Selasa, 06 Januari 2009

pendidikan karakter dalam pandangan imam khomeini

pendidikan karakter dalam pandangan imam khomeini
Toto Dwi Arso


resensi ini adalah cuplikan dari skripasi penulis.

Salah satu tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membangun kepribadian manusia. Sebuah keyakinan yang dianut harus memiliki berbagai dimensi sistem yang meliputi hukum, ekonomi, politik dan yang tidak kalah penting adalah sistem pendidikan, dimana sistem pendidikanlah yang harus mendapat perhatian secara khusus. Ini berarti bahwa suatu ideologi yang bertujuan menerapkan rencana-rencana pembinaan moralitas manusia harus diarahkan kepada kepentingan seluruh manusia. Yang lebih luas dari sekedar bertujuan untuk individu atau masyarakat tertentu, karena itu persoalan di atas merupakan fokus utama dalam kajian ini.

Dalam membahas pendidikan karakter, setidaknya ada tiga terminologi yang hampir sama. Yaitu pendidikan moral, pendidikan akhlak dan pendidikan karakter. Terminologi Pendidikan moral (moral education) dalam dua dekade terakhir secara umum digunakan untuk menjelaskan penyelidikan isu-isu etika di ruang kelas dan sekolah. Pengajaran etika dalam pendidikan moral lebih cenderung pada penyampaian nilai-nilai yang benar dan nilai-nilai yang salah.

Pendidikan akhlak sebagaimana dirumuskan oleh Ibn Misykawaih, merupakan upaya ke arah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan-perbuatan yang bernilai baik.[1] Hal ini menunjukkan bahwa tujuan puncak pendidikan akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku anak didik. Karakter positif ini tiada lain adalah penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia.

Dalam kaitannya dengan pendidikan karakter, terlihat bahwa pendidikan akhlak mempunyai orientasi yang sama yaitu pembentukan karakter. Perbedaan bahwa pendidikan akhlak terkesan timur dan Islam sedangkan pendidikan karakter terkesan Barat dan sekuler, bukan alasan untuk dipertentangkan. Pada kenyataanya keduanya memiliki ruang untuk saling mengisi.

Imam Khomeini juga mengkritisi pendidikan moral secara tegas dalam mukadimahnya. Menurut Imam pelajaran akhlak yang mencakup sejarah akhlak[2], tinjauan filosofis sampai pada metode pembersihan diri tidak akan membantu perbaikan akhlak dan pencerabutan akar kejahatan. Bahkan menurut Imam, pelajaran akhlak tidak akan membawa kepada penyucian jiwa. Karena baik akhlak teoritis dan historis hanya akan menjauhkan dari tujuan dan maksud pendidikan akhlak. Imam mengatakan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah menjernihkan akal dan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) untuk meraih tujuan tertinggi tauhid. Tujuan tertinggi adalah meraih shibgah Allah[3] atau keimanan sehingga akan bisa menjadi orang yang alim ilahi atau filsuf yang rabbani.[4]

Imam Khomeini dalam memberi syarah kitab Junud al-aql wa al-jahl tidak membahas sisi ilmiah riwayatnya.[5] Karena Imam ingin memaparkan tujuan utama munculnya hadis ini sebagai pedoman pendidikan karakter. Imam Khomeini mengilustrasikan tujuan yang dimaksud dengan sangat indah.

“Tujuan utamanya adalah peringanan jiwa-jiwa dari beban tabiat (materi) yang pekat, pengarahan dan pemfokusan kepada alam gaib (non-materi), melepaskan “burung roh” dari ranting-ranting “pohon-pohon” dunia yang merupakan akar syajarah khabitsah dan menerbangkanya ke angkasa alam kudus dan tama nuns (kemesraan dengan-Nya), yang merupakan rioh syajaraah thayyibah. Dan semua itu tidak akan diperoleh kecuali dengan penjernihan akal, penyucian jiwa, perbaikan kondisi (ahwal), serta pemurnian amal.”[6]



Jadi, paling tidak pendidikan karakter menurut Imam melibatkan empat prinsip. Yaitu pertama, penjernihan akal, kedua, penyucian jiwa, ketiga, perbaikan perilaku, dan yang keempat adalah pemurnian amal. Keempat prinsip ini harus dilakukan secara simultan.[7] Karena jika hanya menonjolkan salah satu dari keempat pilar ini hanya akan mendatangkan tazalzul qalbi (guncangan hati) dan ketidaktercapainya maqam insan ilahi. Misalnya, jika hanya dengan penjernihan akal saja sebagaimana para fisuf, mereka akan terjebak dalam hijab akbar, yaitu penghalang terbesar kepada Allah. Karena menurut Imam, ilmu yang diperolehnya tidak menjadi ayat ilahi serta alat pencari al-Haqq (Allah).

Selain daripada keempat prinsip di atas, yang lebih penting dalam pendidikan akhlak adalah guru. Baik itu sebagai penulis buku pendidikan akhlak maupun guru di kelas atau masyarakat. Guru yang membawakan berita gembira, nasihat, dan peringatan haruslah mampu menempatkan tiap-tiap maksudnya ke dalam jiwa-jiwa. Artinya bahwa seorang pendidik akhlak harusnya dapat menanamkan karakter di hati para siswanya. Jadi tidak sekedar memberikan pengetahuan tentang apa itu baik-buruk, dan bagaimana metode berkarakter atau berakhlak baik, tapi bagaimana seorang pendidik menjadi tauladan dan dijadikan tauladan bagi siswa atau siapa saja yang mendengar kata-katanya dan melihat perilakunya sehari-hari. Maka kesempurnaan diri sangat dituntut bagi para pendidik. Dan kesempurnaan ini dapat dicapai siapa saja yang mengikuti Al-Quran dan Rasulullah saw.

Dalam membahas pendidikan karakter atau pendidikan akhlak, kita tidak akan bisa terlepas dengan pembahasan tentang manusia (subyek sekaligus obyek dalam pembahasan ini). Maka mendeskripsikan pandangan Imam tentang manusia menjadi sebuah keniscayaan dalam pembahasan ini.

Menurut Imam Khomeini, pendidikan lahir untuk memahami manusia, namun tujuan ini berimplikasi terbalik, yaitu untuk mengetahui wujud Tuhan dan mengenal Allah swt, atau yang dikenal dengan nama ru’yah kauniyah tauhidiyah (pandangan-pandangan tauhid).[8] Sebagaimana dalam buku Insan Ilahiyah halaman 68 sampai 71 bahwa Imam mengingatkan agar mengetahui dirinya dan tidak bangga dengan kesempurnaanya namun juga tidak boleh melupakan dirinya dan terus memperhatikan keadaan-keadaan jiwanya. Karena dengan tidak mengetahui dan lalai terhadap dirinya akan membawa kehancuran terbesar bagi manusia. Imam mempertegas dengan mengutip sebuah ayat al-Quran Surah Al-Hasyr:19



Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (Q.S Al-Hasyr:19)

Allah adalah zat yang Maha Sempurna. Dengan kemahasempurnaan-Nya, Allah bertajalli dengan menciptakan makhluk. Dan makhluk pertama yang diciptakan Allah dalam hadis ini adalah akal.[1] Karena akal adalah makhluk pertama yang diciptakan, maka akal menjadi tajalli pada seluruh urusan dan hakikatnya penampakan yang sempurna. Oleh karena itu makhluk awal ini diekspresikan dengan nur suci nabi Muhammad saw. Sebagaimana disebutkan dalam hadis suci bahwa Nabi Muhammad saw pernah bersabda, “Sesungguhnya awal makhluk adalah nurku”.[2] Nur Muhammad adalah pusat manifestasi bagi al-ismul a’zham.[3]

Dalam hadis Junud al-aql wa al-jahl, akal dinisbahkan dari nur al-Haqq dan jahal sebagai lawannya dinisbahkan pada bahr ujaj atau laut yang sangat asin, menurut Imam Khomeini hal ini untuk menyatakan bahwa mata air seluruh kesempurnaan dan rahasia lukisan segala maqam, dan sumber segenab cahaya alam mulk dan malakut, serta sumber semua cahaya yang terang di hadapan jabarut (kemahakuasaan) dan lahut (ketuhanan), ialah nur Muqaddas Allah Azza wa Jalla. Dan tiada bagi maujud dari maujudat cahaya, sinar, kesempurnaan, dan keindahan melainkan naungan cahaya azali (kekal) dan sinar keindahan awal Sang Maha Indah bertajalli kepadanya. Maka jelas bala tentara akal adalah tentara-tentara ilahiah.[4]

Selanjutnya Imam mengatakan bahwa hakikat akal adalah adam pertama dan hakikat jahal adalah iblis besar. Keduanya memiliki keturunan dan manifestasi di alam dunia. Sehingga kita dapat membedakan keduanya dengan menggunakan validator al-Quran dan Hadis. Dan manusia yang “terusir” dari surga[5] dan hidup di alam dunia mendapati dirinya diberi pilihan kepada akal atau jahal ia akan berpihak. Karena di alam dunia (tabiat) ini merupakan tempat pergantian, perubahan, kelahiran, kematian serta kebahagiaan sekaligus kesengsaraan. Namun manusia dianugerahi Allah potensi dan kemampuan merubah kondisinya dan perwujudan iblisiah menjadi perwujudan adamiyah. Maka tugas manusia yang hakiki adalah kembali kepada karakteristik akal universal. Artinya bahwa tentara-tentara akal yang Imam Ja’far as sebutkan beserta lawannya yaitu tentara jahal merupakan peta dalam mengarungi pendidikan karakter menuju kesempurnaan sejati, yaitu meniru Allah.

Tidak ada komentar: