Jumat, 14 November 2008

Tasauf!!!!!!!!!!!!!!!

Apa itu Tasawuf ?
Agustus 31, 2007 oleh sepedaku

Menurut al-Qur’an, Allah swt menciptakan jin dan manusia hanya untuk menyembah-Nya. Kata-kata “hanya menyembah-Nya” mengandung pengertian jin dan manusia tidak memiliki tugas, tujuan dan pilihan lain dalam hidupnya kecuali hanya untuk menyembah Allah swt saja. Yang dimaksud dengan menyembah adalah menghamba, patuh, tunduk dan merendah terhadap kemauan Allah swt. Hal ini menuntut kepasrahan total pada-Nya. Apabila demikian pengertiannya, hubungan antara jin/manusia dengan Allah swt harus terlaksana seperti antara tuan dan hamba. Tuan adalah sosok yang kaya raya dan bisa berkehendak apapun terhadap hambanya. Semua kebutuhan hidup sang hamba yang memberikan adalah sang tuan. Jika tidak karena tuan, maka si hamba tidak dapat bisa hidup. Oleh sebab itu sang hamba menggantungkan hidupnya dari tuannya. Hal ini mengharuskan sang hamba taat dan patuh pada tuannya. Jika sang tuan menginginkan merah, maka sang hamba harus memberikan merah. Jika sang tuan menginginkan putih, maka sang hamba harus memberikan putih. Jika sang tuan menginginkan sang hamba melakukan A, maka sang hamba harus melakukan A, dan seterusnya. Namun hubungan sang hamba terhadap sang tuan tidak dapat berjalan dengan baik jika tidak disertai kepatuhan total. Kepatuhan total tidak dapat dilaksanakan jika tidak dapat melaksanakan kerendahan diri di depan Sang tuan. Kerendahan diri tidak akan ada jika tidak terdapat cinta pada diri sang hamba. Dengan demikian hubungan sang hamba terhadap sang tuan dapat berjalan dengan baik hanya dengan rasa cinta. Jika rasa cinta sudah dimiliki apapun yang diperintahkan sang tuan akan dilaksanakan dengan suka cita. Dan apapun yang dilarang sang tuan akan ditinggalkan dengan ikhlas. Tujuan hidupnya hanya untuk memenuhi kesenangan sang tuan. Dia akan memelihara dan merawat semua yang dimiliki tuannya. Diapun menyayangi semua yang dimiliki tuannya. Karena harta tuannya adalah kesayangannya. Dia tak akan memikirkan kesenangan dirinya. Dia pun menjadi abdi yang mengabdi kepada tuan yang sangat dicinta. Jika demikian adanya sang tuan - karena kaya dan mampu berbuat apapun terhadap sang hamba - akan merasa bangga melihat sang hamba patuh dan tunduk padanya. Apabila sang tuan merasa senang dia akan cinta pada sang hamba. Jika demikian adanya apapun keinginan sang hamba akan dipenuhinya karena sang tuan memiliki cinta yang lebih besar terhadap sang hamba. Hubungan timbal balik antara sosok hamba dan tuan diatas adalah gambaran ideal seorang abdi manusia yang harus patuh dan tunduk pada Tuhannya. Tapi kenyataannya sangat jarang manusia yang memiliki kesadaran demikian. Disinilah diperlukan sebuah paradigma berpikir, sikap dan pembuktian atas kehidupan seorang manusia. Semua itu tidak akan ditemukan dalam berbagai wacana kecuali hanya tasawuf. Tasawuf mengatur semua gerak-gerik, langkah dan sikap seorang hamba yang berhubungan dengan Tuhan. Di dalamnya menuntut seorang hamba untuk berpikir bahwa kehidupannnya tidak memiliki tujuan lain kecuali hanya mengabdi pada Sang Maha Raja. Dialah Allah swt. Dan karena tujuan hidupnya hanya menabdi pada Allah swt, dia harus patuh, tunduk dan pasrah pada apa yang diperintahkan Tuhannya. Dia harus memiliki keyakinan bahwa kehidupannya tidak bisa berjalan kecuali dengan kekuatan yang diberikan Tuhannnya. Dengan demikian tasawuf merupakan sebuah wacana sekaligus praktik yang harus dimiliki semua individu beriman. Ini adalah sebuah bekal dan tatanan sikap seorang hamba yang ingin mengenal Tuhan, diri sendiri dan tujuan hidupnya. Oleh karenanya di dalam tasawuf tidak sedikitpun mengajarkan penindasan, kemarahan, keserakahan, penganiayaaan, dan apapun yang berbentuk menyakiti. Justru sebaliknya dalam tasawuf hanya diajarkan perkenalan, percintaan, sikap, pengorbanan, harapan, penghambaan, ketaatan, dan semua yang berbentuk pasrah. Semua sikap ini harus lebih melibatkan intusi, kepercayaan, cinta, perasaan dan iman. Tidak bisa diwujudkan dengan pengandalan penuh rasio. Kadar rasio bisa dilibatkan sedikit. Hal ini digunakan hanya untuk mendukung pengetahuan terhadap cinta yang dimiliki ketika seseorang menangkap objek Sang Maha Cinta, Allah swt. Terkait dengan hal tersebut dalam era modern sekarang ini dunia spiritual sangat gersang. Segala bentuk tatanan dan wacana dalam kehidupan hanya menawarkan rasionalitas tanpa menyentuh dimensi ruhani. Teknologi dan science lahiriah dijadikan dewa kehidupan. Inilah yang menyebabkan moralitas setiap individu sangat asing dengan Tuhannya. Padahal Tuhannya yang menyebabkan ia hidup. Tuhannya pula yang seharusnya menjadi tujuan hidup. Namun semuanya ibarat buta dan tidak tahu tanah air dimana ia dilahirkan. Akibatnya dia tidak tahu harus membela, membangun dan memajukan tanah siapa. Yang dibela, dibangun dan dimajukan hanyalah kepuasan nafsu diri sendiri. Padahal nafsu tidak akan pernah habis-habisnya mengeluarkan nafas hausnya. Semakin ia meminum air kepuasan semakin ia haus tiada tara. Akhirnya waktu-waktu dalam hidupnya hanya dihabiskan untuk memenuhi kehausan nafsu diri sendiri. Hal demikian yang menimbulkan berbagai macam efek buruk bagi kehidupan di setiap aspek. Ilmu pengetahuan dijadikan alat pemuas nafsu belaka. Politik tidak dijalankan untuk kemaslahatan masyarakat. Tetapi dijalankan untuk meraih kekuasaan. Akhirnya moralitas hilang dari pakaian individu. Jika moralitas tidak menjadi pakaian individu sistem kehidupan menjadi rusak total. Satu sama lain saling sikut, saling mengalahkan dan saling menghancurkan. Maka hukum rimba berdiri. Nilai-nilai ketuhanan terkubur dalam-dalam. Dan kehidupan manusia sebagai khalifah Tuhan binasa hingga alam rusak. Jika demikian adanya apa yang akan dilakukan seorang manusia ketika Allah swt meminta pertanggung-jawabannya kelak di akhirat? Kehidupan semacam ini harus segera dirubah. Paradigma berpikir dan perilaku harus melibatkan dimensi ruhani. Dunia ruhani harus menjadi modal dalam membangun peradaban manusia. Karena inti dari sebuah kemajuan terdapat pada nilai-nilai moralitas. Nilai-nilai moralitas dapat dijalankan hanya dengan sisi ruhani. Dan yang mengatur sisi ruhani adalah tasawuf/sufisme. Namun harus diingat dunia ruhani berbeda dengan dunia perdukununan, setan, jin, dedemit, paranormal, kebatinan, ilmu hikmah atau lainnya. Satu prinsip dalam orientasi tasawuf adalah “mencari, menggapai dan mendapatkan cinta Allah.” Tasawuf tidak mengurusi dunia mistik setani atau jini. Tasawuf juga tidak identik dengan pengobatan alternatif. Tidak pula identik dengan kekebalan tubuh, tidak mempan dibacok, tidak mempan ditembak, dapat terbang, berjalan di atas air atau keajaiban lain. Semua itu justru dapat menjauhkan seorang hamba dengan Tuhannya. Memang banyak para kekasih Allah yang diberi anugerah atau karamah sehingga menyebabkan suatu kejadian diluar kebiasaan, seperti kebal bacok, dapat mengobati orang sakit tanpa bantuan medis atau dapat melihat makhluk gaib seperti jin. Tetapi itu semua bukan tujuan kekasih Allah. Itu adalah efek seseorang ketika dekat dengan Allah swt. Allah memberikan anugerah kepadanya, sehingga apapun yang di kehendaki sang hamba akan dikabulkan. Dan sekali lagi semua anugerah berupa karomah dalam bentuk keanehan diluar kebiasaan bukan tujuan seorang kekasih Tuhan. Bukan pula orientasi tasawuf. Orientasi tasawuf adalah pembersihan jiwa, hati, dan fikiran guna mengenal, merapat dan menjadi kekasih Allah swt. A. Asal usul Kata Tasawuf Kata tasawuf secara asal usulnya memiliki beragam pendapat. Yang sering dikemukakan oleh para ahli adalah: Pertama tasawuf berasal dari kata Shûf, yang memiliki arti bulu domba, karena pakaian yang bahannya berasal dari bulu domba biasa di pakai oleh para sufi. Kedua tasawuf berasal dari bahasa Yunani Shophos artinya hikmat atau pengetahuan. Ketiga, kata tasawuf berasal dari kata Shâfa, yang memiliki arti suci. Pendapat ini dianut oleh Mazhab Jama’ah seperti Abu al-Fatih al-Bisti. Maksud perkataan ini adalah bersih dan sucinya hati dari kotoran. Keempat, tasawuf berasal dari kata Shâff, yang memiliki arti barisan. Kata ini, dimaksudkan kepada barisan pertama dalam Shalat berjam’ah. Maksudnya adalah, para sufi selalu menomor satukan Ibadah kepada Allah dalam hidupnya, sama seperti ketika mereka shalat berjamaa’ah yang selalu menempati posisi pertama dalam barisan shalat. Kelima, tasawuf berasal dari kata Suffah, kata ini dimaksudkan untuk menyamakan para sahabat Nabi yang tinggal di masjid Madinah dan mencurahkan diri untuk beribadah kepada Allah, seperi Abu Dzâr al-Ghifâri. Berdasarkan ke lima pendapat di atas, dari segi arti sepintas kata sufi lebih pantas dinisbatkan kepada kata sâfâ, yang berarti suci. Karena seorang sufi adalah orang yang bersih hatinya, bukan dilihat dari pakaiannya. Namun untuk menelusuri asal kata tidak hanya diteliti dari segi makna saja tetapi harus diteliti pula dari segi sistem bahasa. Dan jika dikaji secara ilmiah, pendapat yang lebih relevan adalah yang berasal dari kata suff- artinya bulu domba. Alasannya, kata tasawuf merupakan bentuk masdâr dari kata kerja tasawwafa, yang berarti memakai suf (pakaian yang terbuat dari bulu domba), seperti taqammasa yang memiliki arti memakai qâmis. Dengan demikian orang-orang sufi adalah orang yang tidak mengindahkan keindahan duniawi seperti layaknya memakai pakaian yang terbuat dari bulu domba yang berkualitas rendah. B. Pengertian Tasawuf Sesuai dengan asal-usul katanya, pengertian tasawuf pun memiliki keragaman pula. Menurut Ibrahim Ibn Maulid al-Râqîs yang dikutip oleh al-Tûsi, dalam mendefinisikan kata ini dirinya telah menjumlah lebih dari seratus definisi. Sementara dalam kitab Risâlah al-Qusyairiyyah, al-Qusyairî mendefinisikan tasawuf sampai lima ratus definisi yang terhimpun dari beberapa pendapat para sufi terdahulu. Sedangkan RA Nicholson (Abu Bakar Sirajuddin), pakar tasawuf asal Perancis, mengumpulkan definisi ini sampai delapan ratus tujuh puluh definisi. Berikut beberapa pendapat yang mendefinisikan tasawuf: a. Ma’rûf al-Kharqî (w.200 H), mengatakan bahwa tasawuf adalah tidak peduli akan kenyataan dan mengabaikan apa yang di tangan makhluk; siapa yang tidak sanggup merealisasikan kekafiran niscaya ia tidak sanggup pula merealisasikan tasawuf. b. Al-Junaid al-Baghdâdî (w. 297 H/909 M), mengatakan tasawuf adalah keberadaan bersama Allah tanpa adanya penghubung. c. Abu al-Husain an-Nûrî (w. 295 H) mengatakan bahwa orang-orang sufi ialah kelompok yang bersih jiwanya dari noda-noda sifat manusia, penyakit-penyakit hati, dan mereka bebas dari nafsu syahwat, sehingga mereka mendapat tempat di barisan pertama dan derajat paling tinggi di sisi Allah. d. Bisyr Ibn Haris al-Hâfî (w. 227 H) mengatakan, sufi adalah orang yang suci jiwanya menghadap Allah swt. e. Abû Abdullah Sufyan Ibn Tsauri (w. 167 H) mengatakan, tasawuf adalah diam kalau tidak punya, dan memberi kalau punya. f. Abû al-Farid Sauban Zûn al-Nûn al-Misrî (w. 249 H) mengatakan, sufi adalah orang yang tidak bosan bermohon dan tidak gelisah kalau miliknya diambil. g. Sahl al-Tustûrî (w. 283 H) mengatakan, sufi adalah orang yang membersihkan diri dari kotoran dan selalu bermeditasi, memutuskan hubungan dengan manusia hanya semata-mata karena Allah, dan dalam pandangannya emas dan lumpur itu sama saja. h. Abu Hamid al-Ghazâlî (w. 505 H) mengatakan, para sufi ialah ilmu dan amal dan buahnya adalah moralitas. Dan tasawuf merupakan semacam pengalaman maupun penderitaan riil. Oleh karena itu, para sufi adalah orang-orang yang lebih mengutamakan keadaan rohaniah daripada ucapannya dan jalan mereka adalah penyucian, pembersihan, pencerahan, persiapan dan penantian diri (ma’rifat). i. Al-Husain Ibn Manshur al-Hallâj (w. 309 H) mengatakan, tasawuf adalah keesaan zat, yang tidak dapat menerima seseorang dan seseorang tidak pula dapat menerimanya. j. Ibn al-‘Arabî (w. 638 H) mengatakan, tasawuf adalah berakhlak dengan akhlak Allah. Sufi dan tasawuf merupakan satu-kesatuan yang satu sama lain menjadi mediasi. Bagi sufi, tasawuf adalah apresiasi semua bentuk amalan dan perasaan hati. Sedangkan bagi tasawuf sufi adalah pelaksana segala bentuk rasa (dzauq) atas dasar penyingkapan intuitif (ma’rifat). Jadi ketika mendefinisikan tasawuf, berarti pula mendefinisikan sufi. Begitu juga ketika mendefinisikan sufi, secara otomatis berarti mendefinisikan tasawuf. Dari pengertian ini timbul sebuah kesimpulan bahwa para sufi selalu hidup dengan jiwa yang mengutamakan rasa dan mementingkan pengagungan Tuhan dan bebas dari egoisme. Mereka selalu merasa berada di hadirat Tuhan dan merasakannya sebagai kebahagiaan hakiki. Adapun pengertian tasawuf secara umum menurut Abû al-Wafâ, tercakup pada kesimpulan, bahwa tasawuf adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia. Yaitu untuk merealisasikan kesempurnaan moral, pemaknaan hakekat realitas, dan kebahagiaan rohaniah. Tetapi kesimpulan yang demikian ini sebenarnya masih kurang memenuhi semua makna tasawuf, karena tasawuf memiliki keberagaman pengalaman satu sama lainnya. Bagi mereka yang merasakan pengalaman bidang tasawuf tentu hanya melibatkan rasa (zauq) dan mereka tidak jarang menyampingkan rasio. Untuk itu terkadang susah mengungkapkan rasa yang dialami dengan kata-kata atau kalimat. Sementara pengungkapan rasa menjadi sebuah definisi akan menjadikan makna berbeda antara sufi satu dengan lainnya, karena pengalaman dan rasa yang berbeda-beda yang mereka alami. Menurut A. R Badawi tasawuf memiliki dua warna yang menghiasinya. Pertama, di dalam tasawuf terdapat pengalaman rohani, yakni adanya komunikasi antara Tuhan dan sufi. Yang dimaksud dengan komunikasi antara Tuhan dan sufi adalah sebuah kedekatan antara Tuhan dengan sufi. Sang sufi sudah mengaggap bahwa tidak ada wujud yang hakiki kecuali Tuhan. Ia yang memberi segala macam kehidupan. Ia pula yang menjadi sumber segala inspirasi. Untuk itu sang sufi selalu melihat dan menyadari kemanapun dia berpaling disitu ada wajah Tuhannya. Hal demikian yang membuatnya mengenal, kemudian dekat dan selalu mengadakan komunikasi. Dengan adanya komunikasi setiap saat antara sang sufi dan Tuhan keduanya memiliki rasa cinta yang saling mengasihi. Dan inilah landasan tasawuf. Kedua, merasakan persatuan antara sufi dengan Tuhan. Maksudnya bahwa semua selain Tuhan adalah fana’ , tidak memiliki kekuatan, dan pasti binasa. Oleh karenanya secara haikiki tidak ada wujud kecuali Tuhan. Bahkan diri sendiri pun tidak ada. Wujud hakiki yang ada hanyalah Tuhan. Inilah yang dinamakan dengan fana’ fillah. Ketiadaan selain Tuhan di dalam Tuhan. Seseorang yang memiliki kesadaran ini tidak mengaggap dunia seisinya ada. Yang ada hanyalah Tuhan, yang menjadi kekasihnya. Bahkan diri sendiripun tidak dikenalnya. Yang dikenal dan dirasa hanyalah Tuhan. Pada kesempatan lain Abû al-Wafâ memberikan lima karakter yang melingkupi tasawuf. Pertama, tasawuf adalah penyucian jiwa dengan meningkatkan akhlak. Kedua, mengalami pengalaman rohani berupa fana, yaitu leburnya kesadaran sufi akan dirinya, dan juga mengalami baqa, yaitu langgengnya kesadaran akan Tuhan dengan dirinya. Ketiga, mengakui adanya pengetahuan yang bersifat intuitif (dzauq) yang datang dari Tuhan. Keempat, merasakan ketenteraman rohani. Kelima, pengalaman tasawuf adalah pengalaman pribadi, untuk itu hanya bisa diungkapkan secara simbolik. Dari beberapa pernyataan yang disebutkan di atas kiranya dapat ditarik kesimpulan bahwa, tasawuf adalah sebuah penyerahan diri yang bertujuan untuk mendekatkan diri dengan sedekat-dekatnya kepada Tuhan melalui penyucian jiwa dari segala kotoran rohani, yang tujuannya untuk mendapatkan kesadaran menyatu dengan Tuhan dan mendapatkan pengetahuan ma’rifat. Penyerahan diri bagi para sufi adalah menyerahkan hidup dan matinya hanya untuk beribadah. Dengan pengertian, semua bentuk kegiatan yang dilakukan hanya untuk Allah dan semua bentuk yang ia rasakan dan ia tuju hanya berorientasi karena Allah. Namun semua itu tidak dapat terealisasi keculai dengan sebuah jalan. Jalan tersebut memilikilika-liku yang tidak dapat dilalui dengan mudah. Jalan tersebut ialah penyucian diri. Sebab untuk mendekati Tuhan Yang Maha Suci harus didekati dengan jiwa yang suci. Penyucian diri bagi para sufi adalah, menyucikan jiwa dan raga dari semua hal-hal yang dapat menjauhkan dirinya dengan Tuhan, yakni dari hal-hal yang berbau haram, makruh, dan syubhat, serta menjalankan semua hak-Nya. Hak Allah untuk disembah-Nya dengan mengerjakan yang wajib. Untuk didekati-Nya dengan berzikir. Untuk diperhatikan-Nya dengan meninggalkan semua larangan-Nya. Dan untuk dicintai-Nya dengan melaksanakan yang sunnah. Mendekatkan diri pada Allah bagi para sufi adalah sebuah aplikasi dari rasa cinta yang tiada banding. Ia memiliki nilai cinta yang tinggi kepada Tuhannya. Cintanya kepada selain Tuhan tidak akan mengalahkan cintanya kepada selain Tuhan. Dan orang yang memiliki cinta akan selalu menginginkan dekat dengan yang dicintainya. Ia ingin selalu berhubungan dan dekat dengan-Nya dan tujuan dekat dengan sang kekasih adalah menyatu. Menyatu antara sufi dan Tuhan dalam pengalaman rohani tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hal inilah yang menjadikan Ibnu ‘Arabi berkata bahwa tasawuf adalah ilmu yang bersifat pasti dan meyakinkan. Ilmu ini datangnya langsung dari Allah swt, bukan melalui dalil-dalil. Dan orang yang mendapatkannya adalah orang-orang yang memiliki anugerah dan derajat khusus di sisi Allah swt. Dengan demikian Ia menerima segala sesuatu tidak melalui apapun kecuali langsung dari Allah swt. Oleh sebab itu semua yang ia dapat terkadang susah untuk diungkapkan dengan kata-kata sehingga orang awam sukar untuk memahaminya. Ilmu dan pengalaman dari Allah swt yang didapat merupakan karunia setelah para sufi menempuh berbagai penyucian rohani. Dan yang berhasil mendapatkan karunia semacam ini hanyalah para Nabi dan wali saja. Dengan demikian ada beberapa unsur yang melekat pada ilmu tasawuf, yaitu: 1. Tasawuf adalah ilmu pengetahuan yang bersifat ruhani. Pengetahuan ini tidak bisa dirasakan dengan lahiriyah ragawi. Tetapi hanya dapat dirasakan dan diusahakan dengan jiwa. Karena datangnya dari Allah swt. 2. Tujuan bertasawuf adalah mendekatkan diri kepada Allah swt. pendekatan diri ini untuk mencapai pengenalan dan kedekatan dengan-Nya. Dan jika sudah memiliki kedekatan dengan Tuhan, maka ia akan diberi anugerah pengetahuan dan menjadi kekasih-Nya. Jika sudah menjadi kekasih-Nya semua selain Allah swt akan dipandang sebagai kehinaan dan apa yang diinginkannya akan dikabulkan oleh Allah swt. sebagaimana firman Allah swt: Artinya: Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.( QS. Al-Baqarah/2:186) 3. Cara untuk mencapai kedekatan diri dengan Allah adalah dengan penyucian jiwa. Cara ini dilakukan dengan susah payah. Anugerah yang didapat pun tergantung kehendak Allah swt. Penyucian jiwa yang dilakukan harus menampik semua keindahan selain Allah swt dan menyatukan orientasi pada Allah swt. Sebagaimana firman Allah swt: Artinya: Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.(QS. Al-Ankabut/ 29: 69). C. Asal-Usul Sufisme (tasawuf) Para pengamat tasawuf memberikan beberapa gambaran terhadap asal-usul tasawuf. Sebagian dari mereka, khususnya peneliti Barat berargumen bahwa tasawuf memiliki asal-usul dari unsur-unsur luar Islam. Hal ini bisa dilihat dari kebiasaan dan gaya hidup para sufi yang sama dengan para pemuka agama selain Islam. Berikut beberapa pandangan terhadap asal-usul tasawuf. 1. Unsur Nashrani Satu pendapat mengatakan tasawuf berasal dari Nashrani atau Kristen. Hal ini dibuktikan dari kehidupan para sufi yang selalu mementingkan kehidupan akhirat dibandingkan kepentingan duniawi. Begitu juga dengan kehidupan para rahib-rahib gereja yang hidup dalam kefakiran dan tanpa nikah. Pendapat ini dianut oleh Ignaz Goldziher, orientalis asal Jerman. Ia berpendapat, tasawuf memiliki dua ciri. Tasawauf asketis dan tasawuf secara luas. Tasawuf secara asketis memiliki akar dan pengaruh dari Kristen. Sedangkan tasawuf secara luas, seperti teori-teori ma’rifat, dan hal, memiliki pengaruh dari Hindu dan Neo Platonisme. Adapun pokok-pokok ajaran kristen yang dianggap mempengaruhi tasawuf adalah: 1. Gaya hidup yang fakir. Sebagaimana Isa al-Masih yang selalu mengajarkan hidup dalam kefakiran, tasawuf juga memiliki semangat konsep yang sama. Dalam injil Mathius dikatakan: “beruntunglah kamu orang-orang miskin karena bagimulah kerajaan Allah….Beruntunglah kamu orang yang lapar karena kamu akan kenyang.” 2. Menjaga diri dari menikah, karena dengan menikah akan lupa kepada Tuhan. 3. Terdapat ketergantungan dan ketundukan serta kepatuhan kepada guru spiritual. Karena guru adalah sang pemberi jalan untuk dapat mendekatkan diri kepada Tuhan. Hal ini juga dapat ditemukan pada ajaran kristen yang menganggap pendeta adalah sosok penghapus dosa. 4. Kesaksian, yaitu menyaksikan keindahan dan kasih sayang Tuhan secara hakiki. Hal demikian dapat ditemukan pada kitab dan ajaran injil. 5. Pasrah kepada Tuhan. Ajaran ini banyak terdapat dalam injil sebagaimana disampaikan: “Perhatikan burung-burung di langit, dia tidak menanam, dia tidak mengetam dan tidak duka cita pada waktu susah. Bapak kamu dari langit tidak memberi kekuatan kepadanya. Bukankah kamu lebih mulia daripada burung?” Sejalan dengan hal tersebut al-Taftazani mengutip RA. Nicolson yang mengatakan: “kecenderungan asketisme dan kontemplasi ternyata sesuai dengan kristen, bahkan diantaranya menjadi titik tolaknya. Banyak teks injil dan ungkapan yang dikatakan sebagai ucapan al-Masih ternyata ternukil di dalam biografi para sufi angkatan pertama. Bahkan seringkali muncul para biarawan kristen menjadi guru dan menasihati serta memberi pengarahan kepada asketis muslim. Kitapun dapat melihat baju yang terbuat dari bulu domba itu berasal dari ummat kristen. Nazar untuk tidak berbicara, zikir, dan latihan-latihan rohani lainnya mungkin berasal dari sumber yang sama. Begitu juga hal-hal yang berkaitan dengan kerinduan ilahiyah.” Gaya hidup yang dilakukan Isa al-Masih dan para pengikutnya mendapatkan kelestarian dari para sufi. Hal ini yang menyebabkan tasawuf dianggap sebagai penerus ajaran kristen oleh sebagian pendapat. Dengan begitu menurut secara subyektif tasawuf berasal dari ajaran Kristen atau paling tidak terpengaruh dari unsur Kristen. 2. Unsur Persia Ajaran tasawuf selalu mengedepankan prinsip, bahwa kehidupan yang mementingkan materi akan sia-sia, karena hakikat hidup adalah menjadi kekasih Tuhan. Hal-hal yang bernuansa materi dapat memalingkan kepada Tuhan. Ajaran demikian ternyata terdapat pada doktrin agama Persia, Manu dan Mazdaq. Begitu juga tentang kosmologi ajaran tasawuf yang menerangkan teori hakikat Muhammadiyyah diidentikkan oleh sebuah pendapat dengan teori Harmuz dalam ajaran agama Zaratrusta. 3. Unsur Hindu dan Budha Terdapat sebuah pandangan juga yang mengatakan bahwa, ajaran tasawuf berasal dari unsur-unsur Hindu atau Budha. Hal ini bisa dilihat dari ajaran khusu’, pengawasan diri dari keindahan dunia yang menyebabkan nafsu tergoda. Atau doktrin yang mengajarkan bahwa hidup adalah sementara maka dari itu harus diisi dengan mencari kebaikan sebanyak mungkin. Faham fana’ dan baqa’ pun ternyata sudah di dahului oleh faham nirwana dalam ajaran Budha. Hal ini sejalan dengan pernyataan Hartman et Hoten, seorang orientalis, bahwa tasawuf Islam dipengaruhi ajaran Hindu, Mani, Masehi, dan Neo Platonisme. Hal tersebut ia nyatakan setelah mengkaji beberapa teori-teori Abu Yazid al-Busthami, al-Hallaj dan Junaid al-Baghdadi. 4. Unsur Yunani Yunani adalah negeri para filosof. Salah satu filosof yang mengajarkan tentang hidup zuhud, dan keyakinan tentang roh adalah Phytagoras. Ia menjelaskan bahwa roh manusia itu kekal dan asing ketika berada di dunia. Bagi roh dunia merupakan penjara. Sedangkan kesenangan roh adalah meninggalkan kehidupan yang bersifat materi. Hal itu harus dilakukan dengan hidup zuhud. Seseorang pun diharuskan melakukan kontemplasi. Fenomena ini yang menyebabkan sebuah pendapat mengatakan tasawuf terpengaruh oleh unsur-unsur Yunani, karena semua yang diajarkan oleh Phytagoras diajarkan pula dalam doktrin tasawuf, seperti zuhud. Begitu juga dengan filsafat Plotinus yang mengatakan, bahwa wujud ini memancar dari Zat Tuhan Yang Maha Esa dan roh berasal dari-Nya dan akan kembali. Namun sebelum kembali harus telebih dahulu dibersihkan dari segala macam materi duniawi. Adapun cara penyuciannya dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, bahkan bersatu dengan-Nya. Hal di atas merupakan ajaran yang memiliki kandungan sama dengan teori-teori tasawuf falsafi yang diajarkan Syuhrawardi al-Maqtul, Ibn ‘Arabi, Al-Hallaj dan lain-lain. 5. Analisis Dari semua pendapat tersebut unsur-unsur setiap ajaran atau agama sebelum Islam memang memiliki kesamaan dengan doktrin tasawuf atau sebaliknya. Tetapi bukan berarti tasawuf mengadopsi dan hasil pengaruh dari ajaran dan doktrin luar Islam. Sebagaimana diketahui bahwa kehidupan yang dilakukan sufi seperti zuhd, wara’ dan lain sebagainya adalah kehidupan yang mencontoh Rasulullah saw beserta para sahabat. Rasulullah beserta para sahabat tidak pernah bersentuhan dengan literatur-literatur Yunani, Kristen atau Hindu dan Budha. Begitu juga dengan pergaulan yang dilakukan mereka. Rasulullah adalah seorang yang ummi. Beliau tidak pernah mempelajari tingkah laku para rahib atau filosof. Semua doktrin zuhud yang dipraktikkan rasul dan para sahabat merupakan praktik keseharian yang independen tanpa pengaruh dan imitasi. Begitu juga dengan faham tasawuf falsafi, para sufi selalu bertolak dari Al-Qur’an dan sunnah. Bahkan jika dikaji dan dilihat teori-teori yang ditulis akan tampak bahwa teori-teori falsafi mereka nampak sebagai sebuah tulisan tafsir ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian terdapat perjumpaan atau persamaan antara ajaran tasawuf dengan ajaran-ajaran atau agama lain. Dan ini bukan berarti antara satu ajaran dengan lainnya saling mempengaruhi. Kesimpulannya berdasarkan prinsip Islam semua persamaan yang terlihat dalam tasawuf dan ajaran agama lain bukan suatu hal yang saling mempengaruhi, tetapi tasawuf merupakan ajaran dan faham yang kebetulan memiliki persamaan dengan ajaran-ajaran lain. Hal ini bisa bisa juga diartikan tasawuf sebagai penerus ajaran agama lain. Dan tasawuf tampil sebagai penyempurna doktrin-doktrin agama lain. D. Asas-asas Sufisme (tasawuf) Sufisme/tasawuf adalah ajaran dan doktrin moralitas. Ia adalah faham yang mengajarkan hubungan antara Tuhan dan seorang hamba dan sebaliknya. Doktrin-doktrin tersebut bukan tanpa asas atau dasar, tetapi bermuara dari mutiara-mutiara ayat-ayat al-Qur’an dan perilaku Rasulullah saw dan doktrinnya. Tasawuf juga merupakan ajaran yang bertitik tolak dari akhlak atau perilaku. Hal ini sangat erat kaitannya dengan pembersihan jiwa. Karena tujuan dari tasawuf adalah mendekatkan diri dengan sedekat-dekatnya kepada Allah swt hingga mengenal dan menjadi kekasih-Nya. Allah swt Maha Suci, tentu saja tidak dapat didekati dengan jiwa yang tidak uci. Untuk dapat mendekati-Nya seseorang harus suci baik dari kotoran jasmani maupun kotoran rohani. Kotoran jasmani dapat dibersihkan dengan ilmu syari’at lahiriyah. Sedangkan kotoran batiniyah dapat dibersihkan dengan ilmu syari’at batiniyyah, yaitu akhlak. Akhlak merupakan pengejawantahan dari sisi ajaran ihsan. Dan Ihsan memiliki dimensi yang dinamakan dengan tasawuf. Dengan demikian tasawuf adalah kendaraan untuk mengantarkan pada pembersihan jiwa rohani agar menjadi bersih dan dapat mendekati Allah swt dengan sedekat-dekatnya. Kendaran tersebut berupa khauf, raja’, taubah, zuhud, tawakkal, sukur, sabr, ridla dan lain-lain. Kesemuanya menyangkut kedaaan hati dan rohani. Konsep khauf misalnya, keadaan dimana sufi memiliki ketakutan yang sangat kepada Allah swt. Ia takut akan marah-Nya Allah swt sehingga apabila didengarkan firman-firman-Nya ia selalu mendapatkan kesedihan tiada tara sebagaimana firman Allah swt: Artinya: Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad), kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur’an) yang telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata: “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas kebenaran Al Qur’an dan kenabian Muhammad s.a.w.)(QS. Al-Maidah/5: 83) Begitu juga dengan ayat yang menerangkan tentang tenangnya jiwa apabila selalu mengingat Allah swt. Orang yang cinta kepada Allah swt akan selalu ingat kepada-Nya. Dimanapun dan kapanpun ia akan selalu berzikir mengucapkan nama-Nya, karena ia cinta. Ia akan mendapatkan ketenangan dan memperoleh ketentraman jiwa. Sebagaimana firman Allah swt: Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.(QS Ar-ra’d/13: 2 Artiya: (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (QS Ali Imran / 3: 191) Begitu juga dengan tobat. Seorang sufi akan selalu membenahi diri dari segala kesalahan yang pernah dilakukan. Ia akan selalu berusaha membersihkan diri sesuci-sucinya. Usaha tersebut dinamakan dengan tobat. Allah swt berfirman: Artinya: Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (QS At-Tahrim/66: Tasawuf juga mengajarkan untuk bersyukur, tawakkkal, lebih mementingkan akhirat dibandingkan duniawi dan lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah swt: Artinya: Maka bersabarlah kamu, karena sesungguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampunan untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.(QS Al-Mukmin/40: 55) Artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (Ibrahim/14: 7) Artinya: ….Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun. (QS An_Nisa/4:77) Artinya: Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (At-Talaq/65: 3) Artinya: Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. Al-hujurat/49:13) Artinya: Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”. (QS. Ibrahim/14: 7) Doktrin-doktrin tasawuf tidak hanya ditemukan dalam Al-Qur’an, tetapi hadits memuat hal itu. Diantaranya: Artinya : “seorang laki-laki dsatang kepada Nabi s.a.w lalu berkata, “wahai Nabi Allah berwasiatlah kepadaku.” Nabi berkata, “bertakwalah kepada Allah, karena itu adalah himpunan setiap kebaikan. Berjihadlah, karena itu kehidupan seorang rahbani muslim. Berdzikirlah, karena itu adalah nur (cahaya) bagimu.” (HR. Bukhari) Artinya : “sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak dsapat melihatnya-Nya, maka Ia pasti melihatmu.” (HR. Bukhari dan Muslim) Artinya : “Dan dari Ali Karramallahu Wajhahu : Aku berkata, ‘Ya Rasulullah, manakah jalan yang terdekat kepada Allah dan yang termudah atas hamba-hamba-Allah dan yang paling afdhal di sisi Allah? Maka Rasulullah bersabdas, ‘Ya Ali, hendaknya engkau selalu mengekalkan mengingat (dzikir) Allah. Maka Ali berkata, ‘tiap orang berdzikir kepada Allah’. Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Ya Ali, tidak akan terjadi kiamat sehingga tiada tinggal lagi di atas permukaan bumi ini orang-orang yang mengucapkan Allah, Allah. Maka Ali berkata kepada Rasululla, ‘Bagaimana caranya aku berdzikir ya Rasulullah? Maka Rasulullah bersabda, ‘Coba pejamkan kedua matamu dan dengarkan dari saya ucapan tiga kali. Kemudian ucapkanlah Ali seperti itu dan aku akan mendengarkan. Maka Rasulullah saw. berkata, ‘Laa Ilaaha Illa Allah tiga kali sedang kedua matanya tertutup. Kemudian Ali pun mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illa Allah seperti demikian.” 1. Berasaskan al-Qur’an Al-Qur’an dan hadits Nabi adalah sumber kehidupan yang wajib dijadikan pedoman bagi ummat Islam. Banyak materi yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits membidani lahirnya teori-teori dan doktrin tasawuf. Hal ini bisa dilihat dari ayat berikut: “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mumin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Maidah: 54) Ayat diatas menerangkan bahwa Allah swt menurunkan kaum yang memiliki cinta. Cinta adalah sebuah rasa atau keadaan jiwa yang dapat menadamaikan kehidupan. Cinta yang hakiki adalah cinta kepada dan berdasarkan Allah swt. Konsep cinta di dalam Islam hanya terdapat pada doktrin sufisme/tasawuf. Doktrin ini dinamakan dengan mahabbah. Selanjutnya dalam al-Qur’an selalu ditekankan kepada orang-orang yang beriman untuk mensucikan jiwa agar hubungannya dengan Tuhan berjalan lancar. Proses penyucian ini dalam tasawuf dinamakan dengan tazkiyatun nafs. Al-Qur’an membicarakan hal ini dalam ayat berikut: “Hai orang-orang yang beriman bertobatlah kepada Allah dengan tobat yang sebesar-besarnya, mudah-mudahan Tuhan kemu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam sorga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi, dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami, sesungguhnya, Engkau Maha kuasa atas segala sesuatu.” (QS at-Tahrim: Ayat diatas menunjukkan perintah melaksanakan kesucian jiwa dengan bertobat dan memberikan pahala sorga bagi siapa saja yang terlepas dari kotoran jiwa dan dosa. Jika sudah suci maka ia akan mudah mendekat kepada Sang Khalik. Dan apabila sudah mendekat, maka ia akan bertemu, mengetahui, mengenal Tuhan-Nya dan akan menjadi kekasih-Nya. Kemanapun dan dimanapun ia berada akan selalu melihat dan mengingat Allah swt. Seperti dalam ayat berikut: “Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, maka ke manapun engkau menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui).”(QS al-Baqarah: 115) Ayat di atas menerangkan konsep mahabbah dan wahdat al-wujud. Konsep-konsep ini adalah wacana penting tasawuf/sufisme. Dengan demikian apakah seseorang masih mengatakan jika doktrin-doktrin sufisme berasal dari unsur selain Islam? Begitu juga tentang doktrin kedekatan Tuhan dan hamba. Ayat berikut menerangkan tentang hal tersebut. “Jika hamba-hamba-Ku bertanya padamu tentang diri-Ku, Aku adalah dekat, Aku mengabulkan seruan orang yang memanggil jika ia dipanggil Aku.” (QS al-Baqarah: 186). “Sebenarnya Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dinisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya daripada pembuluh darahnya sendiri.” (QS Qaf:16). Ke dua ayat diatas menginformasikan bahwa Allah begitu dekat. Untuk itu berlaku awaslah terhadap perilaku, karena Allah selalu melihat dan memantau. Dan Allah Maha Mendengar semua permintaan hamba-hambanya. Ini merupakan ajaran sufisme yang selalu ditekankan. Dalam al-Qur’an juga ditegaskan untuk tidak terikat pada kehidupan duniawi yang serba material. Karena kehidupan semacam ini akan sia-sia. Ia tidak dapat mencapai tujuan hakiki hidup di dunia. “Hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu, memperdaya kamu tentang Allah.” (QS. Fathir : 5) “katakanlah kesenangan di dunia ini hanya sementara, dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa.(Qs an-Nisa: 77) Di lain ayat al-Qur’an mengajarkan takwa, sukur, sabar, ridla dan tawakkal kepada Allah swt. Ajaran-ajaran ini adalah pakaian bagi seorang penempuh jalan ruhani. Sebagaimana Allah swt berfirman: “Sesunguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di anatar kamu. (QS al-Hujurat: 13). “Dan hanya kepada Allah-lah orang-orang yang beriman itu bertawakkal.(QS az-Zumar: 39) “Sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti akan menambahkan (nikmat) kepadamu.(QS Ibrahim: 7) “Maka bersabarlah kamu karena sesunguhnya janji Allah itu benar, dan mohonlah ampun untuk dosamu dan bertasbihlah seraya memuji Tuhanmu pada waktu petang dan pagi.(QS. Al-Mu’min: 55). “Allah ridla terhadap mereka, dan mereka pun ridla terhadap-Nya.”(QS al-Maidah: 119) 2. Berasaskan Sunnah Rasul Rasulullah saw merupakan manusia yang dijadikan panutan dan tuntunan hidup oleh kaum sufi. Ia merupakan manusia prototipe yang dijadikan acuan untuk mendekatkan diri pada Allah swt dan menyucikan jiwa. Tidak ada konsep sufi yang bertentangan dengan cara hidup beliau. Dan semua konsep sufisme mengacu pada doktrin dan perilaku Rasulullah saw. At-Taftazani membagi kehidupan Rasulullah saw dalam dua bagian. Bagian pertama adalah kehidupan Rasulullah saw sebelum diangkat menjadi rasul. Dan bagian ke dua adalah kehidupan ketika sudah diangkat menjadi rasul. Sebelum diangkat menjadi rasul Nabi saw selalu mengasingkan diri di tempat sunyi. Khususnya di bulan Ramadlan beliau selalu berkontemplasi, merenung dan meminta petunjuk di Gua Hira. Jauh dari keramaian dan kesibukkan duniawi. Beliau bertafakkur dan menyucikan jiwa dari semua hal yang berbau materi. Aktifitasnya ini menjadikan beliau suci hati dan jiwa. Dalam keadaan demikian Allah memberikan petunjuk dan mengangkatnya sebagai seoarang rasul. Kehidupan inilah yang menjadikan inspirasi bagi para sufi untuk melakukan riyadlah agar kesucian jiwa terpenuhi demi mendapatkan pengenalan dan menjadi kekasih Tuhan. Setelah diangkat menjadi rasul tidak ada sesaat pun dalam kehidupan beliau saw., yang tidak tercatat dan terekam oleh ummatnya. Perintah, perilaku dan larangan serta penetapannya selalu terekam untuk dijadikan sumber hukum setelah al-Qur’an. Laku hidup beliau selalu dijadikan pegangan bagi kehidupan zuhud dan doktrin sufisme. Dalam catatan yang terbatas ini tidak cukup ditulis ajaran-ajaran beliau mengenai laku hidup sufisme. Namun ada beberapa rekaman yang patut di tulis untuk mewakili sufisme sebagai doktrin yang diajarkan Rasulullah saw. Dalam sebuah doa Rasulullah saw berkata: “Wahai Allah, hidupkanlah aku dalam kemiskinan dan matikanlah aku selaku orang miskin,”(HR at-Tirmizi, Ibn Majah, dan Hakim). Atau dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa Rasulullah datang ke rumah isterinya, Aisyah, ternyata dirumahnya tidak ada makanan. Hal tersebut diterimanya dengan sabar, dan beliau menahan laparnya dengan berpuasa. (HR Abu Daud, at-Tirimizi, dan Nasa’i). Dalam beberapa hadits Nabi saw memiliki sifat-sifat terpuji, seperti kasih sayang, penyantun, suka memberi, suka berterimakasih, pemberani, dan sebagainya. Hal ini yang ditunjukkan pada Aisyah ketika ditanya tentang akhlak Nabi saw ia menjawab, “Akhlaknya adalah al-Qur’an.” (HR. ahmad dan Muslim). Semua yang dilakukan dan dipraktikkan Rasulullah adalah doktrin sufisme. Karena Rasulullah saw memiliki kepribadian sempurna. Beliau adalah suri teladan untuk seluruh ummat manusia. Dan ini adalah tipe ideal bagi setiap sufi. Diceritakan dalam riwayat Aisyah suatu malam Nabi mengerjakan shalat malam. Karena panjang dan banyak rakaatnya, lututnya bergetar. Tatkala sujud terdengar suara tangisnya, namun beliau tetap melakukan shalat sampai azan Bilal Ibn Rabah terdengar di waktu subuh. Melihat Nabi tekun melakukan shalat Aisyah bertanya. “wahai tuan, bukankah dosamu yang terdahulu dan yang akan datang telah diampuni Allah. Mengapa engkau masih terlalu banyak melakukan shalat?” Nabi saw menjawab, “Aku ingin menjadi hamba yang banyak bersyukur.” (HR Bukhari dan Muslim). Rasulullah saw juga sering berzikir. Dalam sebuah hadits beliau berkata: “Sesungguhnya aku meminta ampun kepada Allah dan bertobat kepada-Nya setiap hari tujuh puluh kali.” (HR at-Tabrani). Dalam riwayat yang lain dikatakan Nabi meminta ampun setiap hari seratus kali (HR Muslim). Dan Nabi selalu melakukan i’tikaf di masjid terutama pada malam-malam sepuluh ramadlan akhir (HR Bukhari Muslim). Dalam perilaku Rasulullah saw sering memberikan wejangan-wejangan bagaimana laku hidup yang baik agar dekat dengan Allah swt seperti: “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah akan mencintaimu; dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan orang banyak niscaya mareka pun akan mencintaimu.” (HR. Ibn Majah, at-Tabrani al-Hakim dan Baihaqi). Nabi juga berfirman dalam sebuah hadits qudsi mengenai kewalian, yaitu: “Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan permusuhan-Ku terhadapnya. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku kepada yang lebih Ku-sukai dari pada pengamalan segala yang kufardlukan atasnya. Kemudian, hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal sunah, maka Aku senantiasa mencintainya. Bila Aku telah jatuh cinta kepadanya, jadilah Aku pendengarannya yang dengannya ia mendengar. Aku penglihatannya yang dengannya ia melihat. Aku tangannya yang dengannya ia memukul. Aku kakinya yang dengan itu ia berjalan. Bila ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya. Jika ia meminta perlindungan, ia Ku-lindungi.” (HR Bukhari). Dilain waktu Nabi pernah bersabda: “sayangilah yang ada dibumi, niscaya kau akan disayangi oleh yang ada di langit” (HR Bukhari) Hadits ini merupakan baju kehidupan sufi. Karena seorang sufi memiliki sifat kasih sayang pada semua ciptaan Allah. Sebab mereka menyadari bahwa ciptaan Allah adalah milik Allah dan Allah adalah Sang kekasih. Untuk itu mereka sangat mencintai, merawat dan sayang pada milik Sang Kekasih. Beberapa sumber di atas dapat dijadikan bukti dan penguat bahwa al-Qur’an dan hadits mendukung semua bentuk doktrin dan teori tasawuf. Jika sekalangan pendapat mengatakan bahwa praktik zuhud, kewalian dan teori-teori falsasfi bukanlah ajaran Nabi sungguh sangat disayangkan, karena persepsi yang demikian sangat bersifat interpretatif-subyektif dan tidak mendasa

Tidak ada komentar: