Farid Achmad Okbah, M.Ag.
Monday, 15 January 2007
Banyak orang dalam mencari rizki (baca: dunia) tidak mengindahkan batasan halal dan haram. Mereka mengira bahwa kebahagian terletak pada banyaknya materi. Mereka beranggapan bahwa apabila seseorang mempunyai rumah mewah, mobil wah, perusahaan banyak, dan simpanan uang di bank yang melimpah, maka orang tersebut bisa disebut bahagia. Tapi, pada kenyataannya, orang seperti ini justru kehidupannya menderita. Sehingga, tak jarang orang itu terkena stress dari berbagai masalah yang menimpanya. Dalam kondisi seperti itu, ternyata harta tidak bisa selalu memecahkan masalah. Hanya harta yang di tangan orang yang shaleh saja yang bisa membahagiakan. Rasulullah saw. bersabda (yang artinya), "Sebaik-baik harta yang baik adalah di tangan orang yang shaleh."
Ada kalanya orang menyangka bahwa jabatan atau kedudukan sosial dapat mengantarkan pada kehormatan yang dapat membahagiakan. Untuk tujuan itu, banyak orang menyuap dan berbuat apa saja agar menduduki jabatan tertentu. Mereka berasumsi bahwa tempat tersebut terhormat dan basah. Biasanya, cara perolehan jabatan seperti ini banyak menimbulkan masalah di belakang hari, terutama menjadi lahan subur bagi para penjilat dan kelompok oportunis. Bisa diduga bahwa karir itu akan berakhir dengan kekecewaan-kekecewaan sebab dibangun dengan landasan yang rapuh dan berkhianat terhadap amanat jabatan tersebut. Memang jabatan tidak selamanya membawa kebahagiaan. Bahkan, tanggung jawabnya berat sekali di hari kemudian. Rasulullah saw. bersabda kepada Abu Dzar al-Ghifari, "Apabila kamu lemah, jangan kamu memangku jabatan, karena itu adalah amanat dan akan menjadi penyesalan pada hari kiamat kelak."
Sementara itu, sebagian manusia "hidung belang" beranggapan bahwa kebahagiaan terletak pada pelampiasan nafsu kepada wanita sebanyak dan secantik mungkin. Banyak wanita yang lemah imannya jatuh ke pangkuannya. Dia bagaikan orang yang minum air laut, semakin diminum semakin haus. Tiada hentinya dia mengarungi lautan perzinaan. Banyak dari mereka yang berakhir dengan mengidap penyakit berbahaya. Demikian akibat menyalahi aturan Allah SWT. Model pemuda seperti ini pernah datang kepada Rasulullah saw. dan menyatakan bersedia memasuki pelataran Islam dengan satu syarat agar dia dibolehkan berzina karena dia merasa paling suka sama perempuan. Kemudian Rasulullah saw. membisiki telinga pemuda tadi seraya bertanya, "Apakah engkau rela ibumu dizinai orang?"
Dia menjawab, "Tidak."
"Apakah engkau rela saudaramu dizinai orang?"
Dia menjawab, "Tidak."
"Mengapa engkau rela menzinai (mungkin itu) ibunya orang, atau saudarinya orang, atau tantenya orang lain."
Karuan saja pemuda itu bergumam, "Sungguh, saya kelewatan."
Sejak itulah dia berkata, "Tidak ada perbuatan yang paling saya benci melebihi berzina."
Banyak orang menempuh berbagai cara untuk mendapatkan kebahagiaan, tapi tak mendapatkannya. Ibnu Hazm, seorang ulama hebat dari Andalusia, Spanyol, pernah mengatakan bahwa seluruh manusia berjalan ke satu arah, yaitu mengusir ketakutan untuk mencapai kebahagiaan. Karena takut miskin, manusia bekerja keras mendapatkan harta agar kaya. Karena takut bodoh, manusia mencari ilmu agar pintar. Karena takut hina, manusia mencari kedudukan agar terhormat, dan sebagainya. Tapi, cara apa pun yang ditempuh manusia untuk mendapatkan kebahagiaan tidaklah dapat terwujud kecuali dengan ad-din (agama Islam). Dengan Islam bukan saja kebahagiaan dunia yang diperoleh, tapi juga kebahagiaan di akhirat.
Pusat Kebahagiaan
Pusat kebahagiaan itu terletak di hati. Apabila hati seseorang itu dipenuhi dengan cahaya keimanan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, dia akan bahagia di dunia dan akhirat. Sebaliknya, bagi mereka yang berpaling dari jalan Allah dan mengikuti jalan lain dengan konsepsi syaitan dan konco-konconya, pasti cepat atau lambat akan mendapat kesengsaraan dunia, apalagi di akhirat. Allah SWT berfirman (yang artinya), "Dan barang siapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, ...." (At-Taubah: 124).
Allah hanya menerima hati yang bersih, tulus ikhlas kehidupannya, dengan berbagai variasinya dipersembahkan hanya untuk-Nya. Allah SWT berfirman, "(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (Asy-Syu'aaraa: 88-89). Karena, hati ini sebagai penggerak dan penentu kebahagiaan seseorang, maka harus diperhatikan. Seperti disinyalir Rasulullah saw., "Ketahuilah bahwa dalam jasad manusia terdapat segumpal darah, kalau dia baik seluruh jasadnya baik. Namun, apabila dia rusak, seluruh jasadnya rusak. Itulah hati." (HR Bukhari).
Sebagian ulama salaf menggambarkan bahwa hati ini seperti rumah yang mempunyai pintu dan jendela. Apabila penjagaan pintu dan jendela tidak ketat, bisa dipastikan seisi rumah akan dikuras oleh maling. Pintu dan jendela tersebut adalah mata, telinga, dan seluruh anggota tubuh. Sedangkan malingnya adalah syaitan dan kroni-kroninya. Kita berkewajiban untuk menjaga hati dan mengisinya dengan tazkiyah sesuai petunjuk Al-Qur'an dan susnah Rasulullah saw.
Perlu diketahui bahwa hati itu bekerja sesuai dengan fungsinya, sebagaimana anggota tubuh kita bekerja sesuai dengan fungsinya. Awalnya hati itu hidup. Tapi, proses berikutnya bila tidak dijaga dan diisi dengan tazkiyah, dia bisa sakit, bahkan mati. Rasulullah saw. menggambarkan hati itu dalam sabdanya, "Permisalan petunjuk dan ilmu yang ditugaskan Allah kepadaku bagaikan air hujan yang turun ke bumi. Di antaranya mengenai tanah yang subur dapat membawa air untuk manusia … bahkan pepohonan. Ada yang mengena tanah tandus dapat menahan air tapi tak dapat menghidupkan pepohonan. Ada pula tanah yang datar dapat menahan air dan tidak pula membutuhkan pepohonan. Tanah pertama seperti hatinya mukmin yang menyerap ilmu Islam serta mengaplikasikannya. Tanah kedua hatinya orang munafik yang bisa menyerap ilmu Islam tapi tidak menjalankannya. Tanah ketiga seperti hatinya orang kafir yang tidak mengindahkan ajaran orang Islam, apalagi mengamalkannya." (HR Bukhari).
Tazkiyah
Tazkiyah secara bahasa berasal dari akar kata zakaa, berarti "berkembang". Tazkiyah adalah pengembangan dan pembersihan. Sedangkan menurut epistemologi syara', tazkiyah berarti perawatan, pengembangan, dan pembersihan hati dari berbagai intrik syirik.
Rasulullah saw. selalu berdoa seperti berikut. "Ya Allah, berilah ketakwaan kepada jiwaku dan bersihkanlah. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik yang membersihkannya. Engkaulah penolong dan pemiliknya." (HR Muslim dan Ahmad).
Syariat Islam ini isinya adalah tazkiyah nufus (pembersihan jiwa). Sehingga, mereka pantas sebagai penduduk surga yang bersih. Tak ubahnya seperti pakaian yang bersih kita letakkan di almari, sementara yang kotor harus dicuci, dijemur, dan disetrika. Perhatian perintah shalat, tujuannya agar terhindar dari kekejian dan kemungkaran. "Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar." (Al-Ankabut: 45).
Rasulullah saw. bersabda, "Bagaimana pendapatmu bila di hadapan pintumu ada sungai (yang mengalir) yang dengan itu kamu sekalian mandi lima kali sehari?"
Lalu Rasulullah bersabda lagi, "Adakah tersisa daki di badannya?"
Lantas sahabat pun menjawab, "Tidak sedikit pun."
Kemudian Rasulullah pun bersabda, "Begitulah perumpamaan shalat lima waktu yang dengannya Allah menghapus kesalahan-kesalahan (dosa-dosa)" (HR Bukhari).
Perintah zakat disebutkan Al-Qur'an: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, ...." (At-Taubah: 103).
Perintah haji disebutkan sebagai berikut. "… maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji ...." (Al-Baqarah: 197).
Demikian pula sederetan syariat Allah lainnya, semua itu bertujuan agar manusia bersih jiwanya. Itulah rahasia yang Allah tidak menjadikan di dalam diri manusia dua hati. Yaitu, apabila hati seseorang diisi dengan cinta kepada Allah, seluruh cinta yang lain akan keluar dan terikat dengan itu. Sebaliknya, hati yang diisi cinta selain Allah, seperti harta, perempuan, jabatan, dsb., maka cinta kepada Allah akan terbang. Tak heran ungkapan seorang ulama bernama Ibnu Taimiyah, "Di dunia ini ada surga, siapa yang tidak memasukinya, dia tidak akan memasuki surga akhirat."
Ia juga mengatakan, "Apa yang akan diperbuat kepadaku oleh musuh-musuhku? Surga itu milikku, ada di dadaku. Ke mana saja saya menuju, dia bersamaku, tidak berpisah. Bila aku dipenjara, itu adalah khalwat bagiku; bila dibunuh, aku mati syahid; dan bila aku diusir, kepergianku adalah darmawisata."
Cara Membersihkan Jiwa
Bagaimana cara membersihkan jiwa? Pertama, kita harus mengenal diri kita. Kedua, mengisi diri kita melewati pembersihan (tazkiyah) dengan tiga tahapan: (1) pembersihan akidah, (2) pembersihan dengan menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangannya, (3) menjalankan sunnah-sunnah Rasulullah saw.
Tiga Tahapan Pembersihan Jiwa
Adapun tiga tahapan yang harus dilalui oleh seorang Muslim yang ingin mendapatkan kebahagiaan dan ketenteraman hidupnya adalah sebagai berikut.
Tahap Pertama: Tazkiyah Melalui Pembersihan Akidah
Seluruh isi Al-Qur'an mengadung ajaran akidah yang lengkap, terdiri dari empat bagian. Pemberitahuan tentang Allah, nama dan sifatnya disebut tauhid ilmiyah teoritis. Ajakan agar penghambaan (baca: ibadah) hanya kepada Allah semata disebut dengan tauhid amaliyah praktis. Penjelasan tentang perintah dan larangan yang harus ditaati sebagai konsekuensi logis penerimaan tauhid disebut dengan hak-hak tauhid. Keterangan positif tentang hasil yang akan diperoleh pelaku tauhid di dunia maupun di akhirat dan akibat buruk bagi yang menolak atau ragu-ragu terhadap tauhid di dunia sebagai kesengsaraan dan di akhirat ke dalam api neraka.
Begitu bersih jiwa orang yang berakidah Islam yang benar sehingga dapat membuahkan kebahagiaan setiap saat. Digambarkan oleh Allah indah sekali berikut ini. "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (An-Nahl: 97).
Berbeda dengan orang yang rusak akidahnya seperti umumnya musyrikin, maka Allah menyebut mereka jiwanya kotor. "Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, ...." (At-Taubah: 28). Hal itu terjadi karena mereka banyak menzalimi dirinya karena tidak mengindahkan ajakan Sang Pencipta dirinya. "Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar." (Luqman: 13). Akibatnya, mereka berjalan di atas kesesatan. "Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya." (An-Nisaa': 116).
Di sini rahasia Rasulullah saw. mencurahkan perhatian selama tiga belas tahun saat berada di Mekah. Rasulullah saw. menggembleng para sahabat agar akidahnya murni dari intrik-intrik syirik apa pun bentuknya.
Ibnul Qayyim menggambarkan indah sekali keimanan mereka yang bersih itu. Ringkasnya, mereka adalah manusia yang hatinya diliputi dengan pengertian terhadap Allah sampai meluap rasa cintanya, rasa takut (baca: khasyah), pengagungan, dan selalu merasa dikontrol oleh Allah SWT (baca: muraqabah). Rasa cintanya telah merasuki seluruh bagian tubuhnya sampai tulang sumsumnya sampai pada tingkat melalaikan cinta selain dari pada-Nya. Tandanya, ia banyak ingat dan menyebut Allah. Seluruh harap dan cemasnya ditujukan kepada-Nya serta selalu bertawakal dan mengembalikan segala urusannya kepada Allah setelah melalui berbagai upaya dan sebab yang dibenarkan. Tak jarang ia bertaubat dan tunduk patuh keharibaannya.
Apabila dia meletakkan punggungnya di pembaringannya, jiwanya melayang ke hadirat Ilahi sambil menyebut-nyebut nama dan sifat-sifat-Nya. Dia menyaksikan asma dan sifat-Nya yang telah memerangi cahaya hatinya. Badannya di atas tempat tidur, sementara jiwanya berdarmawisata dan sujud di keharibaan Rabb yang dia cintai, penuh khusu', dan rendah hati. Hanya Allah jualah yang memenuhi seluruh kebutuhan manusia dan seluruh makhluk. Allahlah yang mengampuni dosa hambanya, menyelesaikan segala persoalannya, membahagiakan orang sedih, menolong yang lemah, memberi kekayaan dan mencukupkan orang miskin. Dialah yang mematikan dan menghidupkan, membahagiakan dan mencelakakan, menyesatkan dan memberi petunjuk, memberi kekayaan kepada segolongan manusia dan menjadikan miskin pada segolongan yang lain, mengangkat derajat suatu kaum dan menghinakan kaum yang lain, dan sebagainya.
Begitu pentingnya akidah ini sehingga harus kita pelajari secara global kemudian terinci dari sumber yang terpercaya. Ini masalah agama (baca: din) tidak boleh kita ambil dari sembarang orang, tapi harus dari yang terpercaya ilmu dan amalnya. Seperti sinyalemen Imam Malik dan Ibnu Sirin, "Ilmu ini, ilmu agama, hendaknya kamu ambil ilmu agamamu dari orang yang benar-benar kamu percayai."
Tentunya, dalam kesempatan yang terbatas ini, kami tidak mengungkapkan poin-poin dalam akidah, tetapi sebatas pembuka dan perangsang belaka agar diketahui pentingnya hal tersebut.
Tahap Kedua: Tazkiyah dengan Menjalankan Perintah dan Meninggalkan Larangan
Sebelum seseorang melakukan atau meninggalkan sesuatu, hendaknya dia tahu betul bahwa hal tersebut memang diperintah sehingga harus dikerjakan atau dilarang sehingga harus ditinggalkan. Sementara, yang sering terjadi ada orang yang menjalankan kewajiban tapi pada saat yang lain dia melakukan pelanggaran. Contohnya, berapa banyak orang yang menjalankan shalat di masjid, tapi kalau pergi ke kantor dia melakukan korupsi. Kita harus konsekuen kalau mau selamat. Kita harus melaksanakan yang diperintahkan dan meninggalkan yang dilarang. Dalam hadis qudsi, Allah SWT pernah menyatakan, Allah Taala berfirman, "Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka Aku proklamirkan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih baik bagi-Ku daripada yang Kuwajibkan kepadanya. Senantiasa hamba-Ku mendekat kepadaku dengan mengerjakan yang sunnah-sunnah sampai Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya untuk mendengarkan, matanya untuk melihat, tangannya untuk berkreasi, dan kakinya untuk berjalan. Apabila dia meminta kepada-Ku, pasti Kuberikan. Apabila berlindung kepada-Ku, pasti Kulindungi dia. Tidaklah aku rela mengerjakan sesuatu seperti ragunya aku mengambil nyawa orang mukmin karena mati, sementara Aku tak suka menyakitinya." (HR Bukhari dan yang lainnya).
Kewajiban mengerjakan perintah Allah tidak bisa ditawar-tawar, apalagi ada anggapan pengecualian bagi orang-orang tertentu. Demikian kesalahan besar bagi orang yang mengerjakan sunnah yang banyak, tapi pada saat yang sama dia meninggalkan kewajiban. Seperti orang yang mengeluarkan sedekah tapi tidak bayar zakat. Dalam menjalankan kewajiban ini, umat Islam terbagi menjadi tiga bagian seperti disinggung Al-Qur'an.
"Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar." (Faathir: 32).
Menurut Ibnu Taimiyah, seperti halnya shalat, dhaalimun linafsihi adalah orang yang suka mengundurkan waktu salatnya. Muqtasid adalah orang yang mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Sementara saabiqun bil khairat adalah orang yang mengerjakan shalat tepat waktu, berjamaah dan mengerjakan sunnah rawatib.
Umar bin Khattab r.a. berpendapat, sebaik-baik perbuatan adalah mengerjakan yang diwajibkan Allah dan meninggalkan apa yang dilarang Allah serta berbaik niat terhadap Allah.
Ada pula orang yang mempunyai kewajiban menafkahi anak dan istri sehingga untuk itu dia matia-matian mencari rizki. Anehnya sering ia meninggalkan kewajiban lainnya seperti shalat dan yang lainnya. Tak jarang pula dia mencarinya dengan jalan tidak benar seperti riba, korupsi, dll.
Orang yang menjalankan kewajiban dengan benar, menjalankan shalat, berpuasa pada bulan Ramadhan, mengeluarkan zakat jika mampu, menunaikan haji jika berkecukupan, dan menjalankan tanggung jawab sesama manusia, berarti orang itu telah berjalan setengah langkah menuju keselamatan, sementara setengah berikutnya menghindari hal-hal yang dilarang.
Yang perlu diingat selalu bahwa Allah SWT sayang kepada hambanya. Maka, segala sesuatu yang membahayakan atau merugikan mereka pasti dilarang, sedangkan yang baik dibolehkan. Meskipun sebagian orang tidak tahu apa hikmah pelarangan dan kebolehan sesuatu itu. Untuk hak menghalalkan dan mengharamkan hanya milik Allah SWT.
Rasulullah saw. sudah menjalankan batasan-batasan larangan Allah dalam sabda-sabdanya. Di antaranya, Dari Nu’man bin Basyir r.a. berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Dan di antara keduanya ada yang samar-samar (syubhat), banyak manusia tidak mengetahuinya. Maka barang siapa menjaga dirinya dari hal yang syubhat itu berarti telah bersih agama dan kehormatannya. Sementara, orang yang terlihat dengan syubhat terjatuh ke dalam yang haram tak ubahnya seperti penggembala yang menggembalakan kambingnya di sekitar kebun orang. Lambat laun ia akan memasukinya. Ketauhilah, setiap raja meletakkan batasan larangan. Ingatlah bahwa larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkannya. Sungguh dalam tubuh manusia ada segumpal darah, kalau baik, seluruh badan baik; tapi kalau rusak, seluruh badan rusak. Itulah hati." (HR Bukhari dan Muslim).
Di antara larangan yang disebut-sebut Rasulullah saw. adalah larangan menyekutukan Allah, melawan orang tua, berdukun, menyihir, menipu, berbohong, bersaksi palsu, menyembah kuburan, sombong, dengki, bersumpah selain Allah, riya, tidak khusu' dalam shalat, mendahului imam saat shalat berjamaah, berzina, minum khamar, makan binatang buas, berjudi, menyetubuhi istri saat sedang menstruasi, makan riba, mencuri, menyuap, menyerobot tanah orang, bersumpah palsu, mengumpat, mendengarkan musik-musik, mengagungkan gambar yang bernyawa, menggunakan emas dan sutra bagi pria, menyerupai wanita, sedang wanita menyerupai pria, mengadu domba, meratapi orang mati, menato badan, dll. Semua larangan itu harus kita tinggalkan agar kita mendapat manisnya iman. Barang siapa meninggalkan sesuatu karena Allah, pasti Allah menggantinya.
Tahap Ketiga: Tazkiyah dengan Menjalankan Sunnah Rasulullah
Istilah yang dimaksud seperti sunnah ahli fiqih, yaitu amalan taat selain yang wajib, apabila dikerjakan mendapat pahala dan apabila ditinggalkan tidak terkena sangsi apa-apa.
Mengamalkan yang sunnah-sunnah setelah yang wajib itu diharapkan agar kita sampai pada derajat waliyullah, yang mendapat perlindungan dari Allah, seperti tertera dalam hadis qudsi di atas. Allah mencintai hamba yang senantiasa menjalankan sunnah Rasulullah saw.
Penyimpangan Tazkiyah
Sesudah kita membicarakan metode yang benar dalam bertazkiah, maka sebagai perbandingan, marilah kita melihat penyimpangan tazkiah. Penyimpangan tazkiah paling lengkap dilakukan oleh kalangan sufi dalam ketiga bentuk ditambah dengan metode-metode lain yang diadopsi dari sumber-sumber agama lain dan filsafat Yunani.
Istilah sufi sendiri tidak ada dalam Al-Qur'an dan hadits. Istilah itu baru muncul pada tahun 150 H ketika ada orang bernama Hasyim al-Kufi yang dijuluki sufi. Sementara, orang yang pertama kali menjalankan praktek sufi adalah Ibrahim bin Adham (wafat 161 H). Ia meninggalkan istana, mengembara dengan pakaian jubah wol mirip yang dilakukan Sidarta Gautama.
Kelompok sufi pada generasi pertama masih terikat dengan syariat Al-Qur'an dan sunnah. Mereka hanya merespon kehidupan masyarakat dan penguasa yang cenderung bermewah-mewahan.
Kemudian terjadi penyimpangan pada praktik sufi ketika Al-Husein bin Manshur al-Hallaj memploklamirkan hulul dan iltihad (wihadtul wujud) dan dikafirkan oleh ulama serta digantung di Baghdad pada tahun 309 H. Dan, dilanjutkan oleh Mahyuddin Ibnu Arabi (wafat 638 H). Puncak perkembangan tasawuf ada pada abad 9 dan 10 H.
Jadi, keyakinan sufi yang paling menyimpang adalah wihdatul wujud yang berarti keberadaan mutlak bagi suatu zat yang tinggal menjelma dalam beberapa wujud sesuai dengan keberagamaan sifatnya. Zat itu dapat terlihat oleh mereka dalam wujud apa saja dan menjelma dalam segala bentuk. Keyakinan itu berasal dari India dan Parsi.
Ritual penggemblengan jiwa model tasawuf adalah dengan amalan berupa khalwat, melepaskan diri, tidak tidur, tidak bicara, memusatkan pikiran sambil semedi hingga menyatu dengan pencipta alam (hulul).
Mereka bersiul, bertepuk tangan, dan menyanyi. Mereka meyakini kehadiran Nabi Khidir dalam kehidupan mereka. Mereka menyebut nama Allah dengan lafadz huwa-huwa atau Hu, Hu. Mereka mengharamkan yang dihalalkan Allah seperti melarang minum air dingin, tidak boleh makan daging, dan lain-lain. Mereka meyakini nur Mmuhammad sebagai tujuan Allah menciptakan makhluknya. Mereka berpatokan dengan mimpi-mimpi dalam menetapkan hukum. Mereka membagi ilmu dhahir dan batin. Dhahir adalah syariat dan batin adalah ilmu mereka. Mereka membagi agama menjadi empat tahapan: syariat, thariqat, ma'rifat, dan hakikat. Mereka mengkulutuskan kuburan-kuburan yang dianggap wali.
Demikianlah, semoga dapat memberikan gambaran perbedaan tazkiah yang benar dan yang menyimpang. Wallaahu a'lam.
Terakhir kali diperbaharui ( Wednesday, 12 December 2007 )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar