Rabu, 31 Desember 2008

Sejarah Pesantren dan Radikalisme Islam

Sejarah Pesantren dan Radikalisme Islam

Pesantren adalah bentuk pendidikan tradisional di Indonesia yang sejarahnya telah mengakar secara berabad-abad, Nurcholis Madjid dalam buku beliau yang berjudul Bilik-Bilik Pesantren (Paramadina-Jakarta, 1997) menyebutkan, bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata “pesantren” mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren, sedangkan kata “santri” diduga berasal dari istilah sansekerta “sastri” yang berarti “melek huruf”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti orang yang mengikuti gurunya kemanapun pergi. Dari sini kita memahami bahwa pesantren setidaknya memiliki tiga unsur, yakni; Santri, Kyai dan Asrama.
Banyak dari kita yang memaknai pesantren dengan bentuk fisik pesantren itu sendiri, berupa bangunan-banguan tradisional, para santri yang sederhana dan juga kepatuhan mutlak para santri pada kyainya, atau disisi lain, tidak sedikit yang mengenal pesantren dari aspek yang lebih luas, yaitu peran besar dunia pesantren dalam sejarah penyebaran Islam di Indonesia, begitupula begitu besarnya sumbangsih pesantren dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik dan keagamaan.

Dalam sejarahnya, misalnya Pesantren Giri di Gresik bersama institusi sejenis di Samudra Pasai telah menjadi pusat penyebaran keislaman dan peradaban ke berbagai wilayah Nusantara. Pesantren Ampel Denta menjadi tempat para wali –yangmana kemudian dikenal dengan sebutan wali songo atau sembilan wali-menempa diri. Dari pesantren Giri, santri asal Minang, Datuk ri Bandang, membawa peradaban Islam ke Makassar dan Indonesia bagian Timur lainnya. Makassar lalu melahirkan Syekh Yusuf, ulama besar dan tokoh pergerakan bangsa. Mulai dari Makassar, Banten, Srilanka hingga Afrika Selatan.

Di awal Abad 19, Kiai Besari dari Pesantren Tegalrejo-Ponorogo mengambil peran besar. Pesantren ini menempa banyak tokoh besar seperti Pujangga Ronggowarsito. Pada akhir abad itu, posisi serupa diperankan oleh Kiai Kholil, Bangkalan-Madura. Dialah yang mendorong dan merestui KH Hasyim Asy'ari atau Hadratus Syeikh , santrinya dari pesantren Tebu Ireng - Jombang, untuk membentuk Nahdlatul Ulama (NU). NU pun menjadi organisasi massa Islam terbesar dan paling berakar di Indonesia.


Di jalur yang sedikit berbeda, rekan seperguruan Hadratus Syeikh di Makkah, KH Ahmad Dahlan pun mengambil peran yang kemudian mempengaruhi kelahiran "pesantren moderen" seperti Pondok Gontor - Ponorogo. Alur 'moderen' ini juga ditempuh A. Hasan dari Persis-Bangil, juga Persatuan Umat Islam di Jawa Barat, serta kalangan surau di Minang yang melahirkan Buya Hamka.


Setelah Indonesia merdeka, pesantren banyak menyumbangkan tokoh-tokoh penting dalam pemerintahan Indonesia, sebut saja Mukti Ali yang dahulu pernah menjabat sebagai Menteri Agama, M Natsir dan yang lebih terpenting lagi, dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presidan Indonesia yang keempat, adalah juga mewakili tokoh yang muncul dari kalangan pesantren.


Ketahanan yang ditampilkan pesantren dalam menghadapi laju perkembangan zaman, menunjukkan sebagai suatu lembaga pendidikan, pesantren mampu berdialog dengan zamannya, yang pada gilirannya hal tersebut mampu menumbuhkan harapan bagi masyarakat pada umumnya, bahwa pesantren dapat dijadikan sebagai lembaga pendidikan alternatif pada saat ini dan masa depan.

Dalam kaitannya dengan issue terorisme di kalangan pesantren, persoalan yang kemudian mengemuka adalah, Pertama, mampukah dunia pesantren dapat membumikan harapan-harapan tersebut dengan serangkaian upaya dan langkah, kemudian juga, seperti yang dikatakan oleh Lily Zakiyah Munir, direktur Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes), Kamis (1/12/05) lalu, dalam wawancaranya tentang Pesantren dan Terorisme, beliau menyinggung, Kedua, seberapa murnikah pendidikan pesantren tersebut mampu mempertahannya nilai-nilai (values system) yang diterapkan di pesantren itu sendiri, yaitu termasuk didalamnya antara lain; pertama, prinsip tawâsuth yang berarti tidak memihak atau moderasi. Kedua, tawâzun, atau menjaga keseimbangan dan harmoni. Ketiga, tasâmuh, atau toleransi. Keempat adl atau sikap adil; dan kelima tasyâwur atau prinsip musyawarah, dan pancasila pesantren inilah nantinya menjadi bekal bagi para santrin dalam proses bersosialisasi dimasyarakat. Ketiga, benarkah pesantren sebagai tempat perkecambahan (breeding ground) radikalisme Indonesia.
Sejarah Radikalisme Islam

Dalam artikel yang pernah diturunkan di Koran Tempo Minggu (15/12/02) Dr. Azyumardi Azra memaparkan bahwa dalam konteks sebenarnya, radikalisme agama muncul di Indonesia pada masa pasca kemerdekaan, ditandai dengan munculnya gerakan DI/TII, sebuah gerakan politik dengan mengatasnamakan agama, justifikasi agama dan sebagainya. Dalam sejarahnya gerakan ini akhirnya dapat digagalkan, akan tetapi kemudian gerakan ini muncul kembali pada masa pemerintahan Soeharto, hanya saja bedanya, gerakan radikalisme di era Soeharto sebagian muncul atas rekayasa oleh militer atau melalui intelijen melalui Ali Moertopo dengan Opsusnya, ada pula Bakin yang merekayasa bekas anggota DI/TII, sebagian direkrut kemudian disuruh melakukan berbagai aksi seperti Komando Jihad, dalam rangka mendiskreditkan Islam. Setelah itu sejak jatuhnya Soeharto, ada era demokratisasi dan masa-masa kebebasan, sehingga secara tidak langsung memfasilitasi beberapa kelompok radikal ini untuk muncul lebih visible, lebih militan dan lebih vokal, ditambah lagi dengan liputan media, khususnya media elektronik, sehingga pada akhirnya gerakan ini lebih visible.

Dengan bergulirnya era reformasi, yang artinya kebebasan berekpresi dan berpendapat, dari sini banyak digunakan orang-orang yang berafiliasi garis keras untuk lebih terbuka dan secara terang-terangan memperlebar gerakannya, paling tidak untuk menyampaikan misi dan visi gerakan mereka, yang tentunya agenda politik jelas ada didalamnya, hanya saja agenda ini diramu sedemikian rupa sehingga ada justifikasi agama didalamnya, disisi lain, jikalau menilik pergerakan Muhammadiah dan NU, mungkin bisa dikatakan pergerakan ini kurang dapat mengakomodasi pola-pola kelompok radikal ini, karena kelompok garis keras ini beranggapan bahwa cara berpolitik dengan kekerasan lebih efektif, kalau harus dengan pola pendidikan dinilai terlalu lambat, wajar jika mereka lebih memilih jalan ini, atau boleh jadi radikalisme muncul karena cermin kefrustasian dengan situasi yang ada dan tidak percaya dengan jalan damai yang sedang diupayakan. Sementara itu organisasi seperti Muhammadiyah dan NU dinilai kelompok ini terlalu lambat dan moderat serta bersifat kompromistis dengan sistem yang ada, atau dengan kata lain, organisasi besar ini dianggap tidak serius mengakomodasi kepentingan dan pandangan mereka. Maka tidak mengherankan jika kelompok ini memiliki agenda tersendiri yang lain dari organisasi Islam yang ada pada umumnya.
Adakah Radikalisme di Pesantren?

Adalah sebuah keniscayaan, bahwa mungkin pesantren dapat dijadikan tempat perkecambahan, breeding ground of radicalism, disatu sisi, hal tersebut tentunya merujuk dengan pancasila pesantren yang telah dibahas sebelumnya, karena bagaimanapun pola kepemimpinan pesantren tentunya tidak bisa disamakan, ada pesantren dengan kepemimpinan independen, dalam artian pimpinan pesantren tidak tergantung oleh aspek manapun dan tidak terkooptasi oleh kepentingan atau agenda politik tertentu, secara pendek kata, pesantren yang mampu mempertahankan nilai-nilai pancasila pesantren. Kemudian disisi lain, pesantren yang tidak mampu mempertahankan pancasila-nya tadi, bisa jadi akan terjebak dalam permainan politik global. Dengan begitu, mereka tanpa sadar dapat saja berada dalam jaringan yang punya agenda tertentu, tidak lagi seperti yang dimaui pesantren itu secara “konvensional”.
Itu berarti, jika sebuah pesantren mengalami disorientasi, itu bisa dapat dipengaruhi oleh dua faktor. Faktor internal ditandai dengan merosotnya nilai-nilai murni yang selama ini dipertahankan oleh pesantren itu sendiri, sementara faktor eksternal seperti pengaruh jaringan global, yang mana kedua faktor ini saling berkaitan.


Meskipun pada kenyataannya ada pesantren yang dicurigai terlibat dalam gerakan terorisme global, tapi bukan berarti dengan demikian kita mediskreditkan seluruh pesantren, terlebih lagi setelah maraknya perdebatan dalam masyarakat tentang ‘wacana’ pengambilan sidik jari para santri pesantren. Meskipun Kapolri, Jenderal Sutanto pada waktu itu terus membantah rencana tersebut, tapi tentu saja ide tersebut sangat tidak proporsional dan juga kontraproduktif bagi upaya pemberantasan terorisme, seperti yang dipaparkan oleh Dr. Azyumardi Azra pada Tempo, Kamis (22/12/05). Lebih-lebih lagi, ide pemgambilan sidik jari dari para santri pesantren menunjukkan ketidakpahaman tentang tradisi pesantren, juga ketidakpahaman tentang sosiologi terorisme, apalagi hanya merujuk pada adanya beberapa institusi pesantren yang secara nyata terlibat aksi terorisme, lalu kemudian menyamaratakan penyelidikan keseluruh pesantren yang ada di Indonesia.


Ditambah lagi semenjak tragedi 11 September, Amerika yang secara gencarnya memerangi terorisme, dengan slogan ‘are you with us or with them-terrorist-‘, terlebih-lebih lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam, seperti madrasah dan belakangan juga pesantren dianggap kalangan Barat tertentu sebagai the breeding ground, tempat perkecambahan radikalisme. Meninjau anggapan miring terhadap pesantren, selayaknya jika itu dalam konteks madrasah-madrasah tradisional seperti yang didapati di Afghanistan, mungkin bisa dikatakan ada benarnya. Karena pada kenyataannya madrasah di Afgahanistan dan juga Pakistan pada umumnya memang beroperasi secara independen, diluar silabus pendidikan yang dicanangkan oleh pemerintah setempat.


Dalam konteks Indonesia, tentunya tidak dengan semudah itu mengganggap pesantren sebagai tempat perkecambahan radikalisme, terlebih lagi, pesantren di Indonesia, pada sejarahnya, umumnya didirikan oleh kaum Muslim modernis untuk merespon ekspansi sekolah-sekolah model Belanda. Kemudian berlanjut pada masa pembaharuan kurikulum pendidikan Islam sekitar tahun 1920-an, yang mana momentum pembaharuan ini berlanjut sekitar tahun 1970-an ketika Menteri Agama Mukti Ali memasukkan sekitar 70 persen mata pelajaran umum kedalam kurikulum madrasah. Sehingga berkat pembaharuan ini, puncaknya dengan pengakuan tentang ekuivalensi pendidikan madrasah dengan sekolah umum seperti ditegaskan UU Sisdiknas 1989, dan menginjak tahun 2000 lalu, bahkan beberapa pesantren di Indonesia mendapatkan status ekuivalensi dengan sekolah umum.


Sejak fase pembaharuan inilah, pesantren kemudian menjadi semacam ‘the holding institution’ yaitu lembaga pendidikan yang tidak hanya mencakup pendidikan agama, tetapi lebih dari itu, didalamnya juga mencakup pendidikan umum. Bahkan pesantren juga menjadi pusat pengembangan masyarakat dalam berbagai bidang, meliputi ekonomi rakyat, seperti koperasi dan usaha kecil, tekhnologi tepat guna, kesehatan masyarakat sampai pada konservasi lingkungan. Maka tidak mengherankan kemudian muncul istilah urban boarding school, yaitu, pesantren yang muncul diwilayah perkotaan, yang tadinya umumnya dipedesaan.


Berbagai pembaharuan dan perkembangan itulah yang membuat pesantren mampu bertahan ditengah begitu banyak perubahan yang cepat dan berdampak luas, dan diakui atau tidak, pesantren tetap menjadi harapan bagi masyarakat luas sebagai pendidikan alternatif yang didalamnya tidak hanya mencakup pendidikan umum, akan tetapi juga pendidikan kemasyarakan yang kelak akan berguna bagi santri-santrinya di kemudian lagi. Dari pembaharuan itu pula, kita dapat melihat pada saat ini alumni-alumni pesantren telah mampu berkompetisi dan sukses melanjutkan pendidikan di mancanegara, tidak hanya diwilayah Timur Tengah, akan tetapi juga di negara-negara Barat.


Memandang wacana pesantren, maka sepatutnyalah para pemimpin negeri ini dan juga masyarakat luas memberikan apresiasi yang selayaknya diterima pesantren, adanya segelintir kasus yang melibatkan beberapa alumni pesantren dalam aksi terorisme, semestinya tidak kemudian menutupi kenyataan hal itu lebih terkait dengan interaksi mereka dengan orang-orang yang memiliki ideologi kekerasan seperti Dr. Azahari dan Noordin M top. Dan selayaknya kita jangan kemudian bersikap ‘karena setitik nila, kemudian rusak susu sebelanga’ , sehingga sudah semestinya diperlukan adanya kearifan dalam memandang pesantren dan para santrinya.
Seperti juga halnya yang disampaikan oleh Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi, seusai acara Halalbihalal dan Orientasi Kebangsaan PWNU dan PCNU se-Jateng di kantor PWNU jateng, beliau mengemukakan, bila dalam penelitian tidak ditemukan unsur-unsur radikalisme, maka tidak ada alasan untuk menutup pesantren itu. Sebaliknya, radikalisme dalam pondok pesantren harus bisa dicermati berkaitan dengan agama atau tidak.


Jika unsur radikalisme itu berkaitan dengan agama maka kurikulumnya yang harus dibenahi, jadi bukan dengan menutup institusinya, dan kurikulum yang menyimpang ini yang harus diteliti, begitu tegas beliau. Jadinya semestinya pesantren sebagai lembaga, tidak bisa disalahkan begitu saja, akan tetapi yang perlu disalahkan orangnya dan yang paling jauh ajaran atau wawasan yang diduga mendukung tindak kekerasan, jadi bukan dengan membuka dan menutup pesantren.


Dengan demikian diperlukan kearifan dari instansi pemerintah dan aparat keamanan dalam perburuan mereka melawan terorisme, juga diperlukannya kerjasama dengan instansi-instansi yang membidangi masalah agama, khususnya dalam hal ini Depag, agar jangan sampai operasi aparat keamanan ke pesantren kemudian mencoreng nama baik pesantren dimata masyarakat pada umumnya.

Sejarah Pesantren dan Radikalisme Islam

Sejarah Pesantren dan Radikalisme Islam

Pesantren adalah bentuk pendidikan tradisional di Indonesia yang sejarahnya telah mengakar secara berabad-abad, Nurcholis Madjid dalam buku beliau yang berjudul Bilik-Bilik Pesantren (Paramadina-Jakarta, 1997) menyebutkan, bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata “pesantren” mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren, sedangkan kata “santri” diduga berasal dari istilah sansekerta “sastri” yang berarti “melek huruf”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti orang yang mengikuti gurunya kemanapun pergi. Dari sini kita memahami bahwa pesantren setidaknya memiliki tiga unsur, yakni; Santri, Kyai dan Asrama.
Banyak dari kita yang memaknai pesantren dengan bentuk fisik pesantren itu sendiri, berupa bangunan-banguan tradisional, para santri yang sederhana dan juga kepatuhan mutlak para santri pada kyainya, atau disisi lain, tidak sedikit yang mengenal pesantren dari aspek yang lebih luas, yaitu peran besar dunia pesantren dalam sejarah penyebaran Islam di Indonesia, begitupula begitu besarnya sumbangsih pesantren dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik dan keagamaan.

Dalam sejarahnya, misalnya Pesantren Giri di Gresik bersama institusi sejenis di Samudra Pasai telah menjadi pusat penyebaran keislaman dan peradaban ke berbagai wilayah Nusantara. Pesantren Ampel Denta menjadi tempat para wali –yangmana kemudian dikenal dengan sebutan wali songo atau sembilan wali-menempa diri. Dari pesantren Giri, santri asal Minang, Datuk ri Bandang, membawa peradaban Islam ke Makassar dan Indonesia bagian Timur lainnya. Makassar lalu melahirkan Syekh Yusuf, ulama besar dan tokoh pergerakan bangsa. Mulai dari Makassar, Banten, Srilanka hingga Afrika Selatan.

Di awal Abad 19, Kiai Besari dari Pesantren Tegalrejo-Ponorogo mengambil peran besar. Pesantren ini menempa banyak tokoh besar seperti Pujangga Ronggowarsito. Pada akhir abad itu, posisi serupa diperankan oleh Kiai Kholil, Bangkalan-Madura. Dialah yang mendorong dan merestui KH Hasyim Asy'ari atau Hadratus Syeikh , santrinya dari pesantren Tebu Ireng - Jombang, untuk membentuk Nahdlatul Ulama (NU). NU pun menjadi organisasi massa Islam terbesar dan paling berakar di Indonesia.


Di jalur yang sedikit berbeda, rekan seperguruan Hadratus Syeikh di Makkah, KH Ahmad Dahlan pun mengambil peran yang kemudian mempengaruhi kelahiran "pesantren moderen" seperti Pondok Gontor - Ponorogo. Alur 'moderen' ini juga ditempuh A. Hasan dari Persis-Bangil, juga Persatuan Umat Islam di Jawa Barat, serta kalangan surau di Minang yang melahirkan Buya Hamka.


Setelah Indonesia merdeka, pesantren banyak menyumbangkan tokoh-tokoh penting dalam pemerintahan Indonesia, sebut saja Mukti Ali yang dahulu pernah menjabat sebagai Menteri Agama, M Natsir dan yang lebih terpenting lagi, dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presidan Indonesia yang keempat, adalah juga mewakili tokoh yang muncul dari kalangan pesantren.


Ketahanan yang ditampilkan pesantren dalam menghadapi laju perkembangan zaman, menunjukkan sebagai suatu lembaga pendidikan, pesantren mampu berdialog dengan zamannya, yang pada gilirannya hal tersebut mampu menumbuhkan harapan bagi masyarakat pada umumnya, bahwa pesantren dapat dijadikan sebagai lembaga pendidikan alternatif pada saat ini dan masa depan.

Dalam kaitannya dengan issue terorisme di kalangan pesantren, persoalan yang kemudian mengemuka adalah, Pertama, mampukah dunia pesantren dapat membumikan harapan-harapan tersebut dengan serangkaian upaya dan langkah, kemudian juga, seperti yang dikatakan oleh Lily Zakiyah Munir, direktur Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes), Kamis (1/12/05) lalu, dalam wawancaranya tentang Pesantren dan Terorisme, beliau menyinggung, Kedua, seberapa murnikah pendidikan pesantren tersebut mampu mempertahannya nilai-nilai (values system) yang diterapkan di pesantren itu sendiri, yaitu termasuk didalamnya antara lain; pertama, prinsip tawâsuth yang berarti tidak memihak atau moderasi. Kedua, tawâzun, atau menjaga keseimbangan dan harmoni. Ketiga, tasâmuh, atau toleransi. Keempat adl atau sikap adil; dan kelima tasyâwur atau prinsip musyawarah, dan pancasila pesantren inilah nantinya menjadi bekal bagi para santrin dalam proses bersosialisasi dimasyarakat. Ketiga, benarkah pesantren sebagai tempat perkecambahan (breeding ground) radikalisme Indonesia.
Sejarah Radikalisme Islam

Dalam artikel yang pernah diturunkan di Koran Tempo Minggu (15/12/02) Dr. Azyumardi Azra memaparkan bahwa dalam konteks sebenarnya, radikalisme agama muncul di Indonesia pada masa pasca kemerdekaan, ditandai dengan munculnya gerakan DI/TII, sebuah gerakan politik dengan mengatasnamakan agama, justifikasi agama dan sebagainya. Dalam sejarahnya gerakan ini akhirnya dapat digagalkan, akan tetapi kemudian gerakan ini muncul kembali pada masa pemerintahan Soeharto, hanya saja bedanya, gerakan radikalisme di era Soeharto sebagian muncul atas rekayasa oleh militer atau melalui intelijen melalui Ali Moertopo dengan Opsusnya, ada pula Bakin yang merekayasa bekas anggota DI/TII, sebagian direkrut kemudian disuruh melakukan berbagai aksi seperti Komando Jihad, dalam rangka mendiskreditkan Islam. Setelah itu sejak jatuhnya Soeharto, ada era demokratisasi dan masa-masa kebebasan, sehingga secara tidak langsung memfasilitasi beberapa kelompok radikal ini untuk muncul lebih visible, lebih militan dan lebih vokal, ditambah lagi dengan liputan media, khususnya media elektronik, sehingga pada akhirnya gerakan ini lebih visible.

Dengan bergulirnya era reformasi, yang artinya kebebasan berekpresi dan berpendapat, dari sini banyak digunakan orang-orang yang berafiliasi garis keras untuk lebih terbuka dan secara terang-terangan memperlebar gerakannya, paling tidak untuk menyampaikan misi dan visi gerakan mereka, yang tentunya agenda politik jelas ada didalamnya, hanya saja agenda ini diramu sedemikian rupa sehingga ada justifikasi agama didalamnya, disisi lain, jikalau menilik pergerakan Muhammadiah dan NU, mungkin bisa dikatakan pergerakan ini kurang dapat mengakomodasi pola-pola kelompok radikal ini, karena kelompok garis keras ini beranggapan bahwa cara berpolitik dengan kekerasan lebih efektif, kalau harus dengan pola pendidikan dinilai terlalu lambat, wajar jika mereka lebih memilih jalan ini, atau boleh jadi radikalisme muncul karena cermin kefrustasian dengan situasi yang ada dan tidak percaya dengan jalan damai yang sedang diupayakan. Sementara itu organisasi seperti Muhammadiyah dan NU dinilai kelompok ini terlalu lambat dan moderat serta bersifat kompromistis dengan sistem yang ada, atau dengan kata lain, organisasi besar ini dianggap tidak serius mengakomodasi kepentingan dan pandangan mereka. Maka tidak mengherankan jika kelompok ini memiliki agenda tersendiri yang lain dari organisasi Islam yang ada pada umumnya.
Adakah Radikalisme di Pesantren?

Adalah sebuah keniscayaan, bahwa mungkin pesantren dapat dijadikan tempat perkecambahan, breeding ground of radicalism, disatu sisi, hal tersebut tentunya merujuk dengan pancasila pesantren yang telah dibahas sebelumnya, karena bagaimanapun pola kepemimpinan pesantren tentunya tidak bisa disamakan, ada pesantren dengan kepemimpinan independen, dalam artian pimpinan pesantren tidak tergantung oleh aspek manapun dan tidak terkooptasi oleh kepentingan atau agenda politik tertentu, secara pendek kata, pesantren yang mampu mempertahankan nilai-nilai pancasila pesantren. Kemudian disisi lain, pesantren yang tidak mampu mempertahankan pancasila-nya tadi, bisa jadi akan terjebak dalam permainan politik global. Dengan begitu, mereka tanpa sadar dapat saja berada dalam jaringan yang punya agenda tertentu, tidak lagi seperti yang dimaui pesantren itu secara “konvensional”.
Itu berarti, jika sebuah pesantren mengalami disorientasi, itu bisa dapat dipengaruhi oleh dua faktor. Faktor internal ditandai dengan merosotnya nilai-nilai murni yang selama ini dipertahankan oleh pesantren itu sendiri, sementara faktor eksternal seperti pengaruh jaringan global, yang mana kedua faktor ini saling berkaitan.


Meskipun pada kenyataannya ada pesantren yang dicurigai terlibat dalam gerakan terorisme global, tapi bukan berarti dengan demikian kita mediskreditkan seluruh pesantren, terlebih lagi setelah maraknya perdebatan dalam masyarakat tentang ‘wacana’ pengambilan sidik jari para santri pesantren. Meskipun Kapolri, Jenderal Sutanto pada waktu itu terus membantah rencana tersebut, tapi tentu saja ide tersebut sangat tidak proporsional dan juga kontraproduktif bagi upaya pemberantasan terorisme, seperti yang dipaparkan oleh Dr. Azyumardi Azra pada Tempo, Kamis (22/12/05). Lebih-lebih lagi, ide pemgambilan sidik jari dari para santri pesantren menunjukkan ketidakpahaman tentang tradisi pesantren, juga ketidakpahaman tentang sosiologi terorisme, apalagi hanya merujuk pada adanya beberapa institusi pesantren yang secara nyata terlibat aksi terorisme, lalu kemudian menyamaratakan penyelidikan keseluruh pesantren yang ada di Indonesia.


Ditambah lagi semenjak tragedi 11 September, Amerika yang secara gencarnya memerangi terorisme, dengan slogan ‘are you with us or with them-terrorist-‘, terlebih-lebih lembaga-lembaga pendidikan tradisional Islam, seperti madrasah dan belakangan juga pesantren dianggap kalangan Barat tertentu sebagai the breeding ground, tempat perkecambahan radikalisme. Meninjau anggapan miring terhadap pesantren, selayaknya jika itu dalam konteks madrasah-madrasah tradisional seperti yang didapati di Afghanistan, mungkin bisa dikatakan ada benarnya. Karena pada kenyataannya madrasah di Afgahanistan dan juga Pakistan pada umumnya memang beroperasi secara independen, diluar silabus pendidikan yang dicanangkan oleh pemerintah setempat.


Dalam konteks Indonesia, tentunya tidak dengan semudah itu mengganggap pesantren sebagai tempat perkecambahan radikalisme, terlebih lagi, pesantren di Indonesia, pada sejarahnya, umumnya didirikan oleh kaum Muslim modernis untuk merespon ekspansi sekolah-sekolah model Belanda. Kemudian berlanjut pada masa pembaharuan kurikulum pendidikan Islam sekitar tahun 1920-an, yang mana momentum pembaharuan ini berlanjut sekitar tahun 1970-an ketika Menteri Agama Mukti Ali memasukkan sekitar 70 persen mata pelajaran umum kedalam kurikulum madrasah. Sehingga berkat pembaharuan ini, puncaknya dengan pengakuan tentang ekuivalensi pendidikan madrasah dengan sekolah umum seperti ditegaskan UU Sisdiknas 1989, dan menginjak tahun 2000 lalu, bahkan beberapa pesantren di Indonesia mendapatkan status ekuivalensi dengan sekolah umum.


Sejak fase pembaharuan inilah, pesantren kemudian menjadi semacam ‘the holding institution’ yaitu lembaga pendidikan yang tidak hanya mencakup pendidikan agama, tetapi lebih dari itu, didalamnya juga mencakup pendidikan umum. Bahkan pesantren juga menjadi pusat pengembangan masyarakat dalam berbagai bidang, meliputi ekonomi rakyat, seperti koperasi dan usaha kecil, tekhnologi tepat guna, kesehatan masyarakat sampai pada konservasi lingkungan. Maka tidak mengherankan kemudian muncul istilah urban boarding school, yaitu, pesantren yang muncul diwilayah perkotaan, yang tadinya umumnya dipedesaan.


Berbagai pembaharuan dan perkembangan itulah yang membuat pesantren mampu bertahan ditengah begitu banyak perubahan yang cepat dan berdampak luas, dan diakui atau tidak, pesantren tetap menjadi harapan bagi masyarakat luas sebagai pendidikan alternatif yang didalamnya tidak hanya mencakup pendidikan umum, akan tetapi juga pendidikan kemasyarakan yang kelak akan berguna bagi santri-santrinya di kemudian lagi. Dari pembaharuan itu pula, kita dapat melihat pada saat ini alumni-alumni pesantren telah mampu berkompetisi dan sukses melanjutkan pendidikan di mancanegara, tidak hanya diwilayah Timur Tengah, akan tetapi juga di negara-negara Barat.


Memandang wacana pesantren, maka sepatutnyalah para pemimpin negeri ini dan juga masyarakat luas memberikan apresiasi yang selayaknya diterima pesantren, adanya segelintir kasus yang melibatkan beberapa alumni pesantren dalam aksi terorisme, semestinya tidak kemudian menutupi kenyataan hal itu lebih terkait dengan interaksi mereka dengan orang-orang yang memiliki ideologi kekerasan seperti Dr. Azahari dan Noordin M top. Dan selayaknya kita jangan kemudian bersikap ‘karena setitik nila, kemudian rusak susu sebelanga’ , sehingga sudah semestinya diperlukan adanya kearifan dalam memandang pesantren dan para santrinya.
Seperti juga halnya yang disampaikan oleh Ketua Umum PBNU KH. Hasyim Muzadi, seusai acara Halalbihalal dan Orientasi Kebangsaan PWNU dan PCNU se-Jateng di kantor PWNU jateng, beliau mengemukakan, bila dalam penelitian tidak ditemukan unsur-unsur radikalisme, maka tidak ada alasan untuk menutup pesantren itu. Sebaliknya, radikalisme dalam pondok pesantren harus bisa dicermati berkaitan dengan agama atau tidak.


Jika unsur radikalisme itu berkaitan dengan agama maka kurikulumnya yang harus dibenahi, jadi bukan dengan menutup institusinya, dan kurikulum yang menyimpang ini yang harus diteliti, begitu tegas beliau. Jadinya semestinya pesantren sebagai lembaga, tidak bisa disalahkan begitu saja, akan tetapi yang perlu disalahkan orangnya dan yang paling jauh ajaran atau wawasan yang diduga mendukung tindak kekerasan, jadi bukan dengan membuka dan menutup pesantren.


Dengan demikian diperlukan kearifan dari instansi pemerintah dan aparat keamanan dalam perburuan mereka melawan terorisme, juga diperlukannya kerjasama dengan instansi-instansi yang membidangi masalah agama, khususnya dalam hal ini Depag, agar jangan sampai operasi aparat keamanan ke pesantren kemudian mencoreng nama baik pesantren dimata masyarakat pada umumnya.

Mengatasi Anak Pemalu

Hilda in Action
June 25, 2007
Mengatasi Anak Pemalu
Diterjemahkan dari artikel Anna Krueger
Pemalu Pada Usia Prasekolah

Seiring anak memasuki usia prasekolah, tingkah laku yang layak pada balita- menggelayut pada orang tua ketika ada orang asing mendekati, atau menangis setiap kali ditinggal, menolak bermain dengan teman-teman sebayanya- untuk saat ini menjadi agak berkurang. Tetapi selama masa usia prasekolah, kebanyakan anak-anak masih belajar bagaimana berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, ada sebagian yang cenderung pemalu dan menarik diri dari kawan-kawan sepermainannya, tetapi bagaimanapun lambat laun meraka akan terbiasa.
Kenapa Anak Prasekolah Saya Pemalu

Tentu saja, pemalu tidak selalu dianggap sebagai perkembangan yang positif pada anak, tetapi setiap bayi yang lahir tentu saja membawa sifat bawaan yang tidak sama. Banyak para ahli beranggapan bahwa lingkunganlah yang bertanggungjawab pada pembentukan karakter anak, tetapi akhir-akhir ini dipercayai bahwa pola perilaku anak dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pengaruh gen dan lingkungan. Dengan demikian mungkin temperamen anak anda akan lain dalam menghadapi lingkungan yang baru dan cenderung lambat berinteraksi terhadap kondisi yang tidak familiar.
Bagaimana Mendorong Supaya Anak Saya Percaya diri

Yang terpenting bagi anda sebagai orang tua adalah, jangan pernah beranggapan malu sebagai masalah penghambat perkembangan anak anda, karena sebagian besar anak pemalu pada akhirnya dapat terbiasa dengan lingkungannya. Tetapi yang terpenting adalah, bagaimana anda memberikan cukup stimulasi demi menumbuhkan kepercayaan diri pada anak anda. Jadi, ketimbang merubah pribadi anak anda, mungkin yang bisa anda lakukan, dengan cara bertahap persiapkan anak anda di situasi yang biasanya sulit baginya berinteraksi, misalnya di pesta ulang tahun temannya atau dalam keramaian, cobalah anda ciptakan suasana yang sedemikian rupa dalam rumah anda, libatkan boneka pemalu didalamnya dan ajak anak anda bermain didalamnya, persiapkan dialog untuk boneka pemalu tadi, dan tempatkan anak anda sebagai orang tuanya. Tugas anak anda adalah, membantu si boneka pemalu agar dapat terbiasa dengan lingkungan sosialnya.
Bagaimana Caranya Supaya Saya Dapat Mempersiapkan Anak Agar Tidak Menjadi Pemalu di Sekolahnya

• Perkenalkan anak anda dengan seorang teman, memulai sekolah dengan satu wajah yang sudah dikenalnya akan membantunya lebih percaya diri, tanyakan pada guru pengajarnya jika ada teman sekelasnya yang rumahnya berdekatan dengan anda, kemudian ajaklah anak anda bermain dengannya sebelum mulai bersekolah, dengan begitu anak anda dapat mengenal beberapa teman sekolahnya sebelum dia bertemu dengan wajah-wajah baru lainnya.

• Ajaklah anak anda untuk berkeliling ke sekolahnya, karena dengan begitu dia akan lebih santai jika dia sesekali dia menghabiskan waktunya di dalam kelasnya dan bertemu dengan gurunya sebelum hari pertamanya di sekolah, sehingga dia akan merasa terbiasa dengan sekelilingnya.

• Praktekkan berbicara dengan orang lain dan jadikan itu sebagai permainan. Mintalah anak anda berperan sebagai gaet dirumahnya ketika ada salah satu teman dekatnya berkunjung. Dengan begitu dia tidak hanya merasa nyaman untuk berbicara dengan orang lain, akan tetapi dia juga akan mulai memahami give and take conversation. Jika dia cenderung berbisik, jika bicara mungkin rasa malunya lebih disebabkan karena bicaranya yang tidak dipahami dan nantinya lambat laun akan terbiasa.

• Jika anak pemalu anda mempunyai kakak disekolah yang sama, mintalah pada sang kakak untuk menjaga adiknya, lambaian akrab atau sekedar tatapan yang familiar meskipun hanya sekilas, akan dapat menenangkan rasa gelisahnya atau takutnya ditempat baru

• Ciptakan ritual perpisahan good bye. Menyelinap pergi tanpa sepengetahuan anak anda dapat membuatnya kecewa, karena dia tidak mendapatkan pelukan atau kecupan sayang sebelum anda tinggalkan, hal ini juga dapat mengurangi rasa percayanya pada anda sebagai orang tua.
Bagaimana Membantu Anak Saya Berteman

Perkenalkan dia dengan seorang teman, jangan terlalu berharap dia akan langsung akrab pada pertemuan pertama, karena mungkin akan membutuhkan beberapa pertemuan sampai keduanya mulai merasa nyaman. Kalau anak anda dapat mulai akrab dengan satu teman nantinya, lama-lama tentu dia akan belajar bagaimana menempatkan dirinya dengan yang lain, sementara lambat laun temannya akan membantunya agar dapar bergabung dengan teman-teman lainnya, pada saatnya nanti dia juga akan merasakan enjoy bermain dengan teman-teman dari semua umur.
Apa Salahnya Menyebut Anak Saya Pemalu

Sebagai orang tua sebaiknya anda jangan memberikan julukan pemalu pada anak anda, entah sebutan tersebut sebatas julukan atau sebentuk excuse atas sikapnya yang pemalu. Dengan memberikan sebutan pemalu, sebenarnya anak anda tidak berfikir bahwa dia pemalu, tetapi jika anda terus-menerus menyebutnya demikian, pada saatnya nanti dia akan berfikiran bahwa ada yang salah pada dirinya dengan sebutan demikian, jadi sebaiknya sebagai orang tua anda lebih baik mengatakan “agak lama baginya untuk dapat bersosialisasi di lingkungan baru” ketimbang menyebutnya pemalu.
Perlukah Saya Konsultasikan Pada Dokter Anak?

Sebagai pedoman bahwa anak anda dapat bersosialisasi dengan baik, cobalah tengok temannya, apakah dia mempunyai teman? Apakah dia sering menceritakan temannya tersebut?. Jika anak anda senantiasa sendirian atau menyendiri, coba tanyakan pada pengasuhnya atau gurunya tentang hal tersebut, mungkin anda tidak melihat masa-masa tertentu dimana anak anda dapat berinteraksi dengan teman-temannya. Atau, jika memang guru atau pengasuhnya berpendapat bahwa anak anda lebih sulit berinteraksi dibanding dengan anak-anak seusianya, mungkin lebih baik anda konsultasikan pada dokternya, yang akan mengevaluasi perkembangan anak anda.

Anak Pemalu

Anak Pemalu


Oleh Martina Rini S. Tasmin, SPsi.


Jakarta, 20 Maret 2002





Ibu Heny sangat terpesona dengan Dendi, anak tetangganya yang baru berumur 3 tahun. Dendi adalah seorang anak yang penuh percaya diri, riang dan lincah, tidak pernah takut bertanya ini itu dan dengan mantap menyapa orang yang baru dikenalnya. Kondisi tersebut sangat kontras jika dibandingkan dengan Adie (3 tahun), anaknya Ibu Heny. Setiap kali bertemu orang baru Adie selalu ingin terus-menerus berada dekat orangtuanya, menyembunyikan diri di balik rok ibunya, tidak mau diajak bicara dan tidak mau melakukan kontak mata. Situasi ini sangat membingungkan ibu Heny dan tidak jarang ia menjadi malu dan sedikit "jengkel" dengan perilaku anaknya.






Apakah anda mengalami hal yang sama dengan dialami oleh ibu Heny? Jika ya, apa yang sebaiknya dilakukan orangtua untuk meningkatkan rasa percaya diri pada anak sehingga sifat pemalu pada anak lambat laun menjadi hilang? Lalu apa dampaknya jika anak tidak kunjung memperoleh rasa percaya diri? Inilah yang akan coba dibahas dalam artikel ini. Artikel ini akan terbagi dalam beberapa bagian yaitu:


*

Apakah Pemalu itu
*

Dampak apakah yang akan mungkin timbul akibat sifat pemalu
*

Bagaimanakah sebaiknya orangtua menyikapi anak pemalu




Apakah Pemalu Itu









Para ahli nampaknya memiliki beberapa pandangan yang berbeda tentang perilaku pemalu (shyness). Ada ahli yang mengatakan bahwa pemalu adalah suatu sifat bawaan atau karakter yang terberi sejak lahir. Ahli lain mengatakan bahwa pemalu adalah perilaku yang merupakan hasil belajar atau respond terhadap suatu kondisi tertentu. Secara definitif, penulis menjabarkan pemalu sebagai suatu keadaan dalam diri seseorang dimana orang tersebut sangat peduli dengan penilaian orang lain terhadap dirinya dan merasa cemas karena penilaian sosial tersebut, sehingga cenderung untuk menarik diri




Kecenderungan menarik diri ini sudah dimulai sejak masa kanak-kanak, bahkan sejak bayi. Kita dapat melihat ada bayi-bayi yang menangis jika didekati orang atau tidak mau untuk dipegang. Sebaliknya ada juga bayi-bayi yang tidak pemalu, mereka membiarkan diri mereka berada dekat orang lain, dan tidak menolak digendong oleh orang yang tidak dikenal.


Swallow (2000) seorang psikiater anak, membuat daftar hal-hal yang biasanya dilakukan/dirasakan oleh anak yang pemalu:




1.

menghindari kontak mata;
2.

tidak mau melakukan apa-apa;
3.

terkadang memperlihatkan perilaku mengamuk/temper tantrums (dilakukan untuk melepaskan kecemasannya);
4.

tidak banyak bicara, menjawab secukupnya saja seperti "ya", "tidak", "tidak tahu", "halo";
5.

tidak mau mengikuti kegiatan-kegiatan di kelas;
6.

tidak mau meminta pertolongan atau bertanya pada orang yang tidak dikenal;
7.

mengalami demam panggung (pipi memerah, tangan berkeringat, keringat dingin, bibir terasa kering) di saat-saat tertentu;
8.

menggunakan alasan sakit agar tidak perlu berhubungan dengan orang lain (misalnya agat tidak perlu pergi ke sekolah);
9.

mengalami psikosomatis;
10.

merasa tidak ada yang menyukainya.




Swallow juga menyatakan adanya beberapa situasi dimana seseorang (pemalu maupun tidak) akan mengalami rasa malu yang wajar dan lebih dapat diterima, yaitu:




1.

bertemu dengan orang yang baru dikenal;
2.

tampil di depan orang banyak;
3.

situasi baru (misalnya sekolah baru, pindah rumah baru).

Kembali ke atas





Dampak Sifat Pemalu




Pada dasarnya pemalu bukanlah hal yang menjadi masalah ataupun dipermasalahkan, dan sudah pasti bukan merupakan abnormalitas. Tetapi masalah justru bisa muncul akibat sifat pemalu. Peribahasa malu bertanya sesat di jalan, menggambarkan secara tepat masalah yang dapat muncul karena rasa malu yang ada dalam diri seseorang. Misalnya, ketika berada di rumah teman/tetangga, anak ingin buang air kecil tetapi malu minta ijin ke toilet, sehingga menahan keinginan buang air yang akhirnya berakibat sianak malah mengompol.




Pemalu juga dapat menjadi masalah, jika sifat ini menyebabkan potensi anak menjadi terkubur dan anak tidak berkembang secara optimal sesuai dengan potensinya. Misalnya anak yang punya suara bagus dan berbakat menyanyi, tapi merasa malu untuk mengasah bakatnya dengan ikut koor, les vokal dan mengikuti kejuaraan, maka suara indahnya akan tersimpan sia-sia dan tidak bertambah indah. Hal ini sangat disayangkan baik bagi anak maupun orangtuanya.




Kembali ke atas





Apa yang sebaiknya dilakukan orangtua?




Tanpa mengabaikan pendapat bahwa pemalu merupakan bawaan/karakter terberi atau bukan, satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa lingkungan memegang peranan penting terhadap sifat pemalu ini. Anak akan semakin pemalu ataukah justru dapat mengatasi sifat pemalu ini, tergantung dari apakah lingkungannya (baca: orangtua) terus-terusan melindungi anak pemalu atau mendorongnya untuk mau menghadapi dunia luar sehingga anak menjadi lebih percaya diri.




Idealnya orangtua menerima sifat pemalu anak apa adanya tanpa mempermasalahkannya. Namun di lain pihak orangtua diharapkan untuk memampukan anak dalam mengatasi rasa malu sehingga anak merasa kompeten, percaya diri, berkembang sesuai dengan potensi yang ada di dalam dirinya dan megurangi masalah yang mungkin timbul sebagai akibat sifat pemalu. Seorang anak yang pemalu, tidak terus-terusan merasa malu dalam setiap situasi hidupnya. Ada situasi-situasi tertentu yang dapat membuatnya merasa percaya diri. Biasanya situasi tersebut adalah ketika anak sedang bersama orangtua ataupun anggota keluarga yang ditemuinya setiap hari (tanpa kehadiran orang baru/asing) atau situasi yang stabil/rutin dilalui anak. Kalau orangtua dari awal sudah mengetahui anaknya pemalu dan ingin mendorongnya agar mampu mengatasi rasa malu tersebut, maka sebaiknya dari awal itulah usaha orangtua sudah dilakukan. Usaha orangtua sebaiknya merupakan usaha yang bertahap, hari demi hari sampai akhirnya bertahun-tahun kemudian menampakkan hasilnya, seperti kata pepatah sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit.


Orangtua sebaiknya mendorong anak untuk berani keluar dan menghadapi dunia luar dengan percaya diri. Mendorong seorang anak pemalu untuk berani menghadapi dunia luar tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba (drastis). Misalnya ketika orangtua sudah mencapai titik jenuh melindungi anaknya terus-menerus dan bingung melihat anaknya sampai usia sekian tahun masih tidak mau bergaul dengan anak tetangga, lalu dengan tiba-tiba melepaskan si anak dan mengatakan "ayo dong Adie, sekarang kamu sudah besar, kamu sekarang sudah harus berani, ayo sana bermain play station ramai-ramai dengan Deni di rumahnya". Perubahan sikap orangtua yang seperti ini bisa menjadi tekanan tersendiri buat si anak, karena yang biasanya aman dalam lindungan orangtua, tiba-tiba orangtua berubah melepaskan dan "tidak mau melindungi". Mendorong anak (encourage) tidak sama dengan memaksa (push), usaha yang tiba-tiba bukanlah mendorong, tetapi memaksa. Perasaan terpaksa akan membuat keadaan bertambah buruk karena anak ditempatkan pada keadaaan yang melebihi batas toleransinya, sehingga anak bisa jadi malah semakin menarik diri.


Ada beberapa hal yang dapat dilakukan orangtua untuk membantu anak mengatasi rasa malu, yaitu:


1.

Orangtua sebaiknya tidak mengolok-olok sifat pemalu anak ataupun memperbincangkan sifat pemalunya di depan anak tersebut. Contohnya dengan mengatakan "kamu sih pemalu","iya loh Bu Joko, anak saya ini pemalu sekali, sampai repot saya kadang-kadang", dll. Dengan mengatakan hal-hal ini anak dapat merasa tidak diterima sebagaimana dia adanya.
2.

Mengetahui kesukaan dan potensi anak, lalu mendorongnya untuk berani melakukan hal-hal tertentu, lewat media hobi dan potensi diri. Misalnya, anak suka main mobil-mobilan, ketika berada di toko ia menginginkan mobil berwarna merah, sementara yang tersedia berwarna biru, maka anak bisa didorong untuk mengatakan kepada pelayan bahwa ia menginginkan mobil yang berwarna biru.
3.

Sebaiknya orangtua secara rutin mengajak anak untuk berkunjung ke rumah teman, tetangga atau kerabat dan bermain di sana. Kunjungan sebaiknya dilakukan pada teman-teman yang berbeda. Selain secara rutin berkunjung, juga sebaiknya mengundang anak-anak tetangga atau teman-teman sekolah untuk bermain di rumah.
4.

Lakukan role-playing bersama anak. Misalnya seperti pada contoh no. 2 diatas, anak belum tentu berani untuk berbicara pada pelayan toko sekalipun didampingi, maka ketika berada di rumah, orangtua dan anak bisa bermain peran seolah-olah sedang berada di toko dan anak pura-pura berbicara dengan pelayan. Role-playing dapat dilakukan pada berbagai situasi, berpura-pura di toko, berpura-pura di sekolah, berpura-pura ada di panggung, dll.
5.

Jadilah contoh buat anak, orangtua tidak hanya mendorong anak untuk percaya diri, tetapi juga menjadi model dari perilaku yang percaya diri. Anak biasanya mengamati dan belajar dari perilaku orangtuanya sendiri.



Apapun usaha yang dilakukan, sebaiknya orangtua tetap mendampingi dan tidak langsung melepaskan anak seorang diri. Misalnya ketika diminta bicara pada pelayan toko, orangtua berada di samping anak, atau ketika mengajak main ke rumah temannya, orangtua tetap berada di rumah temannya itu (anak main bersama temannya tapi dia tahu orangtuanya ada dan tidak meninggalkan seorang diri). Anak bisa dibiarkan melakukan seorang diri, jika dilihat rasa percaya dirinya sudah berkembang.(jp)

Tunagrahita Tidak Selalu Idiot

Tunagrahita Tidak Selalu Idiot
1Jul2008 Filed under: pendidikan Author: lala
Your webmaster search is: anak idiot

ABK ialah anak yang memiliki grafik perkembangan yang berbeda dari anak normal. Grafik tersebut bisa naik dan turun. Ada beberapa kategori ABK diantaranya Tunagrahita, Tunawicara, Tunarungu, Tunalaras, Tunanetra, Tunadaksa, Anak berkesulitan belajar, dan anak yang terlampau pintar.

Sementara ini yang akan saya bahas ialah tentang anak tunagrahita. Banyak yang berasumsi bahwa anak tunagrahita sama dengan anak idiot. Asumsi tersebut kurang tepat karena sesungguhnya anak tunagrahita terdiri atas beberapa klasifikasi. Tunagrahita ialah istilah yang digunakan untuk anak yang memiliki perkembangan intelejensi yang terlambat. Setiap klasifikasi selalu diukur dengan tingkat IQ mereka, yang terbagi menjadi tiga kelas yakni tunagrahita ringan, tunagrahita sedang dan tunagrahita berat.

1. Tunagrahita Ringan

Anak yang tergolong dalam tunagrahita ringan memiliki banyak kelebihan dan kemampuan. Mereka mampu dididikdan dilatih. Misalnya, membaca, menulis, berhitung, menjahit, memasak, bahkan berjualan. Tunagrahita ringan lebih mudah diajak berkomunikasi. Selain itu kondisi fisik mereka tidak begitu mencolok. Mereka mampu berlindung dari bahaya apapun. Karena itu anak tunagrahita ringan tidak memerlukan pengawasan ekstra.

2. Tunagrahita Sedang

Tidak jauh berbeda dengan anak tunagrahita ringan. Anak tunagrahita sedang pun mampu diajak berkomunikasi. Namun, kelemahannya mereka tidak begitu mahir dalam menulis, membaca, dan berhitung. Tetapi, ketika ditanya siapa nama dan alamat rumahnya akan dengan jelas dijawab. Mereka dapat bekerja di lapangan namun dengan sedikit pengawasan. Begitu pula dengan perlindungan diri dari bahaya. Sedikit perhatian dan pengawasan dibutuhkan untuk perkembangan mental dan sosial anak tunagrahita sedang.

3. Tunagrahita Berat

Anak tunagrahita berat disebut juga idiot. karena dalam kegiatan sehari-hari mereka membutuhkan pengawasan, perhatian, bahkan pelayanan yang maksimal. Mereka tidak dapat mengurus dirinya sendiri apalagi berlindung dair bahaya. Asumsi anak tunagrahita sama dengan anak Idiot tepat digunakan jika anak tunagrahita yang dimaksud tergolong dalam tungrahita berat.

Melalui sedikit penjelasan tentang anak tunagrahita, semoga pembaca yang masih menganggap semua anak tunagrahita itu anak idiot dan tidak memiliki kemampuan apa-apa tidak lagi berpikiran semacam itu. Setelah mengetahui hal ini pula kiranya dapat disosialisasikan kepada siapa saja yang masih belum tahu.

Anak luar biasa hanya sdikit berbeda dari anak normal. Namun sesungguhnya dibalik “keluarbiasaannya” mereka benar-benar luar biasa. Kepercayaan ialah hal yang sangat dibutuhkan dan menjadi bagian yang sangat berharga. Jangan pernah memandang sebelah mata akan apa yang hanya terlihat dari luarnya saja :-)

75% Anak Idiot karena Usia Ibu

75% Anak Idiot karena Usia Ibu

PERNAHKAH Anda memperhatikan seseorang dengan ciri mata sipit, ''jembatan'' hidung datar dan lebar, dan lidah besar dengan mulut kecil cenderung terbuka? Dalam ilmu kedokteran, orang dengan ciri-ciri itu sering disebut mongolism (seperti orang Mongol), sedangkan yang lain menyebut idiot.

''Namun istilah mongolism tidak bisa dipakai lagi setelah pemerintah Mongolia menyatakan keberatan,'' kata Prof dr Sultana MH Faradz PhD yang Kamis (10/6) lalu dikukuhkan sebagai guru besar ke-25 Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (FK Undip).

''Sekarang orang yang memiliki ciri-ciri itu disebut syndrom down. Istilah itu diambil dari nama penemunya,'' terang Sultana yang lahir di Purbalingga, 52 tahun lalu.

Menurut dia, kondisi itu lebih sering karena ketika melahirkan, usia ibu sudah lebih dari 35 tahun. ''Hanya 5% kasus ini bukan karena usia ibu,'' kata Ketua Unit Molekuler dan Sitogenetika Laboratorium Bioteknologi Kedokteran FK Undip tersebut.

Dia juga mengatakan, masyarakat sering menganggap syndrom down sama dengan idiot. Padahal, hal itu merupakan penyakit genetik yang disebabkan oleh retardasi mental. ''Bukan penyakit keturunan,'' tandasnya.

Menurut Sultana, diagnosis melalui analisis kromosom menunjukkan, penderita idiot mempunyai kelebihan satu kromosom 21, sehingga identifikasi retardasi mental tidak bisa hanya didasarkan pada IQ. ''Karakteristik retardasi mental di sini adalah fungsi intelektual di bawah rata-rata, yaitu 70-75, disertai beberapa keterbatasan keterampilan penyesuaian seperti komunikasi, merawat diri, dan kecakapan akademik,'' jelasnya.

Dalam rapat senat terbuka di Auditorium Undip Pleburan, dr Sulatana menyampaikan pidato ilmiah ''Retardasi Mental, Pendekatan Seluler dan Molekuler'' yang merupakan hasil penelitian terhadap anak-anak yang mengidap retardasi mental dengan pemeriksaan kromosom dan DNA.

Hasil penelitiannya menunjukkan, selain syndrom down, kondisi anak juga bisa disebabkan oleh sindrom Fragile X. ''Ini merupakan kasus retardasi mental genetik yang diwariskan. Ciri utamanya adalah kerapuhan pada ujung lengan panjang kromosom X,'' ujarnya.

Menurut dia, gejala klinik penyakit sindrom Fragile X adalah pembesaran buah testis, telinga besar dan menggantung, serta wajah yang panjang. ''Penyakit retardasi mental tidak bisa diobati karena berkaitan dengan genetik. Namun, penderita bisa ditangani,'' tambahnya. (wid-89k)


Copyright© 2008-2009 SUARA MERDEKA-SEMARANG