Kamis, 15 Januari 2009

OPTIMISME

OPTIMISME
Ketika agama menganjurkan kita agar selalu optimis, maka itu adalah anjuran untuk memperbanyak sebab-sebabnya. Kalau Anda menabur benih di tanah yang subur, dengan pengairan yang cukup, Anda boleh optimis, tetapi kalau benih yang Anda tanam di tanah yang gersang, atau tidak menanam benih sama sekali, maka sungguh Anda telah teperdaya.


Dalam Kamus Bahasa Indonesia, optimisme diartikan dengan faham atau keyakinan atas segala sesuatu dari segi yang baik dan menyenangkan. Seseorang yang optimistis adalah yang memiliki harapan baik dalam segala hal. Jika ada gelas yang setengahnya berisi air, maka yang optimis melihat bagian yang terisi dan yang pesimis melihat bagiannya yang kosong. Yang pertama berkata: “Sudah ada setengah gelas” dan yang kedua berkata: “Masih setengahnya yang kosong.”



Pendapat di atas belum sepenuhnya benar, jika dikaitkan dengan pandangan agama tentang optimisme.



Memang, optimisme berkaitan dengan sesuatu yang menyenangkan hati dan dinantikan kedatangannya, berbeda dengan pesimisme. Tetapi, agamawan menegaskan bahwa ia baru dinamai demikian selama sebab-sebab yang dinantikan itu cukup banyak dan logis, kalau tidak, maka ia bukan optimisme, paling tinggi ia adalah harapan tak berdasar, bahkan bisa jadi ia adalah angan-angan kosong dan keterpedayaan amâny atau ghurûr dalam bahasa al-Qur’an.



Optimisme, yang juga biasa dinamai Husnu adz-Dzan atau sangka baik, dianjurkan dalam berbagai segi hidup, lebih-lebih menjelang kematian, tetapi dengan syarat yang disebut di atas.



Imam Ghazâli menulis bahwa dunia adalah ladang akhirat. Hati manusia bagaikan tanah, dan iman ibarat benihnya. Ketaatan-ketaatan mengalir seperti aliran saluran air, membalikkan tanah dan pemupukan untuk menguatkannya. Hati yang tertutup oleh dunia yang menyelimutinya, seperti tanah yang bergaram, tidak akan berhasil menumbuhkan benih. Hari Kiamat adalah hari menuai. Jika seseorang menanam di tanah yang bergaram atau hati yang tertutup, maka benih apapun tidak muncul, dan dengan demikian dia tidak akan menemukan sesuatu yang dituai ketika datangnya musim panen.



Al-Qur’an melukiskan bahwa ada orang-orang yang mewarisi al-Kitab (Taurat), mereka mengambil sesuatu yang rendah dari kehidupan dunia ini dan berkata: “Kami akan diberi ampun.” Dan jika datang kepada mereka harta serupa itu, niscaya mereka akan mengambilnya (juga) (QS. al-A‘râf 7:169). Mereka sungguh teperdaya dan hanya berangan-angan dengan harapan pemaafan itu.



Ketika agama menganjurkan kita agar selalu optimis, maka itu adalah anjuran untuk memperbanyak sebab-sebabnya. Anda dapat mengukur diri Anda! Tanah apa tempat Anda menabur, dan benih apa yang Anda tabur, lalu menetapkan apakah Anda telah wajar bersangka baik atau sikap Anda adalah sikap siapa yang teperdaya. Kalau Anda menabur benih di tanah yang subur, dengan pengairan yang cukup, Anda boleh optimis, tetapi kalau benih yang Anda tanam di tanah yang gersang, atau tidak menanam benih sama sekali, maka sungguh Anda telah teperdaya.



Menghadapi kematian, Rasul saw. bersabda: “Janganlah seseorang di antara kamu wafat kecuali berprasangka baik kepada Allah.” Di kali lain beliau bersabda bahwa Allah berfirman: “Aku memperkenankan sangka baik/optimisme hamba-Ku.”



Optimisme dan sangka baik menjelang kematian, adalah merasa takut akan dosa yang telah diperbuat dan menyesalinya, sambil mengharapkan pengampunan dan rahmat Allah. Rasul saw. bersabda: “Keduanya (yakni takut dan harap) itu tidak berkumpul dalam hati seseorang yang sakarat, kecuali Allah memberinya apa yang dia harapkan dan menyelamatkannya dari apa yang dia takuti. Demikian wa Allâh a‘lam.


Sumber :
Disunting dari buku "Menjemput Maut" karya M. Quraish Shihab, Jakarta: Lentera Hati, 2005.

Karya Para Mufassir

Dari Pusat Studi Al'Quran


ADHWA' AL-BAYAN

Penulis : MUHAMMAD AMIN ASY-SYANQITHI
Kategori : Tafsir Fiqh
Mazhab : Maliki-Salafi
Terbit : 1382 H



Jilid : 9 buah

Penerbit : ‘Alam al-Kutub (Beirut).



Judul lengkapnya adalah Adhwa' al-Bayân fi Idhâhi al-Qurân bi al-Qurân. Tafsir ini diterbitkan oleh 'Alam al-Kutub (Beirut) pada tahun 1382 H. dan oleh Maktabah Ibnu Taimiyah, Kairo, pada tahun 1408 H. (9 jilid).



Tafsir ini pada hakekatnya merupakan karya bersama antara seorang guru dengan seorang murid, hampir sama dengan Tafsir al-Manar yang ditulis oleh Muhammad Abduh dan Rasyīd Ridha. Perbedaannya, dalam Tafsir al-Manār tulisan murid yang lebih panjang, sedangkan di sini tulisan guru yang lebih dominan. Ali-Iyazi menjelaskan bahwa penulisan tafsir ini dilakukan dengan cara mendiktekan. Hal itu dilakukan sampai akhir surah al-Mujadalah. Sebagaimana Muhammad Abduh, Asy-Syanqithi terhalangi oleh keterbatasan usianya untuk menyelesaikan tafsirnya sampai akhir. Karenanya, usaha tersebut dilanjutkan oleh muridnya, Atiyyah Muhammad Salim, dengan menambahkan tiga jilid terakhir. Dua jilid merupakan penyempurnaan terhadap tafsirnya dan jilid yang terakhir memuat ringkasan karya-karya as-Syanqithi, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.





Tafsir ini tidak mengakomodasi keseluruhan ayat Al-Qur'an. Ayat-ayat yang dibahas dipilih berdasarkan tingkat kesulitan menurut penulisnya. Artinya, yang dipaparkan di sana adalah ayat-ayat yang menurut asy-Syanqithi susah dipahami.



Ia menafsirkan ayat yang global, baik karena lafadz satu kata terlihat sangat umum maupun karena redaksinya. Hal itu dijelaskan dengan rincian atau penjelasan yang terdapat pada surah lain, baik berupa penjelasan yang eksplisit maupun yang implisit. Penyempurnaan yang dilakukan muridnya, 'Atiyyah Muhammad Salim, juga menggunakan metodologi yang sama. Ia mengusahakan apa yang pernah diusahakan penulisnya sendiri, bahkan menambahkan beberapa hal yang dianggap perlu dan belum sempat ditunaikan oleh gurunya tersebut.



Dalam pendahuluannya, asy-Syanqithi menyebutkan tujuan penyusunan kitab tafsirnya yang berkisar pada dua hal: Pertama, menjelaskan ayat-ayat al-Qur'an dengan al-Qur'an; dan Kedua, menjelaskan hukum-hukum fiqh yang di dalamnya terdapat masalah hukum. Menjelaskan dalil-dalilnya, dari sunnah Nabi, pendapat para ulama dengan memaparkan hasil tarjihnya.



Ia memulai tafsirnya dengan menyebut dan menjelaskan kata yang maknanya samar-samar di dalam sebuah ayat al-Qur'an. Hal ini dilakukan tanpa menyebutkan identitas surah seperti nama, keutamaan, dan qira'ahnya, serta tidak menjelaskan semua kata yang ada di dalam sebuah ayat, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para mufassir sebelumnya.



Seperti yang ia jelaskan di dalam pembukaan kitabnya mengenai metodologi yang ditempuh, ia hampir tidak membahas satu ayat Al-Qur'an pun kecuali hal itu dijelaskan dengan ayat yang lain. Ia juga kadang-kadang menjelaskan ayat-ayat tentang masalah hukum secara panjang lebar, menampilkan masalah-masalah kebahasaan, seperti sharf dan i'rab, sepanjang hal tersebut dibutuhkan, dan sya’ir Arab sebagai pembuktian (syawâhid). Di antara yang menjadi pusat perhatiannya juga adalah pemaparan dan penjelasan masalah-masalah teologis. Khusus yang berkaitan dengan masalah ini, seperti sifat-sifat Tuhan, ru'yat (melihat Tuhan), Tuhan bersemayam, qadha dan qadar, dan lain-lain, beliau mengikuti faham teologis ahl As-Sunnah wa al-Jamâ'ah as-Salafiyyah.



Dalam pembahasan yang berkaitan dengan masalah fiqh dan teologi, ia lazimnya memaparkan pendapat dari berbagai aliran dan kemudian mentarjihnya (sintesa). Di sini nampak dukungannya yang sangat kental terhadap aliran ahlussunnah.



Pembahasan tafsirnya didasarkan pada pendapat para sahabat, tabi’in, para mufassir sebelumnya, seperti at-Thabari, Ibnu Katsir, al-Qurthubi, dan az-Zamakhsyari, serta merujuk pada hadis-hadis yang tercantum dalam enam kitab hadis yang shahih (kutub as-sittah) dan pendapat-pendapat ahli fiqh yang empat (madzahib al-arba’ah). Juga, banyak pendapat mengenai hukum yang dinukil dari al-Qurthubi, an-Nawawi, dan Ibnu Qudâmah di dalam kitab tafsir ini.



(Keterangan ini merujuk pada kitab Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi dan kitab Adhwa' al-Bayân sendiri).





AHKAM AL-QUR’AN

Penulis : AL-KIYA AL-HARASY
Kategori : Tafsir Fiqh
Mazhab : Syafii-Asyariyah
Terbit : 1974 M





Jumlah : 4 Juz dalam 2 Jilid

Terbit : Dar al-Kutub al-Haditsah (Kairo)






Menurut Sayyid Muhammad Ali Iyazi, Kitab Tafsir Ahkam karya al-Kiya al-Harasi ini merupakan karya monumental dari kalangan mazhab Syafi'i, terutama yang menggunakan pendekatan disiplin fiqh. Dikatakan demikian karena kitab ini merupakan kitab dari kalangan Madzhab Syafi’i yang pertama kali terbit dan sampai kepada kita. Sebenarnya kitab Ahkâm Al-Qur'an yang disandarkan kepada Imam Syafi'i pernah dibuat oleh al-Baihaqi, namun tidak mengkaji seluruh ayat Al-Qur'an secara lengkap, sementara kitab ini memaparkan seluruhnya.



Kitab tafsir ini banyak mempromosikan dan membela Mazhab Syafi'i, sedangkan di sisi lain menyerang (pendapat) Imam Abu Hanifah, sebagaimana yang dilakukan oleh al-Jashshash – pendukung mazhab Hanafi – kepada Imam Syafi'i, dan atau yang dilakukan oleh Ibnu al-‘Arabi kepada Imam Syafi'i dan Abu Hanifah.



Fanatisme mazhab ini terlihat jelas pada pembukaan tafsirnya yang dinyatakan sebagai berikut: "Sesungguhya mazhab Syafi'i adalah mazhab yang paling benar dan paling lurus. Pandangan-pandangan Imam Syafi'i dalam banyak pokok masalah, penafsirannya telah bergeser dari yang meragukan (zhanni) ke level kebenaran (al-haq al-Yaqîn). Hal ini disebabkan karena Imam Syafi'i membangun pemikirannya di atas pondasi yang kokoh dan abadi di atas sumber utama, kitabullah, yakni sumber yang bersih dari kontaminasi kebatilan dan kebohongan".



Berangkat dari prinsip inilah maka metodologi yang dikembangkan di dalam tafsirnya selalu diwarnai dengan pembelaan terhadap Imam Syafi'i, baik yang berkaitan dengan pokok-pokok Ajaran Islam maupun masalah-masalah furu' (cabang).



Pada bagian lain di dalam muqaddimahnya ia berkata: “…….setelah melihat urusannya demikian, maka hati saya tergugah untuk menyusun kitab Ahkam al-Qur'an ini. Sebuah kitab tafsir di mana saya dapat menjelaskan pijakan Imam Syafi'i dalam menentukan dalil-dalil ketika menemukan masalah-masalah yang samar”.



Kitab tafsir ini dalam pembahasannya merujuk pada riwayat-riwayat yang bersumber dari Rasulullah Saw., para sahabat, dan tabi’in.



Metodologi pemabahasannya dibuat secara sistematis persurat. Penulis memfokuskan diri dan mendahulukan pembahasannya pada ayat-ayat yang terkait dengan masalah hukum dan mengangkat berbagai pendapat yang berkisar tentang problematika tersebut. Di samping itu, al-Harasy juga menguraikan permasalahan teologis dan masalah-masalah kontroversial antar madzhab, terutama antara madzhab Imam Syafi’i dan madzhab Imam Hanafi, karena – menurut Ali Iyazi – tidak ditemukan keterangan yang merujuk kepada madzhab Imam Ahmad dan Imam Maliki.



Ali Iyazi dalam kitabnya, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, mengambil kesimpulan bahwa karya al-Harasy ini tidak moderat dalam menjelaskan permasalahan hukum, di mana ia lebih cenderung berpihak dan meluruskan pendapat madzhabnya sendiri (Syafi’iyah) ketika menukil berbagai pendapat dari madzhab lain.



Kitab ini, menurut adz-Dzhabi, ditulis dalam jilid besar yang sementara ini masih terdapat di Dâr al-Kutub al-Mishriyah dan perpustakaan al-Azhar.





(Keterangan ini merujuk pada kitab Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi; kitab At-Tafsir wa al-Mufassirun karya Muhammad Husain Adz-Dzahaby; dan kitab (Muqaddimah) Ahkam al-Qur’an).




AL-KASYSYAF

Penulis : AZ-ZAMAKHSYARI
Kategori : Tafsir Sastra
Mazhab : Zaidiyah
Terbit : 1953 M



Kitab tafsir ini berjudul lengkap Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamid At-Tanzil Wa ‘Uyun Al-Aqawil Fi Wujuh At-Ta’wil, yang disusun oleh Az-Zamakhsyari selama tiga tahun, mulai dari tahun 526 H sampai dengan tahun 528 H, di Makkah al-Mukarramah, ketika ia berada di sana untuk melakukan ibadah haji yang kedua kalinya. Hal itu diketahui dari pengakuannya sendiri yang dituangkan pada muqaddimah tafsirnya. Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa lama penyusunan kitabnya sama dengan lama masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq.


Tafsir al-Kasysyaf adalah salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi yang terkenal, yang dalam pembahasannya menggunakan pendekatan bahasa dan sastra. Penafsirannya kadang ditinjau dari arti mufradat yang mungkin, dengan merujuk kepada ucapan-ucapan orang Arab terhadap syair-syairnya atau definisi istilah-istilah yang populer. Kadang penafsirannya juga didasarkan pada tinjauan gramatika atau nahwu.


Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan atas pandangan mu'tazilah, ia dijadikan corong oleh kalangan Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya. Al-Fadhil Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa al-Kasysyaf ditulis antara lain untuk menaikkan pamor Mu’tazilah sebagai kelompok yang menguasai balaghah dan ta’wil.


Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai kalangan, tidak hanya di kalangan non-Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga di kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili, kitab tafsir ini yang pertama mengungkap rahasia balaghah al-Qur'an, aspek-aspek kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafal-lafalnya, di mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-Qur’an. Lebih jauh, Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mayoritas pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan pada tafsir az-Zamakhsyari. Al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi, dan para mufassir lain merujuk kepada tafsirnya.


Di samping itu, ada juga beberapa kitab yang menyoroti aspek-aspek kitab tafsir ini, di antaranya: Al-Kafi asy-Syafi fi Takhrij Ahadis al-Kasysyaf (Uraian Lengkap Mengenai Takhrij Hadis pada Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Al-Inshaf fi ma Taqaddamahu al-Kasysyaf min I’tizal (Menyingkap pandangan-pandangan Mu'tazilah dalam Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Imam Nashiruddin Ahmad bin Muhammad dan Ibnu Munir al-Iskandari, Syarh Syawahid al-Kasysyaf (penjelasan mengenai syair-syair dalam tafsir al-Kasysyaf) oleh Muhbibuddin Affandi.


Tafsir al-Kasysyaf yang beredar sekarang ini terdiri atas empat jilid disertai dengan tambahan tahqiq oleh ulama. Jilid pertama mencakup uraian mengenai muqaddimah yang oleh az-Zamakhsyari disebut sebagai khutbah al-Kitab yang berisi beberapa penjelasan penting tentang penyusunan kitab tafsir ini. Jilid ini pula yang memuat tafsir mulai dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nisa (surah kelima). Jilid kedua berisi penafsiran yang terdapat pada surah al-An’am sampai pada surah al-Anbiya (surah ke-21), jilid ketiga berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah al-Hajj sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah al-Hujurat (surah ke-49), dan jilid keempat berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah Qaf sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah an-Nas (surah ke-114).


Az-Zamakhsyari melakukan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat Al-Qur'an, dimulai ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah an-Nas. Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani. Az-Zamakhsyari sebenarnya tidak melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlili, tetapi karena penafsirannya melakukan sebagian langkah-langkah itu, maka tafsir ini dianggap menggunakan metode tafsir tahlili.


Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran Al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog, di mana ketika Az-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini digunakan karena lahirnya kitab Al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid Az-Zamakhsyari dan ulama-ulama yang saat itu membutuhkan penafsiran ayat dari sudut pandang kebahasaan, sebagaimana diungkapkan sendiri dalam muqaddimah tafsirnya:

"Sesungguhnya aku telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk menafsirkan ayat al-Qur'an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka merindukan seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari hakikat-hakikat itu. Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat menuliskan buat mereka penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan, inti-inti yang terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai aspek takwilannya. Aku lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban, serta menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang".


Penyusunan kitab tafsir al-Kasysyaf tidak dapat dilepaskan dari atau merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang pernah disusun oleh para mufassir sebelumnya, baik dalam bidang tafsir, hadis, qira’at, maupun bahasa dan sastra.


Pada sisi lain karya az-Zamakhsyari ini banyak dijadikan sebagai obyek kajian para ulama, baik ulama mutaakhirin maupun para ulama mutaqaddimin, yang ditujukan terhadap berbagai aspeknya. Dari berbagai kajian tersebut diketahui bahwa di antara para ulama ada juga yang memberikan penilaian negatif, di samping yang positif. Komentar-komentar tersebut dapat dilihat antara lain di dalam kitab-kitab yang secara lengkap membahas mengenai hal itu, antara lain: Manhaj az-Zamakhsyari fi Tafsir al-Qur'an wa Bayan I’jazi karya Musthafa Juwaini, At-Tafsir wa al-Mufassirun karya Adz-Dzahabi, Manahil al-'Irfan fi ‘Ulum al-Quran karya Muhammad Abdul Adzim az-Zarqani, Balaghah al-Qur’aniyyah fi Tafsir az-Zamakhsyari wa Atsaruhu fi Dirasat al-Balaghiyyah karya Muhammad Abu Musa.


Dari kajian yang dilakukan oleh Musthafa al-Juwaini terhadap kitab tafsir Al-Kasysyaf tergambar delapan aspek pokok yang dapat ditarik dari kitab tafsir itu, yaitu:

1. Az-Zamakhsyari telah menampilkan dirinya sebagai seorang pemikir Mu’tazilah;

2. Penampilan dirinya sebagai penafsir atsari, yang berdasarkan atas hadis Nabi;

3. Penampilan dirinya sebagai ahli bahasa;

4. Penampilan dirinya sebagai ahli nahwu;

5. Penampilan dirinya sebagai ahli qira’at,

6. Penampilan dirinya sebagai seorang ahli fiqh,

7. Penampilan dirinya sebagai seorang sastrawan, dan

8. Penampilan dirinya sebagai seorang pendidik spiritual.


Dari kedelapan aspek itu, menurut al-Juwaini, aspek penampilannya sebagai seorang Mu’tazilah dianggap paling dominan. Apa yang diungkapkan oleh al-Juwaini di atas menggambarkan bahwa uraian-uraian yang dilakukan oleh az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya banyak mengambarkan berbagai pandangan yang mendukung dan mengarah pada pandangan-pandangan Mu'tazilah.

Begitu juga halnya dengan az-Zarqani yang menguatkan asumsi itu. Namun demikian, ia juga mencatat beberapa keistimewaan yang dimiliki tafsir Al-Kasysyaf, antara lain: Pertama, terhindar dari cerita-cerita israiliyyat; Kedua, terhindar dari uraian yang panjang; Ketiga, dalam menerangkan pengertian kata berdasarkan atas penggunaan bahasa Arab dan gaya bahasa yang mereka gunakan; Keempat, memberikan penekanan pada aspek-aspek balaghiyyah, baik yang berkaitan dengan gaya bahasa ma’aniyyah maupun bayaniyyah; dan Kelima, dalam melakukan penafsiran ia menempuh metode dialog.

(Keterangan ini merujuk pada kitab At-Tafsir wa Rijaluhu karya Al-fadhil ibnu ‘Asyur; kitab Muqaddimah Ibnu Khaldun karya Abdur Rahman ibnu Khaldun; kitab Mabahis fi ‘ulum al-Qur’an karya Manna’ al-Qaththan; dan kitab Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi; kitab Al-Tafsir wa al-Mufassirun karya Muhammad Husain Adz-Dzahaby; dan kitab Al-Isra’iliyat wa al-Maudhu’at fi Kutub al-Tafsir karya Muhammad bin Muhammad Abu Shabah).





TAFSIR AL-QUR’AN AL-KARIM

Penulis : AHMAD MUSTHAFA AL-MARAGHI
Kategori : Tafsir Ilmi
Mazhab : Syafii-Asyariyah
Terbit : 1950 M



Jumlah : 30 Juz dalam 10 Jilid

Terbit : Maktabah al-Babi al-Halabi (Kairo), 1369 H./1950 M.


Tafsir al-Maraghi merupakan hasil keuletan dan kerja keras Ahmad Musthafa al-Maraghi selama kurang lebih 10 tahun, dari tahun 1940-1950 M. Penulisan tafsir yang dilakukan oleh Musthafa al-Maraghi ini tidak sampai mengganggu aktifitas pokoknya sebagai seorang dosen, justru kedua tugas tersebut berjalan seiring tanpa saling mengganggu satu sama lain. Menurut sebuah sumber, ketika al-Maraghi menulis tafsirnya, ia hanya membutuhkan waktu istirahat selama empat jam sedangkan 20 jam yang tersisa digunakan untuk mengajar dan menulis. Ketika malam telah bergeser pada paruh terakhir kira-kira Jam 3.00, al-Maraghi memulai aktifitasnya dengan shalat tahajjud dan hajat seraya berdoa memohon petunjuk dari Allah, lalu dilanjutkan dengan menulis tafsir ayat demi ayat. Pekerjaan itu diistirahatkan ketika berangkat kerja. Setelah pulang ia tidak istirahat sebagaimana orang lain pada umumnya, melainkan ia melanjutkan tulisannya yang kadang-kadang sampai jauh malam. Demikianlah aktifitas al-Maraghi selama sepuluh tahun dalam menggoreskan tinta emas, sehingga lahir sebuah tafsir yang menghiasi etalase perpustakaan Islam di berbagai negara muslim dewasa ini.

Penulisan tafsir ini tidak terlepas dari rasa tanggungjawab Al-Maraghi sebagai salah seorang ulama tafsir yang melihat begitu banyak problema yang membutuhkan pemecahan dalam masyarakatnya. Ia merasa terpanggil untuk menawarkan berbagai solusi berdasarkan dalil-dalil Qur’ani sebagai alternatif. Maka dari itu, tidak mengherankan apabila tafsir yang lahir dari tangannya tampil dengan gaya modern, yaitu disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju dan modern, seperti dituturkan oleh al-Maraghi sendiri dalam pembukaan tafsirnya.


Dari sudut metodologi, al-Maraghi mengembangkan metode baru. Bagi sebagian pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufassir yang pertama kali memperkenalkan metode tafsir yang memisahkan antara "uraian global" dan "uraian rincian", sehingga penjelasan ayat-ayat di dalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu ma’na ijmāli dan ma’na tahlīli.


Kemudian, dari segi sumber yang digunakan selain menggunakan ayat dan atsar, al-Maraghi juga menggunakan ra’yi sebagai sumber dalam menafsirkan ayat-ayat. Namun perlu diketahui, penafsirannya yang bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara dari riwayat yang lemah dan susah diterima akal atau tidak didukung oleh bukti-bukti secara ilmiah. Hal ini diungkapkan oleh beliau sendiri pada muqaddimahnya:

"Maka dari itu kami tidak perlu menghadirkan riwayat-riwayat kecuali riwayat tersebut dapat diterima dan dibenarkan oleh ilmu pengetahuan. Dan, kami tidak melihat di sana hal-hal yang menyimpang dari permasalahan agama yang tidak diperselisihkan lagi oleh para ahli. Dan, menurut kami, yang demikian itu lebih selamat untuk menafsirkan kitabullah serta lebih menarik hati orang-orang yang berkebudayaan ilmiah yang tidak bisa puas kecuali dengan bukti-bukti dan dalil-dalil, serta cahaya pengetahuan yang benar".


Ungkapan al-Maraghi di atas menegaskan bahwa riwayat-riwayat yang dijadikan sebagai penjelas terhadap ayat-ayat Al-Qur'an adalah riwayat yang shahih, dalam arti yang dapat digunakan sebagai hujjah, di samping menggunakan kaidah bahasa Arab, dengan analisis ilmiah yang disokong oleh pengalaman pribadi sebagai insan akademis dan pandangan para cendekiawan dari berbagai bidang ilmu pengetahuan. Ini berarti dilihat dari sumbernya Al-Maraghi menggunakan naql dan ‘aql secara berimbang dalam menyusun tafsirnya.


Dalam konteks modern rasanya penulisan tafsir dengan melibatkan dua sumber penafsiran tersebut merupakan sebuah keniscayaan. Sebab, sungguh tidak mungkin menyusun tafsir dengan hanya mengandalkan riwayat semata, selain karena jumlah riwayat yang sangat terbatas juga karena kasus-kasus yang muncul membutuhkan penjelasan yang semakin komprehensif, seiring dengan perkembangan problematika sosial, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang sangat cepat. Sebaliknya, melakukan penafsiran dengan mengandalkan akal semata juga tidak mungkin, karena dikhawatirkan rentan akan penyimpangan-penyimpangan, sehingga tafsir itu justru tidak dapat diterima. Mungkin dengan alasan inilah, sejak memasuki masa muta’akhirin sampai sekarang banyak penafsiran Al-Qur'an yang mengkombinasikan rasio dan riwayat.


Kalau diadakan pembacaan yang lebih cermat, akan diperoleh kesan bahwa dalam menyusun tafsirnya Al-Maraghi tidak terlepas dari pengaruh tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, terutama Tafsir al-Manar. Hal ini wajar karena dua penulis tafsir tersebut, masing-masing Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, merupakan guru yang paling banyak memberikan bimbingan kepada Al-Maraghi di bidang tafsir. Pengaruh itu dapat dilihat pada corak penafsirannya yang bernuansa modern. Bahkan, sebagian orang berpendapat bahwa Tafsir al-Maraghi adalah penyempurnaan terhadap Tafsir al-Manar yang sudah ada sebelumnya. Metode yang digunakan juga dipandang sebagai pengembangan dari metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.


Terlepas dari apakah Tafsir Al-Maraghi banyak dipengaruhi oleh tafsir-tafsir yang lain, secara deskriptif sistematika dan langkah-langkah yang digunakan di dalamnya adalah sebagai berikut:

1. Menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan; Pengelompokan ini kelihatannya dilakukan dengan melihat kesatuan inti atau pokok bahasan. Ayat-ayat ini diurut menurut tertib ayat mulai dari surah al-Fātihah sampai surah an-Nās.

2. Penjelasan kosa kata (syarh al-mufradāt); Setelah menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat, al-Maraghi melanjutkannya dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar menurut ukurannya. Dengan demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat dijelaskan melainkan dipilih beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit bagi pembaca.

3. Pengertian umum ayat (Ma’na al-Ijmāli); Dalam hal ini, al-Maraghi berusaha menggambarkan maksud ayat secara global, yang dimaksudkan agar pembaca sebelum melangkah kepada penafsiran yang lebih rinci dan luas ia sudah memiliki pandangan umum yang dapat digunakan sebagai asumsi dasar dalam memahami maksud ayat tersebut lebih lanjut. Kelihatannya pengertian secara ringkas yang diberikan oleh al-Maraghi ini merupakan keistimewaan dan sesuatu yang baru, di mana sebelumnya tidak ada mufassir yang melakukan hal serupa.

4. Penjelasan (al-Īdhāh); Pada langkah terakhir ini, al-Maraghi memberikan penjelasan yang luas, termasuk menyebutkan asbāb an-Nuzūl jika ada dan dianggap shahih menurut standar atau kriteria keshahihan riwayat para ulama. Dalam memberikan penjelasan, kelihatannya Al-Maraghi berusaha menghindari uraian yang bertele-tele (al-ithnāb), serta menghindari istilah dan teori ilmu pengetahuan yang sukar dipahami. Penjelasan tersebut dikemas dengan bahasa yang sederhana, singkat, padat, serta mudah dipahami dan dicerna oleh akal.


Ali Iyazi menyimpulkan bahwa pembahasan kitab tafsir ini mudah dipahami dan enak dicerna, sesuai dengan kebutuhan masyarakat kelas menengah dalam memahami Al-Qur’an, serta relevan dengan problematika yang muncul pada masa kontemporer.


Tafsir al-Maraghi pertama kali diterbitkan pada tahun 1951 di Kairo. Pada terbitan yang pertama ini, tafsir al-Maraghi terdiri atas 30 juz atau dengan kata lain sesuai dengan pembagian juz al-Qur'an. Lalu, pada penerbitan yang kedua terdiri dari 10 jilid, di mana setiap jilid berisi 3 juz, dan juga pernah diterbitkan ke dalam 15 Jilid, di mana setiap jilid berisi 2 juz. Yang banyak beredar di Indonesia adalah tafsir al-Maraghi yang diterbitkan dalam 10 jilid.



(Keterangan ini merujuk pada kitab al-Mufassirūn Hayātuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi dan kitab Tafsîr al-Qur’ân al-Karîm karya al-Maraghi sendiri



TAFSIR AL-MANAR

Penulis : MUHAMMAD ABDUH
Kategori : Tafsir Ilmi
Mazhab : Syafii-Asyariyah
Terbit : 1346 H



Jumlah : 12 jilid

Terbit : Dar al-Manar (Kairo), 1346 H


Tafsir ini bersumber dari perkuliahan Muhammad Abduh tentang Tafsir al-Qur’an yang disampaikan di Universitas al-Azhar, yang disusun setelah ia wafat (tahun 1905) oleh Muhammad Rashid Ridha dengan judul Tafsir al-Qur’an al-Hakim. Namun kemudian, kitab ini lebih populer dengan sebutan Tafsir al-Manar yang pernah diterbitkan secara serial dan periodik.


Al-Manar terbit pertama kali pada 22 Syawal 1315 H atau 17 Maret 1898 M, dilatarbelakangi oleh keinginan Rasyid Ridha untuk menerbitkan sebuah surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial-budaya dan agama, sebulan setelah pertemuannya yang ketiga dengan Muhammad Abduh. Awalnya berupa mingguan sebanyak delapan halaman dan ternyata mendapat sambutan hangat, bukan hanya di Mesir atau Negara-negara Arab sekitarnya, juga sampai ke Eropa dan Indonesia.


Kitab ini terdiri dari 12 juz pertama dari al-Qur’an, yaitu surat al-Fatihah sampai dengan ayat 53 surat Yusuf. Penafsiran dari awal sampai ayat 126 surat An-Nisa’ diambil dari pemikiran tafsir Muhammad Abduh, selebihnya dilakukan oleh Rasyid Ridha dengan mengikuti metode yang digunakan Abduh. Dalam penafsirannya Abduh cenderung mengkombinasikan antara riwayat yang shahih dan nalar yang rasional, yang diharapkan bisa menjelaskan hikmah-hikmah syari’at sunnatullah, serta eksistensi al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia. Selain itu, juga merujukkan penafsirannya pada Tafsir Jalalain. Sedangkan yang khas dari penafsiran Rasyid Ridha – yang tidak terdapat pada Muhammad Abduh -- yaitu: Pertama, tergantung pada riwayat dari Nabi Saw; dan Kedua, banyak menukil pemikiran para mufassir lain. Hal ini dilakukan Ridha, karena ia menilai bahwa Syekh Muhammad Abduh setiap kali dihadapkan dengan masalah selalu mengikuti kata pikiran dan hatinya saja, serta sesuai dengan apa yang beliau baca dan renungkan dalam al-Qur’an.


Tafsir ini menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an dengan gaya menakjubkan dan mengesankan, yang mengungkap makna ayat dengan mudah dan lugas, juga mengilustrasikan banyak problematika sosial dan menuntaskannya dengan perspektif al-Qur’an.

Al-Manar adalah salah satu kitab tafsir yang banyak berbicara tentang sastra-budaya dan kemasyarakatan. Suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayat Al-Qur'an pada segi-segi ketelitian redaksinya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penekanan pada tujuan utama turunnya Al-Qur'an, yakni memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia, dan merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan kemajuan peradaban manusia.




(Keterangan ini merujuk pada kitab Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi dan ‘Ulum al-Qur’an karya Ahmad Von Denffer).

©2003 pusat



AL-MUHARRIR AL-WAJÎZ FI TAFSÎR AL-KITÂB AL-‘AZÎZ

Penulis : IBNU ‘ATHIYYAH
Kategori : Tafsir bil Matsur
Mazhab : Maliki-Asyariyah
Terbit : 993 M



Jumlah : 5 Jilid

Terbit : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah (Beirut)


Kitab tafsir ini lebih dikenal dengan sebutan Tafsir Ibnu ‘Athiyah dan memiliki posisi tinggi di antara kitab-kitab tafsir, menurut jumhur ulama. Ali Iyazi menilai bahwa metode yang digunakan penulis kitab ini adalah kombinasi antara pendekatan riwayat (ma’tsur) dan pendekatan rasio (ra’yi). Lain halnya dengan adz-Dzahabi yang mengkategorikannya sebagai tafsir bi al-ma’tsur, yang dominan merujuk kepada Tafsir at-Thabari.


Pembahasan tafsir ini sarat dengan pendekatan bahasa dan sastra, sebagaimana yang dilakukan oleh az-Zamakhsyari dalam “Tafsir al-Kasysyâf”. Karenanya, tidaklah mengherankan bila Ibnu Taimiyah pernah melakukan perbandingan antara tafsir ini dan Tafsir az-Zamakhsyari, dengan mengambil kesimpulan bahwa Tafsir Ibnu ‘Athiyah memang lebih baik. Ia lebih shahih dalam rujukan dan pembahasannya, serta lebih terhindar dari bid’ah (termasuk cerita Isra’iliyat) dan kalaupun ada, itu hanya sebagian. Bahkan, ia lebih baik darinya (Tafsir az-Zamakhsyari) dalam banyak hal, komentarnya lebih lanjut. Begitu juga Abu Hayyan dalam pendahuluan kitabnya, yang memberikan pernyataan: “Kitab Ibnu ‘Athiyah lebih luas dan komprehensif, sedangkan Tafsir az-Zamakhsyari lebih simpel”.


Kitab Tafsir ini sebenarnya dibuat dalam 10 jilid besar dan masih eksis sampai sekarang, namun di Dar al-Kutub Mesir hanya ditemukan sebanyak empat jilid, yaitu: jilid 3, 5, 8, dan 10. Kitab ini dalam bentuk manuskripnya terkenal karena pembahasannya yang ekslusif.


Ada beberapa kitab yang mendapat pengaruh kitab tafsir ini, antara lain: Kitab “Al-Bahr al-Muhith” karya Abu Hayyan al-Andalusi, “Jami’ Ahkam al-Qur’an” karya al-Qurthubi, dan “Al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir al-Qur’an” karya Ats-Tsa’alaby al-Maghribi.





(Keterangan ini merujuk pada kitab Al-Mufassirun Hayatuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi; At-Tafsir wa al-Mufassirun karya Muhammad Husain adz-Dzahaby; kitab Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir karya Ibnu Taimiyah; kitab Al-Bahr al-Muhith karya Abu Hayyan; dan kitab At-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Muhammad Ali as-Shabuni).


©2003 pusat studi




TAFSîR AL-MUNîR FI AL-‘AQîDAH WA ASY-SYARî'AH WA AL-MANHAJ

Penulis : WAHBAH AZ-ZUHAILI
Kategori : Tafsir bil Matsur
Mazhab : Hanafiah
Terbit : 1957 M



Jumlah : 16 jilid

Terbit : Maktabah al-Babi al-Halabi (Kairo), 1957 M.


Tafsir ini membahas seluruh ayat al-Qur'an dari awal surat al-Fâtihah sampai akhir surat an-Nâs. Muhammad Ali Iyazi dalam bukunya, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, mengatakan bahwa pembahasan kitab tafsir ini menggunakan gabungan antara corak tafsîr bi al-Ma'tsûr dengan tafsîr bi ar-ra'yi, serta menggunakan gaya bahasa dan ungkapan yang jelas, yakni gaya bahasa kontemporer yang mudah dipahami bagi generasi sekarang ini. Oleh sebab itu, beliau membagi ayat-ayat berdasarkan topik untuk memelihara bahasan dan penjelasan di dalamnya.


Tentang tafsirnya ini, Wahbah az-Zuhaili menyatakan: "Tafsir al-Munir ini bukan hanya sekedar kutipan dan kesimpulan dari beberapa tafsir, melainkan sebuah tafsir yang ditulis dengan dasar selektifitas yang lebih shahih, bermanfaat, dan mendekati ruh (inti sari) kandungan ayat al-Qur'an, baik dari tafsir klasik maupun modern dan tafsir bi al-ma’tsur ataupun tafsir rasional. Di dalamnya juga diupayakan untuk menghindari perbedaan teori atau pandangan teologi yang tidak dibutuhkan dan tidak berfaedah.


Tafsir ini ditulis setelah beliau selesai menulis dua buku lainnya, yaitu Ushul Fiqh al-Islamy (2 jilid) dan al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu (8 Jilid). Sebelum memulai penafsiran terhadap surat pertama (al-Fatihah), Wahbah az-Zuhaili terlebih dahulu menjelaskan wawasan yang berhubungan dengan ilmu al-Qur'an.


Dalam Muqaddimah, beliau mengatakan bahwa tujuan dari penulisan tafsir ini adalah menyarankan kepada umat Islam agar berpegang teguh kepada al-Qu'ran secara ilmiah.


Dalam hal ini, Ali Iyazi menambahkan bahwa tujuan penulisan Tafsir al-Munir ini adalah memadukan keorisinilan tafsir klasik dan keindahan tafsir kontemporer, karena menurut Wahbah az-Zuhaili banyak orang yang menyudutkan bahwa tafsir klasik tidak mampu memberikan solusi terhadap problematika kontemporer, sedangkan para mufassir kontemporer banyak melakukan penyimpangan interpretasi terhadap ayat al-Quran dengan dalih pembaharuan. Oleh karena itu, menurutnya, tafsir klasik harus dikemas dengan gaya bahasa kontemporer dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanpa ada penyimpangan interpretasi.


Secara metodis sebelum memasuki bahasan ayat, Wahbah az-Zuhaili pada setiap awal surat selalu mendahulukan penjelasan tentang keutamaan dan kandungan surat tersebut, dan sejumlah tema yang terkait dengannya secara garis besar. Setiap tema yang diangkat dan dibahas mencakup tiga aspek, yaitu: Pertama, aspek bahasa, yaitu menjelaskan beberapa istilah yang termaktub dalam sebuah ayat, dengan menerangkan segi-segi balaghah dan gramatika bahasanya.


Kedua, tafsir dan bayan, yaitu deskripsi yang komprehensif terhadap ayat-ayat, sehingga mendapatkan kejelasan tentang makna-makna yang terkandung di dalamnya dan keshahihan hadis-hadis yang terkait dengannya. Dalam kolom ini, beliau mempersingkat penjelasannya jika dalam ayat tersebut tidak terdapat masalah, seperti terlihat dalam penafsirannya terhadap surat al-Baqarah ayat 97-98. Namun, jika ada permasalahan diulasnya secara rinci, seperti permasalahan nasakh dalam ayat 106 dari surat al-Baqarah.


Ketiga, fiqh al-hayat wa al-ahkam, yaitu perincian tentang beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari beberapa ayat yang berhubungan dengan realitas kehidupan manusia.


Az-Zuhaili sendiri menilai bahwa tafsirnya adalah model tafsir al-Qur’an yang didasarkan pada al-Qur’an sendiri dan hadis-hadis shahih, mengungkapkan asbab an-nuzul dan takhrij al-hadis, menghindari cerita-cerita Isra’iliyat, riwayat yang buruk, dan polemik, serta bersikap moderat.


Sedangkan dalam masalah teologis, beliau cenderung mengikuti faham ahl al-Sunnah, tetapi tidak terjebak pada sikap fanatis dan menghujat madzhab lain. Ini terlihat dalam pembahasannya tentang masalah "Melihat Tuhan" di dunia dan akhirat, yang terdapat pada surat al-An'am ayat 103.


(Keterangan ini merujuk pada kitab Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi; kitab Tarjamah al-Mufassir fi Kutaeb Shadr Haul at-Tafsir al-Munir; dan kitab Tafsir al-Munir sendiri).

BAHR AL-‘ULÛM

Penulis : AS-SAMARQANDI
Kategori : Tafsir bil Matsur
Mazhab : Hanafi-Asyariyah
Terbit : Tth. M



Kitabnya dikenal dengan Tafsîr Abu Laits as-Samarqandy, yang merujukkan penafsirannya pada riwayat-riwayat kalangan Salaf, baik para sahabat maupun tabi’in, seperti Abdullah ibn ‘Abbas, Abdullah ibn Mas’ud, Ubay ibn Ka’ab. Ia banyak menyebutkan riwayat dari mereka tetapi tanpa memberikan penilaian yang kritis terhadap isnâd (mata rantai perawi hadits).



Menurut adz-Dzahabi, tafsir ini mengkombinasikan corak pendekatan tafsir bi ar-riwâyat (menurut dalil naqli) dan tafsir bi ad-dirâyat (menurut dalil ‘aqli). Namun, karena lebih cenderung memilih dalil naqli daripada dalil ‘aqli setiap kali ada perbedaan antara keduanya, maka karya tersebut tergolong Tafsîr bi al-Ma’tsûr. As-Samarqandi tidak memulai dengan pendahuluan yang menjelaskan tentang metodologi pembahasan tafsir sebagaimana umumnya, melainkan hanya sebuah bab pembuka tentang motivasinya untuk melakukan penafsiran.



Kitab ini sampai sekarang masih berupa manuskrip dalam dua bentuk, yang satu terdiri dari dua jilid sedangkan yang lain terdiri dari 3 jilid, yang terdapat di perpustakaan Universitas al-Azhar, Mesir.



(Keterangan ini merujuk pada kitab At-Tafsîr wa al-Mufassirûn karya Muhammad Husain Adz-Dzahaby dan kitab Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qur’ân karya az-Zarqani).






ANWÂR AT-TANZÎL WA ASRÂR AT-TA’WÎL

Penulis : AL-BAIDHAWI
Kategori : Tafsir Sastra
Mazhab : Syafii-Asyariyah
Terbit : - M



Kitab tafsir ini dikenal dengan sebutan Tafsir al-Baidhawi. Tafsir ini merupakan salah satu kitab yang populer di dunia Islam, yang memiliki banyak manfaat, gaya bahasa yang indah, perumpamaan yang manis, dan banyak diminati para pakar dan cendekiawan terkemuka untuk mengkaji dan memberi catatan pinggir (komentar) terhadapnya, hingga tercatat sebanyak 83 buah kitab yang berisi hal itu. Dan, kitab yang terkenal memberikan catatan pinggir terhadap Tafsir al-Baidhawi di antaranya adalah catatan pinggir Syekh Zadah dan Syihab al-Khaffaji (‘Inâyat al-Qâdhi).



Isinya dibuat semodel ringkasan (ikhtishâr), mengandung berbagai pemikiran, pandangan-pandangannya diarahkan pada banyak dimensi gramatika bahasa, fiqh, dan ushul yang terkandung dalam ayat-ayat al-Quran, dan begitu juga dari sudut pandang bacaan (qirâat) dan makna intrinsik ayat (isyârât), serta mengkombinasikan antara tafsir dan takwil berdasarkan kaidah-kaidah bahasa dan syar’i.



Metode penafsirannya dibuat sebagaimana umumnya kitab-kitab tafsir, menyebutkan nama surat, mengaitkan dengan konteks turunnya, baru menafsirkan ayat demi ayat, serta mengangkat hadis tentang keutamaannya pada akhir surat tersebut.



Penafsiran yang dilakukan al-Baidhawi dalam hal gramatika bahasa, ma’ani, dan bayan merujuk pada kitab Al-Kasysyâf karya Az-Zamakhsyari, sampai-sampai dikategorikan sebagai “ikhtishâr al-Kasysyâf” karena itu. Akan tetapi, al-Baidhawi meninggalkan pandangan-pandangan Mu’tazilahnya dan berpegang pada madzhab Asy’ariyah dalam masalah teologi dan kalam, demikian menurut adz-Dzahabi. Selain itu, juga merujuk pada kitab At-Tafsîr al-Kabîr milik Ar-Razi dalam kaitannya dengan hikmah dan kalam, serta Jâmi’ at-Tafsîr karya Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kaitannya dengan pembentukan kata, makna intrinsik, dan isyarat-isyarat batin dari ayat.



Namun demikian, kitab ini tidak terhindar dari hadis-hadis dha’if atau palsu, dan cerita israiliyat (walau sedikit sekali) pada pembahasan akhir surat tentang keutamaannya.



(Keterangan ini merujuk pada kitab At-Tafsiîr wa al-Mufassirûn karya Muhammad Husain Adz-Dzahaby, kitab Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum karya Sayyid Muhammad Ali Iyazi, dan kitab Anwâr at-Tanzîl sendiri)







LUBÂB AT-TA’WÎL FI MA’ÂNI AT-TANZÎL

Penulis : AL-KHAZIN
Kategori : Tafsir bil Matsur
Mazhab : Syafii-Asyariyah
Terbit : 725 H



Tafsir ini lebih populer dengan sebutan tafsîr al-khâzin. Tafsir ini sangat terkenal. Penafsirannya didasarkan atas riwayat meskipun tidak menyebutkan sanadnya.



Tafsir al-Khazin dinilai sebagai ringkasan (mukhtashar) dari “Tafsir al-Baghawi” karya Husain bin Mas’ud al-Baghawi – yang juga merupakan ringkasan dari “Tafsir ats-Tsa’labi” karya Ahmad bin Muhammad ats-Tsa’labi. Karena itu, tafsir ini dianggap “ringkasan atas ringkasan” (mukhtashar li mukhtashar), yang di dalamnya hanya berisi cuplikan dan kutipan yang selektif, dengan menghilangkan rangkaian sanad dan menghindari penjelasan yang panjang. Ini dimaksudkan agar bisa memberikan kemudahan bagi para pembacanya dan kitab ini bisa lebih bermanfaat, demikian ditegaskan oleh an-Nasafi.



Tafsir ini dikategorikan Tafsir bil Ma’tsur karena banyak sekali mengangkat riwayat dalam penafsirannya, termasuk berbagai kisah sejarah dan cerita Israiliyat. Dalam hal ini, pengarang kitab tafsir ini menegaskan bahwa riwayat-riwayat itu merujuk pada kitab-kitab yang diperhitungkan oleh para ulama, seperti kitab “Al-Jam’ Baina ash-Shahîhain” karya Al-Humaidi dan kitab “Jâmi’ al-Ushûl” karya Ibn al-Atsir. Hanya saja sangat disayangkan, ternyata beberapa kisah sejarah dan cerita Israiliyat di dalam kitab tafsir tersebut masih dipenuhi dengan kisah dan cerita yang batil (diragukan kebenarannya), sebagaimana terdapat pada kitab rujukannya (“Tafsir al-Baghawi” dan “Tafsir ats-Tsa’labi”). Terhadap hal itu, Ali Iyazi mengklarifikasi, “Sesungguhnya Al-Khazin itu terkadang mengkritik sebagian cerita Israiliyat dan kisah palsu”.



Hanya ada satu karya tulis yang menyoroti tentang “Tafsîr al-Khâzin”, yaitu “Ikkhtishar Muhammad Ali Quthb” yang diterbitkan dalam dua jilid di Beirut, Libanon, Cetakan I, 1987.


©2003 pusat studi



JÂMI’ AL-BAYÂN FÎ TAFSÎR AL-QUR’ÂN

Penulis : AT-THABARI
Kategori : Tafsir bil Matsur
Mazhab : Syafiiyah
Terbit : 1992 M



Jilid : 12 Jilid

Terbit : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah (Beirut)



Kitab ini dikenal dengan sebutan Tafsir at-Thabary, yang pembahasannya didasarkan atas riwayat-riwayat dari Rasulullah Saw, para sahabat, dan tabi’in. Tafsirnya berisi juga kisah atau riwayat yang tidak shahih, termasuk cerita Isra’iliyat. Pokok-pokok gramatika al-Qur’an juga dibahas dan dijelaskan di dalamnya. Namun demikian, kitab ini merupakan salah satu karya tasir yang paling terkenal dan dijadikan rujukan oleh hampir setiap ulama. Tafsir ini menjadi referensi utama serta pokok bahasan bagi tafsir-tafsir berikutnya. Kitab ini telah dicetak dua kali di Mesir dan sampai saat ini belum ada terjemahan dalam bahasa Inggris.



Ketika Syekh al-Islam Taqi al-Din Ahmad ibn Taimiyah ditanyakan tentang tafsir mana yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan Sunnah? Ia menjawab bahwa di antara semua tafsir yang ada pada kita sekarang, Tafsir Muhammad bin Jarir al-Thabari adalah yang paling otentik. Ia menambahkan, al-Thabari dalam tafsirnya memuat ajaran-ajaran salaf dengan rangkaian sanad yang mapan dan tidak ada bid’ah di dalamnya, juga ia tidak menerima riwayat dari perawi seperti Muqatil ibn Bakir dan al-Kalabi. Secara spesifik Fu’ad Sezkin menaruh perhatian terhadap keshahihan sanad-sanad dalam tafsirnya yang dapat digunakan sebagai bukti bahwa kitab-kitab lebih awal yang dijadikan sebagai rujukan oleh Ibnu Jarir ketika menulis tafsirnya, dan sekaligus membantah pendapat para orientalis yang menyatakan bahwa Tafsir Ibnu Jarir semata-mata bersumber dari cerita-cerita lisan.



Penjelasan tentang tata bahasa dan aspek-aspek lain dari bahasa Arab yang ada sekarang dan kemudian, merupakan suatu keharusan dan keniscayaan dalam kitab ini. Tafsir ini tidak terlepas dari perdebatan teologis yang begitu menonjol pada masanya, sehingga di dalamnya terdapat kritik terhadap Qadariyah dan Jabariyah. Pembahasan mengenai fiqh dibuat sangat menarik, di mana dikemukakan pendapat hukum yang independen dan persoalan-persoalan fiqh yang berbeda dari keempat madzhab yang sudah mapan di kalangan ahl al-sunnah. Selain itu, ia juga berbeda pandangan dengan madzhab Hambali.



Ada beberapa kitab yang terkait dengan kitab ini, antara lain:

At-Thabari wa Minhajuhu fi at-Tafsir karya Dr. Mahmud ibn Syarif; Ibnu Jarir at-Thabari wa Minhajuhu fi at-Tafsir karya Dr. Muhammad Bakar Isma’il, Kairo: Dar al-Manar, Cet. I, tahun 1411 H./1991 M; At-Thabari Qari’an wa Ushuluhu fi Ikhtiyar al-Qira’at al-Qur’aniyah, Muhammad Najib Qubawah (Tesis di Universitas Damaskus); Muhammad ibn Jarir At-Thabari wa Minhajuhu fi at Tafsir karya Dr. Mahmud Muhammad Syubkah (Disertasi); As-Syi’r al-Jahili fi Tafsir at-Thabari karya Laela Taufiq al-‘umari (Tesis di Universitas al-Ardani, Yaman), tahun 1414 H./1983 M; Imam at-Thabari Bahtsun fi at-Tafsir karya Syakir Abdillah ibn ‘Abd al-‘Aziz al-Mushlih, Riyadh: Univeritas Muhammad ibn Syu’ud; Al-Qira’at ‘Inda Abi Jarir at-Thabari fi Dhau’i al-Lughah wa an-Nahwi karya Ahmad Khalid Aba Bakr (Disertasi), Makkah al-Mukarramah: Universitas Ummu al-Qurra’, 1403 H., 2 jilid.


Selain itu, juga ada yang melakukan ringkasan (ikhtishar) terhadapnya, seperti:

Mukhtashar Tafsir at-Thabari karya Muhammad ibn Shumadih at-Tujaibi al-Andalusi, Kairo: al-Hae’at al-Mishriyah al-‘Ammah li al-Kitab, 2 jilid, 1400 H./1980 M. Mukhtashar Tafsir at-Thabari (ditahqiq oleh Syekh Muhamamd Ali ash-Shabuni dan Dr. Shalih Ahmad Ridha), Dar Ahya at-Turats al-‘Arabi, 2 jilid, 1402 H.



(Keterangan ini merujuk pada kitab At-Tafsir wa al-Mufassirun karya Muhammad Husain Adz-Dzahaby dan kitab Muqaddimah fi Ushul at-Tafsir karya Ibnu Taimiyah)




FI DZILAL AL-QUR'AN

Penulis : SAYYID QUTHUB
Kategori : Pemikiran Tafsir
Mazhab : Sunny
Terbit : 1952 M



Jumlah : 6 jilid

Penerbit : Dar Ahya’ al-Kutub al-‘Arabiyah (Mesir)



Fi Dzilal al-Qur'an awalnya hanya sebuah judul rubrik tetap yang diasuh oleh Sayyid Quthub atas permintaan Sa'id Ramadhan dalam majalah bulanan al-Muslimûn, sebuah jurnal yang diterbitkan pertama kali pada bulan Desember 1951 dan diharapkan bisa menjadi media yang memuat pandangan para pemikir muslim. Sayyid Quthub diminta oleh Sa'id Ramadhan untuk berpartisipasi dan menyumbangkan tulisannya sebulan sekali, dengan tema bersambung atau di bawah tajuk yang tetap.


Tulisan pertamanya, Tafsîr Sûrat al-Fâtihah, terbit dalam majalah al-Muslimûn edisi ketiga, yang kemudian disusul surat al-Baqarah. Pada akhir tulisannya dihentikan sampai di situ, alasannya ia akan menyusun sebuah tafsir yang akan diterbitkan dalam buku terpisah. Sayyid Quthub berencana untuk menerbitkan Fi Dzilal al-Qur'an dalam 30 juz secara berturut-turut, di mana setiap juz akan terbit dalam waktu 2 bulan. Karena itu, sebagai gantinya al-Muslimûn menerbitkan tulisannya yang lain di bawah judul “Nahwa Mujtama' Islâmy”, yang publikasinya dimulai sejak bulan Juli 1952.


Enam belas juz telah diterbitkan pada periode antara Oktober 1952 hingga Januari 1954. Kemudian Sayyid menyelesaikan 2 juz berikutnya, yaitu juz ke-17 dan ke-18 di dalam tahanan rezim Nasser selama tiga bulan, dari Januari hingga Maret 1954.


Pada masa awal penahanannya, Sayyid Quthub tidak sempat menulis satu juz pun, sebab ia dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain dan mengalami penyiksaan yang berat. Begitu penguasa menjatuhkan vonis hukum penjara 15 tahun dan tekanan-tekanan terhadapnya dihentikan, maka dia segera berusaha menyelesaikan beberapa juz yang masih tersisa. Dalam situasi dan suasana seperti itulah Fi Dzilal al-Qur'an disusun, karenanya bagaimanapun juga konteks tersebut tidak bisa dilupakan ketika kita mencoba memahami dan mengkaji pemikiran Sayyid Quthub. Serta, atas dasar itu pula, tidak heran bila Ali Iyazi mengkategorikannya sebagai kitab tafsir yang bermotif gerakan.


Ada beberapa metode yang digunakan dalam penafsirannya, antara lain: Pertama, memandang al-Qur'an sebagai satu kesatuan yang komprehenshif, di mana masing-masing bagian mempunyai keterkaitan dan kesesuaian, begitu pula keterkaitannya dengan fenomena alam (QS. al-Waqi’ah: 57-73). Ayat tersebut mengandung gambaran tentang fenomena alam semesta yang sederhana dan dialami setiap manusia, seperti masalah keturunan, tumbuhnya tanaman, adanya air, api, dan kematian. Manusia manakah di atas bumi ini yang tidak pernah mengalami kenyataan tersebut dalam pengalaman hidupnya? Begitulah cara al-Qur'an berdialog dengan manusia yang langsung menunjuk kepada Allah Swt. sebagai sumber semua wujud, demikian menurut Sayyid Quthub.


Kedua, menekankan pesan-pesan pokok al-Qur'an dalam memahaminya. Ia berpendapat bahwa salah satu tujuan terpenting penulisan tafsir Fi Dzilal al-Qur'an adalah merealisasikan pesan-pesan al-Qur'an dalam kehidupan nyata.


Ketiga, menerangkan korelasi (munasabah) antara surat yang ditafsirkan dengan surat sebelumnya. Misalnya, ketika menafsirkan surat an-Nisa', ia menghubungkan dengan dua surat sebelumnya, yakni surat al-Baqarah dan Ali ‘Imran. Keduanya berisi tentang perkembangan masyarakat Islam di Madinah, juga tentang karakteristik metode rabbany yang menjadi asas bagi perkembangan masyarakat tersebut. Surat an-Nisa' pun menguraikan hal yang sama.


Keempat, sangat hati-hati terhadap cerita-cerita Isra’iliyat, meninggalkan perbedaan fiqhiyah dan tidak mau membahasnya lebih jauh, serta tidak membahas masalah kalam atau filsafat. Ini terlihat dalam bahasannya tentang perbedaan fiqhiyyah seputar fardhu wudhu’ (QS. Al-Ma’idah: 6).


Kelima, menjelaskan sebab turunnya ayat (asbâb an-nuzûl) yang hanya berfungsi sebagai qarinah, yang ikut membantu dalam memahami makna ayat, tidak sebagaimana umumnya para mufasir yang lebih cenderung berpegang pada keumuman lafadz daripada kekhususan sebab. Ini terlihat ketika beliau menafsirkan QS. an-Nisa': 43.


Keenam, memandang al-Qur'an bukan sekedar bacaan atau wahana untuk memperoleh pahala, bukan sekedar rekaman budaya, fiqh, bahasa, atau sejarah. Tetapi, al-Qur'an dalam pandangan Quthub ialah sesuatu yang hidup yang bisa dijadikan sebagai panduan untuk memimpin, mendidik, dan menyiapkan manusia menuju kepemimpinan yang benar.


Sebagai uraian praktis dan bersifat pergerakan, Sayyid Quthub bermaksud menghadirkan al-Qur’an dalam kekinian dengan menghilangkan jurang dan membuka tabir yang memisahkan antara hati manusia dengan al-Qur'an. Menurutnya, al-Qur'an telah terbukti mampu menciptakan dan mengembangkan suatu tatanan kehidupan umat Islam (QS. Ali Imran: 110). Kenyataan ini perlu ditegaskan bahwa penciptaan umat Islam dan pengembangannya sekaligus oleh al-Qur'an pada hakikatnya adalah momentum baru bagi lahirnya suatu umat manusia.


Ketujuh, memperhatikan kondisi sosial. Menurut Quthub, menata kehidupan sosial masyarakat yang Islami di atas petunjuk al-Qur'an merupakan kewajiban bagi umat Islam. Perintah Al-Qur'an untuk menafkahkan harta di jalan Allah berarti menghendaki adanya kehidupan masyarakat yang baik.


Kedelapan, menjelaskan hikmah tasyri’ dan sebab penetapan hukum. Sayyid Quthub menjelaskan makna, hikmah, atau rahasia dari penetapan suatu syari’at dalam Islam bukanlah untuk mempersoalkan pelaksanaan ibadah itu sendiri, melainkan justru untuk menambah keyakinan dan kemantapan hati. Bertitik tolak dari inilah, Quthub mencoba menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan tasyri’ dan ahkam. Hukum yang ada, baik yang berkenaan dengan ibadah, mu’amalah, peraturan, dan ketentuan perundangan pasti mengandung hikmah, karena datang dari Allah Yang Maha Bijaksana.


Kesembilan, menjelaskan surat-surat yang ditafsirkan berdasarkan Makkiyah dan Madaniyah, serta membandingkan keduanya dari segi karakteristik dan topik-topik yang dibahas. Surat-surat Makkiyah umumnya berisi ajaran-ajaran universal mengenai ketauhidan, hari kiamat, surga, dan neraka. Sementara surat Madaniyah pada umumnya merupakan pendukung terhadap ajaran-ajaran universal Islam dan berisi masalah hukum dan pranata sosial.

Menurut Shalah Abdul Fattah al-Khalidi, Sayyid Quthub telah menempuh tiga pendekatan dalam tafsirnya, yaitu pendekatan keindahan bahasa, pendekatan pemikiran, dan pendekatan pergerakan.



(Keterangan ini merujuk pada kitab Sayyid Quthub min al-Milad ila al-Isytisyhad dan kitab al-Manhaj al-Haraki fi Dzilal al-Quran karya Sholah Abdul Fattah al-Khalidi; kitab al-Mufassirun Hayatuhum wa minhajuhum karya Muhammad Ali Iyazy; dan kitab Fi Dzilal al-Quran karya Sayyid Quthub sendiri).




ÂYÂT AL-AHKÂM

Penulis : ALI AS-SAYS
Kategori : Tafsir Fiqh
Mazhab : Sunny
Terbit : 1937 M



Penulis : Syekh Muhammad Ali as-Says

Jumlah : 1 jilid (4 juz)

Kitab tafsir ini menjelaskan tentang ayat-ayat hukum berdasarkan madzhab Ahlussunnah wa al-Jama’ah (Empat Mazhab Sunni) serta disusun berdasarkan urutan ayat dan surat, tidak berdasarkan bab-bab fiqh. Meski demikian, tafsir ini hanya memuat ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan hukum (al-Ayat al-Ahkam).


Karya tafsir ini tidak dimulai dengan kata pengantar (prolog) dari penulisnya, sebagaimana karya ilmiah biasanya, yang menjelaskan tujuan penulisan dan metodologi yang digunakan. Hanya saja, pemaparan ayat-ayat hukum secara komprehensif dengan disertai pandangan ulama dari empat mazhab fiqh yang berbeda-beda, kemudian diikuti dengan pandangan yang paling kuat (al-arjah), menurut penulisnya, merupakan indikator bahwa kitab tersebut disusun dalam rangka memenuhi kebutuhan akademis (bahan pengajaran). Apalagi, dalam menetapkan pendapat yang lebih kuat dilakukan seobyektif mungkin tanpa ada kesan dan unsur fanatisme, suatu hal yang banyak ditemukan di dalam kitab fiqh yang lain, terutama yang terbit sebelum ini.


Pembahasannya dimulai dengan memaparkan ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum, kemudian menjelaskan makna-maknanya secara umum, menukil pendapat tentang ayat yang sedang dibahas dari berbagai mazhab, lalu mengunggulkan salah satunya dengan argumen-argumen. Dalam menjelaskan tafsir ayat, ia juga menukil riwayat-riwayat dari Nabi, para sahabat, empat imam mazhab, kemudian menjelaskan makna kosa kata dan terakhir mengambil kesimpulan (istinbath) hukum-hukumnya.


Pada beberapa aspek atau bagian, penafsirannya terlihat begitu simpel dan sederhana, akan tetapi pada bagian-bagian yang lain acapkali memberikan pejelasan yang panjang lebar. Ketika membicarakan “sihir” misalnya, apakah ia merupakan hal yang benar-benar terjadi atau sekedar ilusi, pembahasan yang diberikannya agak kompleks. Ia menukil pendapat berbagai pihak kemudian mengunggulkan pendapat kaum Mu’tazilah dan sebagian Ahlussunnah yang memandang bahwa sihir hanyalah ilusi belaka. Dalam hal ini, ia berkata:

“….kita telah berpanjang lebar membicarakan masalah ini dan kita telah memaparkan banyaknya tipuan-tipuan yang terjadi karena sihir. Kita juga telah memaparkan banyak pandangan dari kalangan penganut agama bahwa sihir itu hanya sebuah ilusi. Seorang tukang sihir pada dasarnya tidak mempunyai kemampuan yang luar biasa (menyimpang dari sunnatullah).”


Catatan lain dari kitab ini, kita tidak menemukan di antara lembaran-lembarannya menyebutkan tema-tema, identifikasi ayat, demikian juga keterangan mengenai sumber-sumber yang digunakan.




TAFSÎR MAFÂTIH AL-GHAIB

Penulis : FAKHRUDDIN AR-RAZI
Kategori : Tafsir bir Rayi
Mazhab : Syafii-Asyariyah
Terbit : - M



Tafsir ini juga dikenal sebagai Tafsîr al-Kabîr atau Tafsîr ar-Râzi. Ada riwayat yang menjelaskan bahwa Ar-Razi tidak menyelesaikan tafsir ini secara utuh (sampai surat al-Anbiyâ’ saja), seperti yang dituturkan adz-Dzahabi dalam kitabnya menukil pendapat Ibnu Qadhi Syuhbah dan Ibnu Khalkân. Adapun yang melanjutkan adalah Syihabuddîn bin Khalîl al-Khûyi (w. 639 H.) dan Najmuddîn Ahmad bin Muhammad al-Qamûli (w. 727 H.) yang melengkapinya lebih lanjut, demikian merujuk keterangan dari Ibnu Hajar al-‘Asqalâni dan Malâ Kâtib Jalbi.



Sayyid Muhammad Ali Iyazi, dengan merujuk keterangan Muhsin Abdul Hamid, dalam hal ini memberikan klarifikasi bahwa sekelompok pembahas menetapkan kitab tafsir ini sebagai karya mandiri dari Fakhruddin ar-Razi secara utuh. Karenanya, pendapat sebelum ini dianggap syubhat (meragukan) dan tidak bisa dijadikan pegangan.



Lepas dari polemik di atas, ini adalah salah satu kitab tafsir bi ar-ra’yi yang paling komprehensif, karena menjelaskan seluruh ayat al-Qur’an. Sang pengarang terlihat berusaha menangkap substansi (ruh) makna yang terkandung dalam teks al-Qur’an. Muhsin Abdul Hamid menegaskan: “Dia (Ar-Razi) menggunakan ilmu-ilmu humaniora untuk menggapai tujuan (tafsir)-nya, yaitu menetapkan keistimewaan akal dan ilmu di hadapan al-Qur’an, membersihkan dari kerancuan fikiran dan kedangkalan akal, serta menegaskan kebenaran riwayat (teks) dengan kedalaman fikiran”.



Adapun maksud dari tafsir ini dan segala uraiannya, antara lain: Pertama, menjaga dan membersihkan al-Qur’an beserta segala isinya dari kecenderungan-kecenderungan yang rasional, tetapi justru dengan itu diupayakan bisa memperkuat keyakinan terhadapnya (al-Qur’an); Kedua, pada sisi lain, ar-Razi meyakini pembuktian eksistensi Allah dengan dua hal, yaitu “bukti terlihat” dalam bentuk wujud kebendaan dan kehidupan, serta “bukti terbaca” dalam bentuk al-Qur’an al-Karim. Apabila kita merenungi hal yang pertama secara mendalam, maka kita akan semakin memahami hal yang kedua, menurutnya lebih lanjut. Karena itu, dia merelevansikan antara keyakinan ilmiah dengan kebenaran ilmiah dalam tafsirnya; Ketiga, ar-Razi ingin menegaskan bahwa sesungguhnya studi balaghah dan pemikiran bisa dijadikan sebagai materi tafsir, serta digunakan untuk menakwil ayat-ayat al-Qur’an, selama berdasarkan kaidah-kaidah madzhab yang jelas, yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah.



Namun, karena pembahasan di dalamnya menggunakan metode penalaran logika dan istilah-istilah ilmiah, serta mencakup ilmu kedokteran, ilmu mantiq, ilmu filsafat, dan ilmu hikmah, maka kitab ini terkesan kehilangan intisari tafsir dan hidayah keislamannya. Sampai-sampai, sebagian ulama menilai “di dalamnya (Tafsir ar-Razi) terkandung berbagai hal, kecuali tafsir”. Dengan bahasa lain, Abu Hayyan menegaskan bahwa Fakhruddin ar-Razi menghimpun dan menjelaskan banyak hal secara panjang lebar dalam tafsirnya, sehingga (seolah-olah) tidak lagi membutuhkan ilmu tafsir. Dalam hal ini, wajar kiranya bila adz-Dzahabi menyebut tafsir ini sebagai ensiklopedi akademis dalam bidang ilmu kalam (teologi) dan ilmu pengetahuan alam.



Fakhruddin ar-Razi sangat mementingkan korelasi antar ayat-ayat al-Qur’an dan surat-suratnya, di samping penjelasan secara panjang lebar tentang tata bahasa (gramatika). Walau mencakup pembahasan yang ekstensif mengenai permasalahan filsafat, di antara berbagai aspek dari tafsir ini yang paling penting adalah pembahasan tentang ilmu kalam. Pembahasan ini memuat persoalan-persoalan yang berhubungan dengan Allah Swt. dan eksistensi-Nya, alam semesta, dan manusia, yang dikaitkan dengan ilmu pengetahuan alam, astronomi, perbintangan (zodiak), langit dan bumi, hewan dan tumbuh-tumbuhan, serta bagian-bagian tubuh manusia.



Tafsir ini merujuk pada kitab Az-Zujaj fi Ma’ani al-Qur’an, Al-Farra’ wa al-Barrad, dan Gharib al-Qur’an karya Ibnu Qutaibah dalam masalah gramatika. Riwayat-riwayat (tafsir bi al-ma’tsur) yang jadi rujukan adalah riwayat dari Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Qatadah, Suday, Sa’id bin Jubair, riwayat dalam Tafsir at-Thabari (Jâmi’ al-Bayân) dan Tafsir Ats-Tsa’labi (Al-Kasyf wa al-Bayan), juga berbagai riwayat dari Nabi Saw, keluarga dan para sahabatnya, serta tabi’in. Sedangkan Tafsir bi ar-Ra’yi yang jadi rujukan ialah Tafsir Abu Ali al-Juba’i, Abu Muslim al-Asfahani, Qadhi Abd al-Jabbar, Abu Bakar al-Asham, Ali bin Isa ar-Rummani, az-Zamakhsyari, Tafsir-tafsir Persia, dan Tafsir Abu al-Futuh ar-Razi.





(Referensi bisa dilihat pada Muhammad Husain Adz-Dzahaby, Al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Kairo, 1961, Jilid I, hal. 291. Lihat pula Ibnu Qadhi Syuhbah, Syidzrat adz-Dzahab, juz V, h. 21; Ibnu Khalkan, Wafayât al-A’yân, juz II, h. 267; Lihat pula Ibnu Hajar al-‘Asqalâni, Ad-Durar al-Kâminat, juz I, h. 304 dan Malâ Kâtib Jalbi, Kasyf adz-Dzunûn, juz II, h. 299. Sayyid Muhammad Ali Iyazi, Al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhajuhum, Teheran: Muassasah at-Thaba’ah wa an-Nasyr, 1212 H., cet. I, hal. 652; juga Muhsin Abdul Hamid, Ar-Râzi Mufassiran, hal. 53-63 dan Mannā’ al-Qaththān, Mabāhits fi ‘Ulūm al-Qur’ān, Damaskus: Maktabah al-Ghazāli, 1981, h. 366).

©2003 pusat studi alquran