Selasa, 03 Februari 2009
Metode Tafsir Tematik
Metode Tafsir Tematik
Disepakati oleh para ulama, kecuali beberapa gelintir di antara mereka, bahwa mukjizat utama Al-Quran yang diperhadapkan kepada masyarakat yang ditemui Rasul adalah dari segi bahasa dan sastranya yang mengungguli sastra bahasa yang dikenal masyarakat Arab ketika itu. Hal ini mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap metode penafsiran Al-Quran. Jika kita telusuri tafsir-tafsir Al-Quran sejak masa Muhammad bin Jarir Al-Thabari (251-310 H) sampai kepada masa Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), kita akan menemui ciri utama yang menghimpun kitab-kitab tafsir tersebut adalah analisis redaksi. Agaknya hal ini merupakan salah satu usaha untuk meletakkan dasar-dasar ilmiah bagi pemahaman umat Islam terhadap kemukjizatan tersebut, setelah ketinggian nilai sastranya tidak lagi dipahami secara instink-fitri (alamiah) oleh orang-orang Arab sekalipun. Ini akhirnya menimbulkan pendapat bahwa redaksi Al-Quran bukanlah sesuatu yang luar biasa, seperti teori Al-Shirfah108 yang dikemukakan oleh Al-Nazam (w. 835 H). Tetapi harus diakui bahwa usaha-usaha ulama untuk menafsirkan Al-Quran dengan metode analisis-redaksi tersebut, bahkan dengan metode komparasi yang kemudian dikembangkan Abu Bakar Al-Baqillani (w. 403 H) dalam rangka kemukjizatannya, juga tidak dapat bertahan lama setelah semakin mundurnya penguasaan sastra dan kaidah-kaidah bahasa orang Arab sendiri.
Beberapa Problem Tafsir
Setelah Tafsir Al-Thabari, dapat dikatakan bahwa kitab-kitab tafsir sesudahnya memiliki corak tertentu yang dirasakan bahwa penulisnya "memaksakan sesuatu terhadap Al-Quran".109 Kalau hal tersebut bukan suatu paham akidah, fiqih, atau tasawuf, maka paling tidak salah satu aliran kaidah bahasa. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada Tafsir Al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari (467-538 H), atau Anwar Al-Tanzil karya Al-Baidhawi (w. 791 H), atau Ruh Al-Ma'ani karya Al-Alusi (w. 1270 H), atau Al-Bahr Al-Muhith karya Abu Hayyan (w. 745 H), dan sebagainya. Cara-cara yang mereka tempuh itu menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran, yang tadinya dipahami secara mudah, menjadi semacam disiplin ilmu yang sukar untuk dicerna. Hal ini dikarenakan kitab-kitab tafsir itu berisikan pembahasan-pembahasan yang mendalam, namun gersang dari petunjuk-petunjuk yang menyentuh jiwa serta menalarkan akal.
Metode yang selama ini digunakan para mufasir sejak masa kodifikasi Tafsir, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Al-Farra' (w. 207 H), sampai tahun 1960 adalah menafsirkan Al-Quran ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mush-haf. Bentuk demikian menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah dan tidak disodorkan kepada pembacanya secara menyeluruh. Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H/1210 M) misalnya, walaupun menyadari betapa pentingnya korelasi antara ayat, dan dia mengajak para mufasir untuk mencurahkan perhatian kepada hal itu, namun dia sendiri dalam kedua kitab tafsirnya tidak menyinggung banyak tentangnya. Karena perhatiannya tercurah kepada pembahasan-pembahasan filsafat (teologi) dan ilmu falak.
Pembahasan masalah seperti ini mencapai puncaknya di bawah usaha Ibrahim bin 'Umar Al-Biqa'i (809-885 H). Tetapi korelasi di sini ternyata menyangkut sistematika penyusunan ayat dan surat Al-Quran sesuai dengan urutan-urutannya dalam mush-haf, bukan dari segi korelasi ayat-ayatnya yang membahas masalah-masalah yang sama dan terkadang bagian-bagiannya terpencar dalam sekian surat. Di lain segi, maksud pembahasan Al-Biqa'i ini adalah untuk menjelaskan kemukjizatan Al-Quran dari segi sistematika penyusunan ayat-ayat dan surat-suratnya, serta sebab pemilihan suatu redaksi terhadap redaksi lainnya,110 bukan untuk menggambarkan segi-segi petunjuk Al-Quran yang dapat dipetik dan dimanfaatkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Al-Syathibi menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung banyak masalah, namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat, atau sebaliknya. Karena bila tidak demikian, akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu.
"Tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian-bagian dari satu pembicaraan, kecuali pada saat ia bermaksud untuk memahami arti lahiriah dari satu kosakata menurut tinjauan etimologis, bukan maksud si pembicara. Kalau arti tersebut tidak dipahaminya, maka ia harus segera memperhatikan seluruh pembicaraan dari awal hingga akhir," demikian kata Al-Syathibi.111
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Al-Azhar, Mahmud Syaltut, menerbitkan Tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim. Di situ beliau menafsirkan Al-Quran bukan ayat demi ayat, tetapi dengan jalan membahas surat demi surat atau bagian suatu surat, dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama serta petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik darinya. Walaupun ide tentang kesatuan dan isi petunjuk surat demi surat telah pernah dilontarkan oleh Al-Syathibi (w. 1388 M), tapi perwujudan ide itu dalam satu kitab Tafsir baru dimulai oleh Mahmud Syaltut. Metode ini, walaupun telah banyak menghindari kekurangan-kekurangan metode lama, masih menjadikan pembahasan mengenai petunjuk Al-Quran secara terpisah-pisah, karena tidak kurang satu petunjuk yang saling berhubungan tercantum dalam sekian banyak surat yang terpisah-pisah. Seperti dikemukakan semula bahwa pendapat seseorang tentang sesuatu masalah ditentukan oleh banyak faktor. Nah, kalau kita mengesampingkan sementara pendapat yang keliru yang tidak kurang ditemui dalam sekian banyak kitab tafsir lama, dan karena ketuaannya telah mendapat semacam pengkultusan, dan kita melihat pendapat-pendapat lainnya, maka kita temui pendapat-pendapat yang dapat diterima "pada masanya". Tetapi karena faktor yang dikemukakan di atas, maka pendapat tersebut kini sudah "out of date", dan tidak lagi dapat diterima. Misalnya, penafsiran tentang datarnya bumi, berdasarkan firman Allah pada surat Nuh ayat 19, sebelum ditemukan benua Amerika dan sebelum dibuktikan bumi kita bulat; atau penafsiran tujuh tingkat langit dengan tujuh planet yang mengitari tata surya, yang ternyata tidak hanya tujuh.
Sementara itu, berbarengan dengan perkembangan masyarakat, berbagai problem dan pandangan baru timbul dan perlu ditanggapi secara serius, yang tentunya berbeda dengan problem yang dihadapi oleh masyarakat sebelum kita. Problem dan pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridha agaknya sudah tidak relevan dengan keadaan masa kini, atau paling tidak sudah tidak menduduki prioritas pertama dalam perhatian atau kepentingan masyarakat sekarang.
Dapat dibayangkan bagaimana kiranya jika yang disodorkan kepada masyarakat umum adalah masalah-masalah yang menjadi pembahasan ulama Tafsir pada masa sebelum Rasyid Ridha. Tidak syak lagi bahwa manusia yang dibentuk pikirannya dengan uraian-uraian tersebut adalah manusia-manusia abad lalu yang "terlambat lahir".
Metode Mawdhu'iy
Dari sini pula para ahli keislaman mengarahkan pandangan mereka kepada problem-problem baru dan berusaha untuk memberikan jawaban-jawabannya melalui petunjuk-petunjuk Al-Quran, sambil memperhatikan hasil-hasil pemikiran atau penemuan manusia, baik yang positif maupun yang negatif, sehingga bermunculanlah banyak karya ilmiah yang berbicara tentang satu topik tertentu menurut pandangan Al-Quran, misalnya Al-Insan fi Al-Quran, dan Al-Mar'ah fi Al-Quran karya Abbas Mahmud Al-Aqqad, atau Al-Riba fi Al-Quran karya Al-Maududi, dan sebagainya.
Namun karya-karya ilmiah tersebut disusun bukan sebagai pembahasan Tafsir. Di sini ulama Tafsir kemudian mendapat inspirasi baru, dari bermunculan karya-karya Tafsir yang menetapkan satu topik tertentu, dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat, dari beberapa surat, yang berbicara tentang topik tersebut, untuk kemudian dikaitkan satu dengan lainnya, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan Al-Quran. Metode ini di Mesir pertama kali dicetuskan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy, Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar sampai tahun 1981.
Beberapa dosen Tafsir di universitas tersebut telah berhasil menyusun banyak karya ilmiah dengan menggunakan metode tersebut. Antara lain Prof. Dr. Al-Husaini Abu Farhah menulis Al-Futuhat Al-Rabbaniyyah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu'i li Al-Ayat Al-Qur'aniyyah dalam dua jilid, dengan memilih banyak topik yang dibicarakan Al-Quran.
Dalam menghimpun ayat-ayat yang ditafsirkannya secara mawdhu'i (tematik) itu, Al-Husaini tidak mencantumkan seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun seringkali menyebutkan jumlah ayat-ayatnya dengan memberikan beberapa contoh, sebagaimana tidak juga dikemukakannya perincian ayat-ayat yang turun pada periode Makkah sambil membedakannya dengan periode Madinah, sehingga terasa bahwa apa yang ditempuhnya itu masih mengandung beberapa kelemahan.
Pada tahun 1977, Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawiy, yang juga menjabat guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, menerbitkan buku Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu'i dengan mengemukakan secara terinci langkah-langkah yang hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu'iy. Langkah-langkah tersebut adalah:
(a) Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik);
(b) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
(c) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzul-nya;
(d) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
(e) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline);
(f) Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan;
(g) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang 'am (umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.112
Penulis mempunyai beberapa catatan dalam rangka pengembangan metode tafsir Mawdhu'iy dan langkah-langkah yang diusulkan di atas. Antara lain:
(1) Penetapan masalah yang dibahas
Walaupun metode ini dapat menampung semua persoalan yang diajukan, terlepas apakah jawabannya ada atau tidak, namun untuk menghindari kesan keterikatan yang dihasilkan oleh metode tahliliy akibat pembahasan-pembahasannya terlalu bersifat sangat teoretis, maka akan lebih baik bila permasalahan yang dibahas itu diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh masyarakat dan dirasakan langsung oleh mereka.
Ini berarti, mufasir Mawdhu'iy diharapkan agar terlebih dahulu mempelajari problem-problem masyarakat, atau ganjalan-ganjalan pemikiran yang dirasakan sangat membutuhkan jawaban Al-Quran, misalnya petunjuk Al-Quran menyangkut kemiskinan, keterbelakangan, penyakit dan sebagainya. Dengan demikian, corak dan metode penafsiran semacam ini memberi jawaban terhadap problem masyarakat tertentu di lokasi tertentu dan tidak harus memberi jawaban terhadap mereka yang hidup sesudah generasinya, atau yang tinggal di luar wilayahnya.
(2) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya
Yaitu hanya dibutuhkan dalam upaya mengetahui perkembangan petunjuk Al-Quran menyangkut persoalan yang dibahas, apalagi bagi mereka yang berpendapat ada nasikh dan mansukh dalam Al-Quran. Bagi mereka yang bermaksud menguraikan satu kisah, atau kejadian, maka runtutan yang dibutuhkan adalah runtutan kronologis peristiwa.
(3) Kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Quran
Walaupun metode ini tidak mengharuskan uraian tentang pengertian kosakata, namun kesempurnaannya dapat dicapai apabila sejak dini sang mufasir berusaha memahami arti kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Quran sendiri. Hal ini dapat dinilai sebagai pengembangan dari tafsir bi al-ma'tsur, yang pada hakikatnya merupakan benih awal dari metode mawdhu'iy.
Pengamatan terhadap pengertian kosakata, demikian juga pesan-pesan yang dikandung oleh satu ayat, hendaknya diarahkan antara lain kepada bentuk dan timbangan kata yang digunakan, subjek dan objeknya, serta konteks pembicaraannya. Bentuk kata dan kedudukan i'rab, misalnya, mempunyai makna tersendiri. Bentuk ism memberi kesan kemantapan, fi'l mengandung arti pergerakan, bentuk rafa' menunjukkan subjek atau upaya, nashb yang menjadi objek dapat mengandung arti ketiadaan upaya, sedang al-jar memberi kesan keterkaitan dalam keikutan.113
Untuk menetapkan masalah yang akan dibahas, beberapa kitab dapat menjadi rujukan, antara lain Tafshil Ayat Al-Qur'an karya sekelompok orientalis dan yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqiy. Demikian pula Kitab Al-Hayat karya Muhammad Reza Hakimi dan kawan-kawan, atau juga dapat ditempuh dengan menggunakan Al-Mu'jam Al-Mufahras Ii Alfazh Al-Qur'an karya Muhammad Fuad 'Abdul Baqiy, dengan memperhatikan kosakata dan sinonimnya yang berhubungan dengan suatu masalah yang dibahas itu.
(4) Azbab al-Nuzul
Perlu digarisbawahi bahwa, walaupun dalam langkah-langkah tersebut tidak dikemukakan menyangkut sebab nuzul, namun tentunya hal ini tidak dapat diabaikan, karena sebab nuzul mempunyai peranan yang sangat besar dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Hanya saja hal ini tidak dicantumkan di sana karena ia tidak harus dicantumkan dalam uraian, tetapi harus dipertimbangkan ketika memahami arti ayat-ayatnya masing-masing. Bahkan hubungan antara ayat yang biasanya dicantumkan dalam kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode analisis, tidak pula harus dicantumkan dalam pembahasan, selama ia tidak mempengaruhi pengertian yang akan ditonjolkan.
Dapat digarisbawahi pula bahwa langkah-langkah yang dijelaskan di atas menempatkan penyusunan "pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna" pada tahap yang kelima agar kerangka tersebut tersusun atas dasar bahan-bahan yang telah diperoleh dari langkah-langkah sebelumnya. Hal ini untuk menghindari sedapat mungkin pra-konsepsi yang mungkin dapat mempengaruhi mufasir dalam penafsirannya.
Dengan tersusunnya langkah-langkah tersebut, bahkan dengan penerapan yang dicontohkan oleh Al-Farmawiy dalam karyanya dengan menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan: (a) pemeliharaan anak yatim dalam Al-Quran; (b) arti ummiyatAl-Arab (kebuta-hurufan orang Arab) dalam Al-Quran; (c) etika meminta izin dalam Al-Quran; dan (d) menundukkan mata dan memelihara alat kelamin dalam Al-Quran, maka lahirlah bentuk kedua dari metode tafsir mawdhu'iy. Bentuk pertama, ialah penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus, serta hubungan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya, sehingga kesemua persoalan tersebut kait-mengait bagaikan satu persoalan saja, sebagaimana ditempuh oleh Mahmud Syaltut dalam kitab Tafsirnya.
Kedua, menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas masalah tertentu dari berbagai surat Al-Quran, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok pembahasannya.
Keistimewaan Metode Mawdhu'iy
Beberapa keistimewaan metode ini antara lain, (a) menghindari problem atau kelemahan metode lain yang digambarkan dalam uraian di atas; (b) menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan Al-Quran; (c) kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk Al-Quran tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Juga dengan metode ini, dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh Al-Quran bukan bersifat teoretis semata-mata dan atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat Al-Quran tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban jawabannya. Ia dapat memperjelas kembali fungsi Al-Quran sebagai Kitab Suci. Dan terakhir dapat membuktikan keistimewaan Al-Quran. Selain itu, (d) metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Al-Quran. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Perbedaan Metode Mawdhu'iy dengan Metode Analisis
Yang dimaksud dengan metode analisis adalah "penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Quran dari sekian banyak seginya yang ditempuh oleh mufasir dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai urutannya di dalam mush-haf melalui penafsiran kosakata, penjelasan sebab nuzul, munasabah, serta kandungan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir itu".
Metode tersebut jelas berbeda dengan metode Mawdhu'iy yang telah digambarkan langkah-langkahnya di atas. Perbedaan itu antara lain, pertama, mufasir mawdhu'iy, dalam penafsirannya, tidak terikat dengan susunan. ayat dalam mush-haf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat atau kronologi kejadian, sedang mufasir analisis memperhatikan susunan sebagaimana tercantum dalam mush-haf.
Kedua, mufasir Mawdhu'i tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh satu ayat, tapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang ditetapkannya.114 Sementara para mufasir analisis berusaha untuk berbicara menyangkut segala sesuatu yang ditemukannya dalam setiap ayat. Dengan demikian mufasir Mawdhu'i, dalam pembahasannya, tidak mencantumkan arti kosakata, sebab nuzul, munasabah ayat dari segi sistematika perurutan, kecuali dalam batas-batas yang dibutuhkan oleh pokok bahasannya. Mufasir analisis berbuat sebaliknya.
Ketiga, mufasir mawdhu'i berusaha untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok bahasannya. Mufasir analisis biasanya hanya mengemukakan penafsiran ayat-ayat secara berdiri sendiri, sehingga persoalan yang dibahas menjadi tidak tuntas, karena ayat yang ditafsirkan seringkali ditemukan kaitannya dalam ayat lain pada bagian lain surat tersebut, atau dalam surat yang lain.
Perbedaan Metode Mawdhu'iy dengan Metode Komparasi
Yang dimaksud dengan metode komparasi adalah "membandingkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama. Termasuk dalam objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat Al-Quran dengan hadis-hadis Nabi saw., yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat Al-Quran.
Dalam metode ini, khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat seperti dikemukakan di atas, sang mufasir biasanya hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus atau masalah itu sendiri, seperti misalnya perbedaan antara:
[tulisan Arab]
dalam surat Al-An'am ayat 151, dan
[tulisan Arab]
dalam surat Al-Isra' ayat 31, atau perbedaan antara:
[tulisan Arab]
dalam surat Al-A'raf ayat 12, dengan
[tulisan Arab]
dalam surat Shad ayat 75.
Demikian juga antara Al-Anfal ayat 10 dengan Ali Imran ayat 126.
Mufasir yang menempuh metode ini, sepert misalnya Al-Khatib Al-Iskafi dalam kitabnya Durrah Al-Tanzil wa Ghurrah Al-Ta'wil, tidak mengarahkan pandangannya kepada petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat yang dibandingkannya itu, kecuali dalam rangka penjelasan sebab-sebab perbedaan redaksional. Sementara dalam metode Mawdhu'i, seorang mufasir, disamping menghimpun semua ayat yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, ia juga mencari persamaan-persamaan, serta segala petunjuk yang dikandungnya, selama berkaitan dengan pokok bahasan yang ditetapkan.
Di sini kita melihat bahwa jangkauan bahasan metode komparasi lebih sempit dari metode Mawdhu'i, karena yang pertama hanya terbatas dalam perbedaan redaksi semata-mata. Membandingkan ayat dengan hadis, yang kelihatannya bertentangan, dilakukan juga oleh ulama hadis, khususnya dalam bidang yang dinamakan mukhtalif al-hadits. Sikap ulama dalam hal ini berbeda-beda. Abu Hanifah dan penganut mazhabnya menolak sejak dini hadis yang bertentangan atau tidak sejalan dengan ayat Al-Quran. Sementara itu, Imam Malik dan penganut mazhabnya dapat menerima hadis yang tidak sejalan dengan ayat, apabila ada qarinah (pendukung bagi hadis tersebut) berupa pengalaman penduduk Madinah atau ijma' ulama. Lainnya, Imam Syafi'i, berupaya untuk mengkompromikan ayat dan hadis tersebut, khususnya jika sanad hadis tersebut sahih.
Dalam membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir menyangkut ayat Al-Quran, ada beberapa hal yang perlu mendapat sorotan:
(1) Kondisi sosial politik pada masa seorang mufasir hidup;
(2) Kecenderungannya dan latar belakang pendidikannya;
(3) Pendapat yang dikemukakannya --apakah pendapat pribadi, ataupun pengembangan pendapat sebelumnya, atau juga pengulangannya;
(4) Setelah menjelaskan hal-hal di atas, pembanding melakukan analisis untuk mengemukakan penilaiannya tentang pendapat tersebut --baik menguatkan atau melemahkan pendapat-pendapat mufasir yang diperbandingkannya.
Penutup
Sebelum mengakhiri tulisan ini, perlu digarisbawahi beberapa masalah, agar seorang yang bermaksud menempuh metode Mawdhu'i atau membaca penafsiran yang menempuh metode tersebut tidak terjerumus kedalam kesalahan atau kesalahpahaman.
Hal-hal tersebut adalah:
(1) Metode Mawdhu'i pada hakikatnya tidak atau belum mengemukakan seluruh kandungan ayat Al-Quran yang ditafsirkannya itu. Harus diingat bahwa pembahasan yang diuraikan atau ditemukan hanya menyangkut judul yang ditetapkan oleh mufasirnya, sehingga dengan demikian mufasir pun harus selalu mengingat hal ini agar ia tidak dipengaruhi oleh kandungan atau isyarat-isyarat yang ditemukannya dalam ayat-ayat tersebut yang tidak sejalan dengan pokok bahasannya.
(2) Mufasir yang menggunakan metode ini hendaknya memperhatikan dengan seksama urutan ayat-ayat dari segi masa turunnya, atau perincian khususnya. Karena kalau tidak, ia dapat terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan baik di bidang hukum maupun dalam perincian kasus atau peristiwa.
(3) Mufasir juga hendaknya memperhatikan benar seluruh ayat yang berkaitan dengan pokok bahasan yang telah ditetapkannya itu. Sebab kalau tidak, pembahasan yang dikemukakannya tidak akan tuntas, atau paling tidak, jawaban Al-Quran yang dikemukakan menjadi terbatas.
Catatan kaki
108 Teori ini menyatakan bahwa orang-orang Arab sebenarnya mampu untuk menyusun kalimat-kalimat semacam Al-Quran. Tetapi, hal tersebut tidak terlaksana, karena Allah SWT melakukan campur tangan, dengan jalan mencabut pengetahuan dan rasa bahasa yang mereka miliki, atau dengan jalan melemahkan semangat dan keinginan mereka untuk menandingi Al-Quran.
109 Lihat Pengantar Muhammad Al-Bahiy, dalam Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, karya Mahmud Syaltut, Dar Al-Qalam, Mesir, cet. II, tt, h. 7.
110 Bukunya, berjudut Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar, telah dicetak di Bombay, India, sebanyak 13 jilid sampai dengan surah Al-Furqan. Sisanya masih berbentuk manuskrip yang antara lain terdapat di perpustakaan Universitas Al-Azhar, Mesir.
111 Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rufah, Beirut, 1975, jilid III, h. 144.
112 'Abdul Hay Al-Farmawiy, Al-Bidayah fi Tafsir Al-Mawdhu'iy, Al-Hadharah Al-'Arabiyah, Kairo, cetakan II, 1977, h. 62.
113 Lihat lebih jauh Hassan Hanafi, Al-Yamin wa Al-Yasar fi Al-Fikr Al-Diniy, Madbuliy, Mesir, 1989, h. 105.
114 Ayat 90 surah Al-Maidah, misalnya, yang berbicara tentang minuman keras, perjudian, dan berhala-berhala sesembahan, keseluruhannya menjadi bahasan penafsir "analisis". Tetapi penafsir maudhu'iy, hanya membahas pokok bahasannya saja. Jika pokok bahasan yang dipilihnya tentang "minuman keras", maka ia tidak akan menyinggung persoalan judi dan berhala-berhala.
--------------------------------------------------------------------------------MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996
Jln. Yodkali 16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
copy dari http://media.isnet.org
Disepakati oleh para ulama, kecuali beberapa gelintir di antara mereka, bahwa mukjizat utama Al-Quran yang diperhadapkan kepada masyarakat yang ditemui Rasul adalah dari segi bahasa dan sastranya yang mengungguli sastra bahasa yang dikenal masyarakat Arab ketika itu. Hal ini mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap metode penafsiran Al-Quran. Jika kita telusuri tafsir-tafsir Al-Quran sejak masa Muhammad bin Jarir Al-Thabari (251-310 H) sampai kepada masa Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935 M), kita akan menemui ciri utama yang menghimpun kitab-kitab tafsir tersebut adalah analisis redaksi. Agaknya hal ini merupakan salah satu usaha untuk meletakkan dasar-dasar ilmiah bagi pemahaman umat Islam terhadap kemukjizatan tersebut, setelah ketinggian nilai sastranya tidak lagi dipahami secara instink-fitri (alamiah) oleh orang-orang Arab sekalipun. Ini akhirnya menimbulkan pendapat bahwa redaksi Al-Quran bukanlah sesuatu yang luar biasa, seperti teori Al-Shirfah108 yang dikemukakan oleh Al-Nazam (w. 835 H). Tetapi harus diakui bahwa usaha-usaha ulama untuk menafsirkan Al-Quran dengan metode analisis-redaksi tersebut, bahkan dengan metode komparasi yang kemudian dikembangkan Abu Bakar Al-Baqillani (w. 403 H) dalam rangka kemukjizatannya, juga tidak dapat bertahan lama setelah semakin mundurnya penguasaan sastra dan kaidah-kaidah bahasa orang Arab sendiri.
Beberapa Problem Tafsir
Setelah Tafsir Al-Thabari, dapat dikatakan bahwa kitab-kitab tafsir sesudahnya memiliki corak tertentu yang dirasakan bahwa penulisnya "memaksakan sesuatu terhadap Al-Quran".109 Kalau hal tersebut bukan suatu paham akidah, fiqih, atau tasawuf, maka paling tidak salah satu aliran kaidah bahasa. Hal ini dapat dilihat dengan jelas pada Tafsir Al-Kasysyaf karya Al-Zamakhsyari (467-538 H), atau Anwar Al-Tanzil karya Al-Baidhawi (w. 791 H), atau Ruh Al-Ma'ani karya Al-Alusi (w. 1270 H), atau Al-Bahr Al-Muhith karya Abu Hayyan (w. 745 H), dan sebagainya. Cara-cara yang mereka tempuh itu menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran, yang tadinya dipahami secara mudah, menjadi semacam disiplin ilmu yang sukar untuk dicerna. Hal ini dikarenakan kitab-kitab tafsir itu berisikan pembahasan-pembahasan yang mendalam, namun gersang dari petunjuk-petunjuk yang menyentuh jiwa serta menalarkan akal.
Metode yang selama ini digunakan para mufasir sejak masa kodifikasi Tafsir, yang oleh sementara ahli diduga dimulai oleh Al-Farra' (w. 207 H), sampai tahun 1960 adalah menafsirkan Al-Quran ayat demi ayat sesuai dengan susunannya dalam mush-haf. Bentuk demikian menjadikan petunjuk-petunjuk Al-Quran terpisah-pisah dan tidak disodorkan kepada pembacanya secara menyeluruh. Fakhruddin Al-Razi (w. 606 H/1210 M) misalnya, walaupun menyadari betapa pentingnya korelasi antara ayat, dan dia mengajak para mufasir untuk mencurahkan perhatian kepada hal itu, namun dia sendiri dalam kedua kitab tafsirnya tidak menyinggung banyak tentangnya. Karena perhatiannya tercurah kepada pembahasan-pembahasan filsafat (teologi) dan ilmu falak.
Pembahasan masalah seperti ini mencapai puncaknya di bawah usaha Ibrahim bin 'Umar Al-Biqa'i (809-885 H). Tetapi korelasi di sini ternyata menyangkut sistematika penyusunan ayat dan surat Al-Quran sesuai dengan urutan-urutannya dalam mush-haf, bukan dari segi korelasi ayat-ayatnya yang membahas masalah-masalah yang sama dan terkadang bagian-bagiannya terpencar dalam sekian surat. Di lain segi, maksud pembahasan Al-Biqa'i ini adalah untuk menjelaskan kemukjizatan Al-Quran dari segi sistematika penyusunan ayat-ayat dan surat-suratnya, serta sebab pemilihan suatu redaksi terhadap redaksi lainnya,110 bukan untuk menggambarkan segi-segi petunjuk Al-Quran yang dapat dipetik dan dimanfaatkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Al-Syathibi menjelaskan bahwa satu surat, walaupun dapat mengandung banyak masalah, namun masalah-masalah tersebut berkaitan antara satu dengan lainnya. Sehingga seseorang hendaknya jangan hanya mengarahkan pandangan pada awal surat, tetapi hendaknya memperhatikan pula akhir surat, atau sebaliknya. Karena bila tidak demikian, akan terabaikan maksud ayat-ayat yang diturunkan itu.
"Tidak dibenarkan seseorang hanya memperhatikan bagian-bagian dari satu pembicaraan, kecuali pada saat ia bermaksud untuk memahami arti lahiriah dari satu kosakata menurut tinjauan etimologis, bukan maksud si pembicara. Kalau arti tersebut tidak dipahaminya, maka ia harus segera memperhatikan seluruh pembicaraan dari awal hingga akhir," demikian kata Al-Syathibi.111
Pada bulan Januari 1960, Syaikh Al-Azhar, Mahmud Syaltut, menerbitkan Tafsirnya, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim. Di situ beliau menafsirkan Al-Quran bukan ayat demi ayat, tetapi dengan jalan membahas surat demi surat atau bagian suatu surat, dengan menjelaskan tujuan-tujuan utama serta petunjuk-petunjuk yang dapat dipetik darinya. Walaupun ide tentang kesatuan dan isi petunjuk surat demi surat telah pernah dilontarkan oleh Al-Syathibi (w. 1388 M), tapi perwujudan ide itu dalam satu kitab Tafsir baru dimulai oleh Mahmud Syaltut. Metode ini, walaupun telah banyak menghindari kekurangan-kekurangan metode lama, masih menjadikan pembahasan mengenai petunjuk Al-Quran secara terpisah-pisah, karena tidak kurang satu petunjuk yang saling berhubungan tercantum dalam sekian banyak surat yang terpisah-pisah. Seperti dikemukakan semula bahwa pendapat seseorang tentang sesuatu masalah ditentukan oleh banyak faktor. Nah, kalau kita mengesampingkan sementara pendapat yang keliru yang tidak kurang ditemui dalam sekian banyak kitab tafsir lama, dan karena ketuaannya telah mendapat semacam pengkultusan, dan kita melihat pendapat-pendapat lainnya, maka kita temui pendapat-pendapat yang dapat diterima "pada masanya". Tetapi karena faktor yang dikemukakan di atas, maka pendapat tersebut kini sudah "out of date", dan tidak lagi dapat diterima. Misalnya, penafsiran tentang datarnya bumi, berdasarkan firman Allah pada surat Nuh ayat 19, sebelum ditemukan benua Amerika dan sebelum dibuktikan bumi kita bulat; atau penafsiran tujuh tingkat langit dengan tujuh planet yang mengitari tata surya, yang ternyata tidak hanya tujuh.
Sementara itu, berbarengan dengan perkembangan masyarakat, berbagai problem dan pandangan baru timbul dan perlu ditanggapi secara serius, yang tentunya berbeda dengan problem yang dihadapi oleh masyarakat sebelum kita. Problem dan pemecahan masalah yang dikemukakan oleh Muhammad Rasyid Ridha agaknya sudah tidak relevan dengan keadaan masa kini, atau paling tidak sudah tidak menduduki prioritas pertama dalam perhatian atau kepentingan masyarakat sekarang.
Dapat dibayangkan bagaimana kiranya jika yang disodorkan kepada masyarakat umum adalah masalah-masalah yang menjadi pembahasan ulama Tafsir pada masa sebelum Rasyid Ridha. Tidak syak lagi bahwa manusia yang dibentuk pikirannya dengan uraian-uraian tersebut adalah manusia-manusia abad lalu yang "terlambat lahir".
Metode Mawdhu'iy
Dari sini pula para ahli keislaman mengarahkan pandangan mereka kepada problem-problem baru dan berusaha untuk memberikan jawaban-jawabannya melalui petunjuk-petunjuk Al-Quran, sambil memperhatikan hasil-hasil pemikiran atau penemuan manusia, baik yang positif maupun yang negatif, sehingga bermunculanlah banyak karya ilmiah yang berbicara tentang satu topik tertentu menurut pandangan Al-Quran, misalnya Al-Insan fi Al-Quran, dan Al-Mar'ah fi Al-Quran karya Abbas Mahmud Al-Aqqad, atau Al-Riba fi Al-Quran karya Al-Maududi, dan sebagainya.
Namun karya-karya ilmiah tersebut disusun bukan sebagai pembahasan Tafsir. Di sini ulama Tafsir kemudian mendapat inspirasi baru, dari bermunculan karya-karya Tafsir yang menetapkan satu topik tertentu, dengan jalan menghimpun seluruh atau sebagian ayat-ayat, dari beberapa surat, yang berbicara tentang topik tersebut, untuk kemudian dikaitkan satu dengan lainnya, sehingga pada akhirnya diambil kesimpulan menyeluruh tentang masalah tersebut menurut pandangan Al-Quran. Metode ini di Mesir pertama kali dicetuskan oleh Prof. Dr. Ahmad Sayyid Al-Kumiy, Ketua Jurusan Tafsir pada Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar sampai tahun 1981.
Beberapa dosen Tafsir di universitas tersebut telah berhasil menyusun banyak karya ilmiah dengan menggunakan metode tersebut. Antara lain Prof. Dr. Al-Husaini Abu Farhah menulis Al-Futuhat Al-Rabbaniyyah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu'i li Al-Ayat Al-Qur'aniyyah dalam dua jilid, dengan memilih banyak topik yang dibicarakan Al-Quran.
Dalam menghimpun ayat-ayat yang ditafsirkannya secara mawdhu'i (tematik) itu, Al-Husaini tidak mencantumkan seluruh ayat dari seluruh surat, walaupun seringkali menyebutkan jumlah ayat-ayatnya dengan memberikan beberapa contoh, sebagaimana tidak juga dikemukakannya perincian ayat-ayat yang turun pada periode Makkah sambil membedakannya dengan periode Madinah, sehingga terasa bahwa apa yang ditempuhnya itu masih mengandung beberapa kelemahan.
Pada tahun 1977, Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawiy, yang juga menjabat guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, menerbitkan buku Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu'i dengan mengemukakan secara terinci langkah-langkah yang hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu'iy. Langkah-langkah tersebut adalah:
(a) Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik);
(b) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
(c) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzul-nya;
(d) Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
(e) Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline);
(f) Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis yang relevan dengan pokok bahasan;
(g) Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang 'am (umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.112
Penulis mempunyai beberapa catatan dalam rangka pengembangan metode tafsir Mawdhu'iy dan langkah-langkah yang diusulkan di atas. Antara lain:
(1) Penetapan masalah yang dibahas
Walaupun metode ini dapat menampung semua persoalan yang diajukan, terlepas apakah jawabannya ada atau tidak, namun untuk menghindari kesan keterikatan yang dihasilkan oleh metode tahliliy akibat pembahasan-pembahasannya terlalu bersifat sangat teoretis, maka akan lebih baik bila permasalahan yang dibahas itu diprioritaskan pada persoalan yang menyentuh masyarakat dan dirasakan langsung oleh mereka.
Ini berarti, mufasir Mawdhu'iy diharapkan agar terlebih dahulu mempelajari problem-problem masyarakat, atau ganjalan-ganjalan pemikiran yang dirasakan sangat membutuhkan jawaban Al-Quran, misalnya petunjuk Al-Quran menyangkut kemiskinan, keterbelakangan, penyakit dan sebagainya. Dengan demikian, corak dan metode penafsiran semacam ini memberi jawaban terhadap problem masyarakat tertentu di lokasi tertentu dan tidak harus memberi jawaban terhadap mereka yang hidup sesudah generasinya, atau yang tinggal di luar wilayahnya.
(2) Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya
Yaitu hanya dibutuhkan dalam upaya mengetahui perkembangan petunjuk Al-Quran menyangkut persoalan yang dibahas, apalagi bagi mereka yang berpendapat ada nasikh dan mansukh dalam Al-Quran. Bagi mereka yang bermaksud menguraikan satu kisah, atau kejadian, maka runtutan yang dibutuhkan adalah runtutan kronologis peristiwa.
(3) Kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Quran
Walaupun metode ini tidak mengharuskan uraian tentang pengertian kosakata, namun kesempurnaannya dapat dicapai apabila sejak dini sang mufasir berusaha memahami arti kosakata ayat dengan merujuk kepada penggunaan Al-Quran sendiri. Hal ini dapat dinilai sebagai pengembangan dari tafsir bi al-ma'tsur, yang pada hakikatnya merupakan benih awal dari metode mawdhu'iy.
Pengamatan terhadap pengertian kosakata, demikian juga pesan-pesan yang dikandung oleh satu ayat, hendaknya diarahkan antara lain kepada bentuk dan timbangan kata yang digunakan, subjek dan objeknya, serta konteks pembicaraannya. Bentuk kata dan kedudukan i'rab, misalnya, mempunyai makna tersendiri. Bentuk ism memberi kesan kemantapan, fi'l mengandung arti pergerakan, bentuk rafa' menunjukkan subjek atau upaya, nashb yang menjadi objek dapat mengandung arti ketiadaan upaya, sedang al-jar memberi kesan keterkaitan dalam keikutan.113
Untuk menetapkan masalah yang akan dibahas, beberapa kitab dapat menjadi rujukan, antara lain Tafshil Ayat Al-Qur'an karya sekelompok orientalis dan yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh Muhammad Fuad Abdul Baqiy. Demikian pula Kitab Al-Hayat karya Muhammad Reza Hakimi dan kawan-kawan, atau juga dapat ditempuh dengan menggunakan Al-Mu'jam Al-Mufahras Ii Alfazh Al-Qur'an karya Muhammad Fuad 'Abdul Baqiy, dengan memperhatikan kosakata dan sinonimnya yang berhubungan dengan suatu masalah yang dibahas itu.
(4) Azbab al-Nuzul
Perlu digarisbawahi bahwa, walaupun dalam langkah-langkah tersebut tidak dikemukakan menyangkut sebab nuzul, namun tentunya hal ini tidak dapat diabaikan, karena sebab nuzul mempunyai peranan yang sangat besar dalam memahami ayat-ayat Al-Quran. Hanya saja hal ini tidak dicantumkan di sana karena ia tidak harus dicantumkan dalam uraian, tetapi harus dipertimbangkan ketika memahami arti ayat-ayatnya masing-masing. Bahkan hubungan antara ayat yang biasanya dicantumkan dalam kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode analisis, tidak pula harus dicantumkan dalam pembahasan, selama ia tidak mempengaruhi pengertian yang akan ditonjolkan.
Dapat digarisbawahi pula bahwa langkah-langkah yang dijelaskan di atas menempatkan penyusunan "pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna" pada tahap yang kelima agar kerangka tersebut tersusun atas dasar bahan-bahan yang telah diperoleh dari langkah-langkah sebelumnya. Hal ini untuk menghindari sedapat mungkin pra-konsepsi yang mungkin dapat mempengaruhi mufasir dalam penafsirannya.
Dengan tersusunnya langkah-langkah tersebut, bahkan dengan penerapan yang dicontohkan oleh Al-Farmawiy dalam karyanya dengan menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan: (a) pemeliharaan anak yatim dalam Al-Quran; (b) arti ummiyatAl-Arab (kebuta-hurufan orang Arab) dalam Al-Quran; (c) etika meminta izin dalam Al-Quran; dan (d) menundukkan mata dan memelihara alat kelamin dalam Al-Quran, maka lahirlah bentuk kedua dari metode tafsir mawdhu'iy. Bentuk pertama, ialah penafsiran menyangkut satu surat dalam Al-Quran dengan menjelaskan tujuan-tujuannya secara umum dan khusus, serta hubungan persoalan-persoalan yang beraneka ragam dalam surat tersebut antara satu dengan lainnya, sehingga kesemua persoalan tersebut kait-mengait bagaikan satu persoalan saja, sebagaimana ditempuh oleh Mahmud Syaltut dalam kitab Tafsirnya.
Kedua, menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang membahas masalah tertentu dari berbagai surat Al-Quran, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh ayat-ayat tersebut, sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok pembahasannya.
Keistimewaan Metode Mawdhu'iy
Beberapa keistimewaan metode ini antara lain, (a) menghindari problem atau kelemahan metode lain yang digambarkan dalam uraian di atas; (b) menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis Nabi, satu cara terbaik dalam menafsirkan Al-Quran; (c) kesimpulan yang dihasilkan mudah dipahami. Hal ini disebabkan karena ia membawa pembaca kepada petunjuk Al-Quran tanpa mengemukakan berbagai pembahasan terperinci dalam satu disiplin ilmu. Juga dengan metode ini, dapat dibuktikan bahwa persoalan yang disentuh Al-Quran bukan bersifat teoretis semata-mata dan atau tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan begitu ia dapat membawa kita kepada pendapat Al-Quran tentang berbagai problem hidup disertai dengan jawaban jawabannya. Ia dapat memperjelas kembali fungsi Al-Quran sebagai Kitab Suci. Dan terakhir dapat membuktikan keistimewaan Al-Quran. Selain itu, (d) metode ini memungkinkan seseorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang bertentangan dalam Al-Quran. Ia sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Perbedaan Metode Mawdhu'iy dengan Metode Analisis
Yang dimaksud dengan metode analisis adalah "penjelasan tentang arti dan maksud ayat-ayat Al-Quran dari sekian banyak seginya yang ditempuh oleh mufasir dengan menjelaskan ayat demi ayat sesuai urutannya di dalam mush-haf melalui penafsiran kosakata, penjelasan sebab nuzul, munasabah, serta kandungan ayat-ayat tersebut sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir itu".
Metode tersebut jelas berbeda dengan metode Mawdhu'iy yang telah digambarkan langkah-langkahnya di atas. Perbedaan itu antara lain, pertama, mufasir mawdhu'iy, dalam penafsirannya, tidak terikat dengan susunan. ayat dalam mush-haf, tetapi lebih terikat dengan urutan masa turunnya ayat atau kronologi kejadian, sedang mufasir analisis memperhatikan susunan sebagaimana tercantum dalam mush-haf.
Kedua, mufasir Mawdhu'i tidak membahas segala segi permasalahan yang dikandung oleh satu ayat, tapi hanya yang berkaitan dengan pokok bahasan atau judul yang ditetapkannya.114 Sementara para mufasir analisis berusaha untuk berbicara menyangkut segala sesuatu yang ditemukannya dalam setiap ayat. Dengan demikian mufasir Mawdhu'i, dalam pembahasannya, tidak mencantumkan arti kosakata, sebab nuzul, munasabah ayat dari segi sistematika perurutan, kecuali dalam batas-batas yang dibutuhkan oleh pokok bahasannya. Mufasir analisis berbuat sebaliknya.
Ketiga, mufasir mawdhu'i berusaha untuk menuntaskan permasalahan-permasalahan yang menjadi pokok bahasannya. Mufasir analisis biasanya hanya mengemukakan penafsiran ayat-ayat secara berdiri sendiri, sehingga persoalan yang dibahas menjadi tidak tuntas, karena ayat yang ditafsirkan seringkali ditemukan kaitannya dalam ayat lain pada bagian lain surat tersebut, atau dalam surat yang lain.
Perbedaan Metode Mawdhu'iy dengan Metode Komparasi
Yang dimaksud dengan metode komparasi adalah "membandingkan ayat-ayat Al-Quran yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi, yang berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan yang memiliki redaksi yang berbeda bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama. Termasuk dalam objek bahasan metode ini adalah membandingkan ayat-ayat Al-Quran dengan hadis-hadis Nabi saw., yang tampaknya bertentangan, serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir menyangkut penafsiran ayat-ayat Al-Quran.
Dalam metode ini, khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat seperti dikemukakan di atas, sang mufasir biasanya hanya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus atau masalah itu sendiri, seperti misalnya perbedaan antara:
[tulisan Arab]
dalam surat Al-An'am ayat 151, dan
[tulisan Arab]
dalam surat Al-Isra' ayat 31, atau perbedaan antara:
[tulisan Arab]
dalam surat Al-A'raf ayat 12, dengan
[tulisan Arab]
dalam surat Shad ayat 75.
Demikian juga antara Al-Anfal ayat 10 dengan Ali Imran ayat 126.
Mufasir yang menempuh metode ini, sepert misalnya Al-Khatib Al-Iskafi dalam kitabnya Durrah Al-Tanzil wa Ghurrah Al-Ta'wil, tidak mengarahkan pandangannya kepada petunjuk-petunjuk yang dikandung oleh ayat-ayat yang dibandingkannya itu, kecuali dalam rangka penjelasan sebab-sebab perbedaan redaksional. Sementara dalam metode Mawdhu'i, seorang mufasir, disamping menghimpun semua ayat yang berkaitan dengan masalah yang dibahas, ia juga mencari persamaan-persamaan, serta segala petunjuk yang dikandungnya, selama berkaitan dengan pokok bahasan yang ditetapkan.
Di sini kita melihat bahwa jangkauan bahasan metode komparasi lebih sempit dari metode Mawdhu'i, karena yang pertama hanya terbatas dalam perbedaan redaksi semata-mata. Membandingkan ayat dengan hadis, yang kelihatannya bertentangan, dilakukan juga oleh ulama hadis, khususnya dalam bidang yang dinamakan mukhtalif al-hadits. Sikap ulama dalam hal ini berbeda-beda. Abu Hanifah dan penganut mazhabnya menolak sejak dini hadis yang bertentangan atau tidak sejalan dengan ayat Al-Quran. Sementara itu, Imam Malik dan penganut mazhabnya dapat menerima hadis yang tidak sejalan dengan ayat, apabila ada qarinah (pendukung bagi hadis tersebut) berupa pengalaman penduduk Madinah atau ijma' ulama. Lainnya, Imam Syafi'i, berupaya untuk mengkompromikan ayat dan hadis tersebut, khususnya jika sanad hadis tersebut sahih.
Dalam membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir menyangkut ayat Al-Quran, ada beberapa hal yang perlu mendapat sorotan:
(1) Kondisi sosial politik pada masa seorang mufasir hidup;
(2) Kecenderungannya dan latar belakang pendidikannya;
(3) Pendapat yang dikemukakannya --apakah pendapat pribadi, ataupun pengembangan pendapat sebelumnya, atau juga pengulangannya;
(4) Setelah menjelaskan hal-hal di atas, pembanding melakukan analisis untuk mengemukakan penilaiannya tentang pendapat tersebut --baik menguatkan atau melemahkan pendapat-pendapat mufasir yang diperbandingkannya.
Penutup
Sebelum mengakhiri tulisan ini, perlu digarisbawahi beberapa masalah, agar seorang yang bermaksud menempuh metode Mawdhu'i atau membaca penafsiran yang menempuh metode tersebut tidak terjerumus kedalam kesalahan atau kesalahpahaman.
Hal-hal tersebut adalah:
(1) Metode Mawdhu'i pada hakikatnya tidak atau belum mengemukakan seluruh kandungan ayat Al-Quran yang ditafsirkannya itu. Harus diingat bahwa pembahasan yang diuraikan atau ditemukan hanya menyangkut judul yang ditetapkan oleh mufasirnya, sehingga dengan demikian mufasir pun harus selalu mengingat hal ini agar ia tidak dipengaruhi oleh kandungan atau isyarat-isyarat yang ditemukannya dalam ayat-ayat tersebut yang tidak sejalan dengan pokok bahasannya.
(2) Mufasir yang menggunakan metode ini hendaknya memperhatikan dengan seksama urutan ayat-ayat dari segi masa turunnya, atau perincian khususnya. Karena kalau tidak, ia dapat terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan baik di bidang hukum maupun dalam perincian kasus atau peristiwa.
(3) Mufasir juga hendaknya memperhatikan benar seluruh ayat yang berkaitan dengan pokok bahasan yang telah ditetapkannya itu. Sebab kalau tidak, pembahasan yang dikemukakannya tidak akan tuntas, atau paling tidak, jawaban Al-Quran yang dikemukakan menjadi terbatas.
Catatan kaki
108 Teori ini menyatakan bahwa orang-orang Arab sebenarnya mampu untuk menyusun kalimat-kalimat semacam Al-Quran. Tetapi, hal tersebut tidak terlaksana, karena Allah SWT melakukan campur tangan, dengan jalan mencabut pengetahuan dan rasa bahasa yang mereka miliki, atau dengan jalan melemahkan semangat dan keinginan mereka untuk menandingi Al-Quran.
109 Lihat Pengantar Muhammad Al-Bahiy, dalam Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, karya Mahmud Syaltut, Dar Al-Qalam, Mesir, cet. II, tt, h. 7.
110 Bukunya, berjudut Nazhm Al-Durar fi Tanasub Al-Ayat wa Al-Suwar, telah dicetak di Bombay, India, sebanyak 13 jilid sampai dengan surah Al-Furqan. Sisanya masih berbentuk manuskrip yang antara lain terdapat di perpustakaan Universitas Al-Azhar, Mesir.
111 Al-Syathibi, Al-Muwafaqat, Dar Al-Ma'rufah, Beirut, 1975, jilid III, h. 144.
112 'Abdul Hay Al-Farmawiy, Al-Bidayah fi Tafsir Al-Mawdhu'iy, Al-Hadharah Al-'Arabiyah, Kairo, cetakan II, 1977, h. 62.
113 Lihat lebih jauh Hassan Hanafi, Al-Yamin wa Al-Yasar fi Al-Fikr Al-Diniy, Madbuliy, Mesir, 1989, h. 105.
114 Ayat 90 surah Al-Maidah, misalnya, yang berbicara tentang minuman keras, perjudian, dan berhala-berhala sesembahan, keseluruhannya menjadi bahasan penafsir "analisis". Tetapi penafsir maudhu'iy, hanya membahas pokok bahasannya saja. Jika pokok bahasan yang dipilihnya tentang "minuman keras", maka ia tidak akan menyinggung persoalan judi dan berhala-berhala.
--------------------------------------------------------------------------------MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996
Jln. Yodkali 16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
copy dari http://media.isnet.org
Sejarah Turunnya dan Tujuan Pokok Al-Quran
Membumikan Al-Quran
oleh Dr. M. Quraish Shihab
Sejarah Turunnya dan Tujuan Pokok Al-Quran
Agama Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan juta kaum Muslim di seluruh dunia, merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial: berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya. Allah berfirman, Sesungguhnya Al-Quran ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya (QS, 17:9).
Al-Quran memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah, dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsip mengenai persoalan-persoalan tersebut; dan Allah SWT menugaskan Rasul saw., untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu: Kami telah turunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir (QS 16:44).
Disamping keterangan yang diberikan oleh Rasulullah saw., Allah memerintahkan pula kepada umat manusia seluruhnya agar memperhatikan dan mempelajari Al-Quran: Tidaklah mereka memperhatikan isi Al-Quran, bahkan ataukah hati mereka tertutup (QS 47:24).
Mempelajari Al-Quran adalah kewajiban. Berikut ini beberapa prinsip dasar untuk memahaminya, khusus dari segi hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan. Atau, dengan kata lain, mengenai "memahami Al-Quran dalam Hubungannya dengan Ilmu Pengetahuan."( Persoalan ini sangat penting, terutama pada masa-masa sekarang ini, dimana perkembangan ilmu pengetahuan demikian pesat dan meliputi seluruh aspek kehidupan.
Kekaburan mengenai hal ini dapat menimbulkan ekses-ekses yang mempengaruhi perkembangan pemikiran kita dewasa ini dan generasi-generasi yang akan datang. Dalam bukunya, Science and the Modern World, A.N. Whitehead menulis: "Bila kita menyadari betapa pentingnya agama bagi manusia dan betapa pentingnya ilmu pengetahuan, maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa sejarah kita yang akan datang bergantung pada putusan generasi sekarang mengenai hubungan antara keduanya."6
Tulisan Whithead ini berdasarkan apa yang terjadi di Eropa pada abad ke-18, yang ketika itu, gereja/pendeta di satu pihak dan para ilmuwan di pihak lain, tidak dapat mencapai kata sepakat tentang hubungan antara Kitab Suci dan ilmu pengetahuan; tetapi agama yang dimaksudkannya dapat mencakup segenap keyakinan yang dianut manusia.
Demikian pula halnya bagi umat Islam, pengertian kita terhadap hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan akan memberi pengaruh yang tidak kecil terhadap perkembangan agama dan sejarah perkembangan manusia pada generasi-generasi yang akan datang.
Periode Turunnya Al-Quran
Al-Quran Al-Karim yang terdiri dari 114 surah dan susunannya ditentukan oleh Allah SWT. dengan cara tawqifi, tidak menggunakan metode sebagaimana metode-metode penyusunan buku-buku ilmiah. Buku-buku ilmiah yang membahas satu masalah, selalu menggunakan satu metode tertentu dan dibagi dalam bab-bab dan pasal-pasal. Metode ini tidak terdapat di dalam Al-Quran Al-Karim, yang di dalamnya banyak persoalan induk silih-berganti diterangkan.
Persoalan akidah terkadang bergandengan dengan persoalan hukum dan kritik; sejarah umat-umat yang lalu disatukan dengan nasihat, ultimatum, dorongan atau tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta. Terkadang pula, ada suatu persoalan atau hukum yang sedang diterangkan tiba-tiba timbul persoalan lain yang pada pandangan pertama tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, apa yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 216-221, yang mengatur hukum perang dalam asyhur al-hurum berurutan dengan hukum minuman keras, perjudian, persoalan anak yatim, dan perkawinan dengan orang-orang musyrik.
Yang demikian itu dimaksudkan agar memberikan kesan bahwa ajaran-ajaran Al-Quran dan hukum-hukum yang tercakup didalamnya merupakan satu kesatuan yang harus ditaati oleh penganut-penganutnya secara keseluruhan tanpa ada pemisahan antara satu dengan yang lainnya. Dalam menerangkan masalah-masalah filsafat dan metafisika, Al-Quran tidak menggunakan istilah filsafat dan logika. Juga dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Yang demikian ini membuktikan bahwa Al-Quran tidak dapat dipersamakan dengan kitab-kitab yang dikenal manusia.
Tujuan Al-Quran juga berbeda dengan tujuan kitab-kitab ilmiah. Untuk memahaminya, terlebih dahulu harus diketahui periode turunnya Al-Quran. Dengan mengetahui periode-periode tersebut, tujuan-tujuan Al-Quran akan lebih jelas.
Para ulama 'Ulum Al-Quran membagi sejarah turunnya Al-Quran dalam dua periode: (1) Periode sebelum hijrah; dan (2) Periode sesudah hijrah. Ayat-ayat yang turun pada periode pertama dinamai ayat-ayat Makkiyyah, dan ayat-ayat yang turun pada periode kedua dinamai ayat-ayat Madaniyyah. Tetapi, di sini, akan dibagi sejarah turunnya Al-Quran dalam tiga periode, meskipun pada hakikatnya periode pertama dan kedua dalam pembagian tersebut adalah kumpulan dari ayat-ayat Makkiyah, dan periode ketiga adalah ayat-ayat Madaniyyah. Pembagian demikian untuk lebih menjelaskan tujuan-tujuan pokok Al-Quran.
Periode Pertama
Diketahui bahwa Muhammad saw., pada awal turunnya wahyu pertama (iqra'), belum dilantik menjadi Rasul. Dengan wahyu pertama itu, beliau baru merupakan seorang nabi yang tidak ditugaskan untuk menyampaikan apa yang diterima. Baru setelah turun wahyu kedualah beliau ditugaskan untuk menyampaikan wahyu-wahyu yang diterimanya, dengan adanya firman Allah: "Wahai yang berselimut, bangkit dan berilah peringatan" (QS 74:1-2).
Kemudian, setelah itu, kandungan wahyu Ilahi berkisar dalam tiga hal. Pertama, pendidikan bagi Rasulullah saw., dalam membentuk kepribadiannya. Perhatikan firman-Nya: Wahai orang yang berselimut, bangunlah dan sampaikanlah. Dan Tuhanmu agungkanlah. Bersihkanlah pakaianmu. Tinggalkanlah kotoran (syirik). Janganlah memberikan sesuatu dengan mengharap menerima lebih banyak darinya, dan sabarlah engkau melaksanakan perintah-perintah Tuhanmu (QS 74:1-7).
Dalam wahyu ketiga terdapat pula bimbingan untuknya: Wahai orang yang berselimut, bangkitlah, shalatlah di malam hari kecuali sedikit darinya, yaitu separuh malam, kuranq sedikit dari itu atau lebih, dan bacalah Al-Quran dengan tartil (QS 73:1-4).
Perintah ini disebabkan karena Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu wahyu yang sangat berat (QS 73:5).
Ada lagi ayat-ayat lain, umpamanya: Berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat. Rendahkanlah dirimu, janganlah bersifat sombong kepada orang-orang yang beriman yang mengikutimu. Apabila mereka (keluargamu) enggan mengikutimu, katakanlah: aku berlepas dari apa yang kalian kerjakan (QS 26:214-216).
Demikian ayat-ayat yang merupakan bimbingan bagi beliau demi suksesnya dakwah.
Kedua, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sifat dan af'al Allah, misalnya surah Al-A'la (surah ketujuh yang diturunkan) atau surah Al-Ikhlash, yang menurut hadis Rasulullah "sebanding dengan sepertiga Al-Quran", karena yang mengetahuinya dengan sebenarnya akan mengetahui pula persoalan-persoalan tauhid dan tanzih (penyucian) Allah SWT.
Ketiga, keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiah, serta bantahan-bantahan secara umum mengenai pandangan hidup masyarakat jahiliah ketika itu. Ini dapat dibaca, misalnya, dalam surah Al-Takatsur, satu surah yang mengecam mereka yang menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma'un yang menerangkan kewajiban terhadap fakir miskin dan anak yatim serta pandangan agama mengenai hidup bergotong-royong.
Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah menimbulkan bermacam-macam reaksi di kalangan masyarakat Arab ketika itu. Reaksi-reaksi tersebut nyata dalam tiga hal pokok:
Segolongan kecil dari mereka menerima dengan baik ajaran-ajaran Al-Quran.
Sebagian besar dari masyarakat tersebut menolak ajaran Al-Quran, karena kebodohan mereka (QS 21:24), keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat dan tradisi nenek moyang (QS 43:22), dan atau karena adanya maksud-maksud tertentu dari satu golongan seperti yang digambarkan oleh Abu Sufyan: "Kalau sekiranya Bani Hasyim memperoleh kemuliaan nubuwwah, kemuliaan apa lagi yang tinggal untuk kami."
Dakwah Al-Quran mulai melebar melampaui perbatasan Makkah menuju daerah-daerah sekitarnya.
Periode Kedua
Periode kedua dari sejarah turunnya Al-Quran berlangsung selama 8-9 tahun, dimana terjadi pertarungan hebat antara gerakan Islam dan jahiliah. Gerakan oposisi terhadap Islam menggunakan segala cara dan sistem untuk menghalangi kemajuan dakwah Islamiah.
Dimulai dari fitnah, intimidasi dan penganiayaan, yang mengakibatkan para penganut ajaran Al-Quran ketika itu terpaksa berhijrah ke Habsyah dan para akhirnya mereka semua --termasuk Rasulullah saw.-- berhijrah ke Madinah.
Pada masa tersebut, ayat-ayat Al-Quran, di satu pihak, silih berganti turun menerangkan kewajiban-kewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi dakwah ketika itu, seperti: Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu (agama) dengan hikmah dan tuntunan yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya (QS 16:125).
Dan, di lain pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman yang pedas terus mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari kebenaran, seperti: Bila mereka berpaling maka katakanlah wahai Muhammad: "Aku pertakuti kamu sekalian dengan siksaan, seperti siksaan yang menimpa kaum 'Ad dan Tsamud" (QS 41:13).
Selain itu, turun juga ayat-ayat yang mengandung argumentasi-argumentasi mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat berdasarkan tanda-tanda yang dapat mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti: Manusia memberikan perumpamaan bagi kami dan lupa akan kejadiannya, mereka berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-tulang yang telah lapuk dan hancur?" Katakanlah, wahai Muhammad: "Yang menghidupkannya ialah Tuhan yang menjadikan ia pada mulanya, dan yang Maha Mengetahui semua kejadian. Dia yang menjadikan untukmu, wahai manusia, api dari kayu yang hijau (basah) lalu dengannya kamu sekalian membakar." Tidaklah yang menciptakan langit dan bumi sanggup untuk menciptakan yang serupa itu? Sesungguhnya Ia Maha Pencipta dan Maha Mengetahui. Sesungguhnya bila Allah menghendaki sesuatu Ia hanya memerintahkan: "Jadilah!"Maka jadilah ia (QS 36:78-82).
Ayat ini merupakan salah satu argumentasi terkuat dalam membuktikan kepastian hari kiamat. Dalam hal ini, Al-Kindi berkata: "Siapakah di antara manusia dan filsafat yang sanggup mengumpulkan dalam satu susunan kata-kata sebanyak huruf ayat-ayat tersebut, sebagaimana yang telah disimpulkan Tuhan kepada Rasul-Nya saw., dimana diterangkan bahwa tulang-tulang dapat hidup setelah menjadi lapuk dan hancur; bahwa qudrah-Nya menciptakan seperti langit dan bumi; dan bahwa sesuatu dapat mewujud dari sesuatu yang berlawanan dengannya."7
Disini terbukti bahwa ayat-ayat Al-Quran telah sanggup memblokade paham-paham jahiliah dari segala segi sehingga mereka tidak lagi mempunyai arti dan kedudukan dalam rasio dan alam pikiran sehat.
Periode Ketiga
Selama masa periode ketiga ini, dakwah Al-Quran telah dapat mewujudkan suatu prestasi besar karena penganut-penganutnya telah dapat hidup bebas melaksanakan ajaran-ajaran agama di Yatsrib (yang kemudian diberi nama Al-Madinah Al-Munawwarah). Periode ini berlangsung selama sepuluh tahun, di mana timbul bermacam-macam peristiwa, problem dan persoalan, seperti: Prinsip-prinsip apakah yang diterapkan dalam masyarakat demi mencapai kebahagiaan? Bagaimanakah sikap terhadap orang-orang munafik, Ahl Al-Kitab, orang-orang kafir dan lain-lain, yang semua itu diterangkan Al-Quran dengan cara yang berbeda-beda?
Dengan satu susunan kata-kata yang membangkitkan semangat seperti berikut ini, Al-Quran menyarankan: Tidakkah sepatutnya kamu sekalian memerangi golongan yang mengingkari janjinya dan hendak mengusir Rasul, sedangkan merekalah yang memulai peperangan. Apakah kamu takut kepada mereka? Sesungguhnya Allah lebih berhak untuk ditakuti jika kamu sekalian benar-benar orang yang beriman. Perangilah! Allah akan menyiksa mereka dengan perantaraan kamu sekalian serta menghina-rendahkan mereka; dan Allah akan menerangkan kamu semua serta memuaskan hati segolongan orang-orang beriman (QS 9:13-14).
Adakalanya pula merupakan perintah-perintah yang tegas disertai dengan konsiderannya, seperti: Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya minuman keras, perjudian, berhala-berhala, bertenung adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Oleh karena itu hindarilah semua itu agar kamu sekalian mendapat kemenangan. Sesungguhnya setan tiada lain yang diinginkan kecuali menanamkan permusuhan dan kebencian diantara kamu disebabkan oleh minuman keras dan perjudian tersebut, serta memalingkan kamu dari dzikrullah dan sembahyang, maka karenanya hentikanlah pekerjaan-pekerjaan tersebut (QS 5:90-91).
Disamping itu, secara silih-berganti, terdapat juga ayat yang menerangkan akhlak dan suluk yang harus diikuti oleh setiap Muslim dalam kehidupannya sehari-hari, seperti: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki satu rumah selain rumahmu kecuali setelah minta izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya. Demikian ini lebih baik bagimu. Semoga kamu sekalian mendapat peringatan (QS 24:27).
Semua ayat ini memberikan bimbingan kepada kaum Muslim menuju jalan yang diridhai Tuhan disamping mendorong mereka untuk berjihad di jalan Allah, sambil memberikan didikan akhlak dan suluk yang sesuai dengan keadaan mereka dalam bermacam-macam situasi (kalah, menang, bahagia, sengsara, aman dan takut). Dalam perang Uhud misalnya, di mana kaum Muslim menderita tujuh puluh orang korban, turunlah ayat-ayat penenang yang berbunyi: Janganlah kamu sekalian merasa lemah atau berduka cita. Kamu adalah orang-orang yang tinggi (menang) selama kamu sekalian beriman. Jika kamu mendapat luka, maka golongan mereka juga mendapat luka serupa. Demikianlah hari-hari kemenangan Kami perganti-gantikan di antara manusia, supaya Allah membuktikan orang-orang beriman dan agar Allah mengangkat dari mereka syuhada, sesungguhnya Allah tiada mengasihi orang-orangyang aniaya (QS 3:139-140).
Selain ayat-ayat yang turun mengajak berdialog dengan orang-orang Mukmin, banyak juga ayat yang ditujukan kepada orang-orang munafik, Ahli Kitab dan orang-orang musyrik. Ayat-ayat tersebut mengajak mereka ke jalan yang benar, sesuai dengan sikap mereka terhadap dakwah. Salah satu ayat yang ditujukan kepada ahli Kitab ialah: Katakanlah (Muhammad): "Wahai ahli kitab (golongan Yahudi dan Nasrani), marilah kita menuju ke satu kata sepakat diantara kita yaitu kita tidak menyembah kecuali Allah; tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, tidak pula mengangkat sebagian dari kita tuhan yang bukan Allah." Maka bila mereka berpaling katakanlah: "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Muslim" (QS 3:64).
Dakwah menurut Al-Quran
Dan ringkasan sejarah turunnya Al-Quran, tampak bahwa ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan pertimbangan dakwah: turun sedikit demi sedikit bergantung pada kebutuhan dan hajat, hingga mana kala dakwah telah menyeluruh, orang-orang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Ketika itu berakhirlah turunnya ayat-ayat Al-Quran dan datang pulalah penegasan dari Allah SWT: Hari ini telah Kusempurnakan agamamu dan telah Kucukupkan nikmat untukmu serta telah Kuridhai Islam sebagai agamamu (QS 5:3).
Uraian di atas menunjukkan bahwa ayat-ayat Al-Quran disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat itu. Sejarah yang diungkapkan adalah sejarah bangsa-bangsa yang hidup di sekitar Jazirah Arab. Peristiwa-peristiwa yang dibawakan adalah peristiwa-peristiwa mereka. Adat-istiadat dan ciri-ciri masyarakat yang dikecam adalah yang timbul dan yang terdapat dalam masyarakat tersebut.
Tetapi ini bukan berarti bahwa ajaran-ajaran Al-Quran hanya dapat diterapkan dalam masyarakat yang ditemuinya atau pada waktu itu saja. Karena yang demikian itu hanya untuk dijadikan argumentasi dakwah. Sejarah umat-umat diungkapkan sebagai pelajaran/peringatan bagaimana perlakuan Tuhan terhadap orang-orang yang mengikuti jejak-jejak mereka.
Sebagai suatu perbandingan, Al-Quran dapat diumpamakan dengan seseorang yang dalam menanamkan idenya tidak dapat melepaskan diri dari keadaan, situasi atau kondisi masyarakat yang merupakan objek dakwah. Tentu saja metode yang digunakannya harus sesuai dengan keadaan, perkembangan dan tingkat kecerdasan objek tersebut. Demikian pula dalam menanamkan idenya, cita-cita itu tidak hartya sampai pada batas suatu masyarakat dan masa tertentu; tetapi masih mengharapkan agar idenya berkembang pada semua tempat sepanjang masa.
Untuk menerapkan idenya itu, seorang da'i tidak boleh bosan dan putus asa. Dan dalam merealisasikan cita-citanya, ia harus mampu menyatakan dan mengulangi usahanya walaupun dengan cara yang berbeda-beda. Demikian pula ayat-ayat Al-Quran yang mengulangi beberapa kali satu persoalan. Tetapi untuk menghindari terjadinya perasaan bosan, susunan kata-katanya --oleh Allah SWT-- diubah dan dihiasi sehingga menarik pendengarannya. Bukankah argumentasi-argumentasi Al-Quran mengenai soal-soal yang dipaparkan dapat dipergunakan di mana, kapan dan bagi siapa saja, serta dalam situasi dan kondisi apa pun?
Argumen kosmologis (cosmological argument) --yang oleh Immanuel Kant dikatakan sebagai suatu argumen yang sangat dikagumi dan merupakan salah satu dalil terkuat mengenai wujud Pencipta (Prime Cause)-- merupakan salah satu argumentasi Al-Quran untuk maksud tersebut. Bukankah juga penolakan Al-Quran terhadap syirik (politeisme) meliputi segala macam dan bentuk politeisme yang telah timbul, termasuk yang dianut oleh orang-orang Arab ketika turunnya Al-Quran?
Dapat diperhatikan pula, bahwa tiada satu filsafat pun yang memaparkan perincian-perinciannya dari A sampai Z dalam bentuk abstrak tanpa memberikan contoh-contoh hidup dalam masyarakat tempat ia muncul atau berkembang. Cara yang demikian ini tidak mungkin akan mewujud; kalau ada, maka ia hanya sekadar merupakan teori-teori belaka yang tidak dapat diterapkan dalam suatu masyarakat.
Tidakkah menjadi keharusan satu gerakan yang bersifat universal untuk memulai penyebarannya di forum internasional. Tapi, cara paling tepat adalah menyebarkan ajaran-ajarannya dalam masyarakat tempat timbulnya gerakan itu, dimana penyebar-penyebarnya mengetahui bahasa, tradisi dan adat-istiadat masyarakat tadi. Kemudian, bila telah berhasil menerapkan ajaran-ajarannya dalam suatu masyarakat tertentu, maka masyarakat tersebut dapat dijadikan "pilot proyek" bagi masyarakat lainnya. Hal ini dapat kita lihat pada Fasisme, Zionisme, Komunisme, Nazisme, dan lain-lain. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa ajaran-ajaran Al-Quran itu khusus untuk masyarakat pada masa diturunkannya saja.
Tujuan Pokok Al-Quran
Dari sejarah diturunkannya Al-Quran, dapat diambil kesimpulan bahwa Al-Quran mempunyai tiga tujuan pokok:
Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
Petunjuk mengenal syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Atau dengan kata lain yang lebih singkat, "Al-Quran adalah petunjuk bagi selunih manusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat."
Catatan kaki
6 Whitehead, Science and the Modern World, hal. 180.
7 Lihat 'Abdul Halim Mahmud, Al-Tafsir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy, Beirut, 1982, h. 73-74.
--------------------------------------------------------------------------------MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996
Jln. Yodkali 16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
copy dari http://media.isnet.org
oleh Dr. M. Quraish Shihab
Sejarah Turunnya dan Tujuan Pokok Al-Quran
Agama Islam, agama yang kita anut dan dianut oleh ratusan juta kaum Muslim di seluruh dunia, merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak. Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial: berfungsi memberi petunjuk ke jalan yang sebaik-baiknya. Allah berfirman, Sesungguhnya Al-Quran ini memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya (QS, 17:9).
Al-Quran memberikan petunjuk dalam persoalan-persoalan akidah, syariah, dan akhlak, dengan jalan meletakkan dasar-dasar prinsip mengenai persoalan-persoalan tersebut; dan Allah SWT menugaskan Rasul saw., untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai dasar-dasar itu: Kami telah turunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Quran) untuk kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka berpikir (QS 16:44).
Disamping keterangan yang diberikan oleh Rasulullah saw., Allah memerintahkan pula kepada umat manusia seluruhnya agar memperhatikan dan mempelajari Al-Quran: Tidaklah mereka memperhatikan isi Al-Quran, bahkan ataukah hati mereka tertutup (QS 47:24).
Mempelajari Al-Quran adalah kewajiban. Berikut ini beberapa prinsip dasar untuk memahaminya, khusus dari segi hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan. Atau, dengan kata lain, mengenai "memahami Al-Quran dalam Hubungannya dengan Ilmu Pengetahuan."( Persoalan ini sangat penting, terutama pada masa-masa sekarang ini, dimana perkembangan ilmu pengetahuan demikian pesat dan meliputi seluruh aspek kehidupan.
Kekaburan mengenai hal ini dapat menimbulkan ekses-ekses yang mempengaruhi perkembangan pemikiran kita dewasa ini dan generasi-generasi yang akan datang. Dalam bukunya, Science and the Modern World, A.N. Whitehead menulis: "Bila kita menyadari betapa pentingnya agama bagi manusia dan betapa pentingnya ilmu pengetahuan, maka tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa sejarah kita yang akan datang bergantung pada putusan generasi sekarang mengenai hubungan antara keduanya."6
Tulisan Whithead ini berdasarkan apa yang terjadi di Eropa pada abad ke-18, yang ketika itu, gereja/pendeta di satu pihak dan para ilmuwan di pihak lain, tidak dapat mencapai kata sepakat tentang hubungan antara Kitab Suci dan ilmu pengetahuan; tetapi agama yang dimaksudkannya dapat mencakup segenap keyakinan yang dianut manusia.
Demikian pula halnya bagi umat Islam, pengertian kita terhadap hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan akan memberi pengaruh yang tidak kecil terhadap perkembangan agama dan sejarah perkembangan manusia pada generasi-generasi yang akan datang.
Periode Turunnya Al-Quran
Al-Quran Al-Karim yang terdiri dari 114 surah dan susunannya ditentukan oleh Allah SWT. dengan cara tawqifi, tidak menggunakan metode sebagaimana metode-metode penyusunan buku-buku ilmiah. Buku-buku ilmiah yang membahas satu masalah, selalu menggunakan satu metode tertentu dan dibagi dalam bab-bab dan pasal-pasal. Metode ini tidak terdapat di dalam Al-Quran Al-Karim, yang di dalamnya banyak persoalan induk silih-berganti diterangkan.
Persoalan akidah terkadang bergandengan dengan persoalan hukum dan kritik; sejarah umat-umat yang lalu disatukan dengan nasihat, ultimatum, dorongan atau tanda-tanda kebesaran Allah yang ada di alam semesta. Terkadang pula, ada suatu persoalan atau hukum yang sedang diterangkan tiba-tiba timbul persoalan lain yang pada pandangan pertama tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, apa yang terdapat dalam surah Al-Baqarah ayat 216-221, yang mengatur hukum perang dalam asyhur al-hurum berurutan dengan hukum minuman keras, perjudian, persoalan anak yatim, dan perkawinan dengan orang-orang musyrik.
Yang demikian itu dimaksudkan agar memberikan kesan bahwa ajaran-ajaran Al-Quran dan hukum-hukum yang tercakup didalamnya merupakan satu kesatuan yang harus ditaati oleh penganut-penganutnya secara keseluruhan tanpa ada pemisahan antara satu dengan yang lainnya. Dalam menerangkan masalah-masalah filsafat dan metafisika, Al-Quran tidak menggunakan istilah filsafat dan logika. Juga dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Yang demikian ini membuktikan bahwa Al-Quran tidak dapat dipersamakan dengan kitab-kitab yang dikenal manusia.
Tujuan Al-Quran juga berbeda dengan tujuan kitab-kitab ilmiah. Untuk memahaminya, terlebih dahulu harus diketahui periode turunnya Al-Quran. Dengan mengetahui periode-periode tersebut, tujuan-tujuan Al-Quran akan lebih jelas.
Para ulama 'Ulum Al-Quran membagi sejarah turunnya Al-Quran dalam dua periode: (1) Periode sebelum hijrah; dan (2) Periode sesudah hijrah. Ayat-ayat yang turun pada periode pertama dinamai ayat-ayat Makkiyyah, dan ayat-ayat yang turun pada periode kedua dinamai ayat-ayat Madaniyyah. Tetapi, di sini, akan dibagi sejarah turunnya Al-Quran dalam tiga periode, meskipun pada hakikatnya periode pertama dan kedua dalam pembagian tersebut adalah kumpulan dari ayat-ayat Makkiyah, dan periode ketiga adalah ayat-ayat Madaniyyah. Pembagian demikian untuk lebih menjelaskan tujuan-tujuan pokok Al-Quran.
Periode Pertama
Diketahui bahwa Muhammad saw., pada awal turunnya wahyu pertama (iqra'), belum dilantik menjadi Rasul. Dengan wahyu pertama itu, beliau baru merupakan seorang nabi yang tidak ditugaskan untuk menyampaikan apa yang diterima. Baru setelah turun wahyu kedualah beliau ditugaskan untuk menyampaikan wahyu-wahyu yang diterimanya, dengan adanya firman Allah: "Wahai yang berselimut, bangkit dan berilah peringatan" (QS 74:1-2).
Kemudian, setelah itu, kandungan wahyu Ilahi berkisar dalam tiga hal. Pertama, pendidikan bagi Rasulullah saw., dalam membentuk kepribadiannya. Perhatikan firman-Nya: Wahai orang yang berselimut, bangunlah dan sampaikanlah. Dan Tuhanmu agungkanlah. Bersihkanlah pakaianmu. Tinggalkanlah kotoran (syirik). Janganlah memberikan sesuatu dengan mengharap menerima lebih banyak darinya, dan sabarlah engkau melaksanakan perintah-perintah Tuhanmu (QS 74:1-7).
Dalam wahyu ketiga terdapat pula bimbingan untuknya: Wahai orang yang berselimut, bangkitlah, shalatlah di malam hari kecuali sedikit darinya, yaitu separuh malam, kuranq sedikit dari itu atau lebih, dan bacalah Al-Quran dengan tartil (QS 73:1-4).
Perintah ini disebabkan karena Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu wahyu yang sangat berat (QS 73:5).
Ada lagi ayat-ayat lain, umpamanya: Berilah peringatan kepada keluargamu yang terdekat. Rendahkanlah dirimu, janganlah bersifat sombong kepada orang-orang yang beriman yang mengikutimu. Apabila mereka (keluargamu) enggan mengikutimu, katakanlah: aku berlepas dari apa yang kalian kerjakan (QS 26:214-216).
Demikian ayat-ayat yang merupakan bimbingan bagi beliau demi suksesnya dakwah.
Kedua, pengetahuan-pengetahuan dasar mengenai sifat dan af'al Allah, misalnya surah Al-A'la (surah ketujuh yang diturunkan) atau surah Al-Ikhlash, yang menurut hadis Rasulullah "sebanding dengan sepertiga Al-Quran", karena yang mengetahuinya dengan sebenarnya akan mengetahui pula persoalan-persoalan tauhid dan tanzih (penyucian) Allah SWT.
Ketiga, keterangan mengenai dasar-dasar akhlak Islamiah, serta bantahan-bantahan secara umum mengenai pandangan hidup masyarakat jahiliah ketika itu. Ini dapat dibaca, misalnya, dalam surah Al-Takatsur, satu surah yang mengecam mereka yang menumpuk-numpuk harta; dan surah Al-Ma'un yang menerangkan kewajiban terhadap fakir miskin dan anak yatim serta pandangan agama mengenai hidup bergotong-royong.
Periode ini berlangsung sekitar 4-5 tahun dan telah menimbulkan bermacam-macam reaksi di kalangan masyarakat Arab ketika itu. Reaksi-reaksi tersebut nyata dalam tiga hal pokok:
Segolongan kecil dari mereka menerima dengan baik ajaran-ajaran Al-Quran.
Sebagian besar dari masyarakat tersebut menolak ajaran Al-Quran, karena kebodohan mereka (QS 21:24), keteguhan mereka mempertahankan adat istiadat dan tradisi nenek moyang (QS 43:22), dan atau karena adanya maksud-maksud tertentu dari satu golongan seperti yang digambarkan oleh Abu Sufyan: "Kalau sekiranya Bani Hasyim memperoleh kemuliaan nubuwwah, kemuliaan apa lagi yang tinggal untuk kami."
Dakwah Al-Quran mulai melebar melampaui perbatasan Makkah menuju daerah-daerah sekitarnya.
Periode Kedua
Periode kedua dari sejarah turunnya Al-Quran berlangsung selama 8-9 tahun, dimana terjadi pertarungan hebat antara gerakan Islam dan jahiliah. Gerakan oposisi terhadap Islam menggunakan segala cara dan sistem untuk menghalangi kemajuan dakwah Islamiah.
Dimulai dari fitnah, intimidasi dan penganiayaan, yang mengakibatkan para penganut ajaran Al-Quran ketika itu terpaksa berhijrah ke Habsyah dan para akhirnya mereka semua --termasuk Rasulullah saw.-- berhijrah ke Madinah.
Pada masa tersebut, ayat-ayat Al-Quran, di satu pihak, silih berganti turun menerangkan kewajiban-kewajiban prinsipil penganutnya sesuai dengan kondisi dakwah ketika itu, seperti: Ajaklah mereka ke jalan Tuhanmu (agama) dengan hikmah dan tuntunan yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang sebaik-baiknya (QS 16:125).
Dan, di lain pihak, ayat-ayat kecaman dan ancaman yang pedas terus mengalir kepada kaum musyrik yang berpaling dari kebenaran, seperti: Bila mereka berpaling maka katakanlah wahai Muhammad: "Aku pertakuti kamu sekalian dengan siksaan, seperti siksaan yang menimpa kaum 'Ad dan Tsamud" (QS 41:13).
Selain itu, turun juga ayat-ayat yang mengandung argumentasi-argumentasi mengenai keesaan Tuhan dan kepastian hari kiamat berdasarkan tanda-tanda yang dapat mereka lihat dalam kehidupan sehari-hari, seperti: Manusia memberikan perumpamaan bagi kami dan lupa akan kejadiannya, mereka berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-tulang yang telah lapuk dan hancur?" Katakanlah, wahai Muhammad: "Yang menghidupkannya ialah Tuhan yang menjadikan ia pada mulanya, dan yang Maha Mengetahui semua kejadian. Dia yang menjadikan untukmu, wahai manusia, api dari kayu yang hijau (basah) lalu dengannya kamu sekalian membakar." Tidaklah yang menciptakan langit dan bumi sanggup untuk menciptakan yang serupa itu? Sesungguhnya Ia Maha Pencipta dan Maha Mengetahui. Sesungguhnya bila Allah menghendaki sesuatu Ia hanya memerintahkan: "Jadilah!"Maka jadilah ia (QS 36:78-82).
Ayat ini merupakan salah satu argumentasi terkuat dalam membuktikan kepastian hari kiamat. Dalam hal ini, Al-Kindi berkata: "Siapakah di antara manusia dan filsafat yang sanggup mengumpulkan dalam satu susunan kata-kata sebanyak huruf ayat-ayat tersebut, sebagaimana yang telah disimpulkan Tuhan kepada Rasul-Nya saw., dimana diterangkan bahwa tulang-tulang dapat hidup setelah menjadi lapuk dan hancur; bahwa qudrah-Nya menciptakan seperti langit dan bumi; dan bahwa sesuatu dapat mewujud dari sesuatu yang berlawanan dengannya."7
Disini terbukti bahwa ayat-ayat Al-Quran telah sanggup memblokade paham-paham jahiliah dari segala segi sehingga mereka tidak lagi mempunyai arti dan kedudukan dalam rasio dan alam pikiran sehat.
Periode Ketiga
Selama masa periode ketiga ini, dakwah Al-Quran telah dapat mewujudkan suatu prestasi besar karena penganut-penganutnya telah dapat hidup bebas melaksanakan ajaran-ajaran agama di Yatsrib (yang kemudian diberi nama Al-Madinah Al-Munawwarah). Periode ini berlangsung selama sepuluh tahun, di mana timbul bermacam-macam peristiwa, problem dan persoalan, seperti: Prinsip-prinsip apakah yang diterapkan dalam masyarakat demi mencapai kebahagiaan? Bagaimanakah sikap terhadap orang-orang munafik, Ahl Al-Kitab, orang-orang kafir dan lain-lain, yang semua itu diterangkan Al-Quran dengan cara yang berbeda-beda?
Dengan satu susunan kata-kata yang membangkitkan semangat seperti berikut ini, Al-Quran menyarankan: Tidakkah sepatutnya kamu sekalian memerangi golongan yang mengingkari janjinya dan hendak mengusir Rasul, sedangkan merekalah yang memulai peperangan. Apakah kamu takut kepada mereka? Sesungguhnya Allah lebih berhak untuk ditakuti jika kamu sekalian benar-benar orang yang beriman. Perangilah! Allah akan menyiksa mereka dengan perantaraan kamu sekalian serta menghina-rendahkan mereka; dan Allah akan menerangkan kamu semua serta memuaskan hati segolongan orang-orang beriman (QS 9:13-14).
Adakalanya pula merupakan perintah-perintah yang tegas disertai dengan konsiderannya, seperti: Wahai orang-orang beriman, sesungguhnya minuman keras, perjudian, berhala-berhala, bertenung adalah perbuatan keji dari perbuatan setan. Oleh karena itu hindarilah semua itu agar kamu sekalian mendapat kemenangan. Sesungguhnya setan tiada lain yang diinginkan kecuali menanamkan permusuhan dan kebencian diantara kamu disebabkan oleh minuman keras dan perjudian tersebut, serta memalingkan kamu dari dzikrullah dan sembahyang, maka karenanya hentikanlah pekerjaan-pekerjaan tersebut (QS 5:90-91).
Disamping itu, secara silih-berganti, terdapat juga ayat yang menerangkan akhlak dan suluk yang harus diikuti oleh setiap Muslim dalam kehidupannya sehari-hari, seperti: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki satu rumah selain rumahmu kecuali setelah minta izin dan mengucapkan salam kepada penghuninya. Demikian ini lebih baik bagimu. Semoga kamu sekalian mendapat peringatan (QS 24:27).
Semua ayat ini memberikan bimbingan kepada kaum Muslim menuju jalan yang diridhai Tuhan disamping mendorong mereka untuk berjihad di jalan Allah, sambil memberikan didikan akhlak dan suluk yang sesuai dengan keadaan mereka dalam bermacam-macam situasi (kalah, menang, bahagia, sengsara, aman dan takut). Dalam perang Uhud misalnya, di mana kaum Muslim menderita tujuh puluh orang korban, turunlah ayat-ayat penenang yang berbunyi: Janganlah kamu sekalian merasa lemah atau berduka cita. Kamu adalah orang-orang yang tinggi (menang) selama kamu sekalian beriman. Jika kamu mendapat luka, maka golongan mereka juga mendapat luka serupa. Demikianlah hari-hari kemenangan Kami perganti-gantikan di antara manusia, supaya Allah membuktikan orang-orang beriman dan agar Allah mengangkat dari mereka syuhada, sesungguhnya Allah tiada mengasihi orang-orangyang aniaya (QS 3:139-140).
Selain ayat-ayat yang turun mengajak berdialog dengan orang-orang Mukmin, banyak juga ayat yang ditujukan kepada orang-orang munafik, Ahli Kitab dan orang-orang musyrik. Ayat-ayat tersebut mengajak mereka ke jalan yang benar, sesuai dengan sikap mereka terhadap dakwah. Salah satu ayat yang ditujukan kepada ahli Kitab ialah: Katakanlah (Muhammad): "Wahai ahli kitab (golongan Yahudi dan Nasrani), marilah kita menuju ke satu kata sepakat diantara kita yaitu kita tidak menyembah kecuali Allah; tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, tidak pula mengangkat sebagian dari kita tuhan yang bukan Allah." Maka bila mereka berpaling katakanlah: "Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Muslim" (QS 3:64).
Dakwah menurut Al-Quran
Dan ringkasan sejarah turunnya Al-Quran, tampak bahwa ayat-ayat Al-Quran sejalan dengan pertimbangan dakwah: turun sedikit demi sedikit bergantung pada kebutuhan dan hajat, hingga mana kala dakwah telah menyeluruh, orang-orang berbondong-bondong memeluk agama Islam. Ketika itu berakhirlah turunnya ayat-ayat Al-Quran dan datang pulalah penegasan dari Allah SWT: Hari ini telah Kusempurnakan agamamu dan telah Kucukupkan nikmat untukmu serta telah Kuridhai Islam sebagai agamamu (QS 5:3).
Uraian di atas menunjukkan bahwa ayat-ayat Al-Quran disesuaikan dengan keadaan masyarakat saat itu. Sejarah yang diungkapkan adalah sejarah bangsa-bangsa yang hidup di sekitar Jazirah Arab. Peristiwa-peristiwa yang dibawakan adalah peristiwa-peristiwa mereka. Adat-istiadat dan ciri-ciri masyarakat yang dikecam adalah yang timbul dan yang terdapat dalam masyarakat tersebut.
Tetapi ini bukan berarti bahwa ajaran-ajaran Al-Quran hanya dapat diterapkan dalam masyarakat yang ditemuinya atau pada waktu itu saja. Karena yang demikian itu hanya untuk dijadikan argumentasi dakwah. Sejarah umat-umat diungkapkan sebagai pelajaran/peringatan bagaimana perlakuan Tuhan terhadap orang-orang yang mengikuti jejak-jejak mereka.
Sebagai suatu perbandingan, Al-Quran dapat diumpamakan dengan seseorang yang dalam menanamkan idenya tidak dapat melepaskan diri dari keadaan, situasi atau kondisi masyarakat yang merupakan objek dakwah. Tentu saja metode yang digunakannya harus sesuai dengan keadaan, perkembangan dan tingkat kecerdasan objek tersebut. Demikian pula dalam menanamkan idenya, cita-cita itu tidak hartya sampai pada batas suatu masyarakat dan masa tertentu; tetapi masih mengharapkan agar idenya berkembang pada semua tempat sepanjang masa.
Untuk menerapkan idenya itu, seorang da'i tidak boleh bosan dan putus asa. Dan dalam merealisasikan cita-citanya, ia harus mampu menyatakan dan mengulangi usahanya walaupun dengan cara yang berbeda-beda. Demikian pula ayat-ayat Al-Quran yang mengulangi beberapa kali satu persoalan. Tetapi untuk menghindari terjadinya perasaan bosan, susunan kata-katanya --oleh Allah SWT-- diubah dan dihiasi sehingga menarik pendengarannya. Bukankah argumentasi-argumentasi Al-Quran mengenai soal-soal yang dipaparkan dapat dipergunakan di mana, kapan dan bagi siapa saja, serta dalam situasi dan kondisi apa pun?
Argumen kosmologis (cosmological argument) --yang oleh Immanuel Kant dikatakan sebagai suatu argumen yang sangat dikagumi dan merupakan salah satu dalil terkuat mengenai wujud Pencipta (Prime Cause)-- merupakan salah satu argumentasi Al-Quran untuk maksud tersebut. Bukankah juga penolakan Al-Quran terhadap syirik (politeisme) meliputi segala macam dan bentuk politeisme yang telah timbul, termasuk yang dianut oleh orang-orang Arab ketika turunnya Al-Quran?
Dapat diperhatikan pula, bahwa tiada satu filsafat pun yang memaparkan perincian-perinciannya dari A sampai Z dalam bentuk abstrak tanpa memberikan contoh-contoh hidup dalam masyarakat tempat ia muncul atau berkembang. Cara yang demikian ini tidak mungkin akan mewujud; kalau ada, maka ia hanya sekadar merupakan teori-teori belaka yang tidak dapat diterapkan dalam suatu masyarakat.
Tidakkah menjadi keharusan satu gerakan yang bersifat universal untuk memulai penyebarannya di forum internasional. Tapi, cara paling tepat adalah menyebarkan ajaran-ajarannya dalam masyarakat tempat timbulnya gerakan itu, dimana penyebar-penyebarnya mengetahui bahasa, tradisi dan adat-istiadat masyarakat tadi. Kemudian, bila telah berhasil menerapkan ajaran-ajarannya dalam suatu masyarakat tertentu, maka masyarakat tersebut dapat dijadikan "pilot proyek" bagi masyarakat lainnya. Hal ini dapat kita lihat pada Fasisme, Zionisme, Komunisme, Nazisme, dan lain-lain. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa ajaran-ajaran Al-Quran itu khusus untuk masyarakat pada masa diturunkannya saja.
Tujuan Pokok Al-Quran
Dari sejarah diturunkannya Al-Quran, dapat diambil kesimpulan bahwa Al-Quran mempunyai tiga tujuan pokok:
Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian adanya hari pembalasan.
Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
Petunjuk mengenal syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. Atau dengan kata lain yang lebih singkat, "Al-Quran adalah petunjuk bagi selunih manusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat."
Catatan kaki
6 Whitehead, Science and the Modern World, hal. 180.
7 Lihat 'Abdul Halim Mahmud, Al-Tafsir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy, Beirut, 1982, h. 73-74.
--------------------------------------------------------------------------------MEMBUMIKAN AL-QURAN
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
Dr. M. Quraish Shihab
Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996
Jln. Yodkali 16, Bandung 40124
Telp. (022) 700931 - Fax. (022) 707038
mailto:mizan@ibm.net
copy dari http://media.isnet.org
Langganan:
Postingan (Atom)