Selasa, 06 Januari 2009

TAZKIYATUN NAFS 473 days ago

TAZKIYATUN NAFS 473 days ago

Dalam Alqur'an kalimat nafs digunakan untuk menyebut totalitas
manusia, sisi dalam manusia (jiwa), penggerak tingkah laku dan
diri Tuhan. Konsep Tazkiyyat an Nafs (penyucian jiwa) berkaitan
dengan adanya penyebutan nafs zakiyya (jiwa yang suci).

Sebagaimana telah disebutkan dalam surat as Syams 9-10 bahwa nafs itu
diciptakan Tuhan secara sempurna, tetapi ia harus tetap dijaga
kesuciannya, sebab ia bisa rusak jika dikotori dengan perbuatan
maksiat. Kualitas nafs tiap orang berbeda-beda berhubungan dengan
bagaimana usaha masing menjaganya dari hawa (Q/79:40), yakni dari
kecenderungannya kepada syahwat, karena menuruti dorongan syahwat
itu, seperti yang dikatakan oleh al Maraghy, merupakan tingkahlaku
hewan yang dengan itu manusia telah menyia-nyiakan potensi akal yang
menandai keistimewaannya.

Dalam bahasa Indonesia, syahwat yang menggoda manusia sering disebut
dengan istilah hawa nafsu, yakni dorongan nafsu yang cenderung
bersifat rendah. Al Qur'an membagi tingkatan nafs pada dua kelompok
besar, yaitu nafs martabat tinggi dan nafs martabat rendah. Nafs
martabat tinggi dimiliki oleh orang-orang yang taqwa, yang takut
kepada Allah dan berpegang teguh kepada petunjuk Nya serta menjauhi
laranganNya. Sedangkan nafs martabat rendah dimiliki oleh orang-orang
yang menentang perintah Allah dan yang mengabaikan ketentuan-
ketentuan Nya, serta orang-orang yang sesat, yang cenderung
berperilaku menyimpang dan melakukan kekejian serta kemungkaran.

Secara ekplisit Al-Qur'an menyebut tiga jenis nafs, yaitu
ا(an nafs al mutmainnah,(3) ا(an nafs al lawwamah ), dan (an nafs al
ammarah bi as su' ) Ketiga jenis nafs tersebut merupakan tingkatan
kualitas, dari yang terendah hingga yang tertinggi. Ayat-ayat yang
secara ekplisit menyebut ketiga jenis nafs itu adalah sebagai
berikut :

artinya : Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati
yang puas lagi diridaiNya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hambaku,
dan masuklah ke dalam surga Ku (Q/89:27-30)

artinya : Aku bersumpah dengan hari kiamat, dan Aku bersumpah dengan
jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri) (Q/75:1-2).

artinya : Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena
sesunguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu
yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun
lagi Maha Penyyayang (Q/12: 53)

Disamping tiga penggolongan tersebut, Al-Qur'an juga menyebut term
ـسا زكيّـة pada anak yang belum dewasa, seperti tersebut dalam
surat al Kahfi: 73

artinya : Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa
dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata: Mengapa
kamu bunuh jiwa yang suci, bukan karena dia membunuh orang lain ?.
Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang mungkar.
(Q/18:74).

Dari empat tingkatan itu dapat digambarkan bahwa pada mulanya, yakni
ketika seorang manusia belum mukallaf, jiwanya masih suci (zakiyyah).
Ketika sudah mencapai mukallaf dan berinteraksi dengan lingkungan
kehidupan yang menggoda, jika ia merespond secara positip terhadap
lingkungan hidupnya maka nafs itu dapat meningkat menjadi nafs
mutma'innah setelah terlebih dahulu berproses di dalam tingkatan nafs
lawwamah.Setiap nafs yang telah mencapai tingkat mutma'innah pastilah
ia menyandang predikat zakiyyah pula. Akan tetapi jika nafs itu
merespon lingkungan secara negatip, maka ia dapat menurun menjadi
nafs ammarah dengan segala karakteristik buruknya.

a. Nafs Zakiyyah (Jiwa Yang Suci)
Term zakiyyah disebut dalam Al-Qur'an sebanyak 25 kali dalam
berbagai kata bentukan, dua kali dalam bentuk ism sebagai sifat,
نفسـا زكيّة dan غـلاما زكيّـا, empat kali dalam bentuk af'al tafdil
أزكى , duabelas kali dalam bentuk kata kerja زكّى يزكّى, satu kali
dalam bentuk kata kerja زكى empat kali dalam bentuk kata kerja تزكّى
يتزكّى dua kali dalam bentuk kata kerja يزّكّى disamping 32 kali
dalam bentuk kalimat زكاة .

Menurut Asfihani, kalimat زكى pada dasarnya mengandung arti tumbuh
karena berkah dari Tuhan ,seperti yang yang terkandung dalam arti
zakat. Jika dihubungkan dengan makanan, mengandung arti halal, tetapi
jika dihubungkan dengan nafs maka di dalamnya terkandung arti sifat-
sifa terpuji. Terjemahan Al-Qur'an terbitan Departemen Agama Republik
Indonesia menggunakan istilah jiwa yang suci ketika menterjemahkan
kalimat نفسـا زكيّة. Dengan demikian maka pengertian menyucikan jiwa
atau tazkiyyat an nafs adalah membersihkan jiwa dari sifat-sifat
tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji.

Dari ayat-ayat yang berbicara tentang gagasan nafs zakiyyah dapat
disimpulkan bahwa konsep nafs zakiyah dalam Al-Qur'an adalah
sebagai berikut :

a. Bahwa ada nafs yang suci secara fitri, yakni suci sejak mula
kejadiannya , yaitu nafs dari anak-anak yang belum mukallaf dan belum
pernah melakukan perbuatan dosa seperti yang disebut dalam surat al
Kahfi 74 dan surat Maryam 19

artinya : Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya
berjumpa dengan seorang anak, maka Khidir membunuhnya. Musa berkata:
Mengapa kamu bunuh jiwa yang suci, bukan karena dia membunuh orang
lain ?. Sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang
mungkar. (Q/18:74).

artinya : Ia (Jibril) berkata: Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang
utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci
(Q/19:19)

b. Bahwa nafs yang suci jika tidak dipelihara kesuciannya bisa
berubah menjadi kotor seperti yang tersebut dalam surat as Syams 10

artinya : dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotori (jiwa) nya
(Q/91:10)

c. Bahwa manusia bisa melakukan usaha penyucian jiwa seperti yang
disebut dalam surat an Nazi'at 18, al Fatir : 18 dan surat al A'la :14

artinya : dan katakanlah (kepada Fir'aun) adakah keinginan bagimu
untuk membersihkan diri (dari kesesatan) (Q/79:18)

artinya : Dan barang siapa yang mensucikan dirinya , sesungguhnya ia
mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allahlah
kembali (mu) (Q/35:18).

artinya : Sesungguhna beruntunglah orang yyang membersihkan diri
(dengan beriman) (Q/87:14)

d. Proses penyucian jiwa itu bisa melalui usaha , yakni dengan
mengeluarkan zakat seperti yang tersebut dalam surat at Taubah :103,
dan menjalankan pergaulan hidup secara terhormat seperti yang
diisyaratkan dalam surat an Nur :28 dan 30.

artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu
kamu membersihkan (hati dari kekikiran dan cinta harta) dan
mensucikan mereka (dengan tumbuhnya sifat-sifat terpuji dalam jiwa
mereka) (Q/9: 103)


artinya : Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalam rumah (yang
bukan rumahmu) itu maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat
izin. Dan jika dikatakan kepadamu: "Kembali (saja)lah", maka
hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan (Q/24:28)

artinya : Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah
mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka , sesunguhnya Allah
mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan
(Q/24:30).

e. Penyucian nafs juga bisa dilakukan dengan proses pendidikan
seperti yang dilakukan oleh para Nabi kepada ummatnya. Hal ini
ditegaskan Al-Qur-an dalam surat al Baqarah: 129, 151, surat Ali
Imran 164 dan surat Jum'ah : 2

artinya : Dia-lah yang mengutus keepada kaum yang buta huruf seorang
Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat Nya kepada mereka,
mensucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah. Dan
sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata
(Q/62:2)

f. Disamping melalui usaha dan pendidikan, penyucian jiwa juga bisa
terjadi karena karunia dan rahmat Allah yang diberikan kepada orang
yang dikehendaki oleh Nya, seperti yang disebutkan dalam surat an
Nur 21 dan surat an Nisa 49.

artinya : Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-
langkah syaitan. Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan
maka sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang
keji dan yang mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan
rahmatNya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu
bersih (dari perbuatan-perbuattan keji dan munkar itu) selama-
lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki Nya. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui ( Q/24:21).

g. Perbuatan mensucikan jiwa (tazkiyyat an nafs) merupakan perbuatan
terpuji dan dihargai Tuhan seperti yang disebut dalam surat Taha
75-76, Q/91:9, Q/87:14, dan Q/92:18).

artinya : (yaitu) surga `Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya,
mereka kekal di dalamnya. Dan itu adalah balasan bagi orang yang
bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan) (Q/20:76).

h. Bahwa perbuatan mengaku jiwanya telah suci itu merupakan hal yang
tercela, seperti yang tersurat dalam surat an Najm/53:32, dan Q/4:49)

artinya : maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang
paling mengetahui tentang orang yang bertakwa (Q/53:32)


posted by Fitrah Anugrah

PENTINGNYA SABAR DI DALAM BERDAKWAH

PENTINGNYA SABAR DI DALAM BERDAKWAH
Sabar di dalam berdakwah memiliki peran amat penting dan sebagai kewajiban bagi seorang da’i. Sabar, secara umum merupakan kewajiban bagi setiap muslim, namun bagi seo-rang da’i, ia lebih dan sangat ditekan-kan. Oleh karena itu, Allah memerin-tahkan kepada pemimpin para da’i dan teladan mereka, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam untuk bersikap sabar, Dia berfirman, “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan”. (QS. 16:127-128)

Di dalam ayat yang lain disebut-kan,“Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.(Qs. Al-Ahqaaf: 35)

Juga firman-Nya yang lain, artinya, “Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka.” (QS. 6: 34)

Jika Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Salam saja, yang beliau adalah manusia paling mulia, penghulu Bani Adam masih diperintahkan untuk bersabar, maka bagaimana lagi dengan kita?

Allah Subhannahu wa Ta'ala telah menjelaskan kepada kita semua, bahwa kehidupan ini penuh dengan ujian dan cobaan. Salah satu hikmah diturunkannya cobaan dan ujian adalah agar diketahuai mana orang yang jujur dan yang dusta, mana yang benar-benar mukmin dan yang munafik, mana yang bersabar dan mana yang tidak.

Seorang da’i membutuhkan kesabaran yang ekstra kuat, hal ini karena keberadaan seorang da’i lain dengan masyarakat pada umumnya. Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam telah memberitahukan, bahwa semakin tinggi tingkat keimanan seseorang, maka semakin berat ujian yang dihadapi, beliau bersabda, “Orang yang paling berat ujiannya adalah para nabi, kemudian yang semisal mereka, lalu yang semisal mereka. Seseorang diberi ujian berdasarkan tingkatnya dalam beragama.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad dan al-Hakim. Dihasankan oleh al-Albani)

Maka kesabaran bagi seorang da’i amatlah penting, di antara pentingnya kesabaran di dalam berdakwah adalah sebagai berikut:

1. Sabar di dalam Berdakwah Ibarat Kepala bagi Badan
Dapat dikatakan, bahwa tidak ada dakwah yang tanpa kesabaran, sebagai-mana tidak ada badan yang tanpa kepala. Jika kepala lepas dari badan, maka itu artinya kematian. Oleh karena itu, Iman Ibnu Qayim mengatakan, ”Kedudukan sabar terhadap iman, ibarat kedudukan kepala terhadap badan. Maka tidak ada iman bagi orang yang tidak punya kesabaran, sebagaimana jasad juga tak berarti tanpa adanya kepala.” Jika dalam keimanan yang sifatnya masih individual dibutuhkan kesabar-an, maka dalam dakwah yang skupnya lebih luas dan kompleks sudah barang tentu sangat lebih dibutuhkan lagi.

2. Sabar Merupakan Salah Satu Empat Rukun Kebahagiaan.
Sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala, “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. 103:1-3)

3. Sabar Termasuk Akhlak Paling Agung.
Kesabaran merupakan akhlak yang dibutuhkan oleh setiap muslim secara umum dan lebih khusus para da’i. Para ulama telah banyak menying-gung masalah pentingnya sabar dalam banyak risalah dan karya mereka.

4. Sabar Termasuk Perkara Paling Penting.

5. Sabar Merupakan Pendekatan Diri kepada Allah yang Utama
Di dalam al-Qur’an disebutkan, bahwa hanya kesabaranlah yang akan dibalas oleh Allah dengan pahala yang tidak terhitung. Hal ini menunjukkan, bahwa ia merupakan amal yang sangat utama dan tinggi kedudukannya. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala tanpa batas.” (QS. 39:10

6. Kesabaran Meringankan Penderitaan
Setiap muslim dan terutama para da’i pasti menghadapi tantangan dalam hidupnya, karena seorang da’i menga-jak manusia untuk meninggalkan hawa nafsu dan syahwat yang dibenci oleh Allah, tunduk terhadap perintah-Nya, berhati-hati terhadap batasan-batasan-Nya serta menjalankan apa yang disyariatkan oleh-Nya. Maka orang-orang yang berseberangan dengan dakwahnya, pasti akan memusuhi dengan segenap tenaga bahkan bila perlu dengan angkat senjata. Menghadapi rintangan semacam ini seorang da’i mau tidak mau harus me-megang kayakinan dengan teguh dan bersabar, karena sabar merupakan pedang yang tak pernah tumpul dan sinar yang tak kenal redup.

7. Sabar Adalah Sifat Para Nabi
Para nabi dan rasul alaihimussalam mendapatkan keselamatan, kesukses-an dan kekuatan dikarenakan sikap sabar mereka. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, “Maka bersabarlah Kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.” (QS. 30: 60) Lukman al-Hakim, seorang yang telah diberikan hikmah oleh Allah, telah mewasiatkan kesabaran kepada anaknya, sebagaimana yang telah difirmankan Allah Subhannahu wa Ta'ala , “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari per-buatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).” (QS. 31:17)

8. Dengan Kesabaran Seorang Da’i Menjadi Teladan
Seorang dai hendaknya menjadi teladan bagi masyarakatnya, sebagai-mana ini merupakan salah satu sifat hamba yang ideal (Ibadur Rahman). Keteladanan dalam beragama tidak akan didapat, kecuali dengan bersabar, karena Allah telah menetapkan, bahwa imamah (keteladanan) hanya didapati oleh mereka yang sabar dan yakin ter-hadap ayat-ayat Allah. Firman Allah Subhannahu wa Ta'ala , “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. 32:24)

9. Sabar Menghantarkan Kepada Pertolongan Allah.
Hal ini tentunya bukan berarti dengan meninggalkan usaha, karena pertolongan dari Allah tidak mungkin tercapai dengan sendirinya tanpa melakukan sebab- sebab yang mengan-tarkan kepadanya. “Jika kamu bersabar dan bertaqwa, niscaya tipu daya mereka sedikit pun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah menge-tahui segala apa yang mereka kerjakan.” (QS. 3:120) “Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang- orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan. (QS. 3:186) Allah Subhannahu wa Ta'ala menceritakan perihal Nabi Yusuf, bahwasanya dia mendapatkan pertolongan dikarenakan kesabaran-nya. Yusuf berkata kepada saudara-saudaranya, “Sesungguhnya Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami”. Sesungguh-nya barang siapa yang bertaqwa dan bersabar, maka sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik”. (QS. 12:90)

10. Sabar Merupakan Kumpulan Berbagai Akhlak Luhur
Di dalam sabar termuat berbagai macam akhlak yang mulia, di antaranya adalah santun, lembut, ramah, pemaaf, toleran, lapang dada, adil, menyembunyikan aib orang dan lain sebagainya. Seorang da’i akan menghadapai orang yang memiliki berbagai macam karak-ter. Ada yang banyak bertanya, sering membuat jengkel, malas, pembuat onar, menghadapi pertengkaran dan lain-lain, maka menghadapi masyara-kat yang bermacam-macam dibutuhkan kesabaran yang tinggi.

11. Sabar adalah Separuh Iman
Sabar dan Syukur adalah inti keimanan, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman, “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.” (QS. 14:5) Nabi Shallallaahu alaihi wa Salam telah menyifati seorang mukmin dengan sifat yang menakjub-kan, sifat itu tidak akan didapati, kecuali pada seorang mukmin, yaitu, “Kalau mendapatkan kelapangan, maka ia bersyukur, yang demikian adalah baik baginya. Dan apabila ditimpa kesempitan, maka ia bersabar dan itu pun baik baginya juga.” (HR. Muslim)

12. Sabar Merupakan Sebab Untuk Meraih Kesempurnaan
Kesempurnaan iman hanya akan dapat diraih dengan kemauan keras dan keteguhan. Oleh karena itu, dalam sebuah riwayat disebutkan doa berikut, “Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu keteguhan dari setiap urusan dan kemauan keras dalam meraih petunjuk.” Keteguhan dan kemauan yang keras tidak akan dapat berdiri dengan tegak, tanpa adanya pondasi kesabaran.

13. Kesabaran Merupakan Sarana Melatih Diri
Seorang da’i harus melatih diri untuk menjauhi perkara-perkara yang tidak selayaknya dilakukan olehnya seperti berkeluh kesah, bosan, patah semangat, terburu-buru, marah, takut, rakus, mendahulukan hawa nafsu dan lain-lain. Hanya dengan membiasakan bersikap sabar, ia akan mampu menjauhi semua itu, sehingga ia dapat bersikap proporsional dan adil dalam berbagai permasalahan, mempertimbangkan sesuatu dengan matang dan dengan pemikiran yang jernih. Akhirnya dakwah yang disampaikan menjadi lebih mengena, karena ia dapat mencari waktu yang tepat, metode yang sesuai dan penuh dengan hikmah.

14. Sabar Mempunyai Kedudukan yang Tinggi.
Di dalam beberapa firman Allah, sabar selalu bergandengan dengan sifat-sifat mulia yang lain, seperti yakin, syukur, tawakkal, shalat, tasbih dan istighfar, jihad, taqwa, al-haq, belas kasih dan sebagainya.

15. Kebaikan Dunia Akhirat Bagi Orang yang Sabar
Kebaikan bagi orang sabar: Allah beserta orang yang sabar; Allah mencintai orang yang sabar; Mendapatkan kesejahteraan dan rahmat dari Allah; Mendapatkan pertolongan; Dijaga dari tipu daya musuh dan yang paling penting adalah ia berhak mendapatkan surga, sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala , Artinya, “Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya", (QS. 25:75)

Diringkas dari buku, “Anwa’u ash-Shabr wa Majalatihi fi Dlau’ al-Kitab wa as-Sunnah,” hal 7-27 Dr. Sa’id bin Ali bin Wahf al-Qahthani.

dari Al-Sofwah

Diposting oleh Razak Jr. pada pukul 8:02 PM | Baca Tersendiri | Home |

DAKWAH TIDAK DAPAT DIPIKUL ORANG MANJA

DAKWAH TIDAK DAPAT DIPIKUL ORANG MANJA
Oleh : DH Al-Yusni
Sumber : http://www.dakwatuna.com

Wahai Saudaraku yang dikasihi Allah.

Perjalanan dakwah yang kita lalui ini bukanlah perjalanan yang banyak ditaburi kegemerlapan dan kesenangan. Ia merupakan perjalanan panjang yang penuh tantangan dan rintangan berat.

Telah banyak sejarah orang-orang terdahulu sebelum kita yang merasakan manis getirnya perjalanan dakwah ini. Ada yang disiksa, ada pula yang harus berpisah kaum kerabatnya. Ada pula yang diusir dari kampung halamannya. Dan sederetan kisah perjuangan lainnya yang telah mengukir bukti dari pengorbanannya dalam jalan dakwah ini. Mereka telah merasakan dan sekaligus membuktikan cinta dan kesetiaan terhadap dakwah.

Cobalah kita tengok kisah Dzatur Riqa’ yang dialami sahabat Abu Musa Al Asy’ari dan para sahabat lainnya –semoga Allah swt. meridhai mereka. Mereka telah merasakannya hingga kaki-kaki mereka robek dan kuku tercopot. Namun mereka tetap mengarungi perjalanan itu tanpa mengeluh sedikitpun. Bahkan, mereka malu untuk menceritakannya karena keikhlasan dalam perjuangan ini. Keikhlasan membuat mereka gigih dalam pengorbanan dan menjadi tinta emas sejarah umat dakwah ini. Buat selamanya.

Pengorbanan yang telah mereka berikan dalam perjalanan dakwah ini menjadi suri teladan bagi kita sekalian. Karena kontribusi yang telah mereka sumbangkan untuk dakwah ini tumbuh bersemi. Dan, kita pun dapat memanen hasilnya dengan gemilang. Kawasan Islam telah tersebar ke seluruh pelosok dunia. Umat Islam telah mengalami populasi dalam jumlah besar. Semua itu karunia yang Allah swt. berikan melalui kesungguhan dan kesetiaan para pendahulu dakwah ini. Semoga Allah meridhai mereka.

Duhai saudaraku yang dirahmati Allah swt.

Renungkanlah pengalaman mereka sebagaimana yang difirmankan Allah swt. dalam surat At-Taubah: 42.

Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu. Tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka, mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah, “Jika kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-samamu.” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.

Mereka juga telah melihat siapa-siapa yang dapat bertahan dalam mengarungi perjalanan yang berat itu. Hanya kesetiaanlah yang dapat mengokohkan perjalanan dakwah ini. Kesetiaan yang menjadikan pemiliknya sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian. Menjadikan mereka optimis menghadapi kesulitan dan siap berkorban untuk meraih kesuksesan. Kesetiaan yang menghantarkan jiwa-jiwa patriotik untuk berada pada barisan terdepan dalam perjuangan ini. Kesetiaan yang membuat pelakunya berbahagia dan sangat menikmati beban hidupnya. Setia dalam kesempitan dan kesukaran. Demikian pula setia dalam kelapangan dan kemudahan.

Saudaraku seperjuangan yang dikasihi Allah swt.

Sebaliknya orang-orang yang rentan jiwanya dalam perjuangan ini tidak akan dapat bertahan lama. Mereka mengeluh atas beratnya perjalanan yang mereka tempuh. Mereka pun menolak untuk menunaikannya dengan berbagai macam alasan agar mereka diizinkan untuk tidak ikut. Mereka pun berat hati berada dalam perjuangan ini dan akhirnya berguguran satu per satu sebelum mereka sampai pada tujuan perjuangan.

Penyakit wahan telah menyerang mental mereka yang rapuh sehingga mereka tidak dapat menerima kenyataan pahit sebagai risiko dan sunnah dakwah ini. Malah mereka menggugatnya lantaran anggapan mereka bahwa perjuangan dakwah tidaklah harus mengalami kesulitan.

Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya. Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka, dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (At-Taubah: 45-46)

Kesetiaan yang ada pada mereka merupakan indikasi kuat daya tahannya yang tangguh dalam dakwah ini. Sikap ini membuat mereka stand by menjalankan tugas yang terpikul di pundaknya. Mereka pun dapat menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Bila ditugaskan sebagai prajurit terdepan dengan segala akibat yang akan dihadapinya, ia senantiasa berada pada posnya tanpa ingin meninggalkannya sekejap pun. Atau bila ditempatkan pada bagian belakang, ia akan berada pada tempatnya tanpa berpindah-pindah. Sebagaimana yang disebutkan Rasulullah saw. dalam beberapa riwayat tentang prajurit yang baik.

Wahai Saudaraku yang dirahmati Allah.

Marilah kita telusuri perjalanan dakwah Abdul Fattah Abu Ismail, salah seorang murid Imam Hasan Al Banna yang selalu menjalankan tugas dakwahnya tanpa keluhan sedikitpun. Dialah yang disebutkan Hasan Al Banna orang yang sepulang dari tempatnya bekerja sudah berada di kota lain untuk memberikan ceramah kemudian berpindah tempat lagi untuk mengisi pengajian dari waktu ke waktu secara maraton. Ia selalu berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain untuk menunaikan amanah dakwah. Sesudah menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya, ia merupakan orang yang pertama kali datang ke tempatnya bekerja. Malah, ia yang membukakan pintu gerbangnya.

Pernah ia mengalami keletihan hingga tertidur di sofa rumah Zainab Al-Ghazali. Melihat kondisi tubuhnya yang lelah dan penat itu, tuan rumah membiarkan tamunya tertidur sampai bangun. Setelah menyampaikan amanah untuk Zainab Al Ghazali, Abdul Fattah Abu Ismail pamit untuk ke kota lainnya. Karena keletihan yang dialaminya, Zainab Al Ghazali memberikan ongkos untuk naik taksi. Abdul Fattah Abu Ismail mengembalikannya sambil mengatakan, “Dakwah ini tidak akan dapat dipikul oleh orang-orang yang manja.” Zainab pun menjawab, “Saya sering ke mana-mana dengan taksi dan mobil-mobil mewah, tapi saya tetap dapat memikul dakwah ini dan saya pun tidak menjadi orang yang manja terhadap dakwah. Karena itu, pakailah ongkos ini, tubuhmu letih dan engkau memerlukan istirahat sejenak.” Ia pun menjawab, “Berbahagialah ibu. Ibu telah berhasil menghadapi ujian Allah swt. berupa kenikmatan-kenikmatan itu. Namun, saya khawatir saya tidak dapat menghadapinya sebagaimana sikap ibu. Terima kasih atas kebaikan ibu. Biarlah saya naik kendaraan umum saja.”

Duhai saudaraku yang dimuliakan Allah swt.

Itulah contoh orang yang telah membuktikan kesetiaannya pada dakwah lantaran keyakinannya terhadap janji-janji Allah swt. Janji yang tidak akan pernah dipungkiri sedikit pun. Allah swt. telah banyak memberikan janji-Nya pada orang-orang yang beriman yang setia pada jalan dakwah berupa berbagai anugerah-Nya. Sebagaimana yang terdapat dalam Al-Qur’an.

Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa)- mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Al-Anfal: 29)

Dengan janji Allah swt. tersebut, orang-orang beriman tetap bertahan mengarungi jalan dakwah ini. Dan mereka pun tahu bahwa perjuangan yang berat itu sebagai kunci untuk mendapatkannya. Semakin berat perjuangan ini semakin besar janji yang diberikan Allah swt. kepadanya. Kesetiaan yang bersemayam dalam diri mereka itulah yang membuat mereka tidak akan pernah menyalahi janji-Nya. Dan, mereka pun tidak akan pernah mau merubah janji kepada-Nya.

Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya). (Al Ahzab: 23)

Wahai ikhwah kekasih Allah swt.

Pernah seorang pejuang Palestina yang telah berlama-lama meninggalkan kampung halaman dan keluarganya untuk membuat mencari dukungan dunia dan dana diwawancarai. “Apa yang membuat Anda dapat berlama-lama meninggalkan keluarga dan kampung halaman?” Jawabnya, karena perjuangan. Dan, dengan perjuangan itu kemuliaan hidup mereka lebih berarti untuk masa depan bangsa dan tanah airnya. “Kalau bukan karena dakwah dan perjuangan, kami pun mungkin tidak akan dapat bertahan,” ungkapnya lirih.

Wahai saudaraku seiman dan seperjuangan

Aktivis dakwah sangat menyakini bahwa kesabaran yang ada pada dirinyalah yang membuat mereka kuat menghadapi berbagai rintangan dakwah. Bila dibandingkan apa yang kita lakukan serta yang kita dapatkan sebagai risiko perjuangan di hari ini dengan keadaan orang-orang terdahulu dalam perjalanan dakwah ini, belumlah seberapa. Pengorbanan kita di hari ini masih sebatas pengorbanan waktu untuk dakwah. Pengorbanan tenaga dalam amal khairiyah untuk kepentingan dakwah. Pengorbanan sebagian kecil dari harta kita yang banyak. Dan bentuk pengorbanan ecek-ecek lainnya yang telah kita lakukan. Coba lihatlah pengorbanan orang-orang terdahulu, ada yang disisir dengan sisir besi, ada yang digergaji, ada yang diikat dengan empat ekor kuda yang berlawanan arah, lalu kuda itu dipukul untuk lari sekencang-kencangnya hingga robeklah orang itu. Ada pula yang dibakar dengan tungku yang berisi minyak panas. Mereka dapat menerima resiko karena kesabaran yang ada pada dirinya.

Kesabaran adalah kuda-kuda pertahanan orang-orang beriman dalam meniti perjalanan ini. Bekal kesabaran mereka tidak pernah berkurang sedikit pun karena keikhlasan dan kesetiaan mereka pada Allah swt.

Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar. (Ali Imran: 146)

Bila kita memandang kehidupan generasi pilihan, kita akan temukan kisah-kisah brilian yang telah menyuburkan dakwah ini. Muncullah pertanyaan besar yang harus kita tujukan pada diri kita saat ini. Apakah kita dapat menyemai dakwah ini menjadi subur dengan perjuangan yang kita lakukan sekarang ini ataukah kita akan menjadi generasi yang hilang dalam sejarah dakwah ini.

Ingat, dakwah ini tidak akan pernah dapat dipikul oleh orang-orang yang manja. Militansi aktivis dakah merupakan kendaraan yang akan menghantarkan kepada kesuksesan. Semoga Allah menghimpun kita dalam kebaikan. Wallahu’alam.

Diposting oleh Razak Jr. pada pukul 8:35 AM | Baca Tersendiri | Home |

15 PETUNJUK MENEGUHKAN IMAN

15 PETUNJUK MENEGUHKAN IMAN
Oleh:
Muhammad Shalih Al Munajjid (bit tasharruf waz ziyadah )
dari milist : muslim-l@Telkomsel.co.id
dikutip dari : http://www.percikaniman.org

Saat ini kaum muslimin sedang dihadapkan pada persoalan besar, diantaranya syubhat, syahwat, penyimpangan faham keagamaan, perpecahan dan lain-lain. Cobaan-cobaan tersebut silih berganti menghempas, menggoyahkan dan menggerogoti iman. Tidak mustahil seorang muslim selanjutnya membelot, bahkan murtad dari keislamannya. Berikut ini kami uraikan 15 petunjuk yang bersumber dari Al Qur'an dan Al Hadits yang dapat dijadikan sandaran dalam memelihara keteguhan iman kita.


1. Akrab dengan Al Qur'an
Al Qur'an merupakan petunjuk utama untuk mencapai tsabat (keteguhan iman). Al Qur'an merupakan penghubung yang amat kokoh antara hamba dengan Rabbnya. Barangsiapa berpegang teguh dengan Al Qur'an, niscaya Allah akan memeliharanya, barangsiapa mengikuti Al Qur'an, niscaya Allah akan menyelamat-kannya dan barangsiapa menyeru kepada Al Qur'an, niscaya Allah akan menunjukinya ke jalan yang benar.


Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan bahwa diturunkannya Al Qur'an secara berangsur-angsur adalah untuk meneguhkan hati para hambaNya, sebagaimana firman Allah tatkala mem-bantah tuduhan kaum kuffar, "Orang-orang kafir berkata: Mengapa Al Qur'an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja? Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami mem-bacakannya secara tartil."
(Al Furqan : 32)

Diantara alasan mengapa Al Qur'an sebagai sumber utama untuk mencapai tsabat, karena Al Qur'an menanamkan keimanan dan mensucikan jiwa seseorang, diturunkan untuk menen-teramkan hati manusia dan sebagai benteng bagi orang mukmin dalam menghadapi hempasan fitnah. Al Qur'an juga membekali muslim dengan konsepsi serta nilai yang dijamin kebenarannya, sehingga dia mampu menilai sesuatu dan menimbang sesuatu secara proporsial dan benar.

2. Iltizam dengan Syari'at Islam
Allah berfirman: "Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan nasehat yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih meneguhkan (hati mereka di atas kebenaran)." (An Nisa : 66)

Jelas sekali, tidak mungkin kita mengharapkan orang-orang yang malas dan tidak melakukan amal shalih dapat memiliki keteguhan iman. Allah hanya akan menunjukkan kepada orang yang beriman dan mengamalkannya, jalan yang lurus. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan para shahabat senantiasa melakukan amal shalih dan menjaganya secara terus-menerus. Dalam hal ini Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda: "Barangsiapa memelihara shalat dua belas raka'at (sunnat rawatib), niscaya ia dijamin masuk surga." (AtTirmidzi 2/273)

3. Mempelajari Kisah Para Nabi
Tentang pentingnya mempelajari kisah para Nabi, Allah berfirman, "Dan Kami ceritakan kepadamu cerita para Rasul agar dengannya Kami teguhkan hatimu." (Hud : 120)

Mari kita renungkan kisah Nabiyullah Ibrahim Alaihis Salam tatkala dilemparkan ke dalam api. Ibnu Abbas berkata: Ucapan terakhir Ibrahim ketika akan dilemparkan ke dalam api adalah, "Cukuplah Allah sebagai penolongku, Dia adalah sebaik-baik pelindung." (Al Fath : 29)

Seandainya Anda merenungi firman Allah di atas, tidakkah Anda merasakan adanya tsabat yang meresap ke dalam jiwa Anda? Dalam kisah Musa Alaihis Salam, Allah berfirman: "Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah para pengikut Musa: Sesung-guhnya kita akan benar-benar tersusul. Musa menjawab: Sekali-kali tidak akan tersusul, sesungguhnya Rabbku bersama-ku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku." (Asy Syu'ara : 61-62)

Bila Anda bayangkan bahwa kisah tersebut terjadi di hadapan Anda, tidakkah Anda merasakan tsabat di dalam hati Anda?

4. Berdoa
Di antara sifat hamba-hamba Allah yang beriman adalah selalu memohon kepadaNya agar diberi keteguhan iman, seperti doa yang tertulis dalam firman Allah: "Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah Engkau beri petunjuk kepada kami." (Ali Imran : 250)

Agar hati tetap teguh, maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam banyak memanjatkan doa berikut ini, "Wahai Dzat pembolak-balik hati, teguhkanlah hatiku pada agamaMu." (HR. At Tirmidzi)

5. Berdzikir kepada Allah
Dzikir kepada Allah adalah amalan yang paling ampuh untuk mencapai tsabat. Karena pentingnya dzikir ini, Allah memadukan antara dzikir dengan jihad sebagaimana dalam firman-Nya: "Hai orang-orang yang beriman, bila kamu memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah dan dzikirlah kepada Allah sebanyak-banyaknya." (Al Anfal : 45)

Dalam ayat tersebut Allah menjadikan dzikrullah sebagai amalan yang baik untuk mencapai tsabat dalam jihad. Nabiyullah Yusuf Alaihis Salam pun memohon bantuan untuk mencapai tsabat dengan dzikrullah saat dirayu oleh seorang perempuan cantik yang mempunyai kedudukan tinggi. Demikianlah pengaruh dzikrullah dalam memberikan keteguhan iman kepada orang-orang beriman.

Tak seorangpun bisa menjamin dirinya akan tetap terus berada dalam keimanan sehingga meninggal dalam keadaan khusnul khatimah. Untuk itu kita perlu merawat bahkan senantiasa berusaha menguatkan keimanan kita. Makalah ini insya'allah membantu kita dalam usaha mulia itu.

6. Menempuh Jalan Lurus
Allah berfirman: "Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia dan jangan mengikuti jalan- jalan (lain) sehingga menceraiberaikan kamu dari jalanNya." (Al An'am: 153)

Dan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mensinyalir bahwa umatnya bakal terpecah-belah menjadi 73 golongan, semuanya masuk Neraka kecuali hanya satu golongan yang selamat (HR. Ahmad, hasan).

Dari sini kita mengetahui, tidak setiap orang yang mengaku muslim mesti berada di jalan yang benar. Rentang waktu 14 abad dari datangnya Islam cukup banyak membuat terkotak-kotaknya pemahaman keagamaan. Lalu, jalan manakah yang selamat dan benar itu? Dan, pemahaman siapakah yang mesti kita ikuti dalam praktek keberaga-maan kita? Berdasarkan banyak keterangan ayat dan hadits , jalan yang benar dan selamat itu adalah jalan Allah dan RasulNya. Sedangkan pemahaman agama yang autentik kebenarannya adalah pemahaman berdasarkan keterangan Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam kepada para sahabatnya. (HR. Turmudzi, hasan).
Itulah yang mesti kita ikuti, tidak penafsiran-penafsiran agama berdasarkan akal manusia yang tingkat kedalaman dan kecerdasannya majemuk dan terbatas. Tradisi pemahaman itu selanjutnya dirawat oleh para tabi'in dan para imam shalihin. Paham keagamaan inilah yang dalam termino-logi (istilah) Islam selanjutnya dikenal dengan paham Ahlus Sunnah wal Jamaah. Atau sebagian menyebutnya dengan pemahaman para salafus shalih.

Orang yang telah mengikuti paham Ahlus Sunnah wal Jamaah akan tegar dalam menghadapi berbagai keanekaragaman paham, sebab mereka telah yakin akan kebenaran yang diikutinya. Berbeda dengan orang yang berada di luar Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka akan senantiasa bingung dan ragu. Berpindah dari suatu lingkungan sesat ke lingkungan bid'ah, dari filsafat ke ilmu kalam, dari mu'tazilah ke ahli tahrif, dari ahli ta'wil ke murji'ah, dari thariqat yang satu ke thariqat yang lain dan seterusnya. Di sinilah pentingnya kita berpegang teguh dengan manhaj (jalan) yang benar sehingga iman kita akan tetap kuat dalam situasi apapun.

7. Menjalani Tarbiyah
Tarbiyah (pendidikan) yang semestinya dilalui oleh setiap muslim cukup banyak. Paling tidak ada empat macam. Tarbiyah Imaniyah, yaitu pendidikan untuk menghidupkan hati agar memiliki rasa khauf (takut), raja' (pengharapan) dan mahabbah (kecin-taan) kepada Allah serta untuk menghi-langkan kekeringan hati yang disebab-kan oleh jauhnya dari Al Qur'an dan Sunnah. Tarbiyah Ilmiyah, yaitu pendidikan keilmuan berdasarkan dalil yang benar dan menghindari taqlid butayang tercela.

Tarbiyah Wa'iyah, yaitu pendidi-kan untuk mempelajari siasat orang- orang jahat, langkah dan strategi musuh Islam serta fakta dari berbagai peristiwa yang terjadi berdasarkan ilmu dan pemahaman yang benar. Tarbiyah Mutadarrijah, yaitu pendidikan bertahap, yang membimbing seorang muslim setingkat demi setingkat menuju kesempurnaannya, dengan program dan perencanaan yang matang. Bukan tarbiyah yang dilakukan dengan terburu-buru dan asal jalan.

Itulah beberapa tarbiyah yang diberikan Rasul kepada para sahabatnya. Berbagai tarbiyah itu menjadikan para sahabat memiliki iman baja, bahkan membentuk mereka menjadi generasi terbaik sepanjang masa.

8. Meyakini Jalan yang Ditempuh
Tak dipungkiri bahwa seorang muslim yang bertambah keyakinannya terhadap jalan yang ditempuh yaitu Ahlus Sunnah wal Jamaah maka bertambah pula tsabat (keteguhan iman) nya. Adapun di antara usaha yang dapat kita lakukan untuk mencapai keyakinan kokoh terhadap jalan hidup yang kita tempuh adalah: Pertama, kita harus yakin bahwa jalan lurus yang kita tempuh itu adalah jalan para nabi, shiddiqien, ulama, syuhada dan orang-orang shalih. Kedua, kita harus merasa sebagai orang-orang terpilih karena kebenaran yang kita pegang, sebagai-mana firman Allah: "Segala puji bagi Allah dan kesejahteraan atas hamba- hambaNya yang Ia pilih." (QS. 27: 59)

Bagaimana perasaan kita seandainya Allah menciptakan kita sebagai benda mati, binatang, orang kafir, penyeru bid'ah, orang fasik, orang Islam yang tidak mau berdakwah atau da'i yang sesat? Mudah-mudahan kita berada dalam keyakinan yang benar yakni sebagai Ahlus Sunnah wal Jamaah yang sesungguhnya.

9. Berdakwah
Jika tidak digerakkan, jiwa seseorang tentu akan rusak. Untuk menggerakkan jiwa maka perlu dicari-kan medan yang tepat. Di antara medan pergerakan yang paling agung adalah berdakwah. Dan berdakwah merupakan tugas para rasul untuk membebaskan manusia dari adzab Allah. Maka tidak benar jika dikatakan, fulan itu tidak ada perubahan. Jiwa manusia, bila tidak disibukkan oleh ketaatan maka dapat dipastikan akan disibukkan oleh kemaksiatan. Sebab, iman itu bisa bertambah dan berkurang. Jika seorang da'i menghadapi berbagai tantangan dari ahlul bathil dalam perjalanan dakwahnya, tetapi ia tetap terus berdakwah maka Allah akan semakin menambah dan mengokohkan keimanannya.

10. Dekat dengan Ulama
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: "Di antara manusia ada orang-orang yang menjadi kunci kebaikan dan penutup kejahatan." (HR. Ibnu Majah, no. 237, hasan)

Senantiasa bergaul dengan ulama akan semakin menguatkan iman seseorang. Tercatat dalam sejarah bahwa berbagai fitnah telah terjadi dan menimpa kaum muslimin, lalu Allah meneguhkan iman kaum muslimin melalui ulama. Di antaranya seperti diutarakan Ali bin Al Madini Rahima-hullah: "Di hari riddah (pemurtadan) Allah telah memuliakan din ini dengan Abu Bakar dan di hari mihnah (ujian) dengan Imam Ahmad."

Bila mengalami kegundahan dan problem yang dahsyat Ibnul Qayyim mendatangi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah untuk mendengarkan berbagai nasehatnya. Serta-merta kegundahannya pun hilang berganti dengan kelapangan dan keteguhan iman ( Al Wabilush Shaib, hal. 97).

11. Meyakini Pertolongan Allah
Mungkin pernah terjadi, seseorang tertimpa musibah dan meminta pertolongan Allah, tetapi pertolongan yang ditunggu-tunggu itu tidak kunjung datang, bahkan yang dialaminya hanya bencana dan ujian. Dalam keadaan seperti ini manusia banyak membutuh-kan tsabat agar tidak berputus asa. Allah berfirman: "Dan berapa banyak nabi yang berperang yang diikuti oleh sejumlah besar pengikutnya yang bertaqwa, mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, tidak lesu dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar. Tidak ada do'a mereka selain ucapan, Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebihan dalam urusan kami. Tetapkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir. Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik diakherat. " (Ali Imran: 146-148)

12. Mengetahui Hakekat Kebatilan
Allah berfirman: "Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir yang bergerak dalam negeri ." (Ali Imran: 196) "Dan demikianlah Kami terang-kan ayat-ayat Al Qur'an (supaya jelas jalan orang-orang shaleh) dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berbuat jahat (musuh-musuh Islam)." (Al An'am: 55) "Dan Katakanlah, yang benar telah datang dan yang batil telah sirna, sesungguhnya yang batil itu pastilah lenyap." (Al Isra': 81)

Berbagai keterangan ayat di atas sungguh menentramkan hati setiap orang beriman. Mengetahui bahwa kebatilan akan sirna dan kebenaran akan menang akan mengukuhkan seseorang untuk tetap teguh berada dalam keiman-annya.

13. Memiliki Akhlak Pendukung Tsabat.
Akhlak pendukung tsabat yang utama adalah sabar. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam: "Tidak ada suatu pemberian yang diberikan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran." (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Tanpa kesabaran iman yang kita miliki akan mudah terombang-ambingkan oleh berbagai musibah dan ujian. Karena itu, sabar termasuk senjata utama mencapai tsabat.

14. Nasehat Orang Shalih
Nasehat para shalihin sungguh amat penting artinya bagi keteguhan iman. Karena itu, dalam segala tindakan yang akan kita lakukan hendaklah kita sering-sering meminta nasehat mereka. Kita perlu meminta nasehat orang-orang shalih saat mengalami berbagai ujian, saat diberi jabatan, saat mendapat rezki yang banyak dan lain-lain. Bahkan seorang sekaliber Imam Ahmad pun, beliau masih perlu mendapat nasehat saat menghadapi ujian berat oleh intimidasi penguasa yang tirani. Bagaimana pula halnya dengan kita?

15. Merenungi Nikmatnya Surga
Surga adalah tempat yang penuh dengan kenikmatan, kegembiraan dan suka-cita. Ke sanalah tujuan pengemba-raan kaum muslimin. Orang yang meyakini adanya pahala dan Surga niscaya akan mudah menghadapi berbagai kesulitan. Mudah pula baginya untuk tetap tsabat dalam keteguhan dan kekuatan imannya.

Dalam meneguhkan iman para sahabat, Rasulullah SAW sering mengingatkan mereka dengan kenikmatan Surga. Ketika melewati Yasir, istri dan anaknya Ammar yang sedang disiksa oleh kaum musyrikin beliau mengatakan: "Bersa-barlah wahai keluarga Yasir, tempat kalian nanti adalah Surga." (HR. Al Hakim/III/383, hasan shahih) Mudah-mudahan kita bisa merawat dan terus-menerus meneguhkan keimanan kita sehingga Allah menjadikan kita khusnul khatimah. Amin.


Diposting oleh Razak Jr. pada pukul 9:41 AM | Baca Tersendiri | Home |

MENGAPA HATI KERAS MEMBATU?

MENGAPA HATI KERAS MEMBATU?
Sumber : Kutaib “Limadza Taqsu Qulubuna” Al-Qism al-Ilmi Darul Wathan.
dikutip dari : www.alsofwah.or.id

Hati adalah sumber penalaran, tempat pertimbangan, tumbuhnya cinta dan benci, keimanan dan kekufuran, taubat dan keras kepala, ketenangan dan kegoncangan.

Hati juga sumber kebahagiaan, jika kita mampu membersihkannya, namun sebaliknya merupakan sumber bencana jika menodainya. Aktivitas badan sangat tergantung lurus bengkoknya hati. Abu Hurairah Radhiallaahu anhu berkata, "Hati adalah raja, sedangkan anggota badan adalah tentara. Jika raja itu bagus, maka akan bagus pula tentaranya. Jika raja itu buruk, maka akan buruk pula tentaranya."

Tanda-Tanda Kerasnya Hati

Hati yang keras memiliki tanda-tanda yang bisa dikenali, di antara yang terpenting sebagai berikut :

1. Malas Melakukan Ketaatan dan Amal Kebaikan
Terutama malas untuk menjalankan ibadah, bahkan mungkin meremehkan nya, melakukan shalat asal-asalan tanpa ada kekhusyukan dan kesungguhan, merasa berat dan enggan, merasa berat pula menjalankan ibadah-ibadah sunnah. Allah telah menyifati kaum munafiqin. Firman-Nya, artinya,
“Dan mereka tidak mengerjakan shalat, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (At-Taubah : 54)

2. Tidak Tersentuh Oleh Ayat Al-Qur'an dan Petuah
Ketika disampaikan ayat-ayat yang berkenaan dengan janji dan ancaman Allah, maka tidak terpengaruh sama sekali, tidak mau khusyu' atau tunduk, dan juga lalai dari membaca al-Qur'an serta mendengarkannya, bahkan enggan dan berpaling darinya. Sedang kan Allah Subhannahu wa Ta'ala telah memperingatkan, artinya,
“Maka beri peringatanlah dengan al-Qur'an orang yang takut kepada ancaman-Ku.” (Qaaf : 45)

3. Tidak Tersentuh dengan Ayat Kauniyah
Tidak tergerak dengan adanya peristiwa-peristiwa yang dapat memberikan pelajaran, seperti kematian, sakit, bencana dan semisalnya. Dia memandang kematian atau orang yang sedang diusung ke kubur sebagai sesuatu yang tidak ada apa-apanya, padahal cukuplah kematian itu sebagai nasihat.
“Dan tidakkah mereka (orang-orang munafik) memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, kemudian mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran?” (At-Taubah :126)

4. Berlebihan Mencintai Dunia dan Melupakan Akhirat
Himmah dan segala keinginannya tertumpu untuk urusan dunia semata. Segala sesuatu ditimbang dari sisi dunia dan materi. Cinta, benci dan hubungan dengan sesama manusia hanya untuk urusan dunia saja. Ujungnya, jadilah dia seorang yang dengki, egois dan individualis, bakhil dan tamak terhadap dunia.

5. Kurang Mengagungkan Allah.
Sehingga hilang rasa cemburu dalam hati, kekuatan iman melemah, tidak marah ketika larangan Allah diterjang, serta tidak mengingkari kemungkaran. Tidak mengenal yang ma'ruf serta tidak peduli terhadap segala kemaksiatan dan dosa.

6. Kegersangan Hati
Kesempitan dada, mengalami kegoncangan, tidak pernah merasakan ketenangan dan kedamaian sama sekali. Hatinya gersang terus-menerus dan selalu gundah terhadap segala sesuatu.

7. Kemaksiatan Berantai
Termasuk fenomena kerasnya hati adalah lahirnya kemaksiatan baru akibat dari kemaksiatan yang telah dilakukan sebelumnya, sehingga menjadi sebuah lingkaran setan yang sangat sulit bagi seseorang untuk melepaskan diri.


Sebab-Sebab Kerasnya Hati

Di antara faktor kerasnya hati, yang penting untuk kita ketahui yakni:

1. Ketergantungan Hati kepada Dunia serta Melupakan Akhirat
Kalau hati sudah keterlaluan mencintai dunia melebihi akhirat, maka hati tergantung terhadapnya, sehingga lambat laun keimanan menjadi lemah dan akhirnya merasa berat untuk menjalankan ibadah. Kesenangannya hanya kepada urusan dunia belaka, akhirat terabaikan dan bahkan ter-lupakan. Hatinya lalai mengingat maut, maka jadilah dia orang yang panjang angan-angan.
Seorang salaf berkata, "Tidak ada seorang hamba, kecuali dia mempunyai dua mata di wajahnya untuk memandang seluruh urusan dunia, dan mempunyai dua mata di hati untuk melihat seluruh perkara akhirat. Jika Allah menghendaki kebaikan seorang hamba, maka Dia membuka kedua mata hatinya dan jika Dia menghendaki selain itu (keburukan), maka dia biarkan si hamba sedemikian rupa (tidak mampu melihat dengan mata hati), lalu dia membaca ayat, “Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci.” (Muhammad : 24)

2. Lalai
Lalai merupakan penyakit yang berbahaya apabila telah menjalar di dalam hati dan bersarang di dalam jiwa. Karena akan berakibat anggota badan saling mendukung untuk menutup pintu hidayah, sehingga hati akhirnya menjadi terkunci. Allah berfirman, “Mereka itulah orang-orang yang hati, pendengaran dan penglihatannya telah dikunci mati oleh Allah, dan mereka itu lah orang-orang yang lalai” (QS.16:108)
Allah Subhannahu wa Ta'ala memberitahukan, bahwa orang yang lalai adalah mereka yang memiliki hati keras membatu, tidak mau lembut dan lunak, tidak mempan dengan berbagai nasehat. Dia bagai batu atau bahkan lebih keras lagi, karena mereka punya mata, namun tak mampu melihat kebenaran dan hakikat setiap perkara. Tidak mampu membedakan antara yang bermanfaat dan membahayakan. Mereka juga memiliki telinga, namun hanya digunakan untuk mendengarkan berbagai bentuk kebatilan, kedustaan dan kesia-siaan. Tidak pernah digunakan untuk mendengarkan al-haq dari Kitabullah dan Sunnah Rasul Shalallaahu alaihi wasalam (Periksa QS. Al A'raf 179)

3. Kawan yang Buruk
Ini juga merupakan salah satu sebab terbesar yang mempengaruhi kerasnya hati seseorang. Orang yang hidupnya di tengah gelombang kemaksiatan dan kemungkaran, bergaul dengan manusia yang banyak berku-bang dalam dosa, banyak bergurau dan tertawa tanpa batas, banyak mendengar musik dan menghabiskan hari-harinya untuk film, maka sangat memungkinkan akan terpengaruh oleh kondisi tersebut.

4. Terbiasa dengan Kemaksiatan dan Kemungkaran
Dosa merupakan penghalang seseorang untuk sampai kepada Allah. Ia merupakan pembegal perjalanan menuju kepada-Nya serta membalikkan arah perjalanan yang lurus.
Kemaksiatan meskipun kecil, terkadang memicu terjadinya bentuk kemaksiatan lain yang lebih besar dari yang pertama, sehingga semakin hari semakin bertumpuk tanpa terasa. Dianggapnya hal itu biasa-biasa saja, padahal satu persatu kemaksiatan tersebut masuk ke dalam hati, sehingga menjadi sebuah ketergantungan yang amat berat untuk dilepaskan. Maka melemahlah kebesaran dan keagungan Allah di dalam hati, dan melemah pula jalannya hati menuju Allah dan kampung akhirat, sehingga menjadi terhalang dan bahkan terhenti tak mampu lagi bergerak menuju Allah.

5. Melupakan Maut, Sakarat, Kubur dan Kedahsyatannya.
Termasuk seluruh perkara akhirat baik berupa adzab, nikmat, timbangan amal, mahsyar, shirath, Surga dan Neraka, semua telah hilang dari ingatan dan hatinya.

6. Melakukan Perusak Hati
Yang merusak hati sebagaimana dikatakan Imam Ibnul Qayyim ada lima perkara, yaitu banyak bergaul dengan sembarang orang, panjang angan-angan, bergantung kepada selain Allah, berlebihan makan dan berlebihan tidur.


Solusi

Hati yang lembut dan lunak merupakan nikmat Allah yang sangat besar, karena dia mampu menerima dan menyerap segala yang datang dari Allah. Allah mengancam orang yang berhati keras melalui firman-Nya,
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang membatu hatinya untuk mengingat Allah.Mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (Az-Zumar: 22)

Di antara hal-hal yang dapat membantu menghilangkan kerasnya hati dan menjadikannya lunak, lembut dan terbuka untuk menerima kebenaran dari Allah yakni:

1. Ma'rifat (mengenal) Allah
Siapa yang kenal Allah, maka hatinya pasti akan lunak dan lembut, dan siapa yang jahil terhadap-Nya, maka akan keras hatinya. Semakin bodoh seseorang terhadap Allah, maka akan semakin berani melanggar batasan-Nya. Dan semakin seseorang berfikir tentang Allah, maka semakin sadar akan kebesaran Allah, keluasan nikmat serta kekuasaan Nya.

2. Mengingat Maut
Pertanyaan kubur, kegelapannya, sempit dan sepinya, juga penderitaan menjelang sakaratul maut termasuk ke dalam mengingat maut. Memperhatikan pula orang-orang yang telah mendekati kematian dan menghadiri jenazah. Hal itu dapat membangunkan ketertiduran hati kita, dan mengingatkan dari keterlenaan. Sa’id bin Jubair berkata, "Seandainya mengingat mati lepas dari hatiku, maka aku takut kalau akan merusak hatiku."

3. Berziarah Kubur dan Memikirkan Penghuninya.
Bagaimana mereka yang telah ditimbun tanah, bagaimana mereka dulu makan, minum dan berpakaian dan kini telah hancur di dalam kubur, mereka tinggalkan segala yang dimiliki, harta, kekuasaan maupun keluarga, lalu ingat dan berfikir, bahwa sebentar lagi dia juga akan mengalami hal yang sama.

4. Memperhatikan Ayat-ayat Al- Qur'an.
Memikirkan ancaman dan janjinya, perintah dan larangannya. Karena dengan memikirkan kandungannya, maka hati akan tunduk, iman akan bergerak mendorong untuk berjalan menuju Rabbnya, hati menjadi lunak dan takut kepada Allah.

5. Mengingat Akhirat dan Kiamat
Huru-hara dan kedahsyatannya, Surga dengan kenimatannya, neraka dengan penderitaannya yang disediakan bagi para pelaku dosa dan kemaksiatan.

6. Memperbanyak Dzikir dan Istighfar
Dzikir dapat melunakan hati yang keras. Karena itu selayaknya seorang hamba mengobati hatinya dengan berdzikir kepada Allah, sebab ketika kelalaian bertambah, maka kekerasan hati makin memuncak pula.

7. Mendatangi Orang Shalih dan Bergaul dengen Mereka.
Orang shaleh akan memberikan semangat ketika kita lemah, mengingatkan ketika lupa, dan memberikan jalan ketika kita bingung dan pertemuan dengan mereka akan membantu kita dalam melakukan ketaatan kepada Allah

8. Berjuang, Introspeksi dan Melihat Kekurangan Diri.
Manusia, jika tidak mau berjuang, introspeksi dan melihat kekurangan diri, maka dia tidak tahu, bahwa dirinya sakit dan banyak kekurangan. Jika dia tidak merasa sakit atau punya kekurangan, maka bagaimana mungkin dia akan memperbaiki diri atau berobat?

Wallahu a’lam, semoga Allah Subhannahu wa Ta'ala melunakkan hati kita semua untuk menerima dan menjalankan kebenaran, amin ya Rabbal ‘alamin.



Diposting oleh Razak Jr. pada pukul 3:23 PM | Baca Tersendiri | Home |

TAZKIYATUN NAFS

TAZKIYATUN NAFS
Sumber : Al-ikhwan

Tazkiyatun Nafs merupakan hal yang penting yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, sudah sepatutnya kita teladani dan kita amalkan. Kajian ini akan menjelaskan secara singkat apa yang dimaksud dengan Tazkiyatun Nafs itu. Kajian akan meliputi definisi dari Tazkiyatun Nafs dan urgensinya.

DEFINISI

Secara bahasa, Tazkiyyatun Nafsi berarti membersihkan / mensucikan, atau menumbuhkan / mengembangkan. Sedangkan secara istilah Tazkiyatun Nafs berarti mensucikan hati dari sifat-sifat tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat terpuji. Sarana Tazkiyatun Nafs adalah melalui ibadah dan berbagai amal baik. Sedangkan hasilnya adalah akhlak yang baik kepada ALLAH dan pada manusia, serta terpeliharanya anggota badan, senantiasa dalam batas-batas syari’at ALLAH SWT.


URGENSINYA

1. Tazkiyyatun Nafsi termasuk hal terpenting yang dibawa oleh para Rasul as. Hal ini sebagaimana yang ALLAH ingatkan dalam firman-Nya berikut ini:


Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2] : 129).

Di dalam beberapa ayat juga dijelaskan, antara lain pada surat Al-Baqarah [2] ayat 151, surat Ali Imran [3] ayat 164, surat Al-Jumu’a [62] ayat 2, dan surat An-Nazi’at [79] ayat 17 hingga 19.

Tazkiyyatun Nafsi yang dibawa oleh para Rasul ini adalah melalui:


Tadzkiir : Terhadap ayat-ayat ALLAH di setiap ufuk dan dalam diri manusia, terhadap perbuatan ALLAH atas ciptaan-NYA dan terhadap hukuman dan siksaan-NYA.
Ta’liim : Mempelajari Kitab dan Sunnah.
Tazkiyyah : Membersihkan hati dan memperbaiki tingkah-laku.

2. Tazkiyyatun Nafsi merupakan tujuan orang beriman.

Allah SWT berfirman:

“… di dalamnya ada orang-orang yang cinta untuk senantiasa membersihkan dirinya …” (QS. At-Taubah [9]: 108).
Di ayat lain Allah SWT juga berfirman:

“… dan sungguh akan kami selamatkan orang yang paling bertaqwa dari neraka, yaitu orang yang memberikan hartanya karena ingin mensucikan dirinya.” (QS. Al-Lail [92]: 17-18).

3. Tazkiyyatun Nafsi merupakan parameter kebahagiaan atau kebinasaan.

Allah SWT berfirman:

“…sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syam [91]: 9-10).
4. Tazkiyyatun Nafsi untuk mengenal penyakit zaman dan cara mengobatinya.

Salah satu penyakit zaman saat ini adalah hilangnya khusyu’, cinta dunia dan takut mati (wahn). Solusinya adalah melalui tarbiyyah Islamiyyah. Dimana dalam tarbiyah tersebut diberikan tadzkiir, ta’liim dan tazkiyyah.

pendidikan karakter dalam pandangan imam khomeini

pendidikan karakter dalam pandangan imam khomeini
Toto Dwi Arso


resensi ini adalah cuplikan dari skripasi penulis.

Salah satu tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membangun kepribadian manusia. Sebuah keyakinan yang dianut harus memiliki berbagai dimensi sistem yang meliputi hukum, ekonomi, politik dan yang tidak kalah penting adalah sistem pendidikan, dimana sistem pendidikanlah yang harus mendapat perhatian secara khusus. Ini berarti bahwa suatu ideologi yang bertujuan menerapkan rencana-rencana pembinaan moralitas manusia harus diarahkan kepada kepentingan seluruh manusia. Yang lebih luas dari sekedar bertujuan untuk individu atau masyarakat tertentu, karena itu persoalan di atas merupakan fokus utama dalam kajian ini.

Dalam membahas pendidikan karakter, setidaknya ada tiga terminologi yang hampir sama. Yaitu pendidikan moral, pendidikan akhlak dan pendidikan karakter. Terminologi Pendidikan moral (moral education) dalam dua dekade terakhir secara umum digunakan untuk menjelaskan penyelidikan isu-isu etika di ruang kelas dan sekolah. Pengajaran etika dalam pendidikan moral lebih cenderung pada penyampaian nilai-nilai yang benar dan nilai-nilai yang salah.

Pendidikan akhlak sebagaimana dirumuskan oleh Ibn Misykawaih, merupakan upaya ke arah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan-perbuatan yang bernilai baik.[1] Hal ini menunjukkan bahwa tujuan puncak pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku anak didik. Karakter positif ini tiada lain adalah penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia.

Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter, terlihat bahwa pendidikan akhlak mempunyai orientasi yang sama yaitu pembentukan karakter. Perbedaan bahwa pendidikan akhlak terkesan timur dan Islam sedangkan pendidikan karakter terkesan Barat dan sekuler, bukan alasan untuk dipertentangkan. Pada kenyataanya keduanya memiliki ruang untuk saling mengisi.

Imam Khomeini juga mengkritisi pendidikan moral secara tegas dalam mukadimahnya. Menurut Imam pelajaran akhlak yang mencakup sejarah akhlak[2], tinjauan filosofis sampai pada metode pembersihan diri tidak akan membantu perbaikan akhlak dan pencerabutan akar kejahatan. Bahkan menurut Imam, pelajaran akhlak tidak akan membawa kepada penyucian jiwa. Karena baik akhlak teoritis dan historis hanya akan menjauhkan dari tujuan dan maksud pendidikan akhlak. Imam mengatakan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah menjernihkan akal dan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) untuk meraih tujuan tertinggi tauhid. Tujuan tertinggi adalah meraih shibgah Allah[3] atau keimanan sehingga akan bisa menjadi orang yang alim ilahi atau filsuf yang rabbani.[4]

Imam Khomeini dalam memberi syarah kitab Junud al-aql wa al-jahl tidak membahas sisi ilmiah riwayatnya.[5] Karena Imam ingin memaparkan tujuan utama munculnya hadis ini sebagai pedoman pendidikan karakter. Imam Khomeini mengilustrasikan tujuan yang dimaksud dengan sangat indah.

“Tujuan utamanya adalah peringanan jiwa-jiwa dari beban tabiat (materi) yang pekat, pengarahan dan pemfokusan kepada alam gaib (non-materi), melepaskan “burung roh” dari ranting-ranting “pohon-pohon” dunia yang merupakan akar syajarah khabitsah dan menerbangkanya ke angkasa alam kudus dan tama nuns (kemesraan dengan-Nya), yang merupakan rioh syajaraah thayyibah. Dan semua itu tidak akan diperoleh kecuali dengan penjernihan akal, penyucian jiwa, perbaikan kondisi (ahwal), serta pemurnian amal.”[6]



Jadi, paling tidak pendidikan karakter menurut Imam melibatkan empat prinsip. Yaitu pertama, penjernihan akal, kedua, penyucian jiwa, ketiga, perbaikan perilaku, dan yang keempat adalah pemurnian amal. Keempat prinsip ini harus dilakukan secara simultan.[7] Karena jika hanya menonjolkan salah satu dari keempat pilar ini hanya akan mendatangkan tazalzul qalbi (guncangan hati) dan ketidaktercapainya maqam insan ilahi. Misalnya, jika hanya dengan penjernihan akal saja sebagaimana para fisuf, mereka akan terjebak dalam hijab akbar, yaitu penghalang terbesar kepada Allah. Karena menurut Imam, ilmu yang diperolehnya tidak menjadi ayat ilahi serta alat pencari al-Haqq (Allah).

Selain daripada keempat prinsip di atas, yang lebih penting dalam pendidikan akhlak adalah guru. Baik itu sebagai penulis buku pendidikan akhlak maupun guru di kelas atau masyarakat. Guru yang membawakan berita gembira, nasihat, dan peringatan haruslah mampu menempatkan tiap-tiap maksudnya ke dalam jiwa-jiwa. Artinya bahwa seorang pendidik akhlak harusnya dapat menanamkan karakter di hati para siswanya. Jadi tidak sekedar memberikan pengetahuan tentang apa itu baik-buruk, dan bagaimana metode berkarakter atau berakhlak baik, tapi bagaimana seorang pendidik menjadi tauladan dan dijadikan tauladan bagi siswa atau siapa saja yang mendengar kata-katanya dan melihat perilakunya sehari-hari. Maka kesempurnaan diri sangat dituntut bagi para pendidik. Dan kesempurnaan ini dapat dicapai siapa saja yang mengikuti Al-Quran dan Rasulullah saw.

Dalam membahas pendidikan karakter atau pendidikan akhlak, kita tidak akan bisa terlepas dengan pembahasan tentang manusia (subyek sekaligus obyek dalam pembahasan ini). Maka mendeskripsikan pandangan Imam tentang manusia menjadi sebuah keniscayaan dalam pembahasan ini.

Menurut Imam Khomeini, pendidikan lahir untuk memahami manusia, namun tujuan ini berimplikasi terbalik, yaitu untuk mengetahui wujud Tuhan dan mengenal Allah swt, atau yang dikenal dengan nama ru’yah kauniyah tauhidiyah (pandangan-pandangan tauhid).[8] Sebagaimana dalam buku Insan Ilahiyah halaman 68 sampai 71 bahwa Imam mengingatkan agar mengetahui dirinya dan tidak bangga dengan kesempurnaanya namun juga tidak boleh melupakan dirinya dan terus memperhatikan keadaan-keadaan jiwanya. Karena dengan tidak mengetahui dan lalai terhadap dirinya akan membawa kehancuran terbesar bagi manusia. Imam mempertegas dengan mengutip sebuah ayat al-Quran Surah Al-Hasyr:19



Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (Q.S Al-Hasyr:19)

Allah adalah zat yang Maha Sempurna. Dengan kemahasempurnaan-Nya, Allah bertajalli dengan menciptakan makhluk. Dan makhluk pertama yang diciptakan Allah dalam hadis ini adalah akal.[1] Karena akal adalah makhluk pertama yang diciptakan, maka akal menjadi tajalli pada seluruh urusan dan hakikatnya penampakan yang sempurna. Oleh karena itu makhluk awal ini diekspresikan dengan nur suci nabi Muhammad saw. Sebagaimana disebutkan dalam hadis suci bahwa Nabi Muhammad saw pernah bersabda, “Sesungguhnya awal makhluk adalah nurku”.[2] Nur Muhammad adalah pusat manifestasi bagi al-ismul a’zham.[3]

Dalam hadis Junud al-aql wa al-jahl, akal dinisbahkan dari nur al-Haqq dan jahal sebagai lawannya dinisbahkan pada bahr ujaj atau laut yang sangat asin, menurut Imam Khomeini hal ini untuk menyatakan bahwa mata air seluruh kesempurnaan dan rahasia lukisan segala maqam, dan sumber segenab cahaya alam mulk dan malakut, serta sumber semua cahaya yang terang di hadapan jabarut (kemahakuasaan) dan lahut (ketuhanan), ialah nur Muqaddas Allah Azza wa Jalla. Dan tiada bagi maujud dari maujudat cahaya, sinar, kesempurnaan, dan keindahan melainkan naungan cahaya azali (kekal) dan sinar keindahan awal Sang Maha Indah bertajalli kepadanya. Maka jelas bala tentara akal adalah tentara-tentara ilahiah.[4]

Selanjutnya Imam mengatakan bahwa hakikat akal adalah adam pertama dan hakikat jahal adalah iblis besar. Keduanya memiliki keturunan dan manifestasi di alam dunia. Sehingga kita dapat membedakan keduanya dengan menggunakan validator al-Quran dan Hadis. Dan manusia yang “terusir” dari surga[5] dan hidup di alam dunia mendapati dirinya diberi pilihan kepada akal atau jahal ia akan berpihak. Karena di alam dunia (tabiat) ini merupakan tempat pergantian, perubahan, kelahiran, kematian serta kebahagiaan sekaligus kesengsaraan. Namun manusia dianugerahi Allah potensi dan kemampuan merubah kondisinya dan perwujudan iblisiah menjadi perwujudan adamiyah. Maka tugas manusia yang hakiki adalah kembali kepada karakteristik akal universal. Artinya bahwa tentara-tentara akal yang Imam Ja’far as sebutkan beserta lawannya yaitu tentara jahal merupakan peta dalam mengarungi pendidikan karakter menuju kesempurnaan sejati, yaitu meniru Allah.

Menyucikan Jiwa Melalui Solat

Menyucikan Jiwa Melalui Solat

Shalat, kata Sa'id Hawwa, adalah sarana terbesar dalam tazkiyatun nafs (menyucikan jiwa). Pada waktu yang sama merupakan bukti dan ukuran dalam tazkiyah. Shalat adalah sarana dan sekaligus tujuan. Ia mempertajam makna ubudiyah, tauhid, dan syukur.

Shalat adalah zikir, gerakan berdiri, ruku, sujud, dan duduk. Penegakannya dapat memusnahkan bibit-bibit kesombongan dan pembangkangan kepada Allah, di samping merupakan pengakuan terhadap rubbubiyah dan hak pengaturan. Penegakannya secara sempurna juga akan dapat memusnahkan bibit-bibit ujub dan ghurur, bahkan semua bentuk kemungkaran dan kekejian. "Sesungguhnya shalat dapat mencegah kekejian dan kemungkaran." (Al-Ankabut 29).

Shalat akan berfungsi sedemikian rupa apabila ditegakkan dengan semua rukun, syarat, dan sunahnya. Secara lahir, kita menunaikannya secara sempurna dengan anggota badan. Secara batin, kita khusyuk dalam melaksanakannya.

Khusyuk itulah yang menjadikan shalat punya peran yang lebih besar dalam thahhir (penyucian), peran yang lebih besar dalam tahaqquq dan takhalluq (merealisasikan nilai-nilai dan sifat-sifat yang mulia). Tazkiyatin nafs berkisar seputar hal ini.

Amalan shalat yang bersifat lahiriah, kita melihat, masih dilaksanakan dengan baik oleh orang Muslim yang hidup di lingkungan Islam. Tetapi, apakah kita khusyuk melaksanakannya, masih menjadi tanda tanya besar. Nabi saw. bersabda, "Ilmu yang pertama kali diangkat dari muka bumi adalah kekhusyukan." (HR Thabrani). Padahal, khusyuk merupakan tanda pertama orang-orang beruntung (Al-Mu'minun 1-2). Orang-orang khusyuk adalah orang-orang yang berhak mendapat kabar gembira dari Allah SWT. (Al-Hajj:34-35).

Demikian pentingnya kedudukan khusyuk, hingga ketidakberadaannya berarti rusaknya hati dan keadaan. Baik dan rusaknya hati tergantung kepada ada dan tidaknya khusyuk ini. Sesungguhnya khusyuk merupakan manifestasi tertinggi dari sehatnya hati.

Jika khusyuk telah sirna berarti hati telah rusak. Bila khusyuk tidak ada berarti hati telah didominasi berbagai penyakit yang berbahaya dan keadaan yang buruk, seperti cinta dunia dan persaingan untuk mendapatkannya. Bila hati telah didominasi berbagai penyakit, maka kecenderungan kepada akhirat akan hilang. Bila hati telah sakit maka sumber-smber kebaikan bagi kaum Muslimin pun hilang. Cinta dunia menimbulkan persaingan untuk mendapatkannya, sedangkan persaingan terhadap dunia tidak layak menjadi landasan tegaknya urusan dunia dan agama.

Hilangnya khusyuk pertanda hilangnya kehidupan. Dia sulit menjadi penerima nasihat dan didominasi oleh hawa nafsu. Bayangkan, tatkala hawa nafsu mendominasi hati, segala nasihat dan peringatan tak lagi bermanfaat, maka berbagai syahwat pun merajalela. Dan terjadilah perebutan kedudukan, kekuasaan, harta, dan nafsu syahwat. Bila hal-hal ini mendominasi kehidupan, maka tidak akan terwujud kebaikan dunia maupun agama.

Khusyuk adalah ilmu sebagaimana ditegaskan hadis Nabi Saw. Ilmu ini tidak banyak yang mengetahuinya. Bila Anda telah menemukan orang khusyuk yang bisa mengantarkan Anda kepadanya. maka berpegang teguhlah kepadanya. Orang berilmu itulah tanda ulama akhirat.

Sesungguhnya ilmu khusyuk berkaitan dengan ilmu penyucian hati dari berbagai penyakit dan upaya merealisasikan kesehatan. Masalah ini merupakan tema yang amat luas sehingga para ulama akhirat memulainya dengan mengajarkan zikir dan hikmah kepada orang yang berjalan menuju Allah sampai hatinya hidup. Bila hati telah hidup berarti mereka telah membersihkan dari berbagai sifat yang tercela dan mengantarkannya kepada sifat-sifat terpuji. Di sinilah perlunya membiasakan hati khusyuk melalui kehadiran bersama Allah dan merenungkan berbagai nilai kehidupan.

Resepi Al-Ghazali
Khusyuk dalam shalat merupakan ukuran dan tanda kekhusyukan hati. Bagaimana khusyuk dihadirkan? Al-Ghazali menawarkan resep berikut. Lahiriah perintah, kata Al-Ghazali, adalah wajib, sedangkan lalai adalah lawan ingat. Yang lalai dalam semua shalatnya, bagaimana mungkin dia bisa mendirikan shalat untuk mengingat-Nya?

Kehadiran hati adalah ruh shalat. Minimum saat mulai takbiratul ihram. Kurang dari ini adalah kebinasaan. Semakin bertambah kehadiran hati, semakin bertambah pula ruh tersebut ada dalam bagian-bagian shalat. Berapa banyak orang hidup tapi tidak punya daya gerak hingga seperti mayit. Demikian pula orang yang lalai dalam seluruh pelaksanan shalat kecuali pada waktu takbiratul ihram. Seperti orang hidup yang tidak punya daya gerak sama sekali.

Ketahuilah, kata Al-Ghazali, makna batin memiliki banyak ungkapan tetapi seluruhnya terangkum dalam enam kalimat. Yaitu: kehadiran hati, tafahhum, takzim, haibah, raja'da haya'. Kehadiran hati ialah mengosongkan hati dari hal-hal yang tidak perlu hingga dia senantiasa sadar, tidak berpikiran liar. Tafahhum adalah paham terhadap makna. Takzim itu rasa hormat. Haibah adalah rasa takut yang bersumber dari rasa hormat. Raja' adalah pengharapan dan haya adalah rasa malu.

Faktor penyebab kehadiran hati adalah himmah atau perhatian utama. Tafahhum berasal dari kebiasan berpikir untuk mengetahui makna. Takzim lahir dari dua makrifat (terhadap kemuliaan dan keagungan Allah dan terhadap kehinaan dan kefanaan dirinya). Haibah datang dari makrifat akan kekuasaan Allah, hukuman-Nya, pengaruh kehendak-Nya. Penyebab timbulnya raja' adalah kelembutan Allah, kedermawanan-Nya, keluasaan nikmat-Nya, keindahan ciptaan-Nya, dan pengetahuan akan kebenaran janji-Nya. Sedang haya' muncul melalui perasaan serbakurang sempurna dalam beribadah dan pengetahuannya akan ketidakmampuan menunaikan hak-hak Allah.

Berdasarkan itu, manusia terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, orang lalai yang mendirikan shalat, tetapi hatinya tidak hadir sama sekali. Orang yang mendirikan shalat dengan hati tak pernah lalai sama sekali. Ketiga orang lalai yang tidak mendirikan shalat.

Yang terbaik adalah tipe kedua. Dia tidak pernah lalai dalam shalat dan selalu menghidupkan hatinya. Dia bisa sangat konsentrasi sehingga tidak merasakan apa yang tengah terjadi di sekelilingnya. Bahkan sebagian orang wajahnya pucat dan dadanya berguncang karena takut. Ini tak mustahil dicapai manusia. Apalagi banyak orang mengalami hal serupa karena takut pada raja dunia.

Jika kita termasuk orang yang menginginkan akhirat, hendaknya tidak melalaikan berbagai peringatan yang terdapat dalam syarat-syarat dan rukun-rukun shalat. Syarat-syarat yang mendahului shalat adalah azan, bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, berdiri tegak lurus dan niat.

Ketika mendengar seruan muazin hadirkanlah dalam hati gambaran dahsyatnya seruan hari kiamat dan bersegeralah dengan lahir dan batin untuk segera memenuhinya. Orang-orang yang bersegera memenuhi seruan ini adalah orang-orang yang dipangil dengan penuh lemah lembut pada hari 'pergelaran akbar'. Arahkan hati kepada seruan ini. ''Jika kita bisa mendapatinya dengan penuh kegembiraan, kesenangan, selalu berkeinginan untuk memulainya, maka ketahuilah rasa khusyuk akan datang kepadamu,'' kata Said Hawwa dalam buku Tazkiyatun Nafs. (Menyucikan Jiwa).

Posted by Abu Humaira at 12:59 AM

Menyucikan Jiwa Melalui Solat

Menyucikan Jiwa Melalui Solat

Shalat, kata Sa'id Hawwa, adalah sarana terbesar dalam tazkiyatun nafs (menyucikan jiwa). Pada waktu yang sama merupakan bukti dan ukuran dalam tazkiyah. Shalat adalah sarana dan sekaligus tujuan. Ia mempertajam makna ubudiyah, tauhid, dan syukur.

Shalat adalah zikir, gerakan berdiri, ruku, sujud, dan duduk. Penegakannya dapat memusnahkan bibit-bibit kesombongan dan pembangkangan kepada Allah, di samping merupakan pengakuan terhadap rubbubiyah dan hak pengaturan. Penegakannya secara sempurna juga akan dapat memusnahkan bibit-bibit ujub dan ghurur, bahkan semua bentuk kemungkaran dan kekejian. "Sesungguhnya shalat dapat mencegah kekejian dan kemungkaran." (Al-Ankabut 29).

Shalat akan berfungsi sedemikian rupa apabila ditegakkan dengan semua rukun, syarat, dan sunahnya. Secara lahir, kita menunaikannya secara sempurna dengan anggota badan. Secara batin, kita khusyuk dalam melaksanakannya.

Khusyuk itulah yang menjadikan shalat punya peran yang lebih besar dalam thahhir (penyucian), peran yang lebih besar dalam tahaqquq dan takhalluq (merealisasikan nilai-nilai dan sifat-sifat yang mulia). Tazkiyatin nafs berkisar seputar hal ini.

Amalan shalat yang bersifat lahiriah, kita melihat, masih dilaksanakan dengan baik oleh orang Muslim yang hidup di lingkungan Islam. Tetapi, apakah kita khusyuk melaksanakannya, masih menjadi tanda tanya besar. Nabi saw. bersabda, "Ilmu yang pertama kali diangkat dari muka bumi adalah kekhusyukan." (HR Thabrani). Padahal, khusyuk merupakan tanda pertama orang-orang beruntung (Al-Mu'minun 1-2). Orang-orang khusyuk adalah orang-orang yang berhak mendapat kabar gembira dari Allah SWT. (Al-Hajj:34-35).

Demikian pentingnya kedudukan khusyuk, hingga ketidakberadaannya berarti rusaknya hati dan keadaan. Baik dan rusaknya hati tergantung kepada ada dan tidaknya khusyuk ini. Sesungguhnya khusyuk merupakan manifestasi tertinggi dari sehatnya hati.

Jika khusyuk telah sirna berarti hati telah rusak. Bila khusyuk tidak ada berarti hati telah didominasi berbagai penyakit yang berbahaya dan keadaan yang buruk, seperti cinta dunia dan persaingan untuk mendapatkannya. Bila hati telah didominasi berbagai penyakit, maka kecenderungan kepada akhirat akan hilang. Bila hati telah sakit maka sumber-smber kebaikan bagi kaum Muslimin pun hilang. Cinta dunia menimbulkan persaingan untuk mendapatkannya, sedangkan persaingan terhadap dunia tidak layak menjadi landasan tegaknya urusan dunia dan agama.

Hilangnya khusyuk pertanda hilangnya kehidupan. Dia sulit menjadi penerima nasihat dan didominasi oleh hawa nafsu. Bayangkan, tatkala hawa nafsu mendominasi hati, segala nasihat dan peringatan tak lagi bermanfaat, maka berbagai syahwat pun merajalela. Dan terjadilah perebutan kedudukan, kekuasaan, harta, dan nafsu syahwat. Bila hal-hal ini mendominasi kehidupan, maka tidak akan terwujud kebaikan dunia maupun agama.

Khusyuk adalah ilmu sebagaimana ditegaskan hadis Nabi Saw. Ilmu ini tidak banyak yang mengetahuinya. Bila Anda telah menemukan orang khusyuk yang bisa mengantarkan Anda kepadanya. maka berpegang teguhlah kepadanya. Orang berilmu itulah tanda ulama akhirat.

Sesungguhnya ilmu khusyuk berkaitan dengan ilmu penyucian hati dari berbagai penyakit dan upaya merealisasikan kesehatan. Masalah ini merupakan tema yang amat luas sehingga para ulama akhirat memulainya dengan mengajarkan zikir dan hikmah kepada orang yang berjalan menuju Allah sampai hatinya hidup. Bila hati telah hidup berarti mereka telah membersihkan dari berbagai sifat yang tercela dan mengantarkannya kepada sifat-sifat terpuji. Di sinilah perlunya membiasakan hati khusyuk melalui kehadiran bersama Allah dan merenungkan berbagai nilai kehidupan.

Resepi Al-Ghazali
Khusyuk dalam shalat merupakan ukuran dan tanda kekhusyukan hati. Bagaimana khusyuk dihadirkan? Al-Ghazali menawarkan resep berikut. Lahiriah perintah, kata Al-Ghazali, adalah wajib, sedangkan lalai adalah lawan ingat. Yang lalai dalam semua shalatnya, bagaimana mungkin dia bisa mendirikan shalat untuk mengingat-Nya?

Kehadiran hati adalah ruh shalat. Minimum saat mulai takbiratul ihram. Kurang dari ini adalah kebinasaan. Semakin bertambah kehadiran hati, semakin bertambah pula ruh tersebut ada dalam bagian-bagian shalat. Berapa banyak orang hidup tapi tidak punya daya gerak hingga seperti mayit. Demikian pula orang yang lalai dalam seluruh pelaksanan shalat kecuali pada waktu takbiratul ihram. Seperti orang hidup yang tidak punya daya gerak sama sekali.

Ketahuilah, kata Al-Ghazali, makna batin memiliki banyak ungkapan tetapi seluruhnya terangkum dalam enam kalimat. Yaitu: kehadiran hati, tafahhum, takzim, haibah, raja'da haya'. Kehadiran hati ialah mengosongkan hati dari hal-hal yang tidak perlu hingga dia senantiasa sadar, tidak berpikiran liar. Tafahhum adalah paham terhadap makna. Takzim itu rasa hormat. Haibah adalah rasa takut yang bersumber dari rasa hormat. Raja' adalah pengharapan dan haya adalah rasa malu.

Faktor penyebab kehadiran hati adalah himmah atau perhatian utama. Tafahhum berasal dari kebiasan berpikir untuk mengetahui makna. Takzim lahir dari dua makrifat (terhadap kemuliaan dan keagungan Allah dan terhadap kehinaan dan kefanaan dirinya). Haibah datang dari makrifat akan kekuasaan Allah, hukuman-Nya, pengaruh kehendak-Nya. Penyebab timbulnya raja' adalah kelembutan Allah, kedermawanan-Nya, keluasaan nikmat-Nya, keindahan ciptaan-Nya, dan pengetahuan akan kebenaran janji-Nya. Sedang haya' muncul melalui perasaan serbakurang sempurna dalam beribadah dan pengetahuannya akan ketidakmampuan menunaikan hak-hak Allah.

Berdasarkan itu, manusia terbagi menjadi tiga kelompok. Pertama, orang lalai yang mendirikan shalat, tetapi hatinya tidak hadir sama sekali. Orang yang mendirikan shalat dengan hati tak pernah lalai sama sekali. Ketiga orang lalai yang tidak mendirikan shalat.

Yang terbaik adalah tipe kedua. Dia tidak pernah lalai dalam shalat dan selalu menghidupkan hatinya. Dia bisa sangat konsentrasi sehingga tidak merasakan apa yang tengah terjadi di sekelilingnya. Bahkan sebagian orang wajahnya pucat dan dadanya berguncang karena takut. Ini tak mustahil dicapai manusia. Apalagi banyak orang mengalami hal serupa karena takut pada raja dunia.

Jika kita termasuk orang yang menginginkan akhirat, hendaknya tidak melalaikan berbagai peringatan yang terdapat dalam syarat-syarat dan rukun-rukun shalat. Syarat-syarat yang mendahului shalat adalah azan, bersuci, menutup aurat, menghadap kiblat, berdiri tegak lurus dan niat.

Ketika mendengar seruan muazin hadirkanlah dalam hati gambaran dahsyatnya seruan hari kiamat dan bersegeralah dengan lahir dan batin untuk segera memenuhinya. Orang-orang yang bersegera memenuhi seruan ini adalah orang-orang yang dipangil dengan penuh lemah lembut pada hari 'pergelaran akbar'. Arahkan hati kepada seruan ini. ''Jika kita bisa mendapatinya dengan penuh kegembiraan, kesenangan, selalu berkeinginan untuk memulainya, maka ketahuilah rasa khusyuk akan datang kepadamu,'' kata Said Hawwa dalam buku Tazkiyatun Nafs. (Menyucikan Jiwa).

Posted by Abu Humaira at 12:59 AM

Labels: Tazkiyyat An Nafs


Tarbiyyah Dzatiyyah (Kupasan Buku)

Tarbiyyah Dzatiyyah (Kupasan Buku)




Bedah Buku: Tarbiyah Dzatiyah

Definisi Tarbiyah Dzatiyah

Suatu kumpulan cara cara atau jalan jalan tarbiyah (pembinaan) yang diberikan oleh orang Islam kepada dirinya untuk membentuk peribadi Islami yang sempurna di seluruh aspek ilmiah, iman , akhlak, social dan sebagainya. Dan juga menaikkan tingkatan kesempurnaan sebagai seorang manusia. Boleh disimpulkan sebagai tarbiyyah seseorang terhadap diri sendiri dengan dirinya sendiri.

Kepentingan Tarbiyyah Dzatiyyah

-Menjaga diri sendiri mesti didahulukan drpd menjaga orang lain.
-Tarbiyyah diri sendiri adalah faktor utama perubahan (islah) dalam diri.
-Hisab kelak bersifat individual.
-Cara untuk istiqamah dan tsabat dalam perjuangan.
-Method dakwah yang paling efektif
-Cara yang benar dan betul dalam memperbaiki realiti yang ada.


Kenapa ramai tidak mempedulikannya?

-Sangat kurangnya ilmu
-Matlamat dan tujuan yang tidak jelas.
-Pemahaman yang salah tentang tarbiyyah
-Asas tarbiyah yang kurang
-Kurang merasakan tanggungjawab atau peranan sebagai murabbi.
-Panjang angan angan.

Cara cara untuk Tarbiyyah Dzatiyyah

-Muhasabah
-Taubat dari segala dosa
-Mencari ilmu dan meluaskan wawasan
-Mengerjakan amalan amalan iman
-Memperhatikan aspek akhlak (moral)
-Merasakan kewajiban dakwah- komitmen dgn kerja kerja dakwah
-Mujahadah
-Berdoa dengan jujur kepada Allah swt

Hasil dari Tarbiyyah Dzatiyyah

-Mendapat keredhaan Allah dan syurgaNya
-Kebahagian dan ketenteraman.
-Dicintai dan diterima Allah
-Terpelihara dari keburukan dan hal2 yang tidak sepatutnya
-Keberkatan waktu dan harta
-Sabar dgn penderitaan dalam semua keadaan
-Jiwa tenang dan aman.

Posted by Abu Humaira at 12:30 PM 0 comments

Labels: Materi Tarbiyah, Ringkasan Buku


Friday, October 20, 2006
Bingkai Kehidupan




Bingkai Kehidupan
Album : Tak Kenal Henti !!!
Munsyid : Shoutul Harokah
http://liriknasyid.com


(Intro. Drum)
Ha hahaha hahaha hahaha
Haaa hahahaaa hahahaha hahahaha

Mengarungi samudra kehidupan,
Kita ibarat para pengembara
Hidup ini adalah perjuangan,
Tiada masa tuk berpangku tangan

Setiap tetes peluh dan darah,
Tak akan sirna ditelan masa
Segores luka di jalan ﷲﺍ,
Kan menjadi saksi pengorbanan

Allohu ghoyatuna
Ar Rosulu qudwatuna
Al Qur'anu dusturuna
Al Jihadu sabiluna
Al Mautu fi sabilillah, asma amanina

ﷲﺍ adalah tujuan kami,
Rasulullah teladan kami
Alqur?an pedoman hidup kami,
Jihad adalah jalan juang kami
Mati di jalan ﷲﺍ adalah,
Cita-cita kami tertinggi

Mengarungi samudra kehidupan,
Kita ibarat para pengembara
Hidup ini adalah perjuangan,
Tiada masa tuk berpangku tangan

Setiap tetes peluh dan darah,
Tak akan sirna ditelan masa
Segores luka di jalan ﷲﺍ,
Kan menjadi saksi pengorbanan

Allohu ghoyatuna
Ar Rosulu qudwatuna
Al Qur?anu dusturuna
Al Jihadu sabiluna
AlMautu fi sabilillah, asma amanina

ﷲﺍ adalah tujuan kami,
Rasulullah teladan kami
Alqur?an pedoman hidup kami,
Jihad adalah jalan juang kami
Mati di jalan ﷲﺍ adalah,
Cita-cita kami tertinggi
Cita-cita kami tertinggi

Posted by Abu Humaira at 7:30 AM 0 comments

Tarbiyyah Dzatiyyah (Kupasan Buku)

Tarbiyyah Dzatiyyah (Kupasan Buku)




Bedah Buku: Tarbiyah Dzatiyah

Definisi Tarbiyah Dzatiyah

Suatu kumpulan cara cara atau jalan jalan tarbiyah (pembinaan) yang diberikan oleh orang Islam kepada dirinya untuk membentuk peribadi Islami yang sempurna di seluruh aspek ilmiah, iman , akhlak, social dan sebagainya. Dan juga menaikkan tingkatan kesempurnaan sebagai seorang manusia. Boleh disimpulkan sebagai tarbiyyah seseorang terhadap diri sendiri dengan dirinya sendiri.

Kepentingan Tarbiyyah Dzatiyyah

-Menjaga diri sendiri mesti didahulukan drpd menjaga orang lain.
-Tarbiyyah diri sendiri adalah faktor utama perubahan (islah) dalam diri.
-Hisab kelak bersifat individual.
-Cara untuk istiqamah dan tsabat dalam perjuangan.
-Method dakwah yang paling efektif
-Cara yang benar dan betul dalam memperbaiki realiti yang ada.


Kenapa ramai tidak mempedulikannya?

-Sangat kurangnya ilmu
-Matlamat dan tujuan yang tidak jelas.
-Pemahaman yang salah tentang tarbiyyah
-Asas tarbiyah yang kurang
-Kurang merasakan tanggungjawab atau peranan sebagai murabbi.
-Panjang angan angan.

Cara cara untuk Tarbiyyah Dzatiyyah

-Muhasabah
-Taubat dari segala dosa
-Mencari ilmu dan meluaskan wawasan
-Mengerjakan amalan amalan iman
-Memperhatikan aspek akhlak (moral)
-Merasakan kewajiban dakwah- komitmen dgn kerja kerja dakwah
-Mujahadah
-Berdoa dengan jujur kepada Allah swt

Hasil dari Tarbiyyah Dzatiyyah

-Mendapat keredhaan Allah dan syurgaNya
-Kebahagian dan ketenteraman.
-Dicintai dan diterima Allah
-Terpelihara dari keburukan dan hal2 yang tidak sepatutnya
-Keberkatan waktu dan harta
-Sabar dgn penderitaan dalam semua keadaan
-Jiwa tenang dan aman.

Posted by Abu Humaira at 12:30 PM 0 comments

Labels: Materi Tarbiyah, Ringkasan Buku


Friday, October 20, 2006
Bingkai Kehidupan




Bingkai Kehidupan
Album : Tak Kenal Henti !!!
Munsyid : Shoutul Harokah
http://liriknasyid.com


(Intro. Drum)
Ha hahaha hahaha hahaha
Haaa hahahaaa hahahaha hahahaha

Mengarungi samudra kehidupan,
Kita ibarat para pengembara
Hidup ini adalah perjuangan,
Tiada masa tuk berpangku tangan

Setiap tetes peluh dan darah,
Tak akan sirna ditelan masa
Segores luka di jalan ﷲﺍ,
Kan menjadi saksi pengorbanan

Allohu ghoyatuna
Ar Rosulu qudwatuna
Al Qur'anu dusturuna
Al Jihadu sabiluna
Al Mautu fi sabilillah, asma amanina

ﷲﺍ adalah tujuan kami,
Rasulullah teladan kami
Alqur?an pedoman hidup kami,
Jihad adalah jalan juang kami
Mati di jalan ﷲﺍ adalah,
Cita-cita kami tertinggi

Mengarungi samudra kehidupan,
Kita ibarat para pengembara
Hidup ini adalah perjuangan,
Tiada masa tuk berpangku tangan

Setiap tetes peluh dan darah,
Tak akan sirna ditelan masa
Segores luka di jalan ﷲﺍ,
Kan menjadi saksi pengorbanan

Allohu ghoyatuna
Ar Rosulu qudwatuna
Al Qur?anu dusturuna
Al Jihadu sabiluna
AlMautu fi sabilillah, asma amanina

ﷲﺍ adalah tujuan kami,
Rasulullah teladan kami
Alqur?an pedoman hidup kami,
Jihad adalah jalan juang kami
Mati di jalan ﷲﺍ adalah,
Cita-cita kami tertinggi
Cita-cita kami tertinggi

Posted by Abu Humaira at 7:30 AM 0 comments



Tazkiyatunnafs (dakwatuna.com)

Menata Timbangan Diri
Oleh: Muhammad Nuh
--------------------------------------------------------------------------------



dakwatuna.com - “Sungguh beruntung orang yang mensucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9-10)

Maha Besar Allah yang telah menciptakan dunia begitu indah. Awan pekat berbondong-bondong digiring angin. Hujan bersih menitik dari langit. Tumbuh-tumbuhan pun menghijau, menyegarkan pandangan mata. Dan, menyejukkan hati yang gelisah.

Saatnya diri untuk bercermin. Menengok seberapa kotor wajah karena terpaan debu kehidupan. Saatnyalah, menimbang diri dengan penuh kejernihan.

Resapilah bahwa diri terlalu banyak dosa, bukan sebaliknya

Di antara bentuk kelalaian yang paling fatal adalah merasa tidak punya dosa. Yang kerap terbayang selalu pada kebaikan yang pernah dilakukan. Dari sinilah seseorang bisa terjebak pada memudah-mudahkan kesalahan. Bahkan, bisa menjurus pada kesombongan. “Sayalah orang yang paling baik. Pasti masuk surga

Dua firman Allah swt. menyiratkan orang-orang yang lalai seperti itu. “Katakanlah, ‘Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?’ Yaitu, orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al-Kahfi: 103-104)

Bentuk lain dari sikap ini, adanya keengganan mencari fadhilah atau nilai tambah sebuah ibadah. Semua yang dilakukan cuma yang wajib. Keinginan menunaikan yang sunnah menjadi tidak begitu menarik. Ibadahnya begitu kering.

Padahal, Rasulullah saw. tak pernah lepas dari ibadah sunnah. Kaki Rasulullah saw. pernah bengkak karena lamanya berdiri dalam salat. Isteri beliau, Aisyah r.a., mengatakan, “Kenapa Anda lakukan itu, ya Rasulullah? Padahal, Allah sudah mengampuni dosa-dosa Anda?” Rasulullah saw. menjawab, “Apa tidak boleh aku menjadi hamba yang senantiasa bersyukur?”

Beliau saw. pun mengucapkan istighfar tak kurang dari tujuh puluh kali tiap hari. Setiapkali ada kesempatan, beliau saw. selalu memohon maaf kepada orang-orang yang sering berinteraksi dengan beliau. Beliau saw. khawatir kalau ada kesalahan yang tak disengaja. Kesalahan yang terasa ringan buat diri, tapi berat buat orang lain.

Berlatih diri untuk menerima nasihat, dari siapapun datangnya

Boleh jadi, sebuah pepatah memang cocok buat diri kita: gajah di pelupuk mata tak tampak, sementara kuman di seberang lautan jelas terlihat. Kesalahan orang lain begitu jelas buat kita. Tapi, kekhilafan diri sendiri seperti tak pernah ada.

Jadi, tidak semua orang yang paham tentang teori salah dan dosa mampu mendeteksi dan mengoreksi kesalahan diri sendiri. Rasulullah saw. pernah menyampaikan hal itu dalam hadits yang diriwayatkan Muslim, “Pada hari kiamat seorang dihadapkan dan dilempar ke neraka. Orang-orang bertanya, ‘Hai Fulan, mengapa kamu masuk neraka sedang kamu dahulu adalah orang yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan munkar?’ Orang tersebut menjawab, ‘Ya, benar. Dahulu aku menyuruh berbuat ma’ruf, sedang aku sendiri tidak melakukannya. Aku mencegah orang lain berbuat munkar sedang aku sendiri melakukannya.”

Dari situlah, seseorang butuh bantuan orang lain untuk menerima nasihat. Cuma masalah, seberapa cerdas seseorang menyikapi masukan. Kadang, emosi yang kerdil membuat si penerima nasihat banyak menimbang. Ia tidak melihat apa isi nasihat, tapi siapa yang memberi nasihat. Dan inilah di antara indikasi seseorang terjebak dalam sifat sombong. Sebuah sifat yang selalu menolak kebenaran, dan mengecilkan keberadaan orang lain.

Paksakan diri untuk bermuhasabah secara rutin

Sukses-tidaknya hidup seseorang sangat bergantung pada kemampuan mengawasi diri. Seberapa banyak kebaikan yang diperbuat dan seberapa besar kesalahan yang terlakoni. Kalau hasil hitungan itu positif, syukur adalah sikap yang paling tepat. Tapi jika negatif, istighfarlah yang terus ia ucapkan. Kesalahan itu pun menjadi pelajaran, agar tidak terulang di hari esok.

Masalahnya, orang yang cenderung santai, sulit melakukan muhasabah secara jernih. Timbangannya selalu miring. Yang terlihat cuma kebaikan-kebaikan. Sementara, dosa dan kesalahan tenggelam dengan tumpukan angan-angan.

Muhasabah yang tidak jernih kerap menonjolkan amalan dari segi jumlah. Bukan mutu. Padahal, Allah swt. tidak sekadar melihat jumlah, tapi juga mutu. Bagaimana niat amal, seberapa besar kesadaran dan pemahaman dalam amal tersebut. Dan selanjutnya, sejauhmana produktivitas yang dihasilkan dari amal.

Bahkan boleh jadi, orang justru jatuh dalam kesalahan ketika proses amalnya menzhalimi orang lain. Atau, amal yang dilakukan menciderai hak orang lain. Umar bin Khaththab pernah memarahi seorang pemuda yang terus-menerus berada dalam masjid, sementara kewajibannya mencari nafkah terlalaikan.

Umar bin Khaththab pula yang pernah memberikan nasihat buat kita semua. “Hisablah diri kamu sebelum kamu dihisab. Timbanglah amalan kamu sebelum ia ditimbang. Dan bersiap-siaplah menghadapi hari kiamat (hari perhitungan).”

Gandrungkan hati untuk tetap rindu pada lingkungan orang-orang saleh

Rasulullah saw. pernah bersabda, “Seseorang adalah sejalan dan sealiran dengan kawan akrabnya. Maka, hendaklah kamu berhati-hati dalam memilih kawan pendamping.” (HR. Ahmad)

Nasihat Rasul ini tentu tidak mengharamkan seorang mukmin mendekati orang-orang yang tinggal di lingkungan buruk. Karena justru merekalah yang paling berhak diajak kepada kebersihan Islam. Tapi, ada saat-saat tertentu, seseorang lebih cenderung berada pada lingkungan negatif daripada yang baik. Bukan karena ingin berdakwah, tapi karena ingin mencari kebebasan. Di situlah ia tidak mendapat halangan, teguran, dan nasihat. Nafsunya bisa lepas, bebas, tanpa batas.

Ketika seseorang berbuat dosa, sebenarnya ia sedang mengalami penurunan iman. Karena dosa sebenarnya bukan pada besar kecilnya. Tapi, di hadapan siapa dosa dilakukan. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah memandang kecil (dosa), tapi pandanglah kepada siapa yang kamu durhakai.” (HR. Aththusi)



Cukuplah Kematian Sebagai Nasihat
Oleh: Muhammad Nuh
--------------------------------------------------------------------------------



“Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu kematian!” (HR. Tirmidzi)

Berbahagialah hamba-hamba Allah yang senantiasa bercermin dari kematian. Tak ubahnya seperti guru yang baik, kematian memberikan banyak pelajaran, membingkai makna hidup, bahkan mengawasi alur kehidupan agar tak lari menyimpang.

Nilai-nilai pelajaran yang ingin diungkapkan guru kematian begitu banyak, menarik, bahkan menenteramkan. Di antaranya adalah apa yang mungkin sering kita rasakan dan lakukan.

Kematian mengingatkan bahwa waktu sangat berharga

Tak ada sesuatu pun buat seorang mukmin yang mampu mengingatkan betapa berharganya nilai waktu selain kematian. Tak seorang pun tahu berapa lama lagi jatah waktu pentasnya di dunia ini akan berakhir. Sebagaimana tak seorang pun tahu di mana kematian akan menjemputnya.

Ketika seorang manusia melalaikan nilai waktu pada hakekatnya ia sedang menggiring dirinya kepada jurang kebinasaan. Karena tak ada satu detik pun waktu terlewat melainkan ajal kian mendekat. Allah swt mengingatkan itu dalam surah Al-Anbiya ayat 1, “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya).”

Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan mata. Tiba-tiba, lisan tergerak untuk mengatakan, “Ya Allah, mundurkan ajalku sedetik saja. Akan kugunakan itu untuk bertaubat dan mengejar ketinggalan.” Tapi sayang, permohonan tinggallah permohonan. Dan, kematian akan tetap datang tanpa ada perundingan.

Allah swt berfirman dalam surah Ibrahim ayat 44, “Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang zalim: ‘Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul….”

Kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa

Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah akhir segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang telah dimainkan, ketika sutradara mengatakan ‘habis’, usai sudah permainan. Semua kembali kepada peran yang sebenarnya.

Lalu, masih kurang patutkah kita dikatakan orang gila ketika bersikeras akan tetap selamanya menjadi tokoh yang kita perankan. Hingga kapan pun. Padahal, sandiwara sudah berakhir.

Sebagus-bagusnya peran yang kita mainkan, tak akan pernah melekat selamanya. Silakan kita bangga ketika dapat peran sebagai orang kaya. Silakan kita menangis ketika berperan sebagai orang miskin yang menderita. Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya. Semuanya akan berakhir. Dan, peran-peran itu akan dikembalikan kepada sang sutradara untuk dimasukkan kedalam laci-laci peran.

Teramat naif kalau ada manusia yang berbangga dan yakin bahwa dia akan menjadi orang yang kaya dan berkuasa selamanya. Pun begitu, teramat naif kalau ada manusia yang merasa akan terus menderita selamanya. Semua berawal, dan juga akan berakhir. Dan akhir itu semua adalah kematian.

Kematian mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa

Fikih Islam menggariskan kita bahwa tak ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke liang lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin. Penguasa atau rakyat jelata Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan. Cuma kain kafan itu.

Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang telanjang.

Lalu, masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita meraih keberhasilan. Masih patutkah kita membangga-banggakan harta dengan sebutan kepemilikan. Kita datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergi pun bersama sesuatu yang tak berharga.

Ternyata, semua hanya peran. Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika peran usai, kepemilikan pun kembali kepada Allah. Lalu, dengan keadaan seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-apa. Dan, bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba Allah. Setelah itu, kehidupan pun berlalu melupakan peran yang pernah kita mainkan.

Kematian mengingatkan bahwa hidup sementara

Kejayaan dan kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuah khayalan bahwa ia akan hidup selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia ingin menyatakan kepada dunia bahwa tak satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat ini.

Ketika sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia tersadar. Bahwa, segalanya akan berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama kematian. Hidup tak jauh dari siklus: awal, berkembang, dan kemudian berakhir.

Kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga

Seorang hamba Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar bahwa hidup teramat berharga. Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang petani yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga. Dengan sungguh-sungguh. Petani itu khawatir, ia tidak mendapat apa-apa ketika ladang harus dikembalikan.

Mungkin, inilah maksud ungkapan Imam Ghazali ketika menafsirkan surah Al-Qashash ayat 77, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) dunia…” dengan menyebut, “Ad-Dun-ya mazra’atul akhirah.” (Dunia adalah ladang buat akhirat)

Orang yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya untuk mengingat sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu yang paling diingat. Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang menghargai arti kehidupan.