Beliau juga membicarakan tentang silogisme, yang dibahagikan kepada pembuktian, jadal, khitabah, syair dan safsatah. Di hujung perbahasan tentang silogisme beliau memberikan penjelasan yang begitu cemerlang tentang kias dan induksi.
Selepas Ibn Taymiyyah seorang lagi ilmuwan muslim yang terkenal telah muncul, Abdul Rahman bin Muhammad Khaldun al-Maghribi, atau lebih dikenali sebagai Ibn Khaldun. Beliau amat kritikal terhadap mantiq Aristotle dan merupakan seorang tokoh ilmu kemasyarakatan dalam dunia Islam.
Ibn Khaldun membicarakan tentang mantiq dalam beberapa bab bukunya al-Muqaddimah. Beliau melihat persoalan ini dari sudut sejarah dan menjelaskan bagaimana ia muncul dan disebarkan ke seluruh dunia Islam. Beliau mentakrifkan intipati ilmu logik secara tepat dan kemudiannya menjelaskan asas-asasnya dan perbezaan-perbezaan yang berkenaan. Beliau dengan keras mengkritik mantiq Aristotle dan mempertahankan kritikannya itu dalam karya-karya beliau.
Kemunculan Sadr al-Din al-Shirazi pada kurun ke-10 dan ke-11 menandakan kemuncak pencapaian akliah dalam tamadun Islam. Tatkala kelihatan tanda-tanda kejumudan dan keruntuhan, zaman ini membuka jalan kepada kaedah baru dalam ilmu-ilmu akal yang menggabungkan falsafah Greek, falsafah Mashsha‘i, falsafah Iluminasi dan ajaran-ajaran Islam.
Dalam muqaddimah bukunya al-Asfar, beliau membahagikan ilmu kepada dua: ilmu teori yang terdiri daripada mantiq, matematik, fizik dan metafizik; dan ilmu amali yang mengandungi akhlak pentadbiran (ekonomi) dan politik bernegara.
- DR. SYED ALI TAWFIK AL--ATTAS ialah Ketua Pengarah Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM).
Posted by Jamiah Hj. Manap at 5:46 PM 0 comments
Labels: Koleksi Artikel dari Akhbar
Wednesday, March 28, 2007
Melayu Dan Islam
Md. Asham bin Ahmad Fellow IKIM /12/2006 Artikel Bahasa Malaysia
Bangsa Arab sebelum kedatangan Islam dikenali sebagai Arab Jahiliyyah. Kedatangan Islam menandakan kelahiran zaman baru dan semangat baru yang telah merubah segala-galanya. Kalau kita ibaratkan zaman sebelum Islam sebagai zaman kegelapan akibat dari kejahilan, maka zaman Islam adalah zaman kecerahan, yang terhasil dari cahaya petunjuk Islam. Demikianlah halnya apabila kita berbicara tentang bangsa Melayu sebelum dan setelah kedatangan Islam. Melayu sebelum Islam adalah Melayu Jahiliyyah, yakni Melayu yang belum terbuka akal-budinya kepada petunjuk Islam dan kehidupan bertamaddun. Bahkan konsep Melayu dan bahasa Melayu itu sendiri tidak wujud sebelum Islam.
Kedatangan Islam, menurut Professor Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas (Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1972), menandakan permulaan suatu zaman baru dalam perabadan sejarah Melayu. Beliau mengibaratkan kedatangan Islam ke alam Melayu sebagai ayam jantan yang berkokok mengejutkan bangsa Melayu dari tidur, dan menyedarkan mereka kegelapan malam sudah berakhir; kini hari sudah siang, masa untuk bekerja dan memulakan kehidupan.
Dalam konteks sejarah bangsa Melayu, Islam adalah titik-tolak kepada perubahan yang amat bermakna terhadap pemikiran, bahasa, dan cara hidup mereka secara keseluruhannya. Islam telah membawa revolusi kebudayaan, yang kelihatan jelas pada hasil-hasil penulisan ilmiah yang bersifat polemika, syarahan, terjemahan, dan lain-lain yang muncul pada abad-abad ke-15 hingga ke-17. Dengan acuan Islam, jelas al-Attas, telah terbentuk dalam jiwa Melayu semangat rasionalisme, individualisme dan internasionalisme.
Demikianlah umat Islam, tidak kira apa bangsa dan keturunan, melihat sejarah dan masa lalu dan menginsafi kaitannya dengan nasib mereka masa kini. Mereka mentafsirkan perubahan bersejarah sebagai sesuatu yang bermakna yang melanda akal dan budi bangsa mereka. Memang bukan semua perubahan itu menyebelahi kepada kebaikan, ada perubahan yang menyebelahi kepada keburukan. Perubahan yang buruk adalah yang membawa kepada kemerosotan atau kemunduran, dan perubahan yang baik adalah yang membawa kepada kebenaran dan kemajuan. Perubahan yang sebenar, yang dikehendaki, adalah yang kedua.
Soalnya: apakah kayu ukur kemerosotan dan kemajuan sesuatu bangsa? Yang mana satu dari berbagai kayu ukur yang ada sepatutnya digunakan bagi mengukur maju-mundur sesuatu bangsa? Kalau kita merujuk kepada pandangan Prof. al-Attas di atas tentulah Islam dan pandangan hidup yang dipancarkannya yang sepatutnya menjadi kayu ukur kita. Maksudnya, dengan kayu ukur Islam kita membandingkan apakah nasib Melayu pada hari ini lebih baik atau lebih buruk dari apa yang terbaik pernah dicapainya sebelum ini dalam sejarahnya. Dengan kayu ukur Islam perbandingan itu tidak terhenti pada sejarah dan pengalaman bangsa Melayu tetapi merangkumi sejarah dan pengalaman bangsa-bangsa Islam yang lain kerana mereka adalah rumpun-rumpun kepada Umat Islam secara keseluruhannya; melalui Islam kebudayaan Melayu dihubungkan dengan kebudayaan dunia, Timur dan Barat.
Bagi golongan yang menafikan sama sekali wujudnya kayu ukur yang boleh menilai secara objektif maju-mundur nasib sesuatu bangsa dalam melalui perjalanan sejarahnya sejarah hanyalah sekumpulan fakta-fakta kejadian yang tidak saling berkait antara satu sama lain. Sejarah, bagi mereka, tidak mengajar apa-apa yang berguna bagi merancang tindakan masa hadapan. Tanggapan ini terlalu jelas kedangkalannya dan tidaklah perlu dipedulikan. Bagi yang percaya terhadap kepentingan dan kegunaan sejarah pula timbul masalah objektiviti tafsiran. Sebarang usaha untuk mentafsirkan peristiwa-peristiwa sejarah bagi mengambil pengajaran dan manfaat darinya, tidak boleh tidak, mesti melibatkan usaha mengaitkan suatu fakta dengan fakta yang lain dalam kerangka sebab-akibat. Siapa yang akan memberi kata putus tafsiran siapa yang tepat? Persoalan ini ada asasnya, dan kalau tidak ditangani dengan bijaksana, hanya akan mengiakan lagi pandangan yang menafikan ataupun meragui kepentingan dan kegunaan sejarah.
Kalau sekiranya tulang temulang yang bercantum pada sendi-sendi yang membentuk kerangka memberi rupa pada jasad manusia, 'kerangka pemikiran' pula memberi rupa kepada akal dan mencirikan tabiatnya. Si pentafsir sejarah, dalam tafsirannya terhadap peristiwa-peristiwa yang berlaku, tidak boleh mengelak dari menjelmakan 'rupa' akalnya. Yang kita maksudkan dengan 'rupa akal' ialah pandangannya terhadap hakikat kewujudan ini, yang merujuk kepada apa yang diakuinya sebagai benar (hakikat) perihal diri insan, tugas dan tanggungjawabnya dalam dunia ini, dan kesudahan untung nasibnya. Dalam kata lain, apakah pandangan hidup (worldview) yang dipegang oleh si pentafsir itu.
Dalam menilai peranan Islam dalam sejarah dan kebudayaan bangsa Melayu kita boleh melihat dua kecenderungan yang merugikan. Pada satu pihak ialah golongan berfikiran sekular, yang masih terbelenggu pada gelang perhambaan kesarjanaan kolonial. Mereka cenderung meremehkan dan memperkecilkan peranan dan pengaruh Islam dalam sejarah dan kebudayaan Melayu. Pada satu pihak lagi ialah golongan modernis dan pembaharu agama (reformis) yang salah asuhan.
Walaupun tidak menafikan peranan dan pengaruh Islam, tetapi Islam yang difahami dan diamalkan oleh orang Melayu itu, pada pandangan mereka, bukanlah Islam yang tulen, tetapi yang telah tercemar oleh noda-noda pengaruh asing.Golongan pertama adalah penyanjung kebudayaan Barat, yang pada mereka adalah pembawa perubahan yang sebenar terhadap jiwa dan raga Melayu. Golongan kedua, walaupun riuh mendakwa mendokong cita-cita perjuangan Islam yang tulen, tidak memiliki kelayakan yang sewajarnya untuk memimpin umat Islam mengharungi cabaran semasa. Mereka adalah penganut faham-faham pembaharuan yang telah memutuskan diri dari tradisi keilmuan Islam yang dianggap tidak secocok dengan apa yang mereka cita-citakan. Kedua-dua golongan ini bukan sahaja keliru tetapi juga bertanggungjawab menyebarkan kekeliruan ke dalam pemikiran masyarakat.
Apabila Islam dinafikan atau diperkecilkan peranannya bangsa Melayu teraba-raba mencari identitinya: patutkah dia kembali ke alam pemikiran purbakala sebelum Islam bagi mencari pedoman hidup? wajarkah dia terima sahaja apa-apa yang disogokkan oleh bangsa-bangsa Eropah? Tambah mengelirukan apabila agama Islam yang selama ini dianuti didakwa mengandungi unsur-unsur asing yang menyeleweng, yang menjadi punca kemunduran umat Islam hari ini. Mampukah agama Islam terus menjadi pedoman hidup? Atau patutkah ia dipinda dan diubahsuai sejajar dengan kehendak-kehendak semasa?
Semua ini berlaku kerana kita telah menerima tafsiran yang palsu terhadap hakikat agama Islam dan peranannya dalam membentuk identiti bangsa Melayu. Walau apa sekalipun, setelah hampir 50 tahun merdeka, kita tidak lagi boleh menuding jari kepada orang lain terhadap nasib malang yang menimpa. Kita harus sedar bahawa akibat kehampaan ilmu pengetahuan tentang agama Islam, pandangan hidup yang dipancarkannya, dan peranannya dalam sejarah dan kebudayaan sendiri, bangsa Melayu kini menderita penyakit 'krisis identiti'. Dengan melupakan sejarah mereka tiada mempunyai matlamat tertentu bagi panduan hidup nusa dan bangsa pada masa hadapan.
Hari ini cabaran yang dihadapi oleh bangsa Melayu di negara ini amatlah getir. Sebagai golongan majoriti mereka mesti bijak menangani soal kepelbagaian agama dan budaya, yang berkemungkinan untuk digunapakai sewenangnya oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu. Peristiwa 9/11 menyebabkan sebahagian umat Islam bersikap apologetik apabila berbicara tentang Islam, dan keadaan ini dilihat oleh sesetengah pihak sebagai kesempatan yang baik untuk mempersoalkan kedudukan Islam dalam negara ini. Melayu yang menafikan terus, atau sekurang-kurangnya tidak pasti apakah kaitan Islam dengan akal-budinya tentunya tidak boleh diharapkan untuk mempertahan dan memperjuangkan Islam. Kepada mereka kita ingatkan: tanpa Islam Melayu hilang di dunia!
Rujukan
Md Asham Ahmad, 2006. Melayu dan Islam. 28 Mac 2007.
http://ikim.gov.my/v5/index.php?lg=1&opt=com_article&grp=2&sec=&key=1151&cmd=resetall
Posted by Jamiah Hj. Manap at 9:02 PM 0 comments
Labels: Koleksi Artikel dari Akhbar
Wednesday, February 21, 2007
Membina Generasi Pewaris
Membina Generasi Pewaris Yang Bertaraf Tinggi
Oleh Abu Bakar bin Yang, Fellow IKIM
Di saat kita mengharungi pergelutan zaman yang semakin pantas berubah dan juga semakin menjurus ke arah kehidupan kebendaan yang begitu dahshat, kita tidak seharusnya lalai dalam memberikan asuhan dan bimbingan yang sewajarnya kepada generasi muda masa kini. Menyedia dan mencorakkan daya fikir serta mengasuh mereka dengan kefahaman Islam yang betul adalah satu keperluan yang mesti dilakukan kerana ianya ternyata dapat memberikan kesan mendalam kepada golongan ini. Hal ini berdasarkan kepada keupayaan golongan muda untuk mencerap dengan mudah apa sahaja bentuk pendidikan yang diberikan sama ada yang baik ataupun yang sebaliknya.
Oleh itu bentuk pendidikan yang bakal dimasukkan ke dalam akal fikiran golongan ini perlulah sesuatu yang berupaya untuk membentuk pemikiran mereka yang sihat dan pada masa yang sama berupaya pula menyediakan mereka sebagai pelapis yang akan mewarisi bumi Malaysia ini. Usaha ini juga pastinya menjadi matlamat untuk mewujudkan satu generasi yang cintakan ilmu yang seterusnya melahirkan golongan pemikir dan juga pewaris kepimpinan yang bertaraf tinggi. Cita-cita yang sebegini pastinya suatu yang sukar untuk dicapai terutamanya dalam suasana kehidupan masa kini yang begitu mencabar, namun ianya bukanlah suatu yang mustahil.
Sebenarnya hasrat untuk memiliki dan melahirkan generasi yang hebat bukanlah perkara baru, malah ianya juga pernah disuarakan oleh Sayyidina Umar al Khattab suatu ketika dahulu. Pernah suatu ketika bersama-sama dengan para sahabat yang lain Umar bertanya kepada para sahabatnya apakah yang diinginkan oleh mereka. Lalu antara mereka ada yang bercita-cita untuk memiliki sejumlah harta yang banyak, dan dengan harta itu dapat mereka sedekah dan belanjakan pada jalan Allah. Namun keinginan Umar jauh berbeza daripada para sahabatnya, apabila beliau mengatakan "Aku inginkan sekumpulan manusia yang hebat seperti Abu Ubaydah al Jarrah, Muaz ibn. Jabal dan Salim Maula Abi Hudhaifah untuk membantu aku mendaulatkan agama Allah."
Ternyata apa yang diungkapkan oleh Umar ini merupakan satu pengertian yang besar tentang peri pentingnya membina satu generasi yang bertaraf mulia untuk memikul dan melaksanakan impian dan cita-cita umat Islam. Lembaran sejarah juga telah memperlihatkan kepada kita bagaimana baginda Rasulullah s.a.w. sendiri dalam rangka usahanya menjayakan risalah Islam telah melaksanakan usaha pembinaan satu kelompok manusia yang menjadi teras utama sebagai benteng dan tulang belakang pembentukan umat yang baru. Kelompok manusia inilah yang dinamakan oleh Syed Qutb sebagai ‘generasi al Quran yang unik', iaitu kelompok teras yang mulia dan yang telah menjayakan segala bentuk perancangan yang dibuat oleh baginda Rasulullah s.a.w.
Golongan teras yang bertaraf mulia ini telah melalui pendidikan dan penghayatan nilai-nilai dinamik al Quran yang ditampil dan diterjemahkan dalam setiap ciri kehidupan Rasullullah s.a.w. sebagai pendidik serta pembimbing kepada generasi al Quran yang unik ini. Sebagai pemimpin dan juga pendidik kepada pengikutnya, Rasulullah s.a.w. berupaya mengenali setiap potensi yang ada pada setiap diri pengikutnya, dan potensi ini digilap dan diasuh secukupnya oleh Baginda sehingga dari generasi inilah lahirnya peribadi-peribadi agung yang masih sesuai untuk diteladani hingga ke hari ini.
Di bawah pimpinan Rasulullah s.a.w. semua orang mendapat peluang untuk menampil dan mengembangkan potensi masing-masing, termasuk mereka yang pernah memusuhi Baginda sebelum memeluk Islam seperti Khalid al Walid dan Umar al Khattab sendiri. Tidak ada di kalangan umat Islam yang dianaktirikan atau amalan diskriminasi dipraktikkan, malah setiap pengikut Rasulullah s.a.w. dianggap sebagai ‘aset' yang sangat bernilai.
Suasana kepimpinan Rasulullah s.a.w. juga memperlihatkan kepentingan amalan budaya baik yang menyeluruh dan meluas di dalam masyarakat Islam ketika itu kerana taraf kebaikan tidak mengenal rupa paras, warna kulit, bangsa, umur atau keturunan. Dalam suasana demikianlah lahirnya pemuda Usamah bin Zayd yang diberi kesempatan untuk memimpin ketumbukan tentera Islam ketika usianya masih belasan tahun. Di bawah kepimpinan baginda jugalah buah pemikiran Salman al Farisi diberi ruang ketika keputusan diambil untuk membina benteng di sekeliling Kota Madinah ketika Perang Khandak, sedangkan Salman bukanlah anak watan tanah Arab melainkan beliau merupakan anak kelahiran bumi Parsi. Begitu juga kehebatan taraf iman yang dipamerkan oleh Bilal ibn. Rabah, seorang manusia berkulit hitam yang asalnya seorang hamba abdi, tetapi diangkat darjatnya sebagai sahabat kanan baginda Rasulullah s.a.w. yang dijamin syurga kerana ketinggian taraf keimanan yang dimilikinya.
Begitulah juga hasrat dan cita-cita kita hari ini untuk melihat lahirnya golongan muda Islam yang bertaraf mulia tampil ke hadapan dan memimpin masyarakat masa kini. Di Malaysia, jumlah penduduk yang boleh disenaraikan sebagai golongan muda membentuk lebih 40 peratus daripada penduduk negara. Ini merupakan satu jumlah yang besar. Sekiranya separuh daripada jumlah ini dapat berperanan sebagai golongan yang bertaraf baik, itu sudah memadai untuk Malaysia menjadi sebuah negara yang cukup kuat di persada antarabangsa. Namun dengan jumlah yang ramai tetapi tanpa taraf kemuliaan yang diharapkan tidak akan membawa kita ke mana-mana. Bahkan kita telah diingatkan oleh Allah SWT bahawa yang baik dan mulia itu tidak sama dengan yang buruk walaupun yang buruk itu kelihatan banyak, sebagaimana firmanNya dalam surah al Maidah, ayat 100.
Justeru, pembinaan golongan muda yang bertaraf tinggi yang akan mewarisi tanah air ini sewajarnya diberi perhatian utama dalam agenda pembangunan negara. Pembangunan modal insan sepertimana yang diwar-warkan kebelakangan ini oleh pemerintah mestilah diberikan perhatian yang wajar dan kesungguhan yang tinggi. Tanpa kesungguhan yang jitu maka tidak mungkin keinginan kita untuk melihat golongan pewaris yang kuat dan berkemampuan lahir untuk menghadapi cabaran hari depan. Kejayaan membina masa depan yang cemerlang, gemilang dan terbilang lebih banyak bergantung kepada keupayaan generasi masa kini membina kecemerlangan generasi pewaris tersebut.
Perit getir kehidupan masa kini telah memperlihatkan kepada kita bahawa masyarakat akan datang lebih merupakan masyarakat yang penuh dengan persaingan. Bahkan sekarang ini pun kita sudah merasakan bahang persaingan yang cukup hebat dan betapa cemasnya kita menyaksikan generasi anak-anak kita berhempas pulas menghadapi persaingan di pelbagai bidang. Keadaan ini memperlihatkan sekali lagi kepada kita bahawa hanya mereka yang bertaraf tinggi sahaja yang mampu mengungguli persaingan ini.
Maka dengan itu, langkah-langkah dan usaha pembinaan generasi pewaris ini perlulah diberi perhatian dengan lebih gigih lagi terutamanya melengkapkan mereka dengan ilmu-ilmu yang betul dan sesuai dengan perkembangan zaman. Kewujudan generasi ilmuan yang mulia dengan kekuatan daya saing yang tinggi sudah pasti akan menghasilkan kesan yang baik dalam pembentukan generasi pewaris. Iaitu generasi pewaris keilmuan yang terlatih dan terdedah kepada unsur-unsur pembinaan diri yang terarah dan turut menghayati serta memiliki jiwa Islam yang kental.
Justeru, pembinaan generasi pewaris yang bertaraf mulia yang kita idamkan sangat bergantung kepada arah tuju, semangat dan kegigihan yang kita lakukan sekarang. Mana mungkin kita dapat melahirkan generasi pewaris yang kuat dan bertaraf mulia sekiranya kita sendiri mengabaikan tanggungjawab untuk membina generasi yang cerdas akal fikirannya, murni jiwanya dan lebih-lebih lagi yang beriman dan beramal serta berilmu dan berakhlak mulia.
Rujukan
Abu Bakar Yang, 2007. Membina generasi pewaris bertaraf tinggi. 22 Febuari 2007.
http://www.ikim.gov.my/v5/index.php?lg=2&opt=com_article&grp=2&sec=&key=1192&cmd=resetall
Posted by Jamiah Hj. Manap at 8:30 PM 0 comments
Labels: Koleksi Artikel dari Akhbar
Saturday, February 03, 2007
Beliawanis Islam Malaysia:Profil Religiositi, Personaliti dan Lencongan Tingkah Laku
Artikel ini merupakkan sebahagian daripada Prosiding Seminar Psikologi Serantau. Rujukan dalam artikel ini kurang mantap kerana kebanyakkannya bersumberkan internet. Bagaimanapun, artikel ini tetap dipaparkan untuk dikongsi bersama. Sebarang cadangan untuk memperbaiki artikel ini amat dialu-alukan. Pembentangan artikel ini boleh dicapai di sini.
Beliawanis Islam Malaysia:
Profil Religiositi, Personaliti dan Lencongan Tingkah Laku
Jamiah Manap, Azimi Hamzah, Sidek Mohd. Noah & Hasnan Kasan
Universiti Kebangsaan Malaysia
Universiti Putra Malaysia
ABSTRAK
Kajian tentang beliawanis muslim di Malaysia adalah terhad khususnya berkaitan dengan religiositi dan personaliti. Sehubungan itu, data telah diperolehi daripada 905 orang responden yang terdiri daripada beliawanis muslim berusia di antara 15 hingga 35 tahun yang merangkumi enam kumpulan (mahasiswi IPTA, ahli persatuan belia, ahli parti politik, pelatih pusat serenti, belia umum dan pekerja kilang). Kajian mendapati tasawur Islam dan personaliti muslim beliawanis berada di tahap sederhana. Lencongan tingkah laku pula berada pada tahap rendah. Kajian turut mendapati wujudnya hubungan signifikan di antara keempat-empat elemen yang dikaji iaitu tasawur Islam, personaliti muslim, perlaksanaan solat dan lencongan tingkah laku.
Kata Kunci: Beliawanis, personaliti muslim, tasawur Islam, solat dan lencongan tingkah laku.
ABSTRACT
There is currently a dearth of research on female Muslim youth in Malaysia pertaining to religiosity and personality. Therefore, data were collected from 905 female Muslim youth aged between 16 and 35 years from six categories (IPTA students, youth organization members, political party members, pusat serenti attendees, youth ‘at-large’, and young factory workers). The findings indicated that their knowledge and perception of tasawwur (Islamic worldview) and personality (religious behaviors) are moderate while their level of engagement in at-risk behaviors is low. The research also found significant relationships between four variables – tasawwur (Islamic Worldview), Muslim religious personality, solat (ritual prayer) and at-risk behaviors.
LATAR BELAKANG KAJIAN
Latarbelakang Religiositi Muslim
Islam menawarkan penyelesaian terbaik kepada segala permasalahan dunia moden hari ni kerana agama Islam bersifat stabil dan dinamik (Khurshid Ahmad, 2003). Keperibadian dan cara hidup Islam merupakan metodologi terbaik untuk mencegah gejala keruntuhan akhlak sebagaimana firman Allah dalam Surah Ankabut ayat 58 yang bermaksud: “Bahawa solat yang sempurna itu dapat mencegah manusia daripada melakukan perbuatan keji dan mungkar”. Selain solat, ibadat-ibadat lain yang difardukan di dalam Islam adalah latihan berterusan bagi membentuk akhlak mulia (Muhammad Al-Ghazali, 2002).
Kedatangan Islam telah merubah keperibadian masyarakat jahiliah Arab yang terkenal ganas, tamak, sombong dan kejam menjadi bangsa pengasih, penyayang, pemaaf, jujur, berilmu dan terdidik (Muhammad Abdul Hadi, 2003a). Di samping itu, keimanan yang jitu telah melahirkan pentadbir yang cekap, usahawan yang berjaya, pemikir yang berwibawa, seniman yang disegani, tenaga kerja yang profesional dan pemimpin yang berkredibiliti (Muhammad Abdul Hadi Abu Reidah, 2003a). Iman dan ilmu turut digunakan oleh ahli psikiatri Islam untuk merawat roh melalui kawalan minda sehingga dapat mengawal keinginan (Muhammad Abdul Hadi, 2003a).
Falsafah hidup Islam adalah berasaskan falsafah tauhid iaitu mengesakan Allah (Nik Mustapha Nik Hasan, 1995). Setiap urusan individu muslim mesti selaras dengan nilai utama iaitu kekuasaan Allah melampaui batas kekuasaan makhluk dan ketinggian wahyu melampaui kebijaksanaan akal (Lukman Ab. Rahman, 1997). Oleh itu, keimanan adalah daya utama yang memandu kehidupan manusia kepada personaliti positif kerana individu yang beriman akan bertindak secara positif berasaskan ajaran Islam. Ini bersesuaian dengan model nukleitik yang dibangunkan oleh Tunku Sarah Tunku Mhd. Jiwa (1999), dalam Rajah 1. Model ini mengaitkan keimanan dengan pembentukan masyarakat bernilai mulia secara global. Pembentukan nilai ini bertunjangkan keteguhan iman kepada Allah . Keteguhan iman melahirkan manusia berakhlak yang akan berinteraksi dengan masyarakat dan alam sejagat. Justeru, model ini turut bersesuaian dengan pendapat Ahmad M. Raba (2001), yang menyatakan bahawa keruntuhan akhlak adalah berpunca daripada kelemahan iman.
Latar Belakang Beliawanis Muslim Malaysia
Malaysia memerlukan belia yang dinamik, berdaya saing dan efisyen untuk mencapai wawasan 2020 (Abdullah Ahmad Badawi, 2004). Belia merupakan 77 peratus daripada jumlah populasi negara (Azalina Othman, 2004). Dengan kata lain, belia Malaysia merupakan golongan yang berusia di antara 15 hingga 40 tahun adalah aset utama negara.
Pembentukan belia yang dinamik memerlukan penghayatan agama yang jitu. Agama membentuk nilai dan seterusnya menentukan tingkah laku manusia. Sehubungan itu, penghayatan agama belia perlu dikenal pasti untuk membantu belia mengenali kekuatan dan kelemahan diri mereka dari aspek keagamaan seterusnya memajukan diri ke arah kecemerlangan. Pemahaman terhadap profil para belia akan dapat digunakan untuk mendekati dan mengenal pasti situasi sebenar belia seterusnya merangka pelan tindakan yang efektif dan efisyen untuk memantapkan lagi jati diri dan keterampilan belia secara optimum.
Golongan belia terdiri daripada belia dan beliawanis. Kedua-dua golongan tersebut adalah berbeza dan unik. Bagaimanapun, kajian seringkali dibuat ke atas golongan belia secara umum. Oleh yang demikian, kajian ini difokuskan terhadap tasawur Islam, personaliti muslim, perlaksanaan solat lima waktu dan lencongan tingkah laku di kalangan beliawanis muslim di Malaysia.
Beliawanis muslim merupakan belia perempuan beragama Islam berusia di antara 15 hingga 40 tahun. Pada tahun 2000, populasi golongan beliawanis muslim di Malaysia dianggarkan sejumlah 2.3 juta orang (Jabatan Perangkaan Malaysia, 2000). Daripada bilangan tersebut, 98% telah atau sedang mengikuti pendidikan secara formal (Jabatan Perangkaan Malaysia, 2000).
Sumbangan beliawanis muslim terhadap negara tidak dapat dipertikaikan lagi. Beliawanis muslim merupakan tunggak utama kesejahteraan keluarga, masyarakat dan negara. Sebelum kurun ke 18, nama-nama srikandi daripada golongan bangsawan seperti Tun Fatimah, Puteri Hang Li Po dan Tun Teja diabadikan dalam sejarah kerajaan Melayu Melaka. Selepas merdeka, beliawanis dari golongan bangsawan dan kelas menengah berpeluang mendapat pendidikan tinggi. Justeru, lahirlah tokoh-tokoh wanita dalam bidang perubatan (Toh Puan Sri Datin Siti Hasmah Mohamad Ali), politik (Tan Sri Fatimah Hasyim), pendidikan (Puan Sri Profesor Dr. Fatimah Hamidon, bahasa (Profesor Dr. Nik Safiah Abdul Karim), arkib (Datuk Zakiah Hanum Abdul Majid) dan astrofizik (Profesor Datuk Dr. Mazlan Othman). Selepas zaman 70-an, peluang pendidikan yang lebih luas telah melahirkan beliawanis berpendidikan tinggi selari dengan perubahan stigma masyarakat terhadap peranan sebenar wanita. Kini, beliawanis muslim di Malaysia menguasai 65% tempat belajar di universiti serta memegang jawatan tinggi dalam sektor kerajaan dan swasta (Ungku Aziz, 2004).
Kemajuan beliawanis muslim perlu selari dengan kekuatan penghayatan nilai agama. Pembangunan nilai merupakan satu daripada teras utama Pelan Tindakan Pembangunan Pembangunan Belia Nasional untuk melahirkan belia yang cemerlang, gemilang dan terbilang (Kementerian Belia dan Sukan, 2004). Pada tahun 1922, kaum Melayu menghadapi masalah ketandusan ilmu, akhlak mulia, wawasan dan harta menurut Pendeta Za’ba (Najib Razak, 2004). Hari ini, negara kian maju namun budaya destruktif (miskin ilmu) masih berlaku manakala budaya negatif lain seperti penyalahgunaan dadah, bohsia dan keruntuhan moral semakin berleluasa (Abdullah Ahmad Badawi, 2004). Kenyataan ini disokong oleh M. Kamal Hasan, (2004) yang turut menyatakan kebimbangan beliau terhadap fenomena dekadensi moral dan etika yang berlaku.
Menyedari kepentingan agama terhadap pembentukan beliawanis cemerlang dan berakhlak mulia, adalah amat penting kajian ini dilaksanakan untuk mendalami tasawur Islam, personaliti muslim dan lencongan tingkah laku di kalangan beliawanis muslim di Malaysia dan seterusnya mengenal pasti perkaitan di antara semua elemen tersebut dalam pembentukan jati diri beliawanis. Secara keseluruhannya kajian yang dilaksanakan ini bersandar kepada empat objektif:
1. Mengenalpasti profil religiositi beliawanis muslim di Malaysia
2. Mengenalpasti profil personaliti muslim beliawanis Malaysia
3. Mengenalpasti profil tingkahlaku devien beliawanis Muslim Malaysia
4. Melihat perkaitan di antara religiositi, personaliti muslim, ibadah solat dan lencongan tingkah-laku
Skop dan Metode Kajian
Kajian ini berbentuk kuantitatif yang menggunakan pendekatan kajian deskriptif dan korelasi. Data telah dikumpulkan daripada 905 orang beliawanis daripada tiga kumpulan umur: kumpulan beliawanis awal (16-20 tahun), kumpulan beliawanis pertengahan (21-24 tahun) dan kumpulan beliawanis akhir (25-35 tahun). Beliawanis tersebut di pilih daripada enam kumpulan belia secara rawak. Kumpulan belia tersebut adalah mahasiswi Institut Pengajian Tinggi Awam (IPTA), ahli persatuan belia, pelatih pusat serenti, ahli parti politik, belia umum dan pekerja industri.
Tasawur Islam, personaliti muslim dan lencongan tingkah laku diukur menggunakan Inventori Religiositi dan Personaliti Muslim. Min dan peratusan digunakan untuk menjelaskan latar belakang responden. Korelasi Spearman digunakan untuk mengenal pasti hubungan di antara tasawur Islam, perlaksanaan ibadah solat, personaliti muslim dan lencongan tingkah laku.
DAPATAN KAJIAN
Demografi Responden
Jadual 1 menunjukkan latar belakang umur, pertempatan, etnik dan status perkahwinan responden. Majoriti responden berusia adalah golongan beliawanis pertengahan (44%). Statistik ini diikuti pula dengan beliawanis awal (35.2%) dan beliawanis akhir (21.3). Proposi pertempatan di antara beliawanis yang tinggal di bandar (42%) dan luar bandar (58%) pula hampir sama. Hampir kesemua responden masih belum berkahwin (85%). Ini berkait rapat dengan majoriti responden yang berusia dalam lingkungan 15 hingga 25 tahun.
JADUAL 1
Latar Belakang Umur, Pertempatan dan Status Perkahwinan
Jadual 2 pula menerangkan latar belakang pendidikan, kategori kumpulan dan pendapatan responden. Berasaskan statistik yang diperolehi, kesemua responden telah mendapat pendidikan secara formal sama ada para peringkat sekolah rendah (11.4%), sekolah menengah (8.6%), persijilan (50%) mahupun di peringkat pengajian tinggi (30%). Ini menunjukkan tiada masalah buta huruf dikalangan beliawanis muslim. Majoriti responden mempunyai kelulusan STPM, sijil akademik atau sijil kemahiran (50%) manakala 41.4% responden mempunyai ijazah dan diploma. Ini menunjukkan, tahap pendidikan beliawanis adalah tinggi kerana hamper kesemua 89% mempunyai pendidikan sekurang-kurangnya pada peringkat menengah.
Majoriti responden berpendapatan rendah iaitu kurang daripada RM 1000 (70%). Sejumlah 38.6 peratus berpendapatan antara RM1000 hingga RM 3000. Manakala, hanya 2% responden berpendapatan lebih daripada RM 3000.
JADUAL 2
Latar Belakang Pendidikan, Kategori dan Pendapatan
Profil Tasawur Islam
Jadual 3 menunjukkan skor tasawur Islam di kalangan responden. Berasaskan skor yang diperolehi, majoriti responden mempunyai pengetahuan tasawur Islam pada tahap sederhana (40.2%). Sejumlah 25% mempunyai pengetahuan tasawur Islam yang tinggi. Sebaliknya, sejumlah 34% mempunyai tahap pengetahuan yang rendah. Ini menunjukkan, hanya suku daripada responden mempunyai pengetahuan tasawur Islam yang sangat tepat.
JADUAL 3
Skor Tasawur Islam
Profil Tasawur Islam Mengikut Kategori Beliawanis
Nilai maksimum bagi z-skor tasawur Islam adalah 5.0. Purata keseluruhan tasawur Islam Tasawur Islam beliawanis adalah 3.0. Sehubungan itu, secara keseluruhannya adalah sederhana. Kajian mendapati, tiga kategori beliawanis memperolehi purata skor melebihi 3.0 iaitu mahasiswi IPTA (3.16), ahli persatuan belia (3.06) dan ahli parti politik (3.05). Sejumlah tiga kategori belia lagi memperolehi purata skor purata yang rendah atau kurang daripada 0 iaitu belia umum (2.83), pelatih pusat serenti (2.49) dan pekerja sektor industri (2.19). Sehubungan itu, ketiga-tiga kategori belia ini memerlukan perhatian yang lebih untuk membantu memantapkan lagi tasawur Islam mereka. (Sila rujuk Rajah 1).
RAJAH 1
Z-Skor Tasawur Islam Beliawanis Mengikut Kategori
Profil Personaliti Muslim
Jadual 4 menunjukkan skor personaliti Muslim di kalangan responden. Berasaskan skor yang diperolehi, majoriti skor personaliti muslim responden berada pada tahap sederhana (67.8). Sejumlah 19.3% memperolehi skor tinggi dan sederhana tinggi. Sebaliknya, sejumlah 13% memperolehi skor personaliti muslim yang rendah dan sederhana rendah.
JADUAL 4
Personaliti Muslim Beliawanis
Profil Personaliti Muslim Mengikut Kategori Beliawanis
Nilai maksimum bagi skor personaliti muslim adalah 5.0. Purata skor keseluruhan personality muslim beliawanis adalah 3.1. Oleh itu, personaliti muslim beliawanis secara keseluruhannya adalah sederhana. Kajian mendapati, semua kategori belia beliawanis memperolehi purata skor sama atau melebihi 3.0 kecuali pelatih pusat serenti 2.6. Sehubungan itu, pelatih pusat serenti memerlukan perhatian yang lebih untuk membantu memantapkan lagi personaliti muslim mereka. (Sila rujuk Rajah 2).
RAJAH 2
Skor Purata Personaliti Muslim Mengikut Kategori Beliawanis
Profil Perlaksanaan Solat Lima Waktu
Jadual 5 menunjukkan perlaksanaan ibadah solat lima waktu beliawanis secara keseluruhan. Berasaskan jadual tersebut, majoriti responden (61.5%) menunaikan tuntutan solat lima waktu. Manakala, sebahagian lagi (48.5%) lagi gagal memenuhi tuntutan rukun Islam kedua ini. Daripada jumlah tersebut, 4% jarang melakukan solat manakala 0.9% lagi tidak pernah melakukan ibadah tersebut. Situasi ini adalah membimbangkan kerana solat lima waktu merupakan tiang agama serta mencegah daripada perbuatan keji dan mungkar. Justeru, kegagalan sebahagian besar beliawanis muslim menunaikan solat menunjukkan keruntuhan agama dan daya kawalan mereka.
JADUAL 5
Perlaksanaan Solat Lima waktu
Rajah 3 menunjukkan purata kekerapan perlaksanaan ibadah solat mengikut kategori beliawanis. Kajian mendapati, kekerapan perlaksanaan ibadah solat bagi semua kategori adalah tinggi kecuali di kalangan belia umum (2.86) berbanding skor purata keseluruhan (4.41). Bagaimanapun, soalan ini tidak diberikan kepada beliawanis pusat serenti.
RAJAH 3
Perlaksanaan Ibadah Solat Beliawanis Mengikut Kategori
Profil Lencongan Tingkah Laku
Senario lencongan tingkah laku beliawanis dicatatkan dalam Jadual 6. Hampir separuh (44.9%) daripada responden kerap melepak. Sejumlah 6.7% terlibat dengan masalah rokok manakala 6.6% pula mengakui kerap bercumbuan di luar ikatan perkahwinan. Lebih daripada 4% responden masih mengambil dadah (5.2%) dan menonton video lucah (4.5%). Sejumlah 3% atau lebih responden meminum arak dan bersekedudukan (3.9%), membaca buku lucah (3.5%) dan berzina (3.0%). Peratusan lencongan tingkah laku terendah adalah perbuatan berjudi (2.2%) dan lesbian (1.3%).
JADUAL 6
Lencongan Tingkah Laku Beliawanis Malaysia
Rajah 4 menunjukkan min lencongan tingkah laku beliawanis muslim mengikut kategori. Kajian mendapati kesemua skor purata lencongan tingkah laku adalah kurang daripada -2.0 kecuali di kalangan pelatih pusat serenti (2.68) dan belia umum (0.20). Perbezaan lencongan tingkah laku ini amat ketara di antara dua kategori tersebut dengan kategori lain. Oleh itu, secara umumnya lencongan tingkah laku di kalangan beliawanis adalah rendah kecuali bagi dua kategori belia tersebut.
RAJAH 4
Lencongan Tingkah Laku Beliawanis Muslim Mengikut Kategori
Jadual 7 menunjukkan perlakuan dosa besar di kalangan beliawanis. Kajian mendapati, 6.5% daripada responden melakukan salah satu atau melebihi satu daripada enam kategori dosa besar yang disenaraikan. Dosa-dosa besar tersebut adalah berjudi, menghisap dadah, minum arak, berzina, bersekedudukan dan lesbian. Daripada peratusan tersebut, 1.5% melakukan satu daripada kategori tersebut manakala lima peratus lagi melakukan dua atau lebih daripada kategori dosa besar tersebut.
JADUAL 7
Beliawanis dan Perlakuan Dosa Besar
Hubungan Di Antara Tasawur Islam, Personaliti Muslim, Perlaksanaan Ibadah Solat
dan Lencongan Tingkah Laku
Jadual 8 menunjukkan hubungan di antara tasawur Islam, personaliti muslim, solat dan lencongan tingkah laku beliawanis. Kajian mendapati, tasawur Islam mempunyai hubungan yang positif tetapi rendah dengan tasawur Islam. Dapatan yang sama turut diperolehi dalam hubungan personaliti muslim dan solat. Kajian turut mendapati, lencongan tingkah laku mempunyai hubungan negatif dalam kadar rendah terhadap tasawur Islam, personaliti muslim dan kekerapan menunaikan solat. Walaupun korelasi yang dicatatkan adalah rendah, kajian ini membuktikan tasawur Islam yang mantap dan solat lima waktu dapat mencegah lencongan tingkah laku. Dapatan ini selaras dengan firman Allah dalam surah Al-Ankabut ayat 45 yang meletakkan ibadah solat sebagai pencegah daripada perbuatan dosa dan mungkar.
JADUAL 8
Korelasi Di Antara Tasawur Islam, Personaliti Muslim, Solat dan Lencongan Tingkah Laku
Perbincangan
Pengetahuan dan daya kawalan dalaman mempengaruhi bentuk pola tingkah laku. Dalam kajian ini, pengetahuan dicerminkan melalui tasawur Islam manakala tingkah laku pula dicerminkan melalui personaliti muslim, perlaksanaan solat lima waktu dan lencongan tingkah laku.
Rajah 5 menunjukkan hubungan di antara tasawur Islam dan personaliti muslim. Tasawur Islam membentuk nilai hidup. Solat lima waktu pula mengukuhkan nilai positif tersebut serta menjadi agen kawalan dalaman individu. Nilai dan kawalan dalaman tersebut kemudiannya membentuk personaliti muslim yang positif dan mencegah individu tersebut daripada melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma (lencongan tingkah laku). Sehubungan itu, pemantapan tasawur Islam dan perlaksanaan ibadah solat adalah modus operandi yang sesuai untuk melahirkan beliawanis muslim yang berakhlak mulia dan seterusnya berupaya memberikan sumbangan optimum kepada kesejahteraan masyarakat.
RAJAH 5
Hubungan Antara Tasawur dan Personaliti
Rajah 6 menunjukkan jangkaan hubungan di antara tasawur Islam dan perlaksanaan ibadah solat. Tasawur Islam yang tinggi dan perlaksanaan solat lima waktu membolehkan individu mempunyai personaliti muslim yang positif, daya kawalan yang tinggi dan seterusnya mempunyai risiko lencongan tingkah laku yang rendah. Golongan ini adalah individu sejahtera. Situasi sebaliknya menghasilkan individu yang dikategorikan sebagai sangat lemah. Individu yang menunaikan tuntutan ibadah solat dengan sempurna tetapi lemah tasawur mempunyai daya kawalan yang tinggi namun masih berisiko untuk melakukan lencongan tingkah laku akibat kejahilan diri tentang ajaran agama. Justeru, personaliti muslim individu tersebut pula adalah sama ada positif atau negatif. Jangkaan personaliti bagi golongan yang mempunyai tasawur yang tinggi tetapi tidak menunaikan tuntutan solat lima waktu adalah bersamaan dengan individu yang lemah tasawur. Bagaimanapun, daya kawalan individu tersebut adalah rendah. Justeru, risiko lencongan tingkah laku adalah tinggi.
RAJAH 6
Matrik Jangkaan Hubungan Di Antara Tasawur Islam dan Solat Lima Waktu
Tasawur Islam yang mantap amat penting untuk menjamin kesejahteraan nilai hidup yang dipegang oleh individu. Bagaimanapun, hanya suku daripada responden didapati mempunyai tasawur Islam yang tinggi. Kajian menunjukkan 34 peratus beliawanis muslim mempunyai tasawur yang rendah. Statistik ini perlu diberi perhatian kerana tasawur dan pemahaman terhadap agama mempengaruhi nilai dan prinsip hidup. Nilai tersebut kemudiannya mepengaruhi tindakan dan pola tingkah laku individu.
Kajian menunjukkan hampir 49 peratus daripada beliawanis muslim tidak menyempurnakan solat lima waktu. Peratusan tersebut adalah membimbangkan kerana solat lima waktu adalah rukun agama yang dapat memberikan daya kawalan dalaman yang tinggi seterusnya mencegah lencongan tingkah laku. Statistik pengabaian ibadah solat ini menunjukkan sebahagian besar daripada beliawanis Muslim berisiko tinggi untuk terlibat dalam pelbagai gejala negatif tersebut dan seterusnya berpotensi menambahkan bilangan statistik yang sedia ada.
Situasi membimbangkan ini pastinya memberikan implikasi besar kepada kesejahteraan negara khususnya dalam jangka masa panjang. Ini seiringan dengan status beliawanis muslim sebagai tiang negara pada hari ini dan pengasuh, pendidik dan pemimpin generasi akan datang. Sehubungan itu, dasar-dasar yang efektif dan efisyen perlu dirancang dan dilaksanakan untuk memantapkan tasawur Islam, ibadah solat dan penghayatan agama beliawanis muslim secara menyeluruh. Kesemua ini adalah penting untuk menjamin kesejahteraan dan kestabilan negara pada hari ini dan akan datang.
Rujukan Penerbitan Artikel dalam Prosiding
Jamiah Manap, Azimi Hamzah, Sidek Mohd. Noah, Hasnan Kasan. 2006. Malaysian muslim youth: Religiosity, personality and devient profiles, In Proceeding of Psychological Seminar of Community Development ISM-UKM, 20-21 December 2006, pp. 126-138, - Proceeding
Posted by Jamiah Hj. Manap at 7:13 PM 0 comments
Labels: Artikel Prosiding, ISM-UKM
Older Posts Subscribe to: Posts (Atom)
Metodologi Pembentukan ‘Integriti Mutmainah’: Ke Arah Meningkatkan Identiti Budaya Masyarakat Malaysia dan Indonesia[1]
Jamiah Manap[2], Azimi Hamzah[3], Sidek. Mohd. Noah[4] dan Hasnan Kasan[5]
PENDAHULUAN
Kerapuhan nilai integriti kian berleluasa. Setiap hari masyarakat dihidangkan dengan pelbagai permasalahan jenayah dan tingkah laku. Sejumlah 65, 528 kes jenayah keganasan dan 461, 812 kes jenayah harta benda dilaporkan oleh Polis Diraja Malaysia (2005), dari tahun 2001 hingaa 2004. Daripada jumlah tersebut, 21,859 kes jenayah keganasan dan 156,455 kes jenayah harta benda dilaporkan berlaku pada tahun 2004. Jabatan narkotik pula mencatatkan sejumlah 44,873.6 kilogram rampasan dadah dibuat sepanjang tahun 2001-2004 (Polis Diraja Malaysia, 2005). Akhbar Utusan Malaysia, Berita Harian dan Harian Metro pada 21 April 2005 pula melaporkan permasalahan dadah di kalangan artis, suri rumah, pemandu lori dan peneroka felda, penipuan oleh seorang ahli perniagaan yang juga kerabat diraja, peras ugus oleh seorang pegawai pengukatkuasa, budaya pengotor penjaja makanan, penculikan, pemalsuan rekod kematian penjenayah berbahaya oleh pegawai perubatan, kes ragut oleh dua orang wanita, pembuangan bayi di belakang tandas rumah, gejala sosial di kalangan remaja, perlombongan haram di Hutan Gunung Arong dan jenayah juvana di kalangan pelajar. Pada tarikh yang sama, akhbar Indonesia pula melaporkan adanya kontak sejata di Banda Aceh, kecurian motorsikal di Bogor, kutipan haram di Pelabuhan Tanjung Periuk (Kompas) penjualan wanita dan anak di Sukabumi, korupsi di Subang (Pikiran Rakyat), ancaman bom palsu di Jakarta, pergaduhan antara pelajar universiti di Ambon (The Jakarta Pos) dan penemuan bahan ekstasi di Bogor (Jawa Post). Kesemua ini menunjukkan indikasi keruntuhan identiti bangsa Malaysia dan Indonesia yang asalnya dikenali sebagai bangsa yang santun dan berbudi mulia.
Situasi di atas menunjukkan perlunya pengukuhan nilai integriti dalam usaha memartabatkan identiti budaya bangsa yang cemerlang, gemilang dan terbilang. Integriti yang lemah mengakibatkan berlakunya tsunami dalam organisasi iaitu kerosakan sumber manusia dan material (Jamiah Manap et. al 2005). Justeru pemerkasaan nilai integriti perlu segera dilaksanakan untuk melahirkan modal insan yang terpuji seterusnya memantapkan lagi kegemilangan tamadun ummah. Integriti tercapai apabila tindakan seseorang itu selaras dengan nilai yang dipegang (Universiti Islam Antarabangsa 2005). Bagaimanapun, konflik timbul apabila terdapat pertentangan nilai di antara individu, masyarakat dan nilai kebenaran yang mutlak. Sehubungan itu, kertas kerja ini mengupas ‘integriti mutmainah’ sebagai resolusi bagi menangani konflik nilai dan kerapuhan integriti dalam kerangka memperteguh identiti budaya bangsa Malaysia dan Indonesia berlandaskan Al-Quran dan sunnah.
LATAR BELAKANG KEADAAN JIWA MANUSIA DARIPADA PERSPEKTIF
AL QURAN
Manusia secara fitrahnya adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dan mulia sebagaimana firman Allah di dalam Surah At-Tin ayat 4 yang bermaksud:
Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Justeru, manusia diberikan status yang tinggi sebagai khalifah di muka bumi ini dan seterusnya memikul tanggungjawab moral yang berat (M. Kamal Hasan 1995). Bagaimanapun, manusia juga adalah makhluk yang lemah, gelisah dan mementingkan diri (Al-Maarij: 19-29) serta cinta kepada dunia (Ali Imran: 14). Oleh itu, fitrah jiwa manusia cenderung kepada kebajikan dan kejahatan (As-Syam: 7-10).
Keadaan jiwa seseorang mempengaruhi tindakannya. Jiwa yang bersih dan tenang membolehkan seseorang menumpukan perhatian kepada tugas, mengatasi permasalahan hidup dengan efektif dan mengekalkan keharmonian hidup bermasyarakat (Hasnan Kasan 2000). Sebaliknya jiwa yang gelisah mudah berputus asa dan tergesa-gesa dalam membuat keputusan (Hasnan Kasan, 2000). Justeru, syariat Islam (segala peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah untuk mengatur kehidupan manusia di atas muka bumi ini merangkumi hukum fardu dan sunat, halal dan haram serta makruh dan harus) dikurniakan oleh Allah bagi menjamin kebersihan dan ketenangan jiwa manusia (Hasnan Kasan 2000).
Keadaan jiwa manusia dijelaskan di dalam Al-Quran dalam beberapa keadaan. Omar Hasan Kasule (2005), menyenaraikan lapan jenis keadaan jiwa manusia iaitu amarah (kecenderungan kepada kejahatan), lawamah (kesedaran terhadap peraturan moral), mulhamah (aspirasi kepada taqwa), qanu’ah (puas dengan apa yang ada), mutmainah (tenang), radhiyah (reda), mardhiyah (diredai) dan kamilah (sempurna). Muhammad Syukri Salleh (2005), pula menyenaraikan tujuh peringkat nafsu iaitu amarah, lawamah, mulhamah, mutmainah, radhiyah, mardhiyah dan nafsu kamilah. Bagaimanapun, dalam kajian ini, keadaan jiwa manusia secara amnya terbahagi kepada tiga iaitu amarah (12:53), lawamah (75:2) dan mutmainah (89:27). Ini kerana, di dalam Al-Quran ketiga-tiga keadaan jiwa ini didahului dengan perkataan nafs yang bermaksud jiwa. Ini turut bertepatan dengan pendapat Imam Al-Ghazali (1998) yang membahagikan personaliti jiwa manusia kepada tiga kategori tersebut.
Jiwa Amarah
Nafsu Amarah dikategorikan sebagai nafsu yang jahat (Muhammad Shukri Salleh, 2005). Amarah disifatkan sebagai jiwa yang didominasi dengan sifat-sifat mazmumah (sifat yang keji) sebagaimana termaktub di dalam Surah Yusuf yang bermaksud:
Sesungguhnya nafsu amarah itu sentiasa menyuruh manusia berbuat keji
(Surah Yusuf, 12:50).
Amarah adalah jiwa yang cenderung untuk mengingkari perintah Allah dan akhirnya membentuk akhlak yang buruk (Al-Ghazali, 1998). Jiwa yang dikuasai oleh hawa nafsu akan membawa manusia kepada kesesatan dan amalan yang buruk sehingga manusia melupakan hari akhirat dan akhirnya mendapat seksaan di neraka (Al-Mukminun, 23: 63-65). Nafsu amarah yang tidak dikawal boleh menggugat kesejahteraan manusia dan alam sejagat (Al-Mukminun, 23: 71).
Jiwa Lawamah
Nafsu atau jiwa Lawamah juga dikategorikan oleh Muhammad Shukri Salleh (2005), sebagai nafsu yang jahat. Lawwamah merupakan jiwa yang berjuang di antara kebaikan dan kejahatan (Al-Ghazali 1998). Lawamah adalah jiwa yang menyesali setiap kesilapan yang dilakukan. Keadaan jiwa ini dijelaskan di dalam Al-Quran dalam Surah Al-Qiyamah ayat kedua yang bermaksud:
“Aku bersumpah dengan nafs (jiwa) yang menyesali dirinya sendiri atas perbuatan buruk dan setiap pelanggarannya” (Al-Qiyamah, 75:2)
Jiwa Mutmainah
Jiwa mutmainah pula dikategorikan sebagai nafsu yang baik (Muhammad Shukri Salleh, 2005). Jiwa mutmainah merupakan jiwa yang tenang. Manusia berjiwa mutmainah sentiasa redha kepada Allah dan Allah juga redha kepadanya. Ini selaras dengan firman Allah yang bermaksud:
"jiwa yang tenang, kembalilah kepada tuhanmu dengan keadaan redha dan diredhai." (Surah Al-Tahrim, 66:12).
Personaliti jiwa mutmainah diperolehi pada titik keseimbangan antara kekuatan marah dan kekuatan syahwat. Mutmainah adalah jiwa yang tenang dan sempurna kerana memiliki sifat terpuji dan bebas daripada sifat yang keji. Personaliti jiwa mutmainah disebut di dalam Surah Al-Fajr yang bermaksud:
Wahai orang-orang yang mempunyai jiwa yang sentiasa tenang, tetap dengan kepercayaan dan bawaan yang baik (Surah Al-Fajr, 89: 27).
Perkaitan Jiwa dan Iman
Nafsu atau keadaan jiwa manusia berkait langsung dengan tahap keimanannnya. Jiwa manusia berada di dalam keadaan amarah dan lawamah apabila iman berada pada tahap taqlid dan ilmu. Sebaliknya, jiwa manusia berada dalam keadaan mutmainah apabila iman berada pada tahap ayan, haq dan hakikat (Muhammad Shukri Salleh, 2005).
LATAR BELAKANG INTEGRITI
Integriti merupakan satu konsep yang kompleks ( Widang dan Fridlund, 2003). Integriti berasal daripada perkataan latin: ‘integer’ yang bermaksud menyeluruh, sempurna dan kesatuan yang teguh (Widang dan Fridlund, 2003). Pellegrino (1990), merujuk integriti sebagai tahap/keadaan keseimbangan di antara ruang pribadi (privacy), autonomi and nilai individu. Roberts (1994), pula memberikan takrifan yang lebih mudah iaitu kesatuan di antara komitmen sepenuhnya kepada nilai yang dipegang dalam setiap ucapan dan tindakan seseorang. Takrifan Roberts (1994) selari dengan Musschenga (2001) yang menakrifkan integriti sebagi konsistensi dan koherensi dalaman keyakinan seseorang dengan penyataan dan tindakannya (Musschenga 2001).
Pendefinisian terhadap istilah integriti boleh diklasifikasikan kepada empat perspektif iaitu ketekalan nilai peribadi, komitmen terhadap nilai peribadi, komitmen terhadap nilai komuniti dan komitmen terhadap nilai-nilai murni (Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2004).
Integriti secara keseluruhannya pula ditakrifkan sebagai pengetahuan, kesedaran, penghayatan dan pegangan teguh kepada nilai-nilai murni secara konsisten yang disertai komitmen sepenuhnya terhadap nilai-nilai tersebut dalam setiap perkataan dan tindakan untuk mencapai kecemerlangan diri dan organisasi (Jamiah Manap et. al., 2005).
Rajah 1 menunjukkan model integriti yang merangkumi empat komponen penting iaitu ilmu, motif atau niat yang betul, penghayatan nilai-nilai murni dan komitmen terhadap nilai tersebut (Jamiah et.al., 2005). Ilmu merupakan teras utama integriti. Ilmu dalam konteks ini adalah pegetahuan dan kefahaman tentang falsafah, nilai, kepentingan dan tujuan integriti dengan jelas dan mendalam. Ilmu ini kemudiannya akan memberikan kesedaran untuk menghayati nilai integriti bagi mencapai kecemerlangan diri dan organisasi. Motivasi yang kuat dan matlamat yang teguh ini kemudiannya akan mendorong individu untuk menghayati nilai-nilai integriti secara mendalam dan menjadikan ianya sebagai nilai yang sebati dengan dirinya. Apabila nilai tersebut telah sebati dengan jiwa individu, individu akan berusaha untuk memberikan komitmen sepenuhnya terhadap nilai yang dipegang dalam setiap tutur kata dan tindakannya. Oleh itu, individu dikatakan mempunyai integriti yang tinggi apabila tindakannya selaras dengan nilai-nilai murni yang dipegangnya.
Rajah 1
Model Integriti
INTEGRITI MUTMAINAH DARIPADA PERSPEKTIF
AL-QURAN & SUNNAH
Fitrah manusia tidak berubah mengikut zaman (Nik Mustapha Nik Hassan, 1999). Sehubungan itu, manusia perlu memahami diri dan membangunkan potensi diri berasaskan petunjuk ilmu wahyu kerana Islam adalah agama yang bersifat relevan, universal sepanjang masa dan setiap tempat (Nik Mustapha Nik Hassan, 1999). Tazkiah atau penyucian jiwa merupakan komitmen psikologi untuk menghijrahkan personaliti jiwa amarah kepada personaliti jiwa lawamah dan akhirnya kepada personaliti jiwa mutmainah (Che’ Zarrina Sha’ari, 2002).
Pemantapan Akidah dan Pemurnian Jiwa
Punca utama krisis manusia masa kini adalah apabila minda manusia merasa bebas daripada kekuasaan dan pengawasan Allah (Zakaria Stapa, 1997 dan M. Kamal Hasan, 1995). Islam menyediakan individu muslim dengan kawalan metafizik yang bersifat abstrak seperti dosa, pahala, neraka dan syurga yang menjadi daya pencetus kepada tingkah laku manusia (Zakaria Stapa, 1997).
Iman merupakan faktor utama yang dapat mencegah manusia daripada terlibat dengan gejala sosial dan jenayah (Qaasim Hersi Farah 2000). Ini kerana, Al-Quran dan sunnah mengandungi panduan asas berasaskan realiti daripada Allah yang tidak mempunyai had masa dan ruang (Khurshid Ahmad 2003). Bagaimanapun, kebebasan manusia berijtihad berlandaskan kaedah-kaedah yang telah ditetapkan menjadikan Islam sentiasa relevan dengan kehidupan moden (Khurshid Ahmad 2003).
Pembangunan personaliti muslim adalah berasaskan penyucian diri manusia melalui tajdid an-nafs iaitu usaha ke arah penyucian jiwa manusia dengan memperbaiki, mendorong dan mengukuhkan fitrah dalaman diri manusia ke tahap yang tinggi (Aziz ul Islam 2000). Pandangan ini berasaskan surah As-Syam ayat 9 dan 10 yang bermaksud: “Dan berjayalah orang yang mensucikan dirinya dan rugilah orang yang mengotorinya”. Oleh itu, motivasi utama pembangunan personaliti manusia adalah keredaan Allah melalui penyucian jiwa, solat dan pengorbanan untuk mencapai keunggulan fitrah sebenar manusia. Ini kerana, jiwa yang tidak mendapat keredaan Allah tidak dapat menerima dirinya sendiri (Aziz ul Islam 2000).
Pemurnian Jiwa
Nilai sesuatu pekerjaan bergantung kepada niat iaitu pendorong atau motif utama perlakuan tersebut (Muhamad Al-Ghazali, 2001). Orang yang ikhlas akan memperolehi keredaan Allah dan kepuasan sejati (Al-Lail: 18-21). Niat yang betul dan hati yang ikhlas adalah prasyarat agar amalan diterima oleh Allah . Niat buruk akan menghakis ketaatan kepada Allah secara berperingkat dan akhirnya membawa individu kepada perlakuan maksiat (Muhamad Al-Ghazali, 2001: 127).
Pemantapan Ibadah
Kematangan akhlak berlaku secara bertahap (Muhammad Al-Ghazali, 2001). Amal soleh adalah proses penyucian jiwa sebagai persiapan untuk mencapai kesempurnaan kendiri (Muhammad Al-Ghazali, 2001). Ibadah memantapkan iman dan seterusnya memelihara fitrah manusia dengan menundukkan hawa nafsu agar terdorong kepada akhlak yang mulia. Kesempurnaan ibadah tercapai apabila berjaya mencetuskan akhlak yang mulia (Muhammad Al-Ghazali, 2001). Tujuan ibadah adalah untuk membentuk ketaqwaan diri kepada Allah (Surah Tho Ha: 132). Oleh itu, ibadah yang tidak membuahkan akhlak tidak mempunyai nilai taqwa (Muhammad Al-Ghazali, 2001).
Hakikat sebenar daripada ibadah solat, zakat, puasa dan haji adalah untuk mensucikan budi pekerti manusia (Muhamad Al-Ghazali, 2001). Justeru, perlaksanaan rukun Islam adalah medan latihan utama pembentukan akhlak mulia (Muhammad Al-Ghazali, 1998). Rukun Islam adalah strategi pencegahan jenayah berasaskan program latihan yang tersusun dan berterusan (Qaasim Hersi Farah, 2000). Kewajipan agama yang termaktub di dalam Islam adalah program latih tubi untuk melatih manusia kepada tingkah laku terpuji secara istiqamah dan teguh terhadap sebarang perubahan bagi membentuk akhlak (Muhammad Al-Ghazali, 1998).
Solat memelihara ketenangan dan kesejahteraan hati (Al-Maarij: 19-23). Zakat meningkatkan hubungan kemanusiaan, menyucikan jiwa (At-Taubah: 103), dan membersihkan harta (Sahih Bukhari: 1324). Puasa mendidik manusia mengawal hawa nafsu (Al-Baqarah: 183) manakala haji meningkatkan disiplin diri dan mengukuhkan persaudaraan Islam (Al-Baqarah: 197).
Pemantapan Ilmu
Ajaran wahyu yang disampaikan di dalam Al-Quran telah sempurna dan dijelaskan secara terperinci melalui sunnah iaitu lisan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah serta diperkemaskan melalui Qias dan Ijmak’ yang berpaksikan al-Quran dan Sunnah (Mohd. Zariat Abdul Rani, 2002). Ajaran Islam terbukti dinamik dan relevan sepanjang zaman dengan keharusan berijtihad (Mohd. Zariat Abdul Rani, 2002). Bagaimanapun, kebanyakan masalah yang menimpa umat Islam adalah berpunca daripada kekeliruan terhadap ajaran Islam akibat kerapuhan pegangan tauhid dan penguasaan ilmu-ilmu fardu ain (Mohd. Zariat Abdul Rani, 2002).
Menurut Zakaria Stapa (2002), pendidikan berterusan adalah mekanisme paling teguh di dalam pembentukan akhlak kerana setiap manusia memiliki potensi untuk cenderung ke arah fujur atau taqwa untuk diperkembangkan. Institusi pendidikan melalui konsep tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) perlu bergabung dengan institusi lain untuk menggilap aspek positif iaitu taqwa dan menyingkirkan aspek negatif iaitu fujur. Proses tazkiah terangkum di bawah taklif Ilahi yang terbahagi kepada dua dimensi iaitu taklif berbentuk suruhan dan amal salih serta taklif dalam bentuk larangan dan tegahan bagi tujuh pancaindera manusia (Zakaria Stapa, 2002).
Pemantapan Nilai
Agama dan sistem kepercayaan yang dipegang akan menentukan ketekalan individu di dalam menerapkan nilai positif di dalam kehidupannya serta mencegah mereka daripada melakukan penyelewengan (Syed Othman Alhabshi 1995). Kestabilan tingkah laku manusia adalah berasaskan kestabilan emosi dan perasaan (Syed Othman Alhabshi 1995). Dalam hal ini, nilai yang dipegang akan berperanan mengawal emosi dan perasaan yang menentukan tingkah laku tersebut (Syed Othman Alhabshi 1995). Sikap yang baik terbentuk apabila individu dapat menguruskan emosi menggunakan nilai positif (Syed Othman Alhabshi 1995).
Masyarakat yang kehilangan nilai akan menjadi lemah dan gagal mempertahankan prestasi yang telah dicapai dalam setiap aspek sebagaimana yang berlaku di Jepun. Penglibatan mahasiswa dalam aktiviti pemujaan, perlantikan seorang pelakon komedi sebagai gabenor Tokyo dan Osaka serta komitmen kerjaya yang tidak konnsisten menunjukkan suasana krtikal belia dan rakyat Jepun akibat kehilangan nilai (Nik Mustapha Nik Hassan 1999). Islam memfokuskan kepada perubahan dalaman individu secara konsisten dan perubahan tersebut kemudiannya dimanifestasikan dalam tindakan seseorang dan seterusnya mempertingkatkan dan memelihara kemajuan yang telah dicapai (Nik Mustapha Nik Hassan, 1999). Bagaimanapun, permusuhan tradisi selepas zaman penjajahan di antara Islam dan Kristian beralih kepada “peperangan intelektual” agar umat Islam menyimpang daripada ajaran Islam yang sebenar (Mohd. Zariat Abdul Rani, 2002). Proses ‘deislamization’ dilakukan oleh Barat dengan menerapkan aliran falsafah dan pemikiran yang bertentangan dengan akidah dan nilai Islam yang diperkukuhkan dengan dasar dan polisi pentadbiran sehingga umat Islam menjadi keliru terhadap ajaran Islam sebenar (Mohd. Zariat Abdul Rani 2002).
Pemantapan Budaya Mulia
Persekitaran memberikan kesan yang besar kepada perkembangan individu khususnya daripada aspek psikologi (Che Zarrina Sa’ari 2001). Adab kebiasaan lingkungan merupakan ancaman terbesar fitrah manusia (Muhammad Al-Ghazali 2001). Sejumlah 12, 314 daripada 36, 996 penagih terlibat dengan dadah kerana terpengaruh dengan rakan mereka (Agensi Dadah Kebangsaan, 2003). Ini selaras dengan kepentingan proses sosialisasi dalam membentuk akhlak oleh Syed Othman Alhabshi (1995). Proses sosialisasi melibatkan pergaulan seseorang dengan orang yang memiliki akhlak yang mulia di dalam jangka masa yang panjang melalui hubungan antara guru-murid, mentor-mente, pemimpin-pengikut atau di dalam kumpulan yang tertentu dalam jangka masa yang lama sehingga menjadi tret yang kekal kepada individu tersebut. Justeru, iklim yang membina perlu diwujudkan untuk membudayakan nilai-nilai Islam secara menyeluruh (Zakaria Stapa 2002c).
Pelaksanaan Undang-undang Islam
Hukum Islam mengandungi prinsip dan konsep yang bertujuan untuk mengelakkan kemudaratan atau mendapatkan manfaat yang diharuskan daripada manusia bagi kesejahteraan manusia (Leha @ Zaleha Muhamat, 2001). Hukuman yang dikenakan ke atas pesalah melindungi masyarakat dan memperbaiki masyarakat daripada anggota yang zalim dan merosakkan (Muhammad Al-Ghazali 2001). Perundangan Islam merupakan sistem kawalan sosial yang bertujuan untuk memelihara kesejahteraan organisasi dan masyarakat (Nik Mustapha Nik Hassan 1999) daripada maksiat dan pencemaran akal (Asjad Mohamed, 2002).
PERBINCANGAN
Integriti secara umumnya merujuk kepada kesatuan di antara nilai dan tingkah laku. Pellegrino (1990), Roberts (1994) dan Musschenga (2001) melihat integriti sebagai keselarasan nilai dalaman dengan tindakan seseorang. Masalah timbul apabila terdapat perbezaan nilai yang dipegang oleh individu dan masyarakat di sekitarnya. Perbezaan nilai ini kemudiannya menimbulkan konflik yang akan menggugat kesejahteraan individu dan masyarakat. Situasi ini menjadi bertambah parah apabila pertembungan di antara nilai-nilai timur dan barat dalam era globalisasi dan glokalisasi berlaku tanpa kekuatan personaliti dan jati diri.
Definisi integriti yang diberikan oleh Pellegrino (1990), Roberts (1994) dan Musschenga (2001), memberikan konotasi bahawa integriti juga memberikan intepretasi yang negatif apabila tingkahlaku seseorang selaras dengan nilai negatif yang dipegangnya. Disinilah tercetusnya ”integriti amarah” yang merujuk kepada keselarasan nilai buruk yang dipegang oleh individu atau masyarakat dengan ucapan dan tindakannya. Jiwa manusia pada tahap ini berada dalam keadaan sesat dan gelisah akibat kejahilan dan kesombongan diri. Kecerdasan emosi, kecerdasan mental, ketaqwaan dan tahap keimanannya berada pada tahap rendah kerana kegagalan memilih jalan yang benar dan kegagalan mengawal hawa nafsu yang cenderung kepada perbuatan keji. Bagaimanapun, konsep kendiri berada pada tahap yang tinggi kerana wujudnya sifat sombong dan bangga diri sebagaimana kesombongan yang ditunjukkan oleh iblis apabila diperintahkan sujud kepada Nabi Adam A.S. Jadual 1 menunjukkan matrik hubungan di antara jiwa amarah, munafik, lawamah dan mutmainah.
Jadual 1: Matrik Jiwa Amarah, Munafik, Lawamah dan Mutmainah
Sindrom munafik pula berlaku apabila individu berpegang kepada nilai yang buruk tetapi berpura-pura mengucapkan perkataan yang baik dan bertindak dengan tingkah laku yang baik supaya diterima oleh masyarakat. Ini mengakibatkan jiwa manusia menjadi gelisah kerana takut keburukan dirinya diketahui oleh orang lain. Penderita sindrom munafik lebih takutkan manusia daripada Allah sebagaimana situasi golongan munafik yang didokumentasikan di dalam Al-Quran. Kecerdasan emosi luaran penderita ‘sindrom munafik’ berada pada tahap tinggi kerana keupayaannya menyesuaikan diri dengan orang lain dan bertindak dengan tindakan yang sepatutnya. Kecerdasan emosi merujuk kepada kebolehan seseorang memahami emosinya dan emosi orang lain dan bertindak sesuai dengan emosi tersebut (Thibodeaux & Bond, 2005). Bagaimanapun, kecerdasan emosi dalamannya berada dalam keadaan tertekan dan akan menzahirkan realiti dirinya yang sebenar pada bila-bila masa. Justeru, ketaqwaan dan konsep kendirinya berada pada tahap rendah.
Fenomena ”sindrom lawamah” pula muncul apabila individu mempunyai nilai yang baik tetapi tidak bertindak selaras dengan nilai tersebut. Ini mengakibatkan individu berada di dalam keadaan gelisah, tertekan dan rasa bersalah. Justeru, konsep kendiri juga berada pada tahap rendah. Jika situasi ini berterusan, tekanan jiwa dan perasaan akan berlaku. Sebaliknya, apabila individu berjaya mengawal dirinya supaya melaksanakan tindakan yang selaras dengan nilai baik tersebut secara konsisten, individu berjaya mengatasi sindrom lawamah dan seterusnya mencapai ”integriti mutmainah” yang juga merupakan kesempurnaan kendiri.
’Integriti mutmainah’ dalam konteks kajian merujuk kepada individu atau kumpulan yang mengetahui, meyakini, menyintai dan menghayati nilai-nilai mulia dan menghindari nilai-nilai buruk yang terkandung di dalam Al-Quran dan sunnah secara mendalam dan bertindak selaras dengan nilai-nilai mulia tersebut secara konsisten dalam setiap aktiviti hidupnya untuk mendapat keredaan Allah.
Fitrah jiwa manusia adalah bertepatan dengan syariat Allah (Hasnan Kasan, 2000). Justeru, cara hidup dan gaya fikir yang bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah akan mengakibatkan konflik kejiwaan sebagaimana firman Allah dalam ayat 30 surah Ar-Ruum. Oleh yang demikian, setiap individu perlu memastikan segala tindakannya berlandaskan syariat, menjauhi makanan yang haram dan syubhat, menunaikan segala kewajipannya dan menjauhi segala larangan kerana perbuatan dosa dan penyelewengan akhlak akan mengotorkan dan menggelisahkan jiwa, manakala ibadah wajib dan sunat pula dapat membersihkan jiwa (Hasnan Kassan, 2000).
Nilai-nilai mulia dan nilai-nilai buruk dinyatakan dengan jelas di dalam Al-Quran dan sunnah sebagai panduan untuk mencapai kejayaan hidup di dunia dan akhirat. Sehubungan itu, nilai ’integriti mutmainah’ adalah berasaskan pemurnian diri daripada nilai-nilai yang buruk dan pencerapan nilai-nilai mulia secara total sehingga menjadi sebati dengan diri sebagaimana kesempurnaan integriti Rasulullullah S.A.W yang dinobatkan oleh Saidatina Aisyah R.A sebagai memiliki akhlak Al-Quran.
Nilai-nilai buruk boleh dikategorikan kepada tiga iaitu
i. kepincangan akidah seperti syirik, menyalahkan takdir, riak, takbur dan menilik nasib;
ii. melakukan perkara yang diharamkan oleh syarak seperti meninggalkan solat, berzina, mencuri dan mengumpat;
iii.gagal mengurus diri dan sistem hidupnya dengan berkesan. Sistem dalam konteks ini adalah tatacara kehidupan yang tersusun untuk membolehkan sesuatu perkara itu berfungsi dengan baik. antara kegagalan tersebut adalah boros, jahil, pengotor, malas dan berfikiran negatif.
Nilai-nilai mulia pula diklasifikasikan kepada empat kategori yang juga merupakan sifat wajib bagi rasul iaitu
i) sidiq (benar)
ii) amanah
iii) tabligh (menyampaikan)
iv) fatonah (bijaksana).
Jadual 2 menunjukkan sebahagian daripada nilai-nilai mulia tersebut yang menjadi tunjang kepada keunggulan jati diri dan identiti budaya masyarakat.
____________________________________________________________________
SIDIQ (kebenaran akidah, perkataan & tindakan)
Beriman kepada Allah
Beriman lkepada Rasul dan kitab Allah
Beriman kepada perkara ghaib
Berkata benar
Malu
Bersyukur
Taat
Ikhlas
Tawaduk
Redha
AMANAH (Menunaikan Kewajipan dan Tanggungjawab)
Menunaikan rukun Islam
Bertanggungjawab
Adil
Memelihara maruah
Menepati waktu
Menjaga kebersihan
Menepati janji
Menyimpan rahsia
Itqan (menjaga kualiti)
Rajin
Menutup aurat
Khusyuk (memberi tumpuan / fokus)
Menjaga pemakanan
Menjaga lidah (pertuturan dan penulisan)
TABLIGH (menyampaikan amanah dan mengamalkan kaedah komunikasi berkesan)
Menyampaikan mesej
Tepat
Cekap
Teliti
Tegas
Berani
Sistematik
Jujur
Mesra
Menghormati orang lain
Ulfah (berkasih-sayang)
Ikram
Zuhud
FATONAH (Kebijaksanaan Mentadbir Diri dan Sistem dalam Kehidupan)
Berilmu
Bertafakur
Ceria
Tenang
Pemurah
Sabar
Pemaaf
Syura
Bersangka baik (berfikiran positif dan optimis)
Memelihara silaturrahim (memelihara hubungan interpersonal)
Berdikari
Ithar (mementingkan orang lain)
Berkepimpinan
Pendamai
Berhemat
____________________________________________________________________
Rajah 2 menunjukkan proses penghijrahan jiwa amarah kepada jiwa mutmainah secara bersepadu melalui penyucian jiwa (tazkiatun nafs). Fitrah jiwa manusia cenderung kepada kejahatan dan kebajikan. Justeru, jiwa amarah perlu disucikan secara berperingkat supaya jiwa tersebut dapat berhijrah daripada integriti amarah kepada jiwa lawamah. Jiwa lawamah itu pula kemudiannya dihijrahkan kepada integriti mutmainah melalui proses penyucian jiwa yang berterusan.
--Rajah 2--
Proses Penghijrahan JiwaJadual 2: Nilai Mulia Integriti Mutmainah
Sidiq (Kebenaran akidah, perkataan & tindakan)
Model penyucian jiwa yang ditunjukkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya merupakan proses penyucian jiwa yang terbukti berkesan dalam melahirkan insan berperibadi mulia dan terpuji. Justeru, metodologi pemantapan ’integriti mutmainah’ adalah berasaskan model tersebut yang bertunjangkan Al-Quran dan sunnah. Rajah 3 menunjukkan metod yang perlu diterapkan untuk melahirkan individu dan masyarakat dengan ”integriti mutmainah”. Pemantapan ilmu merangkumi proses mengukuhkan kefahaman yang tepat dan mendalam terhadap ajaran Islam khususnya dalam memahami mesej yang disampaikan di dalam kitab suci Al-Quran dan juga hadis-hadis nabi di samping mempelajari dan menguasai bidang-bidang ilmu lain yang bermanfaat. Pemantapan akidah merangkumi proses mengukuhkan keimanan yang jitu, murni dan mendalam kepada Allah, kitab-kitab Allah, para malaikat, para nabi, hari akhirat serta qada’ dan qadar Allah.
Pemantapan amal soleh merangkumi perlaksanaan dan penghayatan rukun Islam (syahadah, solat lima waktu, puasa, zakat dan ibadah haji) dengan sempurna dan konsisten. Berkenaan solat tiang agama pula, individu yang mengabaikan solat lima waktu ibarat manusia yang dianggap tidak mempunyai tulang. Oleh itu, individu tersebut tidak mempunyai daya kekuatan untuk memerangi hawa nafsu dan godaan syaitan. Sehubungan itu, penyempurnaan solat lima waktu sewajarnya menjadi agenda utama pemantapan amal soleh kerana solat yang sempurna mencegah individu daripada perbuatan keji dan mungkar serta membolehkannya memperolehi ketenangan jiwa. Selain itu, pemantapan amal soleh juga merangkumi penghayatan akhlak mulia dan terpuji yang termaktub di dalam Al-Quran dan sunnah sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad S.A.W dan para sahabat.
Rajah 3
Pelan Pembentukan Integriti Mutmainah
Penjernihan nilai dan budaya negatif merujuk kepada usaha yang dilakukan untuk menghapuskan segala nilai-nilai dan budaya negatif di dalam diri individu dan juga persekitarannya. Identiti golongan remaja khususnya bertambah bercelaru akibat wujudnya dualisme nilai. Nilai yang diajar di sekolah berlawanan dengan nilai budaya popular di media massa dan media hiburan masakini yang lebih mementingkan keuntungan jangka pendek tanpa mengambikira kerugian kos sosial dalam jangka masa panjang. Justeru, langkah penjernihan perlu diambil untuk menghasilkan persekitaran yang bebas daripada unsur-unsur negatif dan menutup laluan fujur bagi memelihara tujuh pancaindera manusia.
Pemantapan budaya mulia merangkumi pembudayaan nilai-nilai Islam secara menyeluruh dalam setiap institusi dan organisasi masyarakat secara bersepadu. Justeru, pemantapan budaya mulia melibatkan setiap unit dalam masyarakat untuk bergerak secara sinergi untuk saling mengukuhkan kefahaman dan penghayatan terhadap nilai-nilai integriti khususnya di kalangan media massa dan pentadbir. Perlaksanaan undang-undang Islam pula merangkumi penerapan, pengukuhan dan perlaksanaan hukum yang telah termaktub di dalam Al-Quran dan sunnah untuk mencegah perlanggaran dan memelihara integriti masyarakat.
Al-Quran dan sunnah menggariskan panduan khusus kepada manusia untuk mencapai kesempurnaan kendiri dan ketenangan jiwa berasaskan realiti daripada Allah yang tidak mempunyai batasan ruang dan zaman. Dalam masa yang sama, Islam mengiktiraf kemuliaan akal manusia dengan kebebasan berijtihad. Kesempurnaan kendiri atau ’integriti mutmainah’ hanya akan diperolehi apabila jiwa manusia mencintai tuhan-Nya dan menjadi sebati dengan ajaran Al-Quran dan sunnah. Keindahan dan kemuliaan jiwa ini kemudiannya diterjemahkan di dalam kehidupan seharian dan hasilnya akan melahirkan anggota masyarakat yang mempunyai identiti dan jati diri yang unggul.
[1] Kertas kerja dibentangkan di Simposium Kebudayaan Indonesian Malaysia ke IX, 2005, anjuran Universiti Kebangsaan Malaysia dan Universiti Padjajaran di Bandung, Indonesia pada 10-12 Mei 2005.
[2] xxx
[3] Profesor di Fakulti Pengajian Pendidikan dan Pengarah di Institut Pengembangan Pertanian, Universiti Putra Malaysia
[4] Profesor Madya dan Timbalan Dekan Pengajian Siswazah, Fakulti Pengajian Pendidikan, Universiti Putra Malaysia
[5] Pensyarah Kanan di Pusat Pengajian Umum, Universiti Kebangsaan Malaysia
* untuk mendapatkan artikel penuh, sila rujuk:
Jamiah Manap, Azimi Hamzah, Sidek Mohd. Noah & Hasnan Kasan. 2007. Metodologi pembentukan 'Integriti Mutmainah': Ke arah meningkatkan identiti budaya masyarakat Malaysia dan Indonesia. Dlm. Armida S. Alisjahbana, Ramdan Panigoro & Parikesit (pnyt.). Indonesia dan Malaysia dalam era globalisasi dan desentralisasi: Mewujudkan kemakmuran bersama, hlm. 578-592. Bandung: Sekretariat Kantor Pembantu Rektor Bidang Kerjasama UNPAD. (Bab dalam buku)
Posted by Jamiah Hj. Manap at 6:00 PM 0 comments
Labels: Artikel Prosiding, Makalah dalam Buku
Saturday, August 18, 2007
Berfikir Qurani
Oleh DR. SIDEK BABA, Bicara Agama, Berfikir Qurani
AL-QURAN adalah sumber ilmu dan hikmah. Daripadanya terdapat kisah-kisah untuk dijadikan ibrah atau teladan, terdapat prinsip untuk dijadikan sumber ikutan, pedoman-pedoman untuk dijadikan sumber amalan.
Ia juga terdapat anjuran ulul albab iaitu mengajak manusia berfikir tentang diri, alam, kejadian dan kehidupan. Al-Quran mengajak manusia berfikir.
Berfikir Qurani bermaksud bagaimana sumber-sumber al-Quran dijadikan pedoman berfikir tentang sesuatu. Jiwa tadabbur iaitu jiwa mengkaji dan menyelidik juga membawa seseorang berfikir. Berfikir menerusi jendela al-Quran adalah asas kepada berfikir Qurani.
Membaca dan menghafaz al-Quran adalah sesuatu yang amat baik. Setiap kalimah yang dibaca diberi pahala oleh Allah. Lebih dari itu al-Quran terkandung ilmu yang amat berharga untuk manusia. Ilmuan Islam terdahulu menjadikan al-Quran sebagai sumber berfikir.
Tradisi taawil dan tafasir dalam kalangan ulama Islam menjadikan ilmu Islam berkembang. Darinya terbina ilmu tentang akidah, ibadah, akhlak, syariah dan fikah dan ia mampu membentuk peribadi manusia yang Islami. Al-Quran terdapat sumber ilmu tentang sains, kemasyarakatan, kekeluargaan, alam dan persekitaran, psikologi, perubatan dan pendidikan. Prinsip dan pedoman al-Quran membimbing manusia berfikir, mencari jawapan dan petunjuk tentang sesuatu.
Para remaja perlu mendekati al-Quran tidak saja untuk dibaca, dihafaz tetapi menjadikan al-Quran sebagai sumber ilmu dan sumber berfikir. Ayat-ayat Allah adalah sesuatu yang hidup dalam kehidupan.
Kisah-kisah yang dirakamkan oleh al-Quran ribuan tahun lalu bukan hanya merakamkan apa yang pernah berlaku pada masa yang lalu tetapi berulang kembali pada masakini dan boleh terjadi semula pada masa depan.
Para remaja yang mencari pedoman untuk hidup, maju dan berubah tentu memerlukan pedoman tentang gelagat manusia pada masa yang lalu dan kesannya terhadap kehidupan.
Kisah Nabi Lut a.s umpamanya adalah peristiwa menarik untuk mengajak remaja berfikir. Peristiwa itu mengisahkan bagaimana Nabi Lut a.s berdepan dengan gelagat kaumnya yang enggan kembali kepada hidup yang fitrah.
Mereka memilih pasangan yang sejenis sebagai teman hidup dan tidak memilih yang berlainan jenis seperti yang sepatutnya. Allah amat membenci perbuatan itu lalu diturunnya musibah gempa bumi dan menghancurkan kehidupan itu.
Pada hari ini gelagat yang sama timbul semula. Masyarakat Barat memilih jalan gay dan lesbian sebagai asas perkongsian hidup. Asas keluarga luas sudah mula runtuh dan asas keluarga kecil sudah semakin menggugat. Bayangkan kehidupan tanpa asas kekeluargaan dan zuriat ia bakal meruntuhkan sistem dan tamadun.
Kehidupan yang lepas bebas dan melampaui batas menyebabkan kerosakan pada tabiat dan nilai-nilai kemasyarakatan dan kemanusiaan. Hari ini lahir musibah di Barat dan di Timur iaitu musibah AIDS/HIV yang amat menakutkan. Perlakuan seks bebas, pergaulan yang melampaui batas dikuti dengan salahguna dadah dan nilai hidup yang pupus menyebabkan musibah itu sedang berkembang ibarat api yang sedang meratah daun-daun kering di musim kemarau.
Punca segala masalah yang berbangkit kembali kepada akhlak manusia. Tanpa pedoman akhlak manusia akan menghadapi masalah dalam kehidupannya. Sebab itu al-Quran memberikan pedoman tentang pergaulan, kekeluargaan dan pendidikan supaya kekuatan akhlak menjadi tunjang dalam pembinaan diri, keluarga dan masyarakat. Malah Nabi Muhammad dihantar kepada manusia pun bertujuan untuk menyempurnakan akhlak manusia. Nabi Muhammad dibentuk oleh Allah s.w.t. dengan peribadi contoh untuk menjadi sumber teladan kepada manusia.
Sumber
Berfikir Qurani bagi remaja menjadikan al-Quran sebagai sumber. Bagi mencari ilmu umpamanya tidak salah akal dijadikan alat penting untuk berfikir. Tetapi akal remaja dan manusia tidak segala-gala. Jangkauan akal dan pancaindera manusia terbatas. Terdapat alam lepas yang seluas-luasnya untuk dikaji.
Terdapat faktor-faktor ghaibiyyat yang memerlukan kefahaman remaja sebagai asas rukun iman. Sekiranya remaja tidak berfikir dengan merujuk sumber ilmu dari al-Quran, remaja akan kehilangan pedoman dan pertunjuk. Akal manusia memerlukan pertunjuk. Tanpa hikmah (al-Quran) remaja tidak akan memiliki kekuatan untuk memahami kehidupan dan realiti.
Al-Quran memberi pedoman kepada manusia bagaimana untuk bergaul. Al-Quran juga mengaturkan para remaja bagaimana untuk menuntut ilmu. Al-Quran juga membimbing remaja bagaimana memahami makna kemajuan dan perubahan. Malah al-Quran memberi pedoman kepada remaja tentang sains dan teknologi.
Al-Quran tidak menyekat remaja bergaul walaupun dalam kalangan yang berlainan jenis. Tetapi remaja mestilah patuh dengan hukum syarak. Hukum syarak tidak membenarkan pergaulan yang melampaui batas sehingga timbul fitnah. Pada diri remaja ada nafsu dan keinginan. Al-Quran memberikan batasan supaya keinginan dan nafsu dapat dikawal. Sekiranya pergaulan itu berlaku untuk maksud ilmu pengetahuan umpamanya, Islam mengharuskannya.
Al-Quran tidak menghalang remaja menuntut ilmu. llmu adalah sesuatu yang amat penting bagi remaja. Tanpa ilmu, remaja akan hilang pedoman dan arah. Tetapi Islam menganjurkan kepentingan ilmu fardu ain kepada remaja ilmu tentang akidah, ibadah, akhlak dan syariahnya mantap.
Apabila remaja mengembangkan bakat dan minat dalam bidang ilmu fardu kifayah, asas binaan akhlak menjadikan penguasaan ilmu fardu kifayah lebih bermakna.
Al-Quran juga memberi pedoman kepada remaja bagaimana untuk maju dan membangun. Pembangunan dan kemajuan mengikut perspektif al-Quran merujuk kepada pembangunan manusia atau rijal. Sebab itu al-Quran turun kepada manusia bernama Muhammad, tidak pada gunung-ganang, batu-batan atau pokok-pokok.
Pada manusia ada akal dan mempunyai potensi berfikir. Pada manusia ada hati dan kalbu membolehkan manusia merasa dan menimbang akan baik-buruknya sesuatu. Apabila al-Quran membangunkan sahsiah dan watak Nabi, peribadi Nabi dikatakan sebagai ‘peribadi al-Quran’ iaitu bagaimana sumber-sumber al-Quran menghidupkan watak Nabi baik dalam kata-kata, perbuatan dan amalan. Apabila peribadi Quran menjadi contoh kepada manusia lain maka kehidupan manusia akan menjadi baik dan lebih bermakna.
Sekiranya manusia menjadi baik, pengurusan diri, keluarga dan persekitaran juga akan jadi baik. Asas inilah yang perlu ada kepada remaja supaya kehidupan dewasanya terbimbing dan terpedoman dengan nilai-nilai yang Qurani. Kelemahan umat Islam hari ini antara sebabnya tidak menjadikan al-Quran sebagai sumber berfikir, sumber ilmu dan sumber pedoman.
Ramai umat Islam yang terpaut dengan berfikir cara Barat dan menolak kepentingan agama dan al-Quran yang menyebabkan maksud maju dan membangun menghakis nilai-nilai kemanusiaan. Manusia semakin bersikap individualistik, kebendaan dan nafsu nafsi.
Al-Quran tidak menolak kepentingan benda dan individu mahu pun nafsu. Al-Quran menyatakan benda itu sebagai sumber dan kejadian Allah. Yang ditentang oleh Islam ialah berfahaman kebendaan sehingga faktor benda mengatasi segala-gala.
Malah benda menjadi barang pujaan dan sembahan. Al-Quran juga tidak menolak kepentingan individu atau fardhi tetapi al-Quran menganjurkan sikap jemaah supaya manusia mempunyai hubungan dengan orang lain dan timbul sifat muafakat dan kebersamaan.
Al-Quran tidak menolak kepentingan nafsu. Tanpa nafsu manusia tidak mempunyai daya dan keinginan. Yang mendorong manusia belajar, bekerja, berkeluarga ialah nafsu kerana nafsu itu adalah sesuatu yang fitrah. Namun, apabila nafsu menjadi matlamat bukan alat, manusia akan dikuasai oleh nafsu tanpa batasan nilai baik-buruk. Akhirnya nafsu merosakkan manusia .
Berfikir Qurani boleh memandu dan membimbing remaja bagaimana kehidupan harus diolah berasaskan pertunjuk Allah untuk kesejahteraan manusia
- PROF. DR. SIDEK BABA ialah pensyarah di Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM), Gombak.
UM/170806
Posted by Jamiah Hj. Manap at 9:55 PM 0 comments
Labels: Koleksi Artikel dari Akhbar
Berfikir Menjana Ilmu
Oleh DR. SIDEK BABA
BERFIKIR ialah suatu aktiviti akliah dan rohaniah yang berlaku pada seseorang akibat adanya kecenderungan mengetahui dan mengalami. Ia disusun dengan teratur supaya lahirnya makna, fakta dan kefahaman.
Akal manusia berfungsi untuk mengingat, berfikir dan menaakul. Daripadanya kegiatan berfikir berlaku.
Manusia diberi daya kognitif yang membolehkannya berfikir. Manusia juga diberi daya efektif yang membolehkan emosi, perasaan dan kerja hati berhubung dengan daya kognitif. Daripadanya lahir pemikiran. Pemikiran yang berkembang boleh memberi asas kepada lahirnya ilmu.
Pada diri manusia terdapat sumber ilmu. Persekitaran yang ada pada diri manusia terkandung ilmu. Pohon-pohon yang subur, haiwan pelbagai jenis, sumber-sumber hasil bumi yang banyak terkandung ilmu. Peristiwa yang berlaku, perubahan yang terjadi, rahmah dan nikmat yang banyak terkandung ilmu. Allah jadikan semuanya adalah untuk manfaat manusia. Ia mendorong manusia berfikir kerana daripada aktiviti berfikir manusia akan dapat manfaat ilmu.
Ilmu menyebabkan manusia tahu dan menerima makna akan sesuatu. Akhirnya dengan ilmu manusia tahu nilai guna sesuatu dan hikmah daripada sesuatu kejadian.
Para remaja perlu menyuburkan naluri ingin tahu dengan cara berfikir. Berfikir harus dipandu oleh maklumat, fakta dan ilmu. Sejarah pemikiran bukanlah sesuatu yang baru. Sejak Nabi Adam, manusia pertama, proses berfikir sudah berlaku. Sebab itu Allah ajarkan Nabi Adam tentang nama-nama sesuatu supaya dengan mengetahui nama-nama tersebut menjadikannya serba tahu dan ia amat bermakna untuk memandu kehidupan.
Remaja tidak tiba-tiba dewasa dan matang dalam berfikir apalagi mempunyai nilai yang betul tentang sesuatu perkara. Proses bertatih dalam berfikir adalah sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Naluri ingin tahu, ingin mencuba, ingin mengkaji harus tumbuh dalam hati remaja supaya sesuatu yang dilihat dan diperhati tidak hanya berlaku begitu saja tetapi menyebabkan aktiviti berfikir berlaku. Dengan membaca, menonton, berkomunikasi, melihat gelagat dan masalah manusia yang silih berganti, ia membolehkan remaja berfikir.
Aktiviti berfikir membolehkan remaja mendapat jawapan, melakukan analisis dan ia memberikan asas yang baik untuk remaja mencari jalan keluar, meneliti akar masalah dan akhirnya mampu menghasilkan sudut pandangan terhadap sesuatu.
Ibnu Nafis, Ibnu Sina, Al-Batani, Az-Zahrawi, Newton, Einstein, Kepler, Plato, Aristotle dan ramai lagi ahli ilmu, ahli falsafah dan ahli fikir memulakan aktiviti saintifiknya dengan berfikir. Genius ini memiliki kekuatan berfikir yang luar biasa. Bila melihat langit, bintang-bintang, cakerawala yang beredar, hujan yang turun, petir kilat sambar menyambar, sakit dan kematian, ia mendorong mereka berfikir. Hasil daripada pemikiran lahirlah tanggapan dan kesimpulan terhadap sesuatu. Daripadanya ilmu subur dan hidup lebih bermakna.
Dalam tradisi orang Barat sejak zaman Plato, Aristotle dan Socrates membawa ke zaman Galileo, Bruno sehinggalah ke zaman Descartes, Kant, Derrida dan Michel Foucou pada abad ini, manusia tidak pernah berhenti berfikir. Pemikiran mereka berkembang berasaskan pemerhatian, kajian, dapatan, renungan yang bersandar kepada akal dan pengalaman.
Faktor agama, kitab dan kenabian tidak dijadikan sandaran utama. Akhirnya hipotesis dan teori tentang sesuatu dibina atas asas rasional dan saintifik bukan berasaskan autoriti wahyu atau pun agama.
Wahyu
Dalam tradisi Islam akal itu adalah sesuatu yang penting. Berfikir menerusi pemerhatian dan uji kaji tidak pula ditolak. Tetapi akal itu dipandu oleh nilai dan ilmu yang jauh lebih tinggi daripada apa yang diketahui oleh manusia. Akal manusia dan pancaindera manusia tidak mampu mencapai segala-gala. Walaupun banyak kehebatan dicetuskan oleh akal namun keterbatasannya tidak menjadikan manusia memiliki kudrat dan kuasa terhadap alam dan kehidupan ini secara mutlak.
Tradisi Islam meletakkan sumbersumber wahyu sebagai hikmah dan pedoman untuk manusia berfikir. Sumber wahyu tidak saja menyatakan perkara-perkara yang nyata tetapi juga hal-hal yang ghaib. Yang ghaib tetap wujud walaupun sifatnya tidak maujud. Keyakinan manusia kepada benda yang nyata dan wujud semata-mata belum melengkapi sifat dan hakikat kejadian itu sendiri. Roh manusia adalah sesuatu yang wujud dan tidak maujud dalam bentuk benda.
Namun, manusia yang hidup boleh berkata-kata dalam melakukan pelbagai kegiatan dan ia adalah gambaran adanya roh pada tubuh badan manusia. Sekiranya roh telah tiada, sehebat mana pun akal manusia, hati manusia dan ketangkasan jasmani manusia, ia akan kaku dan mati. Roh ialah ciptaan Allah, bukannya manusia. Yang diketahui oleh manusia tentang roh amat sedikit.
Para remaja harus melihat bahawa berfikir adalah suatu fitrah. Fitrah ini mesti dipandu oleh ilmu dan nilai. Ilmu wahyu dan nilai agama menjadikan proses berfikir lebih bermakna. Proses berfikir menjadikan remaja lebih berilmu, menjadi tahu dan menerima makna akan sesuatu dengan merujuk kepada kebesaran dan keperkasaan Allah.
Apabila sandaran berfikir sifatnya kerana Allah, hikmah berfikir akan memberi rahmat kepada remaja. Remaja akan dilatih tidak saja berfikir secara zahir tetapi faktor batini akan sentiasa menjadi aspek penting dalam kehidupan. Bila remaja melihat dan mengkaji sesuatu dengan mata zahir, ia juga harus menghubungkan objek kajian dan pemerhatian dengan mata hati dan mata batin.
Sekiranya remaja berasa kagum dengan muzik popular Barat, pemikiran yang ada tidak saja untuk hiburan mengisi kehendak hawa nafsu semata-mata tetapi tuntutan batini dan hati yang berasaskan asas rohaniah yang tinggi mahukan hiburan yang tidak membawa kepada lagha dan melalaikan. Ia harus mampu mencetuskan minda dan hati dalam titik harmoni yang mendorong manusia mentertibkan hawa nafsu, menyuburkan nilai-nilai adab dan apresiasi dan menghasilkan keinsafan yang tinggi terhadap kekuasaan Allah s.w.t..
Ilmu inilah yang sebenarnya harus dijana oleh remaja hasil berlakunya proses fikir dan zikir yang membimbing remaja supaya dekat kepada Allah.
- PROF. DR. SIDEK BABA ialah pensyarah di Universiti Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM).
* Dipetik dari akhbar Utusan Malaysia 28 September 2006
Posted by Jamiah Hj. Manap at 7:55 PM 0 comments
Labels: Koleksi Artikel dari Akhbar
Saturday, August 11, 2007
Sejarah Ringkas IImu Mantiq
Oleh DR. SYED ALI TAWFIK AL--ATTAS dalam Utusan Malaysia
Setiap manusia diberi keupayaan berfikir yang berkembang sejajar dengan pertumbuhan jasmani dan akali. Keupayaan berfikir ini mempunyai pelbagai bentuk bergantung kepada tahap-tahap pertumbuhan yang berlainan. Pemikiran seseorang dibentuk oleh persekitarannya dan ini dapat dilihat pada rupa bentuk dan kaedah tertentu. Dengan kesungguhan seseorang berupaya membina pemikirannya menjadi matang dan bernas sehingga mengatasi pemikiran terdahulu. Semua itu berlaku melalui pentaakulan dan penghujahan.
Bolehlah dikatakan bahawa kemunculan mantiq semula jadi, falsafah, dan pemikiran secara umumnya adalah bersekali dengan kewujudan manusia, yakni bermula dengan kelahirannya. Mantiq, yang ditakrifkan sebagai peraturan-peraturan berfikir yang betul, melalui kefahaman (inference) yang menghasilkan kesimpulan- kesimpulan yang benar dan sahih, menjadi panduan kepada manusia dalam soal berfikir dan gerak daya yang berkaitan dengannya.
Dalam ulasannya terhadap mantiq Timur, Ibn Sina mendapati bahawa ada kemungkinan besar mantiq berasal dari Timur, mendahului mantiq Aristotle. Beliau mengatakan:
“Ada kemungkinan bahawa kita juga mewarisi ilmu dari sumber-sumber lain dari Greek..., kita mengalu-alukan ilmu ini kerana ia diperoleh melalui kaedah-kaedah ilmiah. Orang-orang Greek menamakannya Logic. Tetapi ada kemungkinan bahawa orang-orang Timur menamakannya dengan nama lain.”
Secara jujur kaum Muslimin telah bekerja keras mendalami mantiq Aristotle dan menguasainya dengan cemerlang berbanding bidang-bidang lain. Semua ini mungkin disebabkan oleh hakikat bahawa karya mantiq beliau telah diterjemah berkali-kali.
Merujuk kepada karya-karya sejarawan, al-Hujayri percaya bahawa mantiq dan falsafah yang dikembangkan oleh Aristotle secara berhati-hati melalui kaedah penyusunan dan pengkategorian, pada hakikatnya telah diwarisi oleh orang-orang Parsi, yang kemudiannya menulisnya secara tersusun dan formal.
Kalau kita melihat kepada sejarah sains dan falsafah, kita dapati para filsuf Greek menekankan prinsip-prinsip mantiq sebelum kedatangan Aristotle dan menggunakan prinsip-prinsip mantiq sebelum kedatangan Aristotle lagi, dan menggunakan prinsip-prinsip mantiq dalam penyelesaian masalah. Sebagai contoh, Sarton menyatakan dalam History of Philosophy bahawa Zeno menyiapkan kerja-kerja Parmenides dari segi ruang lingkup, kaedah dan pembuktian. Beliau mengesahkan bahawa sekiranya seseorang mengambil kira perubahan dan sifat berubah alam ini sebagai suatu hakikat dia pasti akan menemui kesimpulan yang mantiqi. Mungkin disebabkan oleh pendekatannya yang tersusun dan teratur beliau mampu memandu orang-orang yang datang kemudian. Aristotle menamakannya pengasas mantiq dan hujah dialektikal.
Zeno adalah filsuf aliran pemikiran Aela. Beliau dilahirkan pada 486 SM. Beliau hidup selepas Parmenides, dua kurun sebelum Aristotle. Beliau meyakini dan mengajar bahawa mustahil dua hakikat yang saling bercanggah disatukan. Prinsip ini digunakan bagi membuktikan kesatuan alam. Beliau dianggap orang yang banyak berbicara tentang mantiq.
Segala bukti yang dikemukakan oleh Zeno digunakan bagi menyokong teori kesatuan alam dan bagi menolak kemungkinan pergerakan dan perubahan. Semua bukti-bukti ini disandarkan kepada undang-undang percanggahan.
Golongan sufasta‘iyyah pula berusaha mengkaji khitabah dan jadal. Minat mereka ini akhirnya membawa mereka mengajar nahu dan sintaks. Dengan berbuat demikian mereka mengesahkan Protagoras, sofist yang pertama sebagai pengasas ilmu nahu. Beliau mempunyai pengaruh besar ke atas para pelajarnya terutama dalam soal kepelbagaian dan bentuk-bentuk kata kerja. Pada masa sama dia adalah guru pertama mantiq amali (practical logic).
Aristotle adalah orang pertama memperkenalkan logic sebagai kaedah ilmiah yang tersendiri dan seterusnya menulis tentangnya pada kurun keempat sebelum Masihi. Dengan sebab itu dia dikenali sebagai pengasas mantiq dan guru pertama.
Pada kurun yang pertama Hijrah kaum Muslimin dikenali dengan suatu kaedah mantiq yang tersendiri. Ini sebelum mantiq Aristotle berkembang luas. Mantiq kaum Muslimin dapat dilihat dengan jelas dalam bidang teologi dan prinsip-prinsip perundangan Islam. Dalam kurun-kurun berikutnya kedua-dua bidang ini menjadi bidang keutamaan kaum Muslimin. Mereka mengenal pasti dan menyelesaikan permasalahan agama dengan pertolongan dua bidang ilmu ini, khususnya teologi. Mereka bergantung kepada mantiq bagi membuktikan hujah-hujah mereka, dan bagi memperolehi kesimpulan-kesimpulan yang sahih, tanpa perlu merujuk kepada mantiq Aristotle.
Bidang ilmu yang membicarakan dasar-dasar perundangan adalah hasil mantiq para fuqaha. Golongan Mutakallimun tidak menggunakan mantiq Aristotle hinggalah ke kurun ke-5 hijrah disebabkan kepercayaan yang tinggi terhadap kemampuan dan keyakinan yang tinggi terhadap kemampuan dan keyakinan yang diberikan oleh mantiq mereka sendiri pada ketika itu.
Ramai ilmuwan ulung telah menyumbang kepada bidang mantiq, antaranya al-Kindi, Abu Bishr Matta b. Yunus, al-Qarani, Yahya Ibn Adi al-Nasrani, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Bihminyar dan al-Lawkari. Walaupun Ibn Sina tidak menghuraikan sepenuhnya mantiq Aristotle dalam bukunya al-Shifa’, dan tidak menjelaskannya dengan sempurna, dia telah melakukannya dalam buku-buku yang lain, dan dia telah menyampaikannya dengan tepat.
Para filsuf Muslim pada umumnya menghabiskan banyak masa dan usaha bagi menjelaskan masalah-masalah berkaitan mantiq. Sesetengahnya, seperti al-Farabi, Ibn Sina dan Nasiruddin al-Tusi, adalah contoh-contoh yang cemerlang dalam soal ini. Setengah ilmuwan dan pemikir lain seperti Fakhr al-Din al-Razi, Abu al-Barakat al-Baghdadi, al-Qutb al-Razi dan Sadr al-Din al-Shirazi turut memberi sumbangan besar terhadap bidang ini.
Abu Nasr al-Farabi telah menulis suatu kajian yang luas dan lengkap tentang mantiq, walaupun pada hakikatnya beliau hanyalah menulis suatu ringkasan dalam pembicaraannya tentang Organon karya Aristotle. Dia percaya, dengan menggalakkan mantiq seseorang boleh memperbaiki kaedah yang digunakan; jika digunakan dengan betul, seseorang akan dipandu oleh akal ke jalan yang benar dan terpelihara dari kesilapan.
Dia juga percaya bahawa kaitan mantiq dan akan seumpama kaitan nahu dan bahasa, atau prinsip-prinsip ‘arud dengan syair. Beliau menekankan aspek-aspek amali mantiq, dan meletakkan akal di bawah prinsip-prinsip mantiq.
Al-Farabi berhujah bahawa penggunaan khitabah dan jadal, ataupun kejuruteraan dan arithmetik, tidak berupaya menggantikan peranan mantiq kerana mantiq bukanlah ibarat suatu perhiasan yang tidak bermakna. Sebaliknya kecenderungan semula jadi manusia menyebabkannya mustahil ditukar ganti.
Isi kandungan dan unsur-unsur mantiq adalah berkenaan dengan perkara-perkara yang mengkaji prinsip-prinsip yang sahih dalam gerak daya berfikir. Karya yang dipersembahkan oleh al-Farabi dalam bidang syair mempunyai dua aspek. Yang pertama menyentuh keupayaan beliau memahami secara menyeluruh dan tepat mantiq Aristotle yang sudah tersebar ke dunia Arab; yang kedua menyentuh kemampuannya mengasaskan lima seni, yakni lima bentuk hujah.
Pada kurun-kurun ke-5 dan ke-6 Hijrah, Ibn Sina berjaya menjelaskan mantiq Aristotle, meringkas dan mengkajinya, dan menghabiskan masa yang banyak dalam usaha memahaminya. Dalam pendahuluan bukunya beliau ada menyebut tentang mantiq Timur, dan mendakwa ia selaras dengan mantiq aliran Mashsha‘i. Beliau mengajarkan falsafah gaya baru yang cenderung ke arah aliran Aristotle dan Mashsha‘i, menggabungkan kedua- duanya dengan pendekatan kaedah berdasarkan falsafah Neo-Platonik.
Antara karya-karya terpenting sumbangan Ibn Sina ialah Kitab al-Najat yang kemudiannya diterjemah ke bahasa Parsi dengan judul Danishnamah Ala‘i. Ibn Sina menulis buku berkenaan bagi memujuk Sultan Dinasti Kakwayh, dan mempersembahkannya kepada baginda sebagai hadiah.
Sumbangan lain beliau tentang mantiq boleh dilihat dalam al-Nukat wa al-Fawa‘id. Risalah ini tidak diketahui umum sebagai karyanya. Walau bagaimanapun terdapat satu salinan karya ini, di Istanbul. Secara ringkasnya ia merupakan suatu risalah tentang mantiq, fizik dan metafizik. Persoalan-persoalan yang dibincangkan itu juga boleh dijumpai di dalam kitab al-Najat dan juga al-Isharat yang juga merupakan karangan beliau.
Di dalam kitab al-Shifa’, yang dianggap salah satu karya teragung dalam bidang falsafah, Ibn Sina telah menulis suatu bab khusus tentang mantiq. Tajuk bab itu ialah al-Burhandan ia telah diterbitkan secara berasingan di Kaherah pada tahun 1954 oleh Abdul Rahman Badawi.
Nasruddin al-Tusi juga dianggap ilmuwan besar ilmu mantiq, lebih daripada keahlian beliau dalam perundangan Islam, sains, teologi, falsafah, matematik dan astrologi.
Nasruddin al-Tusi menyatakan bahawa mantiq itu adalah merupakan suatu ilmu dan suatu alat. Tujuannya sama dengan sains yang menyelidiki makna-makna dan sifat. Ia juga seperti suatu alat disebabkan sifatnya seumpama kunci kepada tanggapan dan kefahaman terhadap ilmu-ilmu yang lain. Beliau percaya bahawa ilmu mantiq mampu menghalang akal fikiran daripada terjerumus ke dalam kesilapan dan kekeliruan.
Al-Tusi membahagikan semua ilmu kepada faham (konsep) dan hukum. Beliau berhujah bahawa kefahaman terhadap sesuatu faham itu boleh dicapai melalui takrif, dan manakala hukum pula diketahui melalui kias (analogi). Beliau percaya bahawa takrif dan kias adalah merupakan alat-alat, dengan menggunakannya seseorang akan memperolehi ilmu.
Kias, berdasarkan kepada takrif yang diberikan oleh Ibn Sina berbeza daripada takrif Aristotle. Ibn Sina membahagikan silogisme kepada dua: Konjunktif dan ekseptif. Beliau menyempurnakan takrifan itu dengan menggunakan gaya bahasanya yang tersendiri.
Taqiyyuddin Abu al-Abbas Ahmad bin Abdul Halim, juga dikenali sebagai Ibn Taymiyyah, dilahirkan di Harran pada tahun 661 Hijrah. Dalam bukunya, al-Raddu ala al-Matiqiyyin, beliau merujuk kepada suatu buku yang bertajuk al-Ara’ wa al-Diyanah yang ditulis oleh al-Hassan bin Musa al-Nawbakhti yang mendedahkan dan menjelaskan kesilapan-kesilapan Aristotle dan falsafahnya. Ada permulaan bukunya Ibn Taimiyyah membicarakan tentang istilah ilmu mantiq. Seperti al-Hadd, al-Qawl al- Sharih dan istilah-istilah lain. Beliau juga membicarakan tentang silogisme, yang dibahagikan kepada pembuktian, jadal, khitabah, syair dan safsatah. Di hujung perbahasan tentang silogisme beliau memberikan penjelasan yang begitu cemerlang tentang kias dan induksi.
Selepas Ibn Taymiyyah seorang lagi ilmuwan muslim yang terkenal telah muncul, Abdul Rahman bin Muhammad Khaldun al-Maghribi, atau lebih dikenali sebagai Ibn Khaldun. Beliau amat kritikal terhadap mantiq Aristotle dan merupakan seorang tokoh ilmu kemasyarakatan dalam dunia Islam.
Ibn Khaldun membicarakan tentang mantiq dalam beberapa bab bukunya al-Muqaddimah. Beliau melihat persoalan ini dari sudut sejarah dan menjelaskan bagaimana ia muncul dan disebarkan ke seluruh dunia Islam. Beliau mentakrifkan intipati ilmu logik secara tepat dan kemudiannya menjelaskan asas-asasnya dan perbezaan-perbezaan yang berkenaan. Beliau dengan keras mengkritik mantiq Aristotle dan mempertahankan kritikannya itu dalam karya-karya beliau.
Kemunculan Sadr al-Din al-Shirazi pada kurun ke-10 dan ke-11 menandakan kemuncak pencapaian akliah dalam tamadun Islam. Tatkala kelihatan tanda-tanda kejumudan dan keruntuhan, zaman ini membuka jalan kepada kaedah baru dalam ilmu-ilmu akal yang menggabungkan falsafah Greek, falsafah Mashsha‘i, falsafah Iluminasi dan ajaran-ajaran Islam.
Dalam muqaddimah bukunya al-Asfar, beliau membahagikan ilmu kepada dua: ilmu teori yang terdiri daripada mantiq, matematik, fizik dan metafizik; dan ilmu amali yang mengandungi akhlak pentadbiran (ekonomi) dan politik bernegara.
- DR. SYED ALI TAWFIK AL--ATTAS ialah Ketua Pengarah Institut Kefahaman Islam Malaysia (IKIM).
Posted by Jamiah Hj. Manap at 5:46 PM 0 comments
Labels: Koleksi Artikel dari Akhbar
Wednesday, March 28, 2007
Melayu Dan Islam
Md. Asham bin Ahmad Fellow IKIM /12/2006 Artikel Bahasa Malaysia
Bangsa Arab sebelum kedatangan Islam dikenali sebagai Arab Jahiliyyah. Kedatangan Islam menandakan kelahiran zaman baru dan semangat baru yang telah merubah segala-galanya. Kalau kita ibaratkan zaman sebelum Islam sebagai zaman kegelapan akibat dari kejahilan, maka zaman Islam adalah zaman kecerahan, yang terhasil dari cahaya petunjuk Islam. Demikianlah halnya apabila kita berbicara tentang bangsa Melayu sebelum dan setelah kedatangan Islam. Melayu sebelum Islam adalah Melayu Jahiliyyah, yakni Melayu yang belum terbuka akal-budinya kepada petunjuk Islam dan kehidupan bertamaddun. Bahkan konsep Melayu dan bahasa Melayu itu sendiri tidak wujud sebelum Islam.
Kedatangan Islam, menurut Professor Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas (Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu, 1972), menandakan permulaan suatu zaman baru dalam perabadan sejarah Melayu. Beliau mengibaratkan kedatangan Islam ke alam Melayu sebagai ayam jantan yang berkokok mengejutkan bangsa Melayu dari tidur, dan menyedarkan mereka kegelapan malam sudah berakhir; kini hari sudah siang, masa untuk bekerja dan memulakan kehidupan.
Dalam konteks sejarah bangsa Melayu, Islam adalah titik-tolak kepada perubahan yang amat bermakna terhadap pemikiran, bahasa, dan cara hidup mereka secara keseluruhannya. Islam telah membawa revolusi kebudayaan, yang kelihatan jelas pada hasil-hasil penulisan ilmiah yang bersifat polemika, syarahan, terjemahan, dan lain-lain yang muncul pada abad-abad ke-15 hingga ke-17. Dengan acuan Islam, jelas al-Attas, telah terbentuk dalam jiwa Melayu semangat rasionalisme, individualisme dan internasionalisme.
Demikianlah umat Islam, tidak kira apa bangsa dan keturunan, melihat sejarah dan masa lalu dan menginsafi kaitannya dengan nasib mereka masa kini. Mereka mentafsirkan perubahan bersejarah sebagai sesuatu yang bermakna yang melanda akal dan budi bangsa mereka. Memang bukan semua perubahan itu menyebelahi kepada kebaikan, ada perubahan yang menyebelahi kepada keburukan. Perubahan yang buruk adalah yang membawa kepada kemerosotan atau kemunduran, dan perubahan yang baik adalah yang membawa kepada kebenaran dan kemajuan. Perubahan yang sebenar, yang dikehendaki, adalah yang kedua.
Soalnya: apakah kayu ukur kemerosotan dan kemajuan sesuatu bangsa? Yang mana satu dari berbagai kayu ukur yang ada sepatutnya digunakan bagi mengukur maju-mundur sesuatu bangsa? Kalau kita merujuk kepada pandangan Prof. al-Attas di atas tentulah Islam dan pandangan hidup yang dipancarkannya yang sepatutnya menjadi kayu ukur kita. Maksudnya, dengan kayu ukur Islam kita membandingkan apakah nasib Melayu pada hari ini lebih baik atau lebih buruk dari apa yang terbaik pernah dicapainya sebelum ini dalam sejarahnya. Dengan kayu ukur Islam perbandingan itu tidak terhenti pada sejarah dan pengalaman bangsa Melayu tetapi merangkumi sejarah dan pengalaman bangsa-bangsa Islam yang lain kerana mereka adalah rumpun-rumpun kepada Umat Islam secara keseluruhannya; melalui Islam kebudayaan Melayu dihubungkan dengan kebudayaan dunia, Timur dan Barat.
Bagi golongan yang menafikan sama sekali wujudnya kayu ukur yang boleh menilai secara objektif maju-mundur nasib sesuatu bangsa dalam melalui perjalanan sejarahnya sejarah hanyalah sekumpulan fakta-fakta kejadian yang tidak saling berkait antara satu sama lain. Sejarah, bagi mereka, tidak mengajar apa-apa yang berguna bagi merancang tindakan masa hadapan. Tanggapan ini terlalu jelas kedangkalannya dan tidaklah perlu dipedulikan. Bagi yang percaya terhadap kepentingan dan kegunaan sejarah pula timbul masalah objektiviti tafsiran. Sebarang usaha untuk mentafsirkan peristiwa-peristiwa sejarah bagi mengambil pengajaran dan manfaat darinya, tidak boleh tidak, mesti melibatkan usaha mengaitkan suatu fakta dengan fakta yang lain dalam kerangka sebab-akibat. Siapa yang akan memberi kata putus tafsiran siapa yang tepat? Persoalan ini ada asasnya, dan kalau tidak ditangani dengan bijaksana, hanya akan mengiakan lagi pandangan yang menafikan ataupun meragui kepentingan dan kegunaan sejarah.
Kalau sekiranya tulang temulang yang bercantum pada sendi-sendi yang membentuk kerangka memberi rupa pada jasad manusia, 'kerangka pemikiran' pula memberi rupa kepada akal dan mencirikan tabiatnya. Si pentafsir sejarah, dalam tafsirannya terhadap peristiwa-peristiwa yang berlaku, tidak boleh mengelak dari menjelmakan 'rupa' akalnya. Yang kita maksudkan dengan 'rupa akal' ialah pandangannya terhadap hakikat kewujudan ini, yang merujuk kepada apa yang diakuinya sebagai benar (hakikat) perihal diri insan, tugas dan tanggungjawabnya dalam dunia ini, dan kesudahan untung nasibnya. Dalam kata lain, apakah pandangan hidup (worldview) yang dipegang oleh si pentafsir itu.
Dalam menilai peranan Islam dalam sejarah dan kebudayaan bangsa Melayu kita boleh melihat dua kecenderungan yang merugikan. Pada satu pihak ialah golongan berfikiran sekular, yang masih terbelenggu pada gelang perhambaan kesarjanaan kolonial. Mereka cenderung meremehkan dan memperkecilkan peranan dan pengaruh Islam dalam sejarah dan kebudayaan Melayu. Pada satu pihak lagi ialah golongan modernis dan pembaharu agama (reformis) yang salah asuhan.
Walaupun tidak menafikan peranan dan pengaruh Islam, tetapi Islam yang difahami dan diamalkan oleh orang Melayu itu, pada pandangan mereka, bukanlah Islam yang tulen, tetapi yang telah tercemar oleh noda-noda pengaruh asing.Golongan pertama adalah penyanjung kebudayaan Barat, yang pada mereka adalah pembawa perubahan yang sebenar terhadap jiwa dan raga Melayu. Golongan kedua, walaupun riuh mendakwa mendokong cita-cita perjuangan Islam yang tulen, tidak memiliki kelayakan yang sewajarnya untuk memimpin umat Islam mengharungi cabaran semasa. Mereka adalah penganut faham-faham pembaharuan yang telah memutuskan diri dari tradisi keilmuan Islam yang dianggap tidak secocok dengan apa yang mereka cita-citakan. Kedua-dua golongan ini bukan sahaja keliru tetapi juga bertanggungjawab menyebarkan kekeliruan ke dalam pemikiran masyarakat.
Apabila Islam dinafikan atau diperkecilkan peranannya bangsa Melayu teraba-raba mencari identitinya: patutkah dia kembali ke alam pemikiran purbakala sebelum Islam bagi mencari pedoman hidup? wajarkah dia terima sahaja apa-apa yang disogokkan oleh bangsa-bangsa Eropah? Tambah mengelirukan apabila agama Islam yang selama ini dianuti didakwa mengandungi unsur-unsur asing yang menyeleweng, yang menjadi punca kemunduran umat Islam hari ini. Mampukah agama Islam terus menjadi pedoman hidup? Atau patutkah ia dipinda dan diubahsuai sejajar dengan kehendak-kehendak semasa?
Semua ini berlaku kerana kita telah menerima tafsiran yang palsu terhadap hakikat agama Islam dan peranannya dalam membentuk identiti bangsa Melayu. Walau apa sekalipun, setelah hampir 50 tahun merdeka, kita tidak lagi boleh menuding jari kepada orang lain terhadap nasib malang yang menimpa. Kita harus sedar bahawa akibat kehampaan ilmu pengetahuan tentang agama Islam, pandangan hidup yang dipancarkannya, dan peranannya dalam sejarah dan kebudayaan sendiri, bangsa Melayu kini menderita penyakit 'krisis identiti'. Dengan melupakan sejarah mereka tiada mempunyai matlamat tertentu bagi panduan hidup nusa dan bangsa pada masa hadapan.
Hari ini cabaran yang dihadapi oleh bangsa Melayu di negara ini amatlah getir. Sebagai golongan majoriti mereka mesti bijak menangani soal kepelbagaian agama dan budaya, yang berkemungkinan untuk digunapakai sewenangnya oleh pihak-pihak yang mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu. Peristiwa 9/11 menyebabkan sebahagian umat Islam bersikap apologetik apabila berbicara tentang Islam, dan keadaan ini dilihat oleh sesetengah pihak sebagai kesempatan yang baik untuk mempersoalkan kedudukan Islam dalam negara ini. Melayu yang menafikan terus, atau sekurang-kurangnya tidak pasti apakah kaitan Islam dengan akal-budinya tentunya tidak boleh diharapkan untuk mempertahan dan memperjuangkan Islam. Kepada mereka kita ingatkan: tanpa Islam Melayu hilang di dunia!
Rujukan
Md Asham Ahmad, 2006. Melayu dan Islam. 28 Mac 2007.
http://ikim.gov.my/v5/index.php?lg=1&opt=com_article&grp=2&sec=&key=1151&cmd=resetall
Posted by Jamiah Hj. Manap at 9:02 PM 0 comments
Labels: Koleksi Artikel dari Akhbar
Wednesday, February 21, 2007
Membina Generasi Pewaris
Membina Generasi Pewaris Yang Bertaraf Tinggi
Oleh Abu Bakar bin Yang, Fellow IKIM
Di saat kita mengharungi pergelutan zaman yang semakin pantas berubah dan juga semakin menjurus ke arah kehidupan kebendaan yang begitu dahshat, kita tidak seharusnya lalai dalam memberikan asuhan dan bimbingan yang sewajarnya kepada generasi muda masa kini. Menyedia dan mencorakkan daya fikir serta mengasuh mereka dengan kefahaman Islam yang betul adalah satu keperluan yang mesti dilakukan kerana ianya ternyata dapat memberikan kesan mendalam kepada golongan ini. Hal ini berdasarkan kepada keupayaan golongan muda untuk mencerap dengan mudah apa sahaja bentuk pendidikan yang diberikan sama ada yang baik ataupun yang sebaliknya.
Oleh itu bentuk pendidikan yang bakal dimasukkan ke dalam akal fikiran golongan ini perlulah sesuatu yang berupaya untuk membentuk pemikiran mereka yang sihat dan pada masa yang sama berupaya pula menyediakan mereka sebagai pelapis yang akan mewarisi bumi Malaysia ini. Usaha ini juga pastinya menjadi matlamat untuk mewujudkan satu generasi yang cintakan ilmu yang seterusnya melahirkan golongan pemikir dan juga pewaris kepimpinan yang bertaraf tinggi. Cita-cita yang sebegini pastinya suatu yang sukar untuk dicapai terutamanya dalam suasana kehidupan masa kini yang begitu mencabar, namun ianya bukanlah suatu yang mustahil.
Sebenarnya hasrat untuk memiliki dan melahirkan generasi yang hebat bukanlah perkara baru, malah ianya juga pernah disuarakan oleh Sayyidina Umar al Khattab suatu ketika dahulu. Pernah suatu ketika bersama-sama dengan para sahabat yang lain Umar bertanya kepada para sahabatnya apakah yang diinginkan oleh mereka. Lalu antara mereka ada yang bercita-cita untuk memiliki sejumlah harta yang banyak, dan dengan harta itu dapat mereka sedekah dan belanjakan pada jalan Allah. Namun keinginan Umar jauh berbeza daripada para sahabatnya, apabila beliau mengatakan "Aku inginkan sekumpulan manusia yang hebat seperti Abu Ubaydah al Jarrah, Muaz ibn. Jabal dan Salim Maula Abi Hudhaifah untuk membantu aku mendaulatkan agama Allah."
Ternyata apa yang diungkapkan oleh Umar ini merupakan satu pengertian yang besar tentang peri pentingnya membina satu generasi yang bertaraf mulia untuk memikul dan melaksanakan impian dan cita-cita umat Islam. Lembaran sejarah juga telah memperlihatkan kepada kita bagaimana baginda Rasulullah s.a.w. sendiri dalam rangka usahanya menjayakan risalah Islam telah melaksanakan usaha pembinaan satu kelompok manusia yang menjadi teras utama sebagai benteng dan tulang belakang pembentukan umat yang baru. Kelompok manusia inilah yang dinamakan oleh Syed Qutb sebagai ‘generasi al Quran yang unik', iaitu kelompok teras yang mulia dan yang telah menjayakan segala bentuk perancangan yang dibuat oleh baginda Rasulullah s.a.w.
Golongan teras yang bertaraf mulia ini telah melalui pendidikan dan penghayatan nilai-nilai dinamik al Quran yang ditampil dan diterjemahkan dalam setiap ciri kehidupan Rasullullah s.a.w. sebagai pendidik serta pembimbing kepada generasi al Quran yang unik ini. Sebagai pemimpin dan juga pendidik kepada pengikutnya, Rasulullah s.a.w. berupaya mengenali setiap potensi yang ada pada setiap diri pengikutnya, dan potensi ini digilap dan diasuh secukupnya oleh Baginda sehingga dari generasi inilah lahirnya peribadi-peribadi agung yang masih sesuai untuk diteladani hingga ke hari ini.
Di bawah pimpinan Rasulullah s.a.w. semua orang mendapat peluang untuk menampil dan mengembangkan potensi masing-masing, termasuk mereka yang pernah memusuhi Baginda sebelum memeluk Islam seperti Khalid al Walid dan Umar al Khattab sendiri. Tidak ada di kalangan umat Islam yang dianaktirikan atau amalan diskriminasi dipraktikkan, malah setiap pengikut Rasulullah s.a.w. dianggap sebagai ‘aset' yang sangat bernilai.
Suasana kepimpinan Rasulullah s.a.w. juga memperlihatkan kepentingan amalan budaya baik yang menyeluruh dan meluas di dalam masyarakat Islam ketika itu kerana taraf kebaikan tidak mengenal rupa paras, warna kulit, bangsa, umur atau keturunan. Dalam suasana demikianlah lahirnya pemuda Usamah bin Zayd yang diberi kesempatan untuk memimpin ketumbukan tentera Islam ketika usianya masih belasan tahun. Di bawah kepimpinan baginda jugalah buah pemikiran Salman al Farisi diberi ruang ketika keputusan diambil untuk membina benteng di sekeliling Kota Madinah ketika Perang Khandak, sedangkan Salman bukanlah anak watan tanah Arab melainkan beliau merupakan anak kelahiran bumi Parsi. Begitu juga kehebatan taraf iman yang dipamerkan oleh Bilal ibn. Rabah, seorang manusia berkulit hitam yang asalnya seorang hamba abdi, tetapi diangkat darjatnya sebagai sahabat kanan baginda Rasulullah s.a.w. yang dijamin syurga kerana ketinggian taraf keimanan yang dimilikinya.
Begitulah juga hasrat dan cita-cita kita hari ini untuk melihat lahirnya golongan muda Islam yang bertaraf mulia tampil ke hadapan dan memimpin masyarakat masa kini. Di Malaysia, jumlah penduduk yang boleh disenaraikan sebagai golongan muda membentuk lebih 40 peratus daripada penduduk negara. Ini merupakan satu jumlah yang besar. Sekiranya separuh daripada jumlah ini dapat berperanan sebagai golongan yang bertaraf baik, itu sudah memadai untuk Malaysia menjadi sebuah negara yang cukup kuat di persada antarabangsa. Namun dengan jumlah yang ramai tetapi tanpa taraf kemuliaan yang diharapkan tidak akan membawa kita ke mana-mana. Bahkan kita telah diingatkan oleh Allah SWT bahawa yang baik dan mulia itu tidak sama dengan yang buruk walaupun yang buruk itu kelihatan banyak, sebagaimana firmanNya dalam surah al Maidah, ayat 100.
Justeru, pembinaan golongan muda yang bertaraf tinggi yang akan mewarisi tanah air ini sewajarnya diberi perhatian utama dalam agenda pembangunan negara. Pembangunan modal insan sepertimana yang diwar-warkan kebelakangan ini oleh pemerintah mestilah diberikan perhatian yang wajar dan kesungguhan yang tinggi. Tanpa kesungguhan yang jitu maka tidak mungkin keinginan kita untuk melihat golongan pewaris yang kuat dan berkemampuan lahir untuk menghadapi cabaran hari depan. Kejayaan membina masa depan yang cemerlang, gemilang dan terbilang lebih banyak bergantung kepada keupayaan generasi masa kini membina kecemerlangan generasi pewaris tersebut.
Perit getir kehidupan masa kini telah memperlihatkan kepada kita bahawa masyarakat akan datang lebih merupakan masyarakat yang penuh dengan persaingan. Bahkan sekarang ini pun kita sudah merasakan bahang persaingan yang cukup hebat dan betapa cemasnya kita menyaksikan generasi anak-anak kita berhempas pulas menghadapi persaingan di pelbagai bidang. Keadaan ini memperlihatkan sekali lagi kepada kita bahawa hanya mereka yang bertaraf tinggi sahaja yang mampu mengungguli persaingan ini.
Maka dengan itu, langkah-langkah dan usaha pembinaan generasi pewaris ini perlulah diberi perhatian dengan lebih gigih lagi terutamanya melengkapkan mereka dengan ilmu-ilmu yang betul dan sesuai dengan perkembangan zaman. Kewujudan generasi ilmuan yang mulia dengan kekuatan daya saing yang tinggi sudah pasti akan menghasilkan kesan yang baik dalam pembentukan generasi pewaris. Iaitu generasi pewaris keilmuan yang terlatih dan terdedah kepada unsur-unsur pembinaan diri yang terarah dan turut menghayati serta memiliki jiwa Islam yang kental.
Justeru, pembinaan generasi pewaris yang bertaraf mulia yang kita idamkan sangat bergantung kepada arah tuju, semangat dan kegigihan yang kita lakukan sekarang. Mana mungkin kita dapat melahirkan generasi pewaris yang kuat dan bertaraf mulia sekiranya kita sendiri mengabaikan tanggungjawab untuk membina generasi yang cerdas akal fikirannya, murni jiwanya dan lebih-lebih lagi yang beriman dan beramal serta berilmu dan berakhlak mulia.
Rujukan
Abu Bakar Yang, 2007. Membina generasi pewaris bertaraf tinggi. 22 Febuari 2007.
http://www.ikim.gov.my/v5/index.php?lg=2&opt=com_article&grp=2&sec=&key=1192&cmd=resetall
Posted by Jamiah Hj. Manap at 8:30 PM 0 comments
Labels: Koleksi Artikel dari Akhbar
Saturday, February 03, 2007
Beliawanis Islam Malaysia:Profil Religiositi, Personaliti dan Lencongan Tingkah Laku
Artikel ini merupakkan sebahagian daripada Prosiding Seminar Psikologi Serantau. Rujukan dalam artikel ini kurang mantap kerana kebanyakkannya bersumberkan internet. Bagaimanapun, artikel ini tetap dipaparkan untuk dikongsi bersama. Sebarang cadangan untuk memperbaiki artikel ini amat dialu-alukan. Pembentangan artikel ini boleh dicapai di sini.
Beliawanis Islam Malaysia:
Profil Religiositi, Personaliti dan Lencongan Tingkah Laku
Jamiah Manap, Azimi Hamzah, Sidek Mohd. Noah & Hasnan Kasan
Universiti Kebangsaan Malaysia
Universiti Putra Malaysia
ABSTRAK
Kajian tentang beliawanis muslim di Malaysia adalah terhad khususnya berkaitan dengan religiositi dan personaliti. Sehubungan itu, data telah diperolehi daripada 905 orang responden yang terdiri daripada beliawanis muslim berusia di antara 15 hingga 35 tahun yang merangkumi enam kumpulan (mahasiswi IPTA, ahli persatuan belia, ahli parti politik, pelatih pusat serenti, belia umum dan pekerja kilang). Kajian mendapati tasawur Islam dan personaliti muslim beliawanis berada di tahap sederhana. Lencongan tingkah laku pula berada pada tahap rendah. Kajian turut mendapati wujudnya hubungan signifikan di antara keempat-empat elemen yang dikaji iaitu tasawur Islam, personaliti muslim, perlaksanaan solat dan lencongan tingkah laku.
Kata Kunci: Beliawanis, personaliti muslim, tasawur Islam, solat dan lencongan tingkah laku.
ABSTRACT
There is currently a dearth of research on female Muslim youth in Malaysia pertaining to religiosity and personality. Therefore, data were collected from 905 female Muslim youth aged between 16 and 35 years from six categories (IPTA students, youth organization members, political party members, pusat serenti attendees, youth ‘at-large’, and young factory workers). The findings indicated that their knowledge and perception of tasawwur (Islamic worldview) and personality (religious behaviors) are moderate while their level of engagement in at-risk behaviors is low. The research also found significant relationships between four variables – tasawwur (Islamic Worldview), Muslim religious personality, solat (ritual prayer) and at-risk behaviors.
LATAR BELAKANG KAJIAN
Latarbelakang Religiositi Muslim
Islam menawarkan penyelesaian terbaik kepada segala permasalahan dunia moden hari ni kerana agama Islam bersifat stabil dan dinamik (Khurshid Ahmad, 2003). Keperibadian dan cara hidup Islam merupakan metodologi terbaik untuk mencegah gejala keruntuhan akhlak sebagaimana firman Allah dalam Surah Ankabut ayat 58 yang bermaksud: “Bahawa solat yang sempurna itu dapat mencegah manusia daripada melakukan perbuatan keji dan mungkar”. Selain solat, ibadat-ibadat lain yang difardukan di dalam Islam adalah latihan berterusan bagi membentuk akhlak mulia (Muhammad Al-Ghazali, 2002).
Kedatangan Islam telah merubah keperibadian masyarakat jahiliah Arab yang terkenal ganas, tamak, sombong dan kejam menjadi bangsa pengasih, penyayang, pemaaf, jujur, berilmu dan terdidik (Muhammad Abdul Hadi, 2003a). Di samping itu, keimanan yang jitu telah melahirkan pentadbir yang cekap, usahawan yang berjaya, pemikir yang berwibawa, seniman yang disegani, tenaga kerja yang profesional dan pemimpin yang berkredibiliti (Muhammad Abdul Hadi Abu Reidah, 2003a). Iman dan ilmu turut digunakan oleh ahli psikiatri Islam untuk merawat roh melalui kawalan minda sehingga dapat mengawal keinginan (Muhammad Abdul Hadi, 2003a).
Falsafah hidup Islam adalah berasaskan falsafah tauhid iaitu mengesakan Allah (Nik Mustapha Nik Hasan, 1995). Setiap urusan individu muslim mesti selaras dengan nilai utama iaitu kekuasaan Allah melampaui batas kekuasaan makhluk dan ketinggian wahyu melampaui kebijaksanaan akal (Lukman Ab. Rahman, 1997). Oleh itu, keimanan adalah daya utama yang memandu kehidupan manusia kepada personaliti positif kerana individu yang beriman akan bertindak secara positif berasaskan ajaran Islam. Ini bersesuaian dengan model nukleitik yang dibangunkan oleh Tunku Sarah Tunku Mhd. Jiwa (1999), dalam Rajah 1. Model ini mengaitkan keimanan dengan pembentukan masyarakat bernilai mulia secara global. Pembentukan nilai ini bertunjangkan keteguhan iman kepada Allah . Keteguhan iman melahirkan manusia berakhlak yang akan berinteraksi dengan masyarakat dan alam sejagat. Justeru, model ini turut bersesuaian dengan pendapat Ahmad M. Raba (2001), yang menyatakan bahawa keruntuhan akhlak adalah berpunca daripada kelemahan iman.
Latar Belakang Beliawanis Muslim Malaysia
Malaysia memerlukan belia yang dinamik, berdaya saing dan efisyen untuk mencapai wawasan 2020 (Abdullah Ahmad Badawi, 2004). Belia merupakan 77 peratus daripada jumlah populasi negara (Azalina Othman, 2004). Dengan kata lain, belia Malaysia merupakan golongan yang berusia di antara 15 hingga 40 tahun adalah aset utama negara.
Pembentukan belia yang dinamik memerlukan penghayatan agama yang jitu. Agama membentuk nilai dan seterusnya menentukan tingkah laku manusia. Sehubungan itu, penghayatan agama belia perlu dikenal pasti untuk membantu belia mengenali kekuatan dan kelemahan diri mereka dari aspek keagamaan seterusnya memajukan diri ke arah kecemerlangan. Pemahaman terhadap profil para belia akan dapat digunakan untuk mendekati dan mengenal pasti situasi sebenar belia seterusnya merangka pelan tindakan yang efektif dan efisyen untuk memantapkan lagi jati diri dan keterampilan belia secara optimum.
Golongan belia terdiri daripada belia dan beliawanis. Kedua-dua golongan tersebut adalah berbeza dan unik. Bagaimanapun, kajian seringkali dibuat ke atas golongan belia secara umum. Oleh yang demikian, kajian ini difokuskan terhadap tasawur Islam, personaliti muslim, perlaksanaan solat lima waktu dan lencongan tingkah laku di kalangan beliawanis muslim di Malaysia.
Beliawanis muslim merupakan belia perempuan beragama Islam berusia di antara 15 hingga 40 tahun. Pada tahun 2000, populasi golongan beliawanis muslim di Malaysia dianggarkan sejumlah 2.3 juta orang (Jabatan Perangkaan Malaysia, 2000). Daripada bilangan tersebut, 98% telah atau sedang mengikuti pendidikan secara formal (Jabatan Perangkaan Malaysia, 2000).
Sumbangan beliawanis muslim terhadap negara tidak dapat dipertikaikan lagi. Beliawanis muslim merupakan tunggak utama kesejahteraan keluarga, masyarakat dan negara. Sebelum kurun ke 18, nama-nama srikandi daripada golongan bangsawan seperti Tun Fatimah, Puteri Hang Li Po dan Tun Teja diabadikan dalam sejarah kerajaan Melayu Melaka. Selepas merdeka, beliawanis dari golongan bangsawan dan kelas menengah berpeluang mendapat pendidikan tinggi. Justeru, lahirlah tokoh-tokoh wanita dalam bidang perubatan (Toh Puan Sri Datin Siti Hasmah Mohamad Ali), politik (Tan Sri Fatimah Hasyim), pendidikan (Puan Sri Profesor Dr. Fatimah Hamidon, bahasa (Profesor Dr. Nik Safiah Abdul Karim), arkib (Datuk Zakiah Hanum Abdul Majid) dan astrofizik (Profesor Datuk Dr. Mazlan Othman). Selepas zaman 70-an, peluang pendidikan yang lebih luas telah melahirkan beliawanis berpendidikan tinggi selari dengan perubahan stigma masyarakat terhadap peranan sebenar wanita. Kini, beliawanis muslim di Malaysia menguasai 65% tempat belajar di universiti serta memegang jawatan tinggi dalam sektor kerajaan dan swasta (Ungku Aziz, 2004).
Kemajuan beliawanis muslim perlu selari dengan kekuatan penghayatan nilai agama. Pembangunan nilai merupakan satu daripada teras utama Pelan Tindakan Pembangunan Pembangunan Belia Nasional untuk melahirkan belia yang cemerlang, gemilang dan terbilang (Kementerian Belia dan Sukan, 2004). Pada tahun 1922, kaum Melayu menghadapi masalah ketandusan ilmu, akhlak mulia, wawasan dan harta menurut Pendeta Za’ba (Najib Razak, 2004). Hari ini, negara kian maju namun budaya destruktif (miskin ilmu) masih berlaku manakala budaya negatif lain seperti penyalahgunaan dadah, bohsia dan keruntuhan moral semakin berleluasa (Abdullah Ahmad Badawi, 2004). Kenyataan ini disokong oleh M. Kamal Hasan, (2004) yang turut menyatakan kebimbangan beliau terhadap fenomena dekadensi moral dan etika yang berlaku.
Menyedari kepentingan agama terhadap pembentukan beliawanis cemerlang dan berakhlak mulia, adalah amat penting kajian ini dilaksanakan untuk mendalami tasawur Islam, personaliti muslim dan lencongan tingkah laku di kalangan beliawanis muslim di Malaysia dan seterusnya mengenal pasti perkaitan di antara semua elemen tersebut dalam pembentukan jati diri beliawanis. Secara keseluruhannya kajian yang dilaksanakan ini bersandar kepada empat objektif:
1. Mengenalpasti profil religiositi beliawanis muslim di Malaysia
2. Mengenalpasti profil personaliti muslim beliawanis Malaysia
3. Mengenalpasti profil tingkahlaku devien beliawanis Muslim Malaysia
4. Melihat perkaitan di antara religiositi, personaliti muslim, ibadah solat dan lencongan tingkah-laku
Skop dan Metode Kajian
Kajian ini berbentuk kuantitatif yang menggunakan pendekatan kajian deskriptif dan korelasi. Data telah dikumpulkan daripada 905 orang beliawanis daripada tiga kumpulan umur: kumpulan beliawanis awal (16-20 tahun), kumpulan beliawanis pertengahan (21-24 tahun) dan kumpulan beliawanis akhir (25-35 tahun). Beliawanis tersebut di pilih daripada enam kumpulan belia secara rawak. Kumpulan belia tersebut adalah mahasiswi Institut Pengajian Tinggi Awam (IPTA), ahli persatuan belia, pelatih pusat serenti, ahli parti politik, belia umum dan pekerja industri.
Tasawur Islam, personaliti muslim dan lencongan tingkah laku diukur menggunakan Inventori Religiositi dan Personaliti Muslim. Min dan peratusan digunakan untuk menjelaskan latar belakang responden. Korelasi Spearman digunakan untuk mengenal pasti hubungan di antara tasawur Islam, perlaksanaan ibadah solat, personaliti muslim dan lencongan tingkah laku.
DAPATAN KAJIAN
Demografi Responden
Jadual 1 menunjukkan latar belakang umur, pertempatan, etnik dan status perkahwinan responden. Majoriti responden berusia adalah golongan beliawanis pertengahan (44%). Statistik ini diikuti pula dengan beliawanis awal (35.2%) dan beliawanis akhir (21.3). Proposi pertempatan di antara beliawanis yang tinggal di bandar (42%) dan luar bandar (58%) pula hampir sama. Hampir kesemua responden masih belum berkahwin (85%). Ini berkait rapat dengan majoriti responden yang berusia dalam lingkungan 15 hingga 25 tahun.
JADUAL 1
Latar Belakang Umur, Pertempatan dan Status Perkahwinan
Jadual 2 pula menerangkan latar belakang pendidikan, kategori kumpulan dan pendapatan responden. Berasaskan statistik yang diperolehi, kesemua responden telah mendapat pendidikan secara formal sama ada para peringkat sekolah rendah (11.4%), sekolah menengah (8.6%), persijilan (50%) mahupun di peringkat pengajian tinggi (30%). Ini menunjukkan tiada masalah buta huruf dikalangan beliawanis muslim. Majoriti responden mempunyai kelulusan STPM, sijil akademik atau sijil kemahiran (50%) manakala 41.4% responden mempunyai ijazah dan diploma. Ini menunjukkan, tahap pendidikan beliawanis adalah tinggi kerana hamper kesemua 89% mempunyai pendidikan sekurang-kurangnya pada peringkat menengah.
Majoriti responden berpendapatan rendah iaitu kurang daripada RM 1000 (70%). Sejumlah 38.6 peratus berpendapatan antara RM1000 hingga RM 3000. Manakala, hanya 2% responden berpendapatan lebih daripada RM 3000.
JADUAL 2
Latar Belakang Pendidikan, Kategori dan Pendapatan
Profil Tasawur Islam
Jadual 3 menunjukkan skor tasawur Islam di kalangan responden. Berasaskan skor yang diperolehi, majoriti responden mempunyai pengetahuan tasawur Islam pada tahap sederhana (40.2%). Sejumlah 25% mempunyai pengetahuan tasawur Islam yang tinggi. Sebaliknya, sejumlah 34% mempunyai tahap pengetahuan yang rendah. Ini menunjukkan, hanya suku daripada responden mempunyai pengetahuan tasawur Islam yang sangat tepat.
JADUAL 3
Skor Tasawur Islam
Profil Tasawur Islam Mengikut Kategori Beliawanis
Nilai maksimum bagi z-skor tasawur Islam adalah 5.0. Purata keseluruhan tasawur Islam Tasawur Islam beliawanis adalah 3.0. Sehubungan itu, secara keseluruhannya adalah sederhana. Kajian mendapati, tiga kategori beliawanis memperolehi purata skor melebihi 3.0 iaitu mahasiswi IPTA (3.16), ahli persatuan belia (3.06) dan ahli parti politik (3.05). Sejumlah tiga kategori belia lagi memperolehi purata skor purata yang rendah atau kurang daripada 0 iaitu belia umum (2.83), pelatih pusat serenti (2.49) dan pekerja sektor industri (2.19). Sehubungan itu, ketiga-tiga kategori belia ini memerlukan perhatian yang lebih untuk membantu memantapkan lagi tasawur Islam mereka. (Sila rujuk Rajah 1).
RAJAH 1
Z-Skor Tasawur Islam Beliawanis Mengikut Kategori
Profil Personaliti Muslim
Jadual 4 menunjukkan skor personaliti Muslim di kalangan responden. Berasaskan skor yang diperolehi, majoriti skor personaliti muslim responden berada pada tahap sederhana (67.8). Sejumlah 19.3% memperolehi skor tinggi dan sederhana tinggi. Sebaliknya, sejumlah 13% memperolehi skor personaliti muslim yang rendah dan sederhana rendah.
JADUAL 4
Personaliti Muslim Beliawanis
Profil Personaliti Muslim Mengikut Kategori Beliawanis
Nilai maksimum bagi skor personaliti muslim adalah 5.0. Purata skor keseluruhan personality muslim beliawanis adalah 3.1. Oleh itu, personaliti muslim beliawanis secara keseluruhannya adalah sederhana. Kajian mendapati, semua kategori belia beliawanis memperolehi purata skor sama atau melebihi 3.0 kecuali pelatih pusat serenti 2.6. Sehubungan itu, pelatih pusat serenti memerlukan perhatian yang lebih untuk membantu memantapkan lagi personaliti muslim mereka. (Sila rujuk Rajah 2).
RAJAH 2
Skor Purata Personaliti Muslim Mengikut Kategori Beliawanis
Profil Perlaksanaan Solat Lima Waktu
Jadual 5 menunjukkan perlaksanaan ibadah solat lima waktu beliawanis secara keseluruhan. Berasaskan jadual tersebut, majoriti responden (61.5%) menunaikan tuntutan solat lima waktu. Manakala, sebahagian lagi (48.5%) lagi gagal memenuhi tuntutan rukun Islam kedua ini. Daripada jumlah tersebut, 4% jarang melakukan solat manakala 0.9% lagi tidak pernah melakukan ibadah tersebut. Situasi ini adalah membimbangkan kerana solat lima waktu merupakan tiang agama serta mencegah daripada perbuatan keji dan mungkar. Justeru, kegagalan sebahagian besar beliawanis muslim menunaikan solat menunjukkan keruntuhan agama dan daya kawalan mereka.
JADUAL 5
Perlaksanaan Solat Lima waktu
Rajah 3 menunjukkan purata kekerapan perlaksanaan ibadah solat mengikut kategori beliawanis. Kajian mendapati, kekerapan perlaksanaan ibadah solat bagi semua kategori adalah tinggi kecuali di kalangan belia umum (2.86) berbanding skor purata keseluruhan (4.41). Bagaimanapun, soalan ini tidak diberikan kepada beliawanis pusat serenti.
RAJAH 3
Perlaksanaan Ibadah Solat Beliawanis Mengikut Kategori
Profil Lencongan Tingkah Laku
Senario lencongan tingkah laku beliawanis dicatatkan dalam Jadual 6. Hampir separuh (44.9%) daripada responden kerap melepak. Sejumlah 6.7% terlibat dengan masalah rokok manakala 6.6% pula mengakui kerap bercumbuan di luar ikatan perkahwinan. Lebih daripada 4% responden masih mengambil dadah (5.2%) dan menonton video lucah (4.5%). Sejumlah 3% atau lebih responden meminum arak dan bersekedudukan (3.9%), membaca buku lucah (3.5%) dan berzina (3.0%). Peratusan lencongan tingkah laku terendah adalah perbuatan berjudi (2.2%) dan lesbian (1.3%).
JADUAL 6
Lencongan Tingkah Laku Beliawanis Malaysia
Rajah 4 menunjukkan min lencongan tingkah laku beliawanis muslim mengikut kategori. Kajian mendapati kesemua skor purata lencongan tingkah laku adalah kurang daripada -2.0 kecuali di kalangan pelatih pusat serenti (2.68) dan belia umum (0.20). Perbezaan lencongan tingkah laku ini amat ketara di antara dua kategori tersebut dengan kategori lain. Oleh itu, secara umumnya lencongan tingkah laku di kalangan beliawanis adalah rendah kecuali bagi dua kategori belia tersebut.
RAJAH 4
Lencongan Tingkah Laku Beliawanis Muslim Mengikut Kategori
Jadual 7 menunjukkan perlakuan dosa besar di kalangan beliawanis. Kajian mendapati, 6.5% daripada responden melakukan salah satu atau melebihi satu daripada enam kategori dosa besar yang disenaraikan. Dosa-dosa besar tersebut adalah berjudi, menghisap dadah, minum arak, berzina, bersekedudukan dan lesbian. Daripada peratusan tersebut, 1.5% melakukan satu daripada kategori tersebut manakala lima peratus lagi melakukan dua atau lebih daripada kategori dosa besar tersebut.
JADUAL 7
Beliawanis dan Perlakuan Dosa Besar
Hubungan Di Antara Tasawur Islam, Personaliti Muslim, Perlaksanaan Ibadah Solat
dan Lencongan Tingkah Laku
Jadual 8 menunjukkan hubungan di antara tasawur Islam, personaliti muslim, solat dan lencongan tingkah laku beliawanis. Kajian mendapati, tasawur Islam mempunyai hubungan yang positif tetapi rendah dengan tasawur Islam. Dapatan yang sama turut diperolehi dalam hubungan personaliti muslim dan solat. Kajian turut mendapati, lencongan tingkah laku mempunyai hubungan negatif dalam kadar rendah terhadap tasawur Islam, personaliti muslim dan kekerapan menunaikan solat. Walaupun korelasi yang dicatatkan adalah rendah, kajian ini membuktikan tasawur Islam yang mantap dan solat lima waktu dapat mencegah lencongan tingkah laku. Dapatan ini selaras dengan firman Allah dalam surah Al-Ankabut ayat 45 yang meletakkan ibadah solat sebagai pencegah daripada perbuatan dosa dan mungkar.
JADUAL 8
Korelasi Di Antara Tasawur Islam, Personaliti Muslim, Solat dan Lencongan Tingkah Laku
Perbincangan
Pengetahuan dan daya kawalan dalaman mempengaruhi bentuk pola tingkah laku. Dalam kajian ini, pengetahuan dicerminkan melalui tasawur Islam manakala tingkah laku pula dicerminkan melalui personaliti muslim, perlaksanaan solat lima waktu dan lencongan tingkah laku.
Rajah 5 menunjukkan hubungan di antara tasawur Islam dan personaliti muslim. Tasawur Islam membentuk nilai hidup. Solat lima waktu pula mengukuhkan nilai positif tersebut serta menjadi agen kawalan dalaman individu. Nilai dan kawalan dalaman tersebut kemudiannya membentuk personaliti muslim yang positif dan mencegah individu tersebut daripada melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma (lencongan tingkah laku). Sehubungan itu, pemantapan tasawur Islam dan perlaksanaan ibadah solat adalah modus operandi yang sesuai untuk melahirkan beliawanis muslim yang berakhlak mulia dan seterusnya berupaya memberikan sumbangan optimum kepada kesejahteraan masyarakat.
RAJAH 5
Hubungan Antara Tasawur dan Personaliti
Rajah 6 menunjukkan jangkaan hubungan di antara tasawur Islam dan perlaksanaan ibadah solat. Tasawur Islam yang tinggi dan perlaksanaan solat lima waktu membolehkan individu mempunyai personaliti muslim yang positif, daya kawalan yang tinggi dan seterusnya mempunyai risiko lencongan tingkah laku yang rendah. Golongan ini adalah individu sejahtera. Situasi sebaliknya menghasilkan individu yang dikategorikan sebagai sangat lemah. Individu yang menunaikan tuntutan ibadah solat dengan sempurna tetapi lemah tasawur mempunyai daya kawalan yang tinggi namun masih berisiko untuk melakukan lencongan tingkah laku akibat kejahilan diri tentang ajaran agama. Justeru, personaliti muslim individu tersebut pula adalah sama ada positif atau negatif. Jangkaan personaliti bagi golongan yang mempunyai tasawur yang tinggi tetapi tidak menunaikan tuntutan solat lima waktu adalah bersamaan dengan individu yang lemah tasawur. Bagaimanapun, daya kawalan individu tersebut adalah rendah. Justeru, risiko lencongan tingkah laku adalah tinggi.
RAJAH 6
Matrik Jangkaan Hubungan Di Antara Tasawur Islam dan Solat Lima Waktu
Tasawur Islam yang mantap amat penting untuk menjamin kesejahteraan nilai hidup yang dipegang oleh individu. Bagaimanapun, hanya suku daripada responden didapati mempunyai tasawur Islam yang tinggi. Kajian menunjukkan 34 peratus beliawanis muslim mempunyai tasawur yang rendah. Statistik ini perlu diberi perhatian kerana tasawur dan pemahaman terhadap agama mempengaruhi nilai dan prinsip hidup. Nilai tersebut kemudiannya mepengaruhi tindakan dan pola tingkah laku individu.
Kajian menunjukkan hampir 49 peratus daripada beliawanis muslim tidak menyempurnakan solat lima waktu. Peratusan tersebut adalah membimbangkan kerana solat lima waktu adalah rukun agama yang dapat memberikan daya kawalan dalaman yang tinggi seterusnya mencegah lencongan tingkah laku. Statistik pengabaian ibadah solat ini menunjukkan sebahagian besar daripada beliawanis Muslim berisiko tinggi untuk terlibat dalam pelbagai gejala negatif tersebut dan seterusnya berpotensi menambahkan bilangan statistik yang sedia ada.
Situasi membimbangkan ini pastinya memberikan implikasi besar kepada kesejahteraan negara khususnya dalam jangka masa panjang. Ini seiringan dengan status beliawanis muslim sebagai tiang negara pada hari ini dan pengasuh, pendidik dan pemimpin generasi akan datang. Sehubungan itu, dasar-dasar yang efektif dan efisyen perlu dirancang dan dilaksanakan untuk memantapkan tasawur Islam, ibadah solat dan penghayatan agama beliawanis muslim secara menyeluruh. Kesemua ini adalah penting untuk menjamin kesejahteraan dan kestabilan negara pada hari ini dan akan datang.
Rujukan Penerbitan Artikel dalam Prosiding
Jamiah Manap, Azimi Hamzah, Sidek Mohd. Noah, Hasnan Kasan. 2006. Malaysian muslim youth: Religiosity, personality and devient profiles, In Proceeding of Psychological Seminar of Community Development ISM-UKM, 20-21 December 2006, pp. 126-138, - Proceeding
Posted by Jamiah Hj. Manap at 7:13 PM 0 comments
Labels: Artikel Prosiding, ISM-UKM
Older Posts Subscribe to: Posts (Atom)
Langganan:
Postingan (Atom)