[M3B] Psikologi Agama
agussyafii
Tue, 05 Sep 2006 22:36:05 -0700
Psikologi Agama
Manusia adalah makhluk yang berfikir dan merasa serta berkehendak
dimana perilakunya mencerminkan apa yang difikir, yang dirasa dan
yang dikehendakinya. Manusia juga makhluk yang bisa menjadi subyek
dan obyek sekaligus, disamping ia dapat menghayati perasaan
keagamaan dirinya, ia juga dapat meneliti keberagamaan orang lain.
Tetapi apa makna agama secara psikologis pasti berbeda-beda, karena
agama menimbulkan makna yang berbeda-beda pada setiap orang. Bagi
sebagian orang, agama adalah ritual ibadah, seperti salat dan puasa,
bagi yang lain agama adalah pengabdian kepada sesama manusia bahkan
sesama makhluk, bagi yang lain lagi agama adalah akhlak atau
perilaku baik, bagi yang lain lagi agama adalah pengorbanan untuk
suatu keyakinan, berlatih mati sebelum mati, atau mencari mati
(istisyhad) demi keyakinan.
Di sini kita berhadapan dengan persoalan yang pelik dan rumit, yaitu
bagaimana menerangkan agama dengan pendekatan ilmu pengetahuan,
karena wilayah ilmu berbeda dengan wilayah agama. Jangankan ilmu,
akal saja tidak sanggup mengadili agama. Para ulama sekalipun, meski
mereka meyakini kebenaran yang dianut tetapi tetap tidak berani
mengklaim kebenaran yang dianutnya, oleh karena tu mereka selalu
menutup pendapatnya dengan kalimat wallohu a`lamu bissawab, bahwa
hanya Allahlah yang lebih tahu mana yang benar. Agama berhubungan
dengan Tuhan, ilmu berhubungan dengan alam, agama membersihkan hati,
ilmu mencerdaskan otak, agama diterima dengan iman, ilmu diterima
dengan logika.
Meski demikian, dalam sejarah manusia, ilmu dan agama selalu tarik
menarik dan berinteraksi satu sama lain. Terkadang antara keduanya
akur, bekerjasama atau sama-sama kerja, terkadang saling menyerang
dan menghakimi sebagai sesat, agama memandang ilmu sebagai sesat,
sebaliknya ilmu memandang perilaku keagamaan sebagai kedunguan.
Belakangan fenomena menunjukkan bahwa kepongahan ilmu tumbang di
depan keagungan spiritualitas, sehinga bukan saja tidak bertengkar
tetapi antara keduanya terjadi perkawinan, seperti yang disebut oleh
seorang tokoh psikologi tranpersonal, Ken Wilber; Pernikahan antara
Tubuh dan Roh, The Marriage of Sence and Soul.(Ken Wilber, The
Marriage of Sence and Soul, Boston, Shambala,2000).
Bagi orang beragama, agama menyentuh bagian yang terdalam dari
dirinya, dan psikologi membantu dalam penghayatan agamanya dan
membantu memahami penghayatan orang lain atas agama yang dianutnya.
Secara lahir agama menampakkan diri dalam bermacam-macam realitas;
dari sekedar moralitas atau ajaran akhlak hingga ideologi gerakan,
dari ekpressi spiritual yang sangat individu hingga tindakan
kekerasan massal, dari ritus-ritus ibadah dan kata-kata hikmah yang
menyejukkan hati hingga agitasi dan teriakan jargon-jargon agama
(misalnya takbir) yang membakar massa. Inilah kesulitan memahami
agama secara ilmah, oleh karena itu hampir tidak ada definisi agama
yang mencakup semua realitas agama. Sebagian besar definisi agama
tidak komprehensip dan hanya memuaskan pembuatnya.
Sangat menarik bahwa Nabi Muhammad sendiri mengatakan bahwa,
kemulian seorang mukmin itu diukur dari agamanya, kehormatannya
diukur dari akalnya dan martabatnya diukur dari akhlaknya (karamul
mu'mini dinuhu, wa muru'atuhu `aqluhu wa hasabuhu khuluquhu)(HR. Ibn
Hibban). Ketika nabi ditanya tentang amal yang paling utama, hingga
lima kali nabi tetap menjawab husn al khuluq, yakni akhlak yang
baik, dan nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan akhlak yang
baik adalah sekuat mungkin jangan marah, ( an la taghdlaba in
istatha`ta). ( at Tarhib jilid III, h. 405-406).
Jadi pengertian agama itu sangat kompleks. Psikologi agama mencoba
menguak bagaimana agama mempengaruhi perilaku manusia, tetapi
keberagamaan seseorang juga memiliki keragaman corak yang diwarnai
oleh berbagai cara berfikir dan cara merasanya. Seberapa besar
Psikologi mampu menguak keberagamaan seseorang sangat bergantung
kepada paradigma psikologi itu sendiri. Bagi Freud (mazhab
Psikoanalisa) keberagamaan merupakan bentuk ganguan kejiwaan, bagi
mazhab Behaviorisme, perilaku keberagamaan tak lebih sekedar
perilaku karena manusia tidak memiliki jiwa. Mazhab Kognitip sudah
mulai menghargai kemanusiaan, dan mazhab Humanisme sudah memandang
manusia sebagai makhluk yang mengerti akan makna hidup yang dengan
itu menjadi dekat dengan pandangan agama. Dibutuhkan paradigma baru
atau mazhab baru Psikologi untuk bisa memahami keberagamaan manusia.
Psikologi Barat yang diassumsikan mempelajari perilaku berdasar
hukum-hukum dan pengalaman kejiwaan universal ternyata memiliki bias
culture, oleh karena itu teori psikologi Barat lebih tepat untuk
menguak keberagamaan orang yang hidup dalam kultur Barat. Psikologi
Barat begitu sulit menganalisis fenomena Revolusi Iran yang dipimpin
Khumaini karena keberagamaan yang khas Syi'ah tidak tercover oleh
Psikologi Barat, sebagaimana juga sekarang tidak bisa membedah apa
makna senyum Amrozi ketika di vonis hukuman mati. Keberagamaan
seseorang harus diteliti dengan the Indigenous Psychology, yakni
psikologi yang berbasis kultur masyarakat yang diteliti. Untuk
meneliti keberagamaan orang Islam juga hanya mungkin jika
menggunakan paradigma The Islamic Indigenous Psychology.
Psikologi sebagai ilmu baru lahir pada abad 18 Masehi meski akarnya
menhunjam jauh ke zaman purba. Dalam sejarah keilmuan Islam, kajian
tentang jiwa tidak seperti psikologi yang menekankan pada perilaku,
tetapi jiwa dibahas dalam kontek hubungan manusia dengan Tuhan, oleh
karena itu yang muncul bukan Ilmu Jiwa (`ilm an nafs), tetapi ilmu
Akhlak dan Tasauf. Meneliti keberagamaan seorang muslim dengan
pendekatan psikosufistik akan lebih mendekati realitas keberagamaan
kaum muslimin dibanding dengan paradigma Psikologi Barat. Term-term
Qalb, `aql, bashirah (nurani), syahwat dan hawa (hawa nafsu)yang ada
dalam al Qur'an akan lebih memudahkan menangkap realitas
keberagamaan seorang muslim.
Kesulitan memahami realitas agama itu direspond The Encyclopedia of
Philosophy yang mendaftar komponen-komponen agama. Menurut
Encyclopedia itu, agama mempunyai ciri-ciri khas (characteristic
features of religion) sebagai berikut :
1. Kepercayaan kepada wujud supranatural (Tuhan)
2. Pembedaan antara yang sakral dan yang profan.
3. Tindakan ritual yang berpusat pada obyek sakral
4. Tuntunan moral yang diyakini ditetapkan oleh Tuhan
5. Perasaan yang khas agama (takjub, misteri, harap, cemas,
merasa berdosa, memuja) yang cenderung muncul di tempat sakral atau
diwaktu menjalankan ritual, dan kesemuanya itu dihubungkan dengan
gagasan Ketuhanan.
6. Sembahyang atau doa dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya
dengan Tuhan
7. Konsep hidup di dunia dan apa yang harus dilakukan
dihubungkan dengan Tuhan
8. Kelompok sosial seagama, seiman atau seaspirasi.
Urgensi pendekatan Indigenous Psychology bukan saja karena agama itu
sangat beragam, bahkan satu agamapun, Islam misalnya memiliki
keragaman keberagamaan yang sangat kompleks. Orang beragama ada yang
sangat rational, ada yang tradisional, ada yang "fundamentalis" dan
ada yang irational. Keberagamaan orang beragama juga ada yang
konsisten antara keberagamaan individual dengan keberagamaan
sosialnya, tetapi ada yang secara individu ia sangat saleh, ahli
ibadah, tetapi secara sosial ia tidak saleh. Sebaliknya ada orang
yang kebeagamaanya mewujud dalam perilaku sosial yang sangat saleh,
sementara secara individu ia tidak menjalankan ritual ibadah secara
memadai.
Wassalam,
agussyafii
http://mubarok-institute.blogspot.com
oleh: hafidzan
Hubungan manusia dengan sesuatu yang dianggap adikodrati (supranatural) memang memiliki latar belakang sejarah yang sudah lama dan cukup panjang. Para antropolog melihat itu dari sudut pandang kebudayaan. Hasil temuan mereka menunjukkan bahwa pada masyarakat yang masih memiliki kebudayaan asli (primitif) dijumpai adanya pola kebudayaan yang mencerminkan bentuk hubungan masyarakat dengan sesuatu yang mereka anggap adikuasa dan suci. Dengan pula dengan sosiolog yang menggunakan pendekatan sosiologi berpendapat bahwa dalam kehidupan masyarakat primitive juga dijumpai adanya semacam norma yang mengatur kehidupan mereka.Makanya masalah yang menyangkut keyakinan agama tidak mungkin dan terlarang untuk dikajimelalui pendekatan empiris seperti yang berlaku dilingkuan ilmu pengetahuan profane. Perbedaan pendapat yang belatar belakangi perbedaan sudut pandang antara agamawan dan para psikolog agama sempat menunda munculnya psikologi agama sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Sehingga psikologi agama sebagai cabang psikologi baru tumbuh sekitar penghujung abad ke-19, setelah sejumlah tulisan dan buku-buku yang menjadi pendukungnya diterbitkan dan beredar.
Di Amerika, psikologi agama dikenal sebagai psikologi pastoral melalui Cristian Sciences digunakan dalam membantu penyembuhan dan perawatan pasien di rumah-rumah sakit. Dalam usianya yang menjelang seabad ini tampaknya psikologi agama kian diterima oleh berbagai kalangan termasuk para agamawan yang semula menggugat keabsahannya sebagai disiplin ilmu yang otonom. Sejalan dengan hal tiu, maka kemajuan dan pengembangan psikologi agama di lapangan dinilai banyak membantu pemahaman terhadap permasalahan keagamaan dalam kaitannya dengan tugas-tugas kependidikan.
A. Psikologi Agama Sebagai Disiplin Ilmu
1. Psikologi Agama dan Cabang Psikologi Agama
Para ilmuwan (Barart) menganggap filsafat sebagai induk dari segala ilmu, sebab filsafat merupakakn tempat berpijak kegiatan keilmuan. Demikian psikkologi termasuk ilmu cabang dari filsafat, dalam kegiatan ini psikologi agama dan psikologi lainnya tergolong disiplin ilmu ranting dari filsafat.Psikologi secara umum mempelajari gejala-gejala kejiwaan manusia yang berkaitan dengan fikiran (cognisi), perasaan (emosi), dan kehendak (conasi). Gejala tersebut secara umum memiliki cirri-ciri yang hamper sama pada diri manusia dewasa, normal dan beradab.Manusia yang memiliki hambatan mental (mental handicaped) dengan tingkat Intellegensi Quotion (IQ) secara umum dikenal dengan sebutan abnormal yang negative. Sebaliknya IQ diatas normal yang dikenal dengan manusia cerdas (begaaf dan genius) cenderung disebut abnormal positif, namun dibalik itu ditemui pula manusia yang dianugerahi oleh Yang Maha Kuasa kemampuan inderawi yang istimewa (indera keenam). Psikologi sebagai ilmu terapan (applied science) berkembang sejalan dengan kegunaannya. Dengan demikian psikologi yang diakui sebagai disiplin ilmu yang mandiri sejak tahun 1879 ini ternyata telah memperlihatkan berbagai sumbangannya dalam memecahkan berbagai problema dan menguak misteri hidup manusia serta mengupayakan peningkatan sumber daya manusia.
2. Pengertian Psikologi Agama
Psikologi agama menggunakan dua kata yaitu psikologi dan agama. Kedua kata ini memiliki pengertian yang berbeda, psikologi secara umum diartikan sebagai ilmu yang mempelajarai gejala jiwa manusia yang normal, dewasa dan beradab. Selanjutnya, agama juga menyangkut masalah yang berhuungan dengan kehidupan batin manusia. Agama sebagai bentuk keyakinan, memang sulit diukur secara tepat dan rinci. Hal ini pula barangkali yang menyulitkan para ahli untuk memberi definisi yang tepat tentang agama.Harun Nasution merunut pengertian agama berdasarkan asal kata, yaitu Al-Din, Religi (relegere, religare) dan agama. Al-Din (semit) berarti undang-undang atau hokum. Kemudian dalam bahasa arab, Kata ini mengandung arti menguasai, menundukkan, patuh, utang, balasan, kebiasaan. Sedangkan dari kata religi (Lati) atau relegere berarti mengumpulkan dan membaca. Kemudian religare berarti mengikat. Adapun kata agama terdiri dari “a=tidak;gam=pergi” mengandung arti tidak pergi, tetap di tempat atau diwarisi turun temurun.
3. Psikologi Agama dan Pendidikan Islam
Pendekatan psikologi agama dalam Islam ternyata telah dilakukan di periode awal perkembangan Islam itu sendiri, fungsi dan peran kedua orang tua sebagai teladan yang terdekat kepada anak telah diakui dalam pendidikan Islam. Tak heran jika Sigmund Freud (1856-1939) menyatakan bahwa keberagamaan anak terpola dari tingkah laku bapaknya, ini sering disebut citra bapak (father image). Diceritakan bahwa al-Aqra’ ibn Habis pernah menyatakan keheranannya terhadap perlakuan Rasullulah SAW kepada
Fathimah puteri beliau, menurut al-Aqra’, ia mempunyai anak sepuluh orang tetapi tidak satupun di antaranya yang pernah ia perlakukan seperti yang diperbuat Rasul Allah kepada Fathimah, yaitu mencium puteri beliau dengan penuh kasih saying. Pernyataan al-Aqra’ ibn Habis dijawab Rasullulah SAW, bahwa Allah telah mencabut rasa kasih sayang dari hati al-Aqra’. Bahkan Rasullulah SAW, menyatakan: “Siapa yang tidak memiliki rasa kasih saying, maka tidak akan memperoleh kasih saying”. Bahkan menurut anjuran beliau: “Orang yang penuh kasih saying akan dikasihi oleh Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Karena itu sayangilah segala yang ada dibumi maka yang dilangit (Allah) akan menyayangimu”.
B. Perkembangan Psikologi Agama
1. Sejarah Perkembangan Psikologi Agama
Permasalahn yang menjadi ruang lingkup kajian psikologi agama banyak dijumpai baik melalui informasi kitab suci agama maupun sejarah agama-agama. Perjalanan hidup Sidharta Gautama dari seorang putera raja Kapilawastu yang bersedia mengorbankan kemegahan dan kemewahan hidup untuk menjadi seorang pertapa menunjukkan bagaimana kehidupan batin yang dialaminya dalam kaitan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Proses perubahan arah keyakinan agama ini mengungkapkan pengalaman kegamaann yang mempengaruhii diri tikih agama Budha ini. Sidharta Gautama mengalami konversi agama, dari pemeluk agama Hindu menjadi pendakwah agama baru, yaitu agama Budha. Ia kemudian dikenal Badha Gautama.Proses yang hamper serupa dilukiskan pula dalam Al-Qur’an tentang cara Ibrahim as, memimpin ummatnya untuk bertauhid kepada Allah. (QS 6:76-78). Hal ini juga dapat dijumpai dalam pendewasaan bangsa Jepang terhadap Kaisar mereka, Mitos agama Shinto yang menempatkan Kaisar Jepang sebagai keturunan Dewa Matahari (Amiterasu Omi Kami) telah pula mempengaruhi sikap keberagamaan yang khas pada bangsa Jepang.
2. Psikologi Agama Dalam Islam
Secara terminologis memang psikologi agama tidak dijumpai dalam kepustakaan Islam klasik, karena latar belakang sejarah perkembangannya bersumber dari literature Barat. Manusia menurut terminology Al-Qur’an dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Manusia disebut al-basyar berdasarkan endekatan aspek biologisnya. Dari sudut pandang ini manusia dilihat sebagai makhluk biologis yang memiliki dorongan primer (makan, minum, hubungan seksual) dan makhluk generatif (berketurunan). Sedangkan dilihat dari fungsi dan potensi yang dimiliknya manusia disebut al-insan. Kemudian manusia disebut Al- Anas, yang umumnya dilihat dari sudut pandang hubungan social yang dilakukan. Tetapi yang jelas unsure-unsur psikis manusia itu menurut konsep Islam senantiasa dihubungkan dengan nilai-nilai agama. Nafs terbagi menjadi, nafs muthmainah, yang memberi ketenangan batin. Nafs ammarah, yang mendorong ketindakan negative. Dan nafs lawwamah yang menyadarkan manusia dari kesalahan hingga timbul penyesalan.
Agama
PENDAHULUAN
Manusia adalah suatu mahluk somato-psiko-sosial dan karena itu maka suatu pendekatan terhadap manusia harus menyangkut semua unsur somatiK, psikologik, dan social.[1]
Psikologi secara etimologi memiliki arti “ilmu tentang jiwa”. Dalam Islam, istilah “jiwa” dapat disamakan istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipun istilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah al-nafs. Psikologi dapat diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh. Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki asumsi yang berbeda.
Psikologi menurut Plato dan Aristoteles adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya sampai akhir.Menurut Wilhem Wundt (tokoh eksperimental) bahwa psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul dalam diri manusia , seperti penggunaan pancaindera, pikiran, perasaan, feeling dan kehendaknya.[2]
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi
Belajar psikologi agama tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakekat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya , bagaimana prilaku dan kepribadiannya mencerminkan keyakinannnya
Mengapa manusia ada yang percaya Tuhan ada yang tidak , apakah ketidak percayaan ini timbul akibat pemikiran yang ilmiah atau sekedar naluri akibat terjangan cobaan hidup, dan pengalaman hidupnya.
BAB 2
DEFINISI AGAMA , TUHAN, SPIRITUAL, KEPERCAYAAN
A. AGAMA dan PSIKOLOGI AGAMA
Agama berasal dari kata latin religio, yang dapat berarti obligation/kewajiban
Agama dalam Encyclopedia of Philosophy adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia (James Martineau)[3]
Agama seseorang adalah ungkapan dari sikap akhirnya pada alam semesta, makna, dan tujuan singkat dari seluruh kesadarannya pada segala sesuatu, (Edward Caird)[4]
Agama hanyalah upaya mengungkapkan realitas sempurna tentang kebaikan melalui setiap aspek wujud kita (F.H Bradley)[5]
Agama adalah pengalaman dunia dalam seseorang tentang keTuhanan disertai keimanan dan peribadatan[6]
Jadi agama pertama-tama harus dipandang sebagai pengalaman dunia dalam individu yang mengsugestit esensi pengalaman semacam kesufian, karena kata Tuhan berarti sesuatu yang dirasakan sebagai supernatural, supersensible atau kekuatan diatas manusia. Hal ini lebih bersifat personal/pribadi yang merupakan proses psikologis seseorang[7]
Yang kedua adalah adanya keimanan, yang sebenarnya intrinsik ada pada pengalaman dunia dalam seseorang. Kemudian efek dari adanya keimanan dan pengalaman dunia yaitu peribadatan.[8]
Tidak ada satupun definisi tentang agama (religion) yang dapat diterima secara umum, karena para filsuf, sosiolog, psikolog merumuskan agama menurut caranya masing-masing, menurut sebagian filsuf religion adalah ”Supertitious structure of incoheren metaphisical notion. Sebagian ahli sosiolog lebih senang menyebut religion sebagai ”collective expression of human values”. Para pengikut Karl Marx mendifinisikan Religion sebagai “the opiate of people”. Sebagian Psikolog menyimpulkan religion adalah mystical complex surrounding a projected superego” disini menjadi jelas bahwa tidak ada batasa tegas mengenai agama/religion yang mencakup berbagai fenomena religion.[9]
Menurut Einstein , pada pidato tahun 1939 di depan Princeton Theological seminar, ”ilmu pengetahuan hanya dapat diciptakan oleh mereka yang dipenuhi dengan gairah untuk mencapai kebenaran dan pemahaman, tetapi sumber perasaan itu berasal dari tataran agama, termasuk didalamnya keimanan pada kemungkinan bahwa semua peraturan yang berlaku pada dunia wujud itu bersifat rasional, artinya dapat dipahami akal. Saya tidak dapat membayangkan ada ilmuwan sejati yang tidak mempunyai keimanan yang mendalam seperti itu, ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan buta[10]
Beragama berarti melakukan dengan cara tertentu dan sampai tingkat tertentu penyesuaian vital betapapun tentative dan tidak lengkap pada apapun yang ditanggapi atau yang secara implicit atau eksplisit dianggap layak diperhatikan secara serius dan sungguh-sungguh (Vergulius Ferm)[11]
Psikologis atau ilmu jiwa mempelajari manusia dengan memandangnya dari segi kejiwaan yang menjadi obyek ilmu jiwa yaitu manusia sebagai mahluk berhayat yang berbudi. Sebagai demikian, manusia tidak hanya sadar akan dunia disekitarnya dan akan dorongan alamiah yang ada padanya, tetapi ia juga menyadari kesadaranya itu , manusia mempunyai kesadaran diri ia menyadati dirinya sebagai pribadi, person yang sedang berkembang , yang menjalin hubungan dengan sesamanya manusia yang membangun tata ekonomi dan politik yang menciptakan kesenian, ilmu pengetahuan dan tehnik yang hidup bermoral dan beragama, sesuai dengan banyaknya dimensi kehidupan insani , psikologi dapat dibagi menjadi beberapa cabang [12]
Kepercayaan dan pengamalannya sangat beragam antara tradisi yang utama dan usaha dalam mendifinisikan agama itu sendiri secara keseluruhan yang sempurna. Agama sendiri menurut bahasa latin berasal dari kata religio, yang dapat di artikan sebagai kewajiban atau ikatan [13]
Menurut Oxford English Dictionary, religion represent the human recognition of super human controlling power, and especially of a personal God or Gods entitle to obedience and worship, agama menghadirkan ‘ manusia yang kehidupannya di kontrol oleh sebuah kekuatan yang disebut Tuhan atau para dewa-dewa untuk patuh dan menyembahnya.
Psikologi agama merupakan bagian dari psikologi yang mempelajari masalah-masalah kejiwaan yang ada sangkut pautnya dengan keyakinan beragama, dengan demikian psikologi agama mencakup 2 bidang kajian yang sama sekali berlainan , sehingga ia berbeda dari cabang psikologi lainnya.[14]
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi[15]
Psikologi agama tidak berhak membuktikan benar tidaknya suatu agama, karena ilmu pengetahuan tidak mempunyai tehnik untuk mendemonstrasikan hal-hal yang seperti itu baik sekarang atau masa depan, Ilmu pengetahuan tidak mampu membuktikan ketidak-adaan Tuhan, karena tidak ada tehnik empiris untuk membuktikan adanya gejala yang tidak empiris, tetapi sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara empiris bukanlah berarti tidak ada jiwa. Psikologi agama sebagai ilmu pengetahuan empiria tidak menguraikan tentang Tuhan dan sifat-sifatNya tapi dalam psikologi agama dapat diuraikan tentang pengaruh iman terhadap tingkah laku manusia. Psikologi dapat menguraikan iman agama kelompok atau iman individu, dapat mempelajari lingkungan-lingkungan empiris dari gejala keagamaan , tingkah laku keagamaan, atau pengalaman keagamaan , pengalaman keagamaan, hukum-hukum umum tetang terjadinya keimanan, proses timbulnya kesadaran beragama dan persoalan empiris lainnya. Ilmu jiwa agama hanyalah menghadapi manusia dengan pendirian dan perbuatan yang disebut agama, atau lebih tepatnya hidup keagamaan[16]
B. Tuhan/ God/Allah
Menurut Carl Jung (1955) Tuhan adalah sesuatu kekuatan yang berpengaruh besar yang alami dan pengaruhnya tidak dapat di bendung : Very personal nature and an irresistible influence, I call it God
Thomas Van Aquino mengemukakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu ialah berfikir , manusia berTuhan karena manusia menggunakan kemapuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan berfikir manusia itu sendiri. Pandangan semacam ini masih tetap mendapatkan tempatnya hingga sekarang ini dimana para ahli mendewakan ratio sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber agama[17]
Fredrick Schleimacher berpendapat bahwa yang menjadi sumber keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of depend). Dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak ini manusia merasakan dirinya lemah, kelemahan ini menyebabkan manusia selalu tergantung hidupnya dengan suatu kekuasaan yang berada diluar dirinya, berdasarkan rasa ketergantungan ini timbullah konsep tentang Tuhan.
Mengapa manusia ada yang bersifat Atheis , tidak percaya adanya Tuhan, ucapan terkenal sepanjang masa adalah dari seorang yang bernama Nietscshe yang mengatakan “Gott ist Gestorben” Tuhan sudah mati. Paul Vitz yang menceritakan kisah Nietscshe menyampaikan teori kekafiran Nietsche (theory of unbelief) bukan karena perenungan dan penelitian yang sadar , anda tidak percaya kepada agama bukan karena secara ilmah anda menemukan agma itu hanya sekumpulan tahayul, anda menolak agama bukan karena anda alas an rasional ,melainkan fakto psikologis yang tidak anda sadari, Nietsche menolak Tuhan seperti yang diakuinya bukan karena pemikiran tapi karena naluri.[18]
Kematian ayah nya diusia 36 tahun membawa kesedihan yang mendalam pada diri Niersche
Tidak berbeda dengan Nietsche , maka Freud menulis dalam future of an Illusion bahwa gagasan-gagasan agama muncul dari kebutuhan yang sama seperti yang memunculkan pencapaian peradaban lainnya , yakni dari desakan untuk mempertahankan diri melawan kekuatan alam yang lebih perkasa dan menaklukkan (kepercayaan agama hanyalah) ilusi, pemuasan dari keinginan manusia yang paling tua, paling kuat, dan yang paling penting seperti yang kita ketahui, kesan tidak berdaya yang menakutkan pada masa anak-anak membangkitkan kebutuhan akan perlindungan melalui cinta yang diberikan oleh sang Bapa jadi peraturan Tuhan yang maha kuasa dan Maha pengasih menentramkan ketakutan kira akan bahaya kehidupan. Secara singkat pada waktu kecil anak mengidola ayahnya sebagai pelindung dan pemelihara , ketika posisi anak tidak berdaya, setelah dewasa ketika manusia berhadap dengan kekuatan yang maha perkasa, ia kembali ingat kepada ayahnya, lalu ia berilusi tentang Tuhan yang seperti ayahnya , untuk memenuhi kebutuhan seorang ayah ia menciptakan Tuhan Bapak, manusia diciptakan tidak berdasar citra Tuhan , tetapi Tuhan diciptakan berdasar citra manusia.[19]
Bagaimana Freud seorang psikoterapi dan seorang atheis berpendapat unsur kejiwaan yang menjadi sumber keagamaan ialah sexual (naluri seksual). Berdasarkan libido ini timbullah idea tentang ketuhanan, upacara keagamaan setelah melalui proses Oedipus Complex (sebuah mythos Yunani yang menceritakan bahwa karena perasaan cinta kepada ibunya, maka Oedipus membunuh ayahnya, sehingga setelah membunuh ayah timbul rasa bersalah (sense of guilt) pada diri anak-anak itu. Father Image (citra bapak) setelah membunuh timbul rasa bersalah yang kemudian perasaan itu menimbulkan ide membuat suatu cara penebusan dengan memuja arwah ayah yang telah mereka bunuh, Realisasi dari pembawaan itulah menurutnya sebagai asal upacara keagamaan. Sigmund freud yakin akan kebenaran pendapatnya itu berdasarkan kebencian setiap agama terhadap dosa[20]
Seperti Nietscshe , Freud memandang ayahnya sebagai bapak yang lemah, pengecut dan berprilaku sexual yang menyimpang , Ia membenci ayahnya dan selanjutnya membenci Tuhan yang tercipta berdasarkan citra ayahnya, Psikoanalis akhirnya membuang Tuhan sebagai sekadar ilusi kekanak-kanakan, bagi freud agama adalah irasional dan patologi, prilaku yang diperteguh , respons pada situasi yang tak terduga dan pemuasan keinginan kekanak-kanakan[21]
Freud membagi jiwa dalam 3 bagian yang semuanya punya fungsi sendiri-sendiri: Id adalah tempat dorongan naluri (instinct) dan berada dibawah pengawasan proses primer, id bekerja sesuai prinsip kesenangan. Ego (pribadi) tugasnya menghindari ketidak senangan dan rasa nyeri dengan melawan atau mengatur pelepasan dorongan nalurinya agar sesuai dengan tuntutan dunia luar. Ego bekerja sesuai dengan prinsip kenyataan dan mempunyai mekanisme pembelaan seperti represi, salah pindah, rasionalisasi dan lain-lain. Ego mulai terbentuk ketika anak berumur 1 tahun. SuperEgo ajaran dan hukuman yang diletakkan kepadanya oleh orang tua dari luar, dimasukan kedalam superego (internalisasi) yang selanjutnya menilai dam membimbing prilakunya dari dalam, biarpun orang tua tidak ada lagi disampingnya, Superego yang mulai terbentuk umur 5 – 6 tahun membantu ego dalam pengawasan dan pelepasan impuls id, mengadung moral, hatinurani, rasa salah, [22]
C.Spiritual
Definisi spiritual lebih sulit dibandingkan mendifinisikan agama/religion, dibanding dengan kata religion, para psikolog membuat beberapa definisi spiritual, pada dasarnya spitual mempunyai beberapa arti, diluar dari konsep agama, kita berbicara masalah orang dengan spirit atau menunjukan spirit tingkah laku . kebanyakan spirit selalu dihubungkan sebagai factor kepribadian. Secara pokok spirit merupakan energi baik secara fisik dan psikologi, [23]
Menurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda bahasa latin ‘Spiritus” yang berarti nafas (breath) dan kata kerja “Spirare” yang berarti bernafas. Melihat asal katanya , untuk hidup adalah untuk bernafas, dan memiliki nafas artinya memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritual merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup. Spiritual merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang.[24]
Spiritual dalam pengertian luas merupakan hal yang berhubungan dengan spirit , sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran yang abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia, sering dibandingkan dengan Sesuatu yang bersifat duniawi, dan sementara, Didalamnya mungkin terdapat kepercayaan terhadap kekuatan supernatural seperti dalam agama , tetapi memiliki penekanan terhadap pengalaman pribadi. Spiritual dapat merupakan eksperesi dari kehidupan yang dipersepsikan lebih tinggi, lebih kompleks atau lebih terintegrasi dalam pandangan hidup seseorang,dan lebih dari pada hal yang bersifat indrawi. Salah satu aspek dari menjadi spiritual adlah memiliki arah tujuan, yang secara terus menerus meningkatkan kebijaksanaan dan kekuatan berkehendak dari seseorang, mencapai hubungan yang lebih dekat dengan ketuhanan dan alam semesta dan menghilangkan ilusi dari gagasan salah yang berasal dari alat indra , perasaan, dan pikiran. Pihak lain mengatakan bahwa aspek spiritual memiliki dua proses , pertama proses keatas yang merupakan tumbuhnya kekuatan internal yang mengubah hubungan seseorang dengan Tuhan , kedua proses kebawah yang ditandai dengan peningkatan realitas fisik seseorang akibat perubahan internal. Konotasi lain perubahan akan timbul pada diri seseorang dengan meningkatnya kesadaran diri, dimana nilai-nilai ketuhanan didalam akan termanifestasi keluar melalui pengalaman dan kemajuan diri, [25]
Apakah ada perbedaan antara spiritual dan religius, spiritualitas ádalah kesadaran diri dan kesadaran individu tentang asal , tujuan dan nasib. Agama ádalah kebenaran mutlak dari kehidupan yang memiliki manifestasi fisik diatas dunia. Agama merupakan praktek prilaku tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang dinyatakan oleh institusi tertentu yang dianut oleh anggota-anggotanya. Agama memiliki kesaksian iman , komunitas dan kode etik, dengan kata lain spiritual memberikan jawaban siapa dan apa seseorang itu (keberadaan dan kesadaran) , sedangkan agama memberikan jawaban apa yang harus dikerjakan seseorang (prilaku atau tindakan). Seseorang bisa saja mengikuti agama tertentu , namun memiliki spiritualitas . Orang – orang dapat menganut agama yang sama, namun belum tentu mereka memiliki jalan atau tingkat spiritualitas yang sama.[26]
D. FAITH AND BELIEF
Dalam iman , seorang manusia berkeyakinan bahwa ia berhubungan dengan Allah sendiri, Tuhan sendiri tujuan dan isi iman kepercayaan. . Maka dari itu obyek iman bukanlah pengertian-pengertian, gagasan-gagasan atau ide-ide mengenai Tuhan melainkan Tuhan sendiri. Tuhanlah yang dipercayai manusia, Tuhan dalam kepribadian dan dalam manifestasi-manifestasi-Nya. Antara orang yang beriman dengan Tuhan terdapat hubungan pribadi, bagi orang beriman, Tuhan menjadi tujuan hasrat-hasratnya yang intim , tetapi juga sekaligus penolong yang diandalkannya dalam mengejar kesempurnaan eksistensinya. Oleh karena itu tindakan “percaya “merupakan kenyataan yang kompleks. Didalamnya terdapat keyakinan intelektual, ketaatan yang taqwa dan hubungan cinta kasih. Kompleksitas ini bersesuaian dengan majemuknya faham kebapa ilahi[27]
Secara Pskologis kita harus membedakan arti kata iman dan percaya. Kata percaya lebih statis dan tidak menunjukan adanya sikap emosi yang positif terhadap obyek atau ide yang dipercayainya itu. Misalnya kita percaya besok akan hujan, kepercayaan ini tidak selalu disertai adanya kewajiban terhadap kepercayaan itu Lin dengan iman yang bersikap dinamis , kata iman menunjukan adanya kehangatan emosi dan mengandung keharusan-keharusan atau kewajiban-kewajiban sebagai akibat adanya keimanan. Misalnya anda iman kepada Allah ini berarti bukan hanya percaya secara lisan kepadaNya, tapi juga mengandung kesetiaan , kecintaan sebagai implikasi kewajiban kepada si muknin. Kepercayaan bisa menjadi keimanan melalui perkembangan sedikit demi sedikit . Dalam perkembangan ini berperan pengarug orang tua dan lingkungannya. Keimananpun berkembang pula[28]
Keimanan
W.H. Clark membagi taraf perkembangan keimanan seseorang kedalam 4 level:[29]
1. Stimulus response verbalism, pada level ini keimanan hanyalah di bibir (anak-anak), mekanismenya disini seperti orang yang belajar, mereka mengulang-ulang perbuatan yang mendapat hadiah dan menghilangkan kata atau perbuatan yang tercela, kata-kata yang menimbulkan rasa aman akan diulang-ulang oleh si anak, dengan demikian timbul rasa aman, kepercayaan yang hanya dibibir akan dikembangkan oleh anak dengan memasukkan kepercayaan itu dalam dirinya, dan ini sangat pendtin untuk menjadi dasar dan sikapnya dan menjadi pegangan hidup.
2. Intelectual comprehension
Terlihat pada masa remaja, lebih memerlukan intelek dan adanya proses kreatif yang lebih kmpleks dari pada respons bersyarat saja, pikirna dan logika berperan dalam setiap proses keimanan, jiwa mula-mula percaya, timbul kebimbangan, kemudian proses berfikir timbul kepercayaan yang baru atau insight baru sebagai sintesa dari kepercayaan yang ada dan kebimbangan
3. Behavioral demonstration
Pada level ini sebagai akibat kepercayaan yang kuat akan keimanan seorang terlihat dalam timdakannya. Tingkah laku lebih menunjukan kesungguhan adanya keimanan daripada sekedar ucapan-ucapan saja, behavior demonstraton contoh nya pada sufi/mistikus yang teguh imannya
4. Comprehensive integration
Hal-hal yang termasuk ketiga level diatas merupakan penampilan aspek-aspek saja dari pada kepercayaan . Disamping tiu yang lebih dalam ialah yang mencakup ketiga-tiganya menjadi satu kesatuan, baik kata-kata , pemikiran dan juga perbuatan di integrasikan untuk mebentuk satu kesatuan dalam diri individu
KEIMANAN memberikan makna pada hidup, memberikan arti pada kehidupan ini. Pemberian makna pada hidup itulah yang menurut Clark bekerja sebagai dinamika dan sekaligus daya tarik agama
KESIMPULAN
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi
Belajar psikologi agama tidak untuk membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakekat agama dalam hubungan manusia dengan kejiwaannya , bagaimana prilaku dan kepribadiannya mencerminkan keyakinannnya
Agama berasal dari kata latin religio, yang dapat berarti obligation/kewajiban
Agama dalam Encyclopedia of Philosophy adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia (James Martineau)
Menurut Carl Jung (1955) Tuhan adalah sesuatu kekuatan yang berpengaruh besar yang alami dan pengaruhnya tidak dapat di bendung : Very personal nature and an irresistible influence, I call it God
Thomas Van Aquino mengemukakan bahwa yang menjadi sumber kejiwaan agama itu ialah berfikir , manusia berTuhan karena manusia menggunakan kemapuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi dari kehidupan berfikir manusia itu sendiri. Pandangan semacam ini masih tetap mendapatkan tempatnya hingga sekarang ini dimana para ahli mendewakan ratio sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber agamaMenurut kamus Webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda bahasa latin ‘Spiritus” yang berarti nafas (breath) dan kata kerja “Spirare” yang berarti bernafas. Melihat asal katanya , untuk hidup adalah untuk bernafas, dan memiliki nafas artinya memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritual merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup. Spiritual merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang
Kata percaya lebih statis dan tidak menunjukan adanya sikap emosi yang positif terhadap obyek atau ide yang dipercayainya itu.
Iman yang bersikap dinamis , kata iman menunjukan adanya kehangatan emosi dan mengandung keharusan-keharusan atau kewajiban-kewajiban sebagai akibat adanya keimanan.
DAFTAR PUSTAKA
Drs H. Ahmad Fauzi , Psikologi Umum Pustaka setia Bandung, 2004
Jalaluddin Rakhmat , Psikologi Agama sebuah pengatar, Mizan 2004
Dr. Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, penerbit Kanisius,
Davic Fontana, Psychology , Religion and spirituality, Bps Blackwell, 2003
Endang Saifuddun Anshari M. A. Ilmu , Filsafat dan Agama, Penerbit Bina Ilmu 1979
Prof Dr. H. Ramayulis, Psikologi Agama , Kalam Mulia 2004
Drs. H. Aziz Ahyadi , Psikologi Agama, Mertiana Bandung
Aliah B. Purwakanta Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
WE Maramis, Ilmu Kedoteran Jiwa, Airlangga University Press, 1980
--------------------------------------------------------------------------------
[1] W F. Maramis , Ilmu kedokteran Jiwa, Airlangga university Press, 1980, hal 88
[2] Drs H. Ahmad Fauzi , Psikologi Umum Pustaka setia Bandung, 2004 hal 9
[3] Jalaluddin Rakhmat , Psikologi Agama sebuah pengatar, Mizan 2004 hal50
[4] Ibid hal 51
[5] Ibid hal 50
[6] Drs. Psy H.A. Aziz Ahyadi , Psikologi Agama, pnerbit Martiana Bandung, hal 17
[7] ibid
[8] ibid
[9] H. Endang Saifuddun Anshari M. A. Ilmu , Filsafat dan Agama, Penerbit Bina Ilmu 1979, Hal 111
[10] Ibid hal 53
[11] Ibid hal 51
[12] Dr. Nico Syukur Dister, Psikologi Agama, penerbit Kanisius, hal 9
[13] Davic Fontana, Psychology , Religion and spirituality, Bps Blackwell, 2003, hal 6
[14] Prof Dr. H. Ramayulis, Psikologi Agama , Kalam Mulia 2004 hal1
[15] Ibid hal 5
[16] Drs. H. Aziz Ahyadi , Psikologi Agama, Mertiana Bandung hal 9 - 10
[17] Prof Dr. H Ramayulis , Op cit hal 26
[18] Jalaluddin Rakhmat op cit hal 149
[19] Ibid hal 149 - 150
[20] Ibid hal 28
[21] Jalaluddin Rahmat op cit Hal 152
[22] WE Maramis, Ilmu Kedoteran Jiwa, Airlangga University Press, 1980 hal 37
[23] David Fontana op cit hal 11
[24] Aliah B. Purwakanta Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 288
[25] Ibid ha;l 290
[27] Prof Nico Syukur Dister op cit Hal 126
[28] H. A Aziz Ahyadi op cit hal 21
[29] Ibid hal58
Posted by Indonesia health and hot issue at 19:17
0 comments:
Post a Comment
Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)
Rabu, 26 November 2008
Langganan:
Postingan (Atom)